Naruto belongs to Masashi Kishimoto


Alternative Universe Fiction!Fantasy/Fairy Tale

CALL OF NATURE

Written by: Waffle R. Dewey

I. Dia yang Berselimut Salju

Suara gemuruh di tanah pertanda bahwa pasukan kuda sudah mulai melakukan pergerakan. Hari itu pihak kerajaan kembali melakukan pengumpulan bahan-bahan alam sebagai perbekalan maupun senjata. Kondisi kerajaaan Konoha yang sedang kritis di masa peperangan seperti ini perlu persenjataan ekstra dengan penyusunan strategi yang baik pula.

Sudah beberapa dekade sejak Konoha, Suna, Kumo, dan Kiri saling bertempur memperebutkan kekuasaan, sudah ribuan nyawa melayang di medan pertempuran, dan kini Konoha untuk sementara memimpin karena sudah menguasai Kiri melalui pertempuran samudera.

"Cepat, kumpulkan semuanya!" perintah Shikamaru, sang pemimpin sekaligus ahli strategi kerajaan Konoha.

Kali ini mereka sedang mengumpulkan armor dan persenjataan rampasan hasil dari berperang melawan kerajaan Kiri. Separuh dari pasukan juga tengah bersiap untuk kembali pulang menuju kerajaan, dengan begitu pertahanan Konoha akan meningkat di kala darurat seperti ini.

"Chouji, bagaimana kondisi disana?" tanya Shikamaru pada seorang pria yang berada di kuda coklatnya sembari memerintah pengawal-pengawal.

"Sudah cukup kurasa. Setelah ini kita hanya tinggal mengumpulkan kayu-kayu dan aku rasa Konoha sendiri merupakan penyedia kayu terbesar. Kita akan memenangkan peperangan ini, hanya perlu menekan sedikit lagi," jawab Chouji.

"Bagus, kalau begitu aku akan serahkan benteng kerajaan Kiri padamu. Aku akan kembali ke Konoha dan mengumpulkan sumber daya lainnya yang dibutuhkan. Tinggal beberapa serangan dan tekanan lagi kita akan menang 'kan?" Shikamaru menendang kecil perut kudanya membuat hewan itu mengangkat kaki depannya dan meringkik keras, ia pun berlari menuju kapal kerajaan Konoha yang berada di pesisir pantai.

Tiga dari lima kapal besar kerajaan Konoha berlayar pulang dalam naungan hawa dingin menusuk. Kini mereka hampir tiba di penghujung musim gugur dan suasana yang cukup berat untuk para prajurit garis depan melakukan pertempuran. Di dalam kargo kapal masih ribut seperti biasa karena para penombak saling bantu menyusun rapi seluruh sumber daya yang mereka dapat di kerajaan Kiri. Para pemanah bersiaga di atas kapal dan membantu kru menarik kembang layar.

Perjalanan berlangsung lambat karena air yang seolah memadat, tetapi kurang dari tiga hari mereka sudah tiba di pesisir pantai Konoha. Riuh prajurit saling bahu-membahu membawa perbekalan dan persenjataan hasil rampasan mereka ke gudang dalam benteng. Sementara Shikamaru memerhatikan peta bersama beberapa prajurit lain, menentukan daerah pengumpulan sumber daya lagi terutama kayu-kayu.

"Kita bisa dapatkan banyak disana. Tapi kalau kita memanfaatkan bagian dari sebelah sini kemungkinan besar kita akan menang. Hutan terlarang penyedia kayu terbesar untuk saat ini, jadi aku perlu sekurang-kurangnya lima ratus penebang untuk dikirim," terang Shikamaru sementara ketiga prajurit lain saling berpandangan.

"Ada apa?" tanya pria itu.

"Kami tidak bermaksud menentang perintah anda, tuan. Hanya saja, kayu-kayu di hutan terlarang tidak bisa diambil dengan mudah," jawab prajurit pertama.

"Hutannya … hidup," celoteh prajurit kedua.

"Hidup? Maksudmu hutan itu bergerak? Saling berbicara satu sama lain?" tanya Shikamaru beruntun.

"Penduduk sekitar mengatakan hal itu, karena itulah namanya hutan terlarang," sahut prajurit ketiga.

"Aku tidak punya waktu memperdebatkan dongeng rakyat. Saat aku perintahkan kau kesana maka kesanalah kau akan pergi!" teriak Shikamaru dan membuat prajurit-prajurit itu gentar.

"Mendokusei ne. Sudahlah, perintahkan semua yang kuminta untuk segera bergerak ke hutan terlarang," lanjut Shikamaru sambil memegang kepalanya yang terasa migrain.

Perlu waktu setidaknya satu jam tapi akhirnya seluruh prajurit dan penebang berhasil disiapkan. Saat semuanya bergerak bumi seolah bergoncang dan tanah bergetar bersorak berhamburan. Seluruh prajurit mempercepat langkahnya, melewati pedesaan dekat hutan terlarang. Para orang tua menyuruh anak-anaknya bergegas masuk ke rumah dan mereka semua bersembunyi hingga prajurit-prajurit itu selesai melintas lewat desa kecil mereka. Kini Shikamaru dihadapkan pada hamparan kayu-kayu besar di area yang sangat luas, dari timur ke barat hanyalah hutan sejauh mata memandang.

"Apa yang kalian tunggu? Mulai pekerjaannya!" teriak Shikamaru pada seluruh penebang yang ragu-ragu mendekat lebih jauh.

Dengan ancaman dari ribuan prajurit, para penebang pun maju menuju hutan terlarang. Sayang belum sempat mereka menyentuh satu saja batang dari hutan itu, ratusan dahan sudah bergerak mencengkram lalu menyingkirkan mereka. Shikamaru terus mengancam dan para penebang pun menyerang lebih brutal, namun seluruh bagian hutan seolah hidup dan menghantam orang yang mencoba memotong tubuh mereka. Ratusan prajurit gelombang pertama maju menyerang masuk ke dalam hutan namun hanya gemuruh teriakan yang terdengar dan kuda-kuda yang kemudian berlarian keluar. Penunggangnya hilang bak ditelan kabut kematian.

Melihat gambaran ngeri itu, ratusan penebang berlarian pergi sejauh mungkin dari hutan terlarang. Kuda Shikamaru berubah liar dan mengangkat kedua kaki depannya saat suasana memburuk. Shikamaru berusaha keras mengendalikan keadaan namun para prajuritnya sendiri sudah hancur lebur mentalnya melihat teman-teman mereka dengan begitu mudahnya dikalahkan dalam tebalnya hutan terlarang.

"Jangan takut, gunakan ketapelnya! Tembakkan semua batu-batu! Jika hutan itu tak bisa ditebang maka kita bisa menghancurkannya lebih dulu," perintah Shikamaru.

Ratusan batu-batu raksasa pun ditembakkan oleh puluhan ketapel raksasa, namun batu-batu itu dengan mudahnya ditangkap pepohonan dan dilemparkan kembali sehingga para prajurit hancur berhamburan, dengan mudah terlempar ke udara seolah tubuh mereka terbuat dari kapas saja. Pasukan semakin kalang kabut dan Shikamaru pun akhirnya memerintahkan untuk mundur, benar-benar suatu kawasan yang ganas pikir pria itu. Kali pertama baginya saat pengumpulan sumber daya bisa sesulit dan separah ini.

Akhirnya suasana kembali sunyi senyap, tanah kembali tenang bahkan suara angin kini bisa terdengar dengan jelas, pepohonan hutan terlarang pun berubah tenang dan berhenti bergerak. Sebenarnya hutan ini adalah hutan biasa, tidak memiliki kehidupan sekompleks kehidupan manusia. Hanya saja ada seseorang yang selalu menjaganya, menjaga lestari tumbuhnya hutan ini dari kedalaman hutan.

Ia yang sedari tadi bergelantungan di pepohonan jatuh ke tanah karena kehabisan stamina, pria itu mengatur nafasnya karena serangan-serangan tadi rasanya benar-benar menyakitkan. Meski kehidupannya sebagai Elf tapi kalau mendapat serangan sekuat itu ia pun bisa terluka. Druid muda itu tak bisa menggerakkan lagi tubuhnya, ujung-ujung jarinya pun terasa kaku. Iris biru safir miliknya menatap kosong, memikirkan mengapa manusia tak pernah memikirkan perasaan alam? Mengapa manusia selalu berperang satu sama lain? Hingga akhirnya pikiran-pikiran itu membawanya dalam lelap.

Kumpulan awan keperak-perakan mulai menutupi seluruh daerah dan menghujaninya dengan salju putih nan dingin. Anak-anak keluar dan saling bermain saat tumpukan salju mulai meninggi, begitupula dengan orang tua yang keluar rumah menikmati pemandangan indah itu. Salju menghujani seluruh Konoha termasuk hutan terlarang sendiri, benda-benda putih itu mendarat dan menempel di dahan-dahan pohon besar itu, beberapa yang lain menghujani tubuh peri hutan itu hingga hampir menguburnya. Matanya berkedip beberapa kali, bangun dari lelapnya yang kelihatannya cukup lama. Bola matanya bergerak pelan melihat sekitarnya, memerhatikan salju memenuhi seluruh tempat itu.

"Siapa … disana?" ucap peri hutan itu lemah.

Merasa keberadaannya telah disadari ia bersembunyi sebentar, jemarinya menggenggam—ia tak ingin bersembunyi selamanya, ia ingin menghampiri dan menolong peri hutan itu. Lalu gadis itu pun memberanikan diri keluar, muncul ke hadapan peri muda itu. Pakaiannya putih bersih tanpa corak apapun, rambutnya pendek sebahu, jubahnya panjang tergerai bagaikan kimono, gadis itu berjalan tanpa alas kaki mendekat ke arah peri hutan yang ia tuju.

Ia duduk, membelai kepala peri hutan itu kemudian memangkunya, lalu ia mendekatkan mulutnya pada mulut sang peri hutan. Pria itu membuka pelan mulutnya dan sesaat sebelum bibir mereka bersentuhan setetes cahaya bagaikan embun berpindah dari mulut sang gadis masuk dalam mulut pria itu. Pria itu batuk beberapa kali saat ia sudah bisa menggerakkan seluruh tubuhnya lagi dengan sempurna, sementara gadis itu beringsut mundur sedikit menjauh.

"Terima kasih, tapi … siapa kau sebenarnya?" tanyanya.

"Hinata … namaku … n-namaku Hinata. A-Aku peri musim," jawab gadis itu sedikit takut.

"Aku Naruto. Aku Elf penjaga hutan ini," ucap pria berambut pirang itu sembari mengulurkan tangannya.

"Salam kenal," sahut Hinata yang kemudian menyambut tangan Naruto walaupun masih sedikit takut.

"Aku tidak pernah melihat peri musim memunculkan diri. Apa kau sedikit berbeda dengan bangsa Elf lainnya?" tanya Naruto.

"U-Um … memang peri musim berbeda dengan bangsa Elf lain. Kami hanya diberikan kesempatan untuk memunculkan diri satu kali setiap seratus tahun. Jadi … kami tidak akan memunculkan diri kalau tidak perlu," jawab Hinata pelan.

"Begitu. Lalu apa keperluanmu sampai kau bersedia muncul, Hinata?" tanya Naruto penasaran dan membuat wajah gadis itu sedikit bersemu merah.

"A-Aku melihatmu terbaring di tengah salju. Aku hanya takut kalau … sesuatu yang buruk terjadi padamu," jawab Hinata setelah agak lama terdiam.

Naruto menunduk mencerna setiap perkataan Hinata. Jadi, gadis itu bersedia memunculkan diri karena mengkhawatirkan keadaannya. Entah tidak tergambar betapa banyak rasa terima kasih yang harus ia sampaikan atas pengorbanan Hinata, karena setelah ini Hinata takkan bisa lagi memunculkan diri sampai abad berikutnya. Perasaan canggung merayapi diam mereka, salju masih terus berjatuhan dan hawa memang cukup dingin terutama untuk Naruto.

Mata safirnya memandang bola mata ametis milik gadis itu. Tidak pernah terbayangkan baginya kalau peri musim secantik ini, memang bangsa Elf dianugerahi dengan paras yang baik tetapi makhluk di depannya seolah-olah bukanlah bagian dari bangsa Elf. Kulitnya yang begitu putih, tatapan matanya yang seolah merasuk dalam palung jiwa, goresan bibirnya, seluruhnya benar-benar proporsi yang sempurna.

"Eh Jadi … berapa lama kau bisa memunculkan diri?" tanya Naruto membuka kembali pembicaraan.

"Tidak ada aturan yang jelas mengenai waktu kemunculanku di dunia. Tetapi setahuku satu musim bisa mencapai tiga bulan 'kan?" jawab Hinata agak lama.

"Tiga bulan ya." Naruto menunduk, ingin rasanya ia berlama-lama lagi dengannya, walaupun mereka belum terlalu mengenal.

"Bisa kau jelaskan apa yang terjadi padamu?" Kini Hinata yang balik bertanya pada Naruto.

"Hutan ini … adalah tempat tinggal kami para Druid. Aku dan keluargaku menjaganya sejak waktu bumi muda, dan kini hingga tersisa diriku seorang. Dari tahun ke tahun manusia memulai perang antara sesamanya, mereka merusak dunia dan tidak lagi menghargai alam. Dari tahun ke tahun pula aku selalu melindungi bagian dari alam yang tersisa, hingga kini hanya hutan ini yang aku punya," terang Naruto panjang lebar sebelum akhirnya tertunduk sedih.

Mendengar cerita Naruto, Hinata pun memberanikan diri mendekat. Sekarang ia benar-benar yakin bahwa Naruto bukanlah makhluk jahat. Naruto melindungi hutannya dengan seluruh kekuatannya yang tersisa sampai-sampai ia nyaris kehilangan intisari kehidupannya sebagai bangsa Elf. Hinata mendekat dan duduk bersimpuh di dekat Naruto, pelan tapi pasti gadis itu memberanikan diri membelai kepala pirang pria itu dan memeluknya lalu menjatuhkannya di pangkuannya. Naruto agak kaget dengan sikap Hinata tapi perlakuan gadis itu memberikannya ketenangan walaupun hanya sesaat ini.

"Manusia takkan pernah berhenti … 'kan? Meskipun mereka memiliki segunung emas mereka akan tetap berburu harta, meskipun mereka memiliki kekuasaan mereka akan tetap mencari jajahan, mereka terobsesi dengan nafsu akan dunia ini. Semua hal itu membuatku membenci manusia," gumam Naruto.

"Tidak semua manusia begitu. Dalam hati mereka ada kebaikan, bahkan jauh dalam hati mereka semua … mereka mencintai alam ini," terang Hinata lembut sambil terus mengusap rambut Naruto.

Naruto hanya diam tak menanggapi lebih jauh. Saat Hinata mengatakannya entah kenapa ia mulai meragukan kebenciannya pada manusia, gadis itu berhasil menggerakkan hatinya dan nyaris mengubah pandangannya untuk sesaat. Meski begitu, ia masih tak bisa memaafkan manusia-manusia yang menyerang hutannya untuk dijadikan alat-alat perang.

"Menyakiti perasaan memanglah mudah tapi sebenarnya lebih mudah memaafkan. Karena itu kau harus bisa memaafkan mereka Naruto-kun," ucap Hinata lembut.

"Aku akan mencoba. Meskipun jauh di dalam hatiku aku tak bisa tapi aku akan mencoba," sahut Naruto lemah dan pria itu pun kembali terlelap dalam pangkuan Hinata.

Tenang dalam kegelapan, hanyut bersama dentuman arus waktu.

Hembusan angin dingin menerpa hujan salju yang kian melebat, menumpuk di tubuh kedua peri itu. Kristal putih itu bertaburan di sekujur tubuh Naruto dan membuat pria itu kedinginan, namun ia masih berusaha mengatup matanya—memaksa untuk tetap tidur.

Druid muda itu menggeliat sebelum akhirnya bangun karena lama-kelamaan tidak nyenyak juga, ia bergegas membersihkan tubuhnya dari salju. Dilihatnya Hinata menutup rapat matanya, ternyata sedari tadi gadis Elf itu juga ikut tertidur bersamanya.

Naruto tersenyum, ia pun memutuskan untuk memindahkan tubuh gadis itu—membawa peri musim itu ke rumahnya. Naruto menyelipkan tangannya diantara lipatan lutut Hinata dan menggendongnya, mereka berjalan menuju pohon besar di tengah hutan terlarang.

Cukup lama, terutama lagi saat harus melewati medan yang sulit, sisi hutan asli benar-benar liar namun keindahannya sangatlah natural. Setiap batang dan dahan pohon tidak tertata, tumbuh ke arah mana mereka ingin tumbuh, berikut lumut yang menempel di beberapa bagian batang akarnya. Sampai akhirnya keduanya tiba di tempat tujuan—pohon besar dengan sumur kecil yang jernih di depannya dimana airnya mengalir melalui celah-celah bebatuan hutan.

Druid muda itu masuk ke dalam pohon melalui bagian bawah akarnya. Mereka tiba di satu ruangan kecil yang hanya memuat satu kamar dan satu ruang tamu sederhana. Di dalam sini rasanya lebih hangat ketimbang di luar sana. Naruto pun menaruh tubuh Hinata di ranjangnya yang terbuat dari kayu dan rumput yang diikat jadi satu, berlapis daun besar sebagai spreinya yang lembut. Gadis itu menggeliat nyaman di pembaringannya membuat Naruto tersenyum tipis, ia pun mengangkat sebagian pakaian Hinata yang menjulur di lantai ikut naik ke atas ranjang.

Lama waktu berlalu, Naruto hanya duduk melamun memandangi hawa salju yang masuk lewat celah pintunya. Memang ini hanyalah rumah sederhana yang nyaris semuanya terbentuk secara alami, terkecuali penataan kamar, perabot, dan ruang tamu ini hasil buatan Naruto sehingga wajar kalau pintunya saja tidak menutup sempurna. Terdengar langkah seseorang dari dalam kamar, keluar menuju tempat Naruto sekarang. Hinata mengucek matanya beberapa kali dan menguap kecil sehingga pipi chubby miliknya menggelembung—membuat Naruto tersenyum lucu.

"E-Eto … t-terima kasih sudah meminjami tempat istirahat," balas Hinata pelan.

"Apa kau merasa kurang nyaman?" tanya Naruto yang kemudian menyeruput teh herbal miliknya.

"Tidak kok, disini sangat nyaman hanya saja aku lebih terbiasa dengan hawa yang dingin," jawab gadis itu yang kemudian duduk di depan Naruto.

"Bagaimana kalau … kita keluar sekarang? Mungkin kau akan lebih nyaman jika dekat salju." Naruto berdiri dan membuka pintu rumahnya kemudian berjalan beriringan keluar bersama Hinata.

Salju sudah memenuhi hampir seluruh bagian hutan di malam itu. Hinata menatap senang tumpukan-tumpukan benda putih itu dan kristalnya yang masih berjatuhan. Naruto tersenyum tipis, dingin—sampai hawa nafasnya pun bisa ia lihat, meski begitu ia senang melihat kegembiraan gadis Elf itu. Hinata berlari kesana kemari menikmati salju yang menghujaninya sembari tertawa kecil, sikap yang benar-benar kekanak-kanakan namun menyenangkan untuk dilihat.

Kunang-kunang bermunculan di kala gerimis salju, beterbangan mendekat ke arah Hinata dan membuat Elf itu kagum. Naruto terhenyak, memandangi betapa indahnya Elf di depannya, setiap ekspresi yang digambarkan gadis itu terekam jelas dalam pikirannya, entah kenapa ia merasa ada sesuatu yang menggelitik dalam dadanya—ia senang, ia benar-benar senang bahkan mungkin bahagia melampaui apapun, hingga akhirnya Naruto memalingkan wajahnya tersadar dari lamunannya—ia menutup hidungnya yang memerah, malu menemukan dirinya sendiri memandangi Hinata.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Hinata yang kemudian mendekat.

"Tidak … aku hanya kedinginan," kilah Naruto dan Hinata memiringkan sedikit kepalanya.

"Naruto-kun, apa kamu tidak suka dingin? Lalu apa yang kamu suka?" Gadis itu mendekatkan lagi wajahnya dan membuat pria itu berpaling, menatap ke arah lain.

"Ini tidak seperti aku membencinya … terlalu dingin ataupun terlalu panas itu menimbulkan rasa yang tidak nyaman. Kalau pertanyaanmu seperti itu aku rasa aku akan menjawab perasaan seperti … sejuk dan hangat," jawab Naruto.

"Sejuk dan hangat?" Hinata mundur sedikit, mencoba memikirkan kata-kata Naruto. "Perasaan seperti apa itu?"

Naruto tertawa kecil mendengar kata-kata Hinata, wajah polos gadis itu semakin membuat pertanyaannya benar-benar menggelitik. Hinata bingung mendapati sikap Naruto, memangnya salah ia menanyakan hal itu? Sebagai peri musim salju jelas ia tidak merasakan hal apapun selain perasaan dingin, tapi Naruto yang berhenti tertawa kelihatannya sudah sedikit mengerti mengapa ia bertanya seperti itu. Peri muda itu pun mendekat, lebih dekat lagi sampai nyaris tak ada jarak lagi antara mereka berdua.

SRHH

Naruto pun memeluk gadis Elf itu, membuatnya terbelalak untuk sesaat. Ia takut, ia benar-benar takut, meski gadis itu memiliki keberanian untuk menyentuh bahkan memeluk sesuatu tetapi ia benar-benar takut saat ada yang melakukan sesuatu hal lebih dari sekedar sentuhan padanya. Meski begitu dalam hatinya, jauh dalam lubuk hatinya, perasaan itu membuatnya tenang sampai ia lupa kalau mereka sedang bermandikan hujan salju. Selama beberapa menit ia lupa hawa dingin yang menyapa tubuh mereka, digantikan perasaan aneh yang membuat tubuhnya berdesir.

"Apa ini?" tanya Hinata dalam pelukan Naruto.

"Itulah hangat … panas namun tidak terlalu panas," jawab Naruto singkat.

Hinata menenggelamkan mulutnya di bahu Naruto. Benar, jika rasanya menggigil itu dingin dan jika rasanya seperti melepuh itu panas … lalu jika panas namun tidak terlalu panas itu namanya hangat. Hangat benar-benar cocok jika dipadukan dengan dingin, hangat terasa nyaman setelah kau merasakan dingin. Hinata meneteskan air matanya, ia menangis dan membuat Naruto terkejut sehingga melepas pelukannya.

"K-Kenapa?" tanya pria itu khawatir.

"Aku tidak pernah merasakan apapun. Selama ini aku hanya bisa memandangi semuanya dari batas dunia yang gelap dan sepi. Aku benar-benar bahagia, aku tak menyesal muncul ke dunia ini, dan aku bersyukur … bisa bertemu denganmu," terang gadis itu sambil tersenyum.

Naruto terdiam memandangi sorot kebahagiaan Hinata, untuk beberapa saat detik-detik yang ia lalui terasa sangat lama, dan ia pun memberanikan diri memegang kedua tangan gadis itu, mendekap setiap jemarinya lalu menatap jauh ke ametisnya, "Tinggallah bersamaku! Aku tahu … aku tahu kita tidak punya hubungan apapun, aku tahu ini bukanlah hal yang benar, tapi kumohon tinggallah bersamaku selama mungkin … selama yang kau bisa!"

Gadis Elf itu terdiam sebelum akhirnya tersenyum mengangguk dan membuat goresan bahagia tersirat dari wajah Naruto. Hingga tengah malam tiba keduanya masih bermain di bawah naungan butiran-butiran salju.

To Be Continue

A/N: Sebenarnya author sendiri kurang terlalu paham sosok makhluk apa Druid itu. Tapi melihat kepribadiannya yang berkaitan erat dengan alam author langsung mengangkatnya sebagai bagian bangsa Elf juga.

Well, terima kasih buat para reader & fanficcer yang berkenan hadir ke fiksi ini, harap tinggalkan masukan atau sekurang-kurangnya kesannya yaa—

—karena satu apresiasi anda, sangat berharga bagi saya :)