Judul: Tears of Rose (1/?)
Penulis: Amariys
Jumlah kata: 5947 kata
Fandom/Characters: Kuroko no Basket/Aomine Daiki, Kise Ryota, OCs.
Pairing: Unrequited AoKise, AoMomo (implikasi)
Disclaimer: Kuroko no Basket bukan milik saya. Disney, BMW dan cerita asli Putri Tidur pun bukan milik saya. Tidak ada keuntungan materi yang saya ambil dari penulisan cerita ini.
Rating: M
Summary: Kise membangun sangkar delusi di sekitar dirinya sendiri. Aomine mencerabut sayapnya tanpa sadar. Keduanya terikat dalam permainan yang seolah tak akan berakhir dan keadaan hanya diperparah oleh kasus pembunuhan yang terjadi. AoKise. Mature theme.
Warning: Prostitusi, adegan seks yang eksplisit, kata-kata kasar, penyalahgunaan obat.
A/N: Cerita ini dibuat sebagai hadiah ulang tahun yang terlambat sebulan lebih untuk Moero—maksud saya, Hana-chin. (BeliefinFlower). Selamat ulang tahun! Fanfiksi ini juga sebagai penembusan rikues Hana-chin tentang lagu VII dan saya mohon maaf jika penginterpretasian saya tidak sesuai dengan perkiraan. Selain itu, fanfiksi ini juga dibuat untuk memenuhi rikues salah satu pembaca yang meminta saya menulis cerita rate-M dalam bahasa Indonesia.
Saya menulis cerita ini masih dalam rangka Nanowrimo, jadi mohon maaf atas segala kesalahan yang mungkin akan ditemukan.
[Inilah awal kisah tentang perasaan yang terdistorsi; suara-suara asing yang mengharapkan hal yang tak nyata.]
Kamar hotel itu gelap, namun tidak senyap. Dari dalam, terdengar suara lenguhan yang diiringi suara vulgar kulit yang saling menampar satu sama lain. Jika saja hotel ini hanyalah losmen murahan, sudah tentu suara deritan ranjang tua akan ikut memeriahkan suasana. Selubung hitam pekat seolah sengaja diletakkan di sana, meskipun kamar hotel berbintang lima memiliki lebih dari cukup lampu untuk menerangi ruangan, seolah kedua insan yang saling bertaut tubuh tidak ingin dunia melihat perbuatan dosa mereka.
Dari celah gorden yang sedikit tersibak, cahaya perak pucat menyusup masuk, untuk sesaat memberikan dunia kesempatan mengintip kedua manusia yang asyik-masyuk di atas ranjang. Cahaya itu terjatuh menimpa kulit putih susu seorang pemuda berambut pirang yang tidak tertutup sehelai pun benang. Pemuda itu bergerak naik-turun, dengan peluh membasahi tubuhnya dan tiap kali ia menurunkan berat tubuhnya, erangan yang akan membuat para orang tua menutup telinga anak-anak mereka lolos dari bibirnya.
Di bawahnya, seorang pria—dengan postur tubuh yang jauh lebih tegas untuk sekadar panggilan pemuda—menggeram rendah. Kedua tangannya menahan pinggang si pirang, sesekali meremas bokong telanjangnya dan mendesah puas saat tubuh si pirang menekannya dengan semakin erat. Gerakan tubuh mereka semakin cepat sekarang. Masing-masing dapat merasakan puncak kenikmatan yang akan menyapu akal sehat mereka segera datang.
"A-aah, T-Toudou-san—kumohon, lepaskan aku!"
Permintaan itu disuarakan dengan lirih, sedikit tercekat di akhir oleh isakan tertahan. Tubuh pemuda yang berada di atas menggelinjang, kedua tangannya yang bertumpu di dada telanjang si pria terkepal erat. Air mata terlihat menggenang di ujung bulu mata lentiknya dan sungguh, demi pemandangan di hadapannya saat ini, Toudou akan rela membayar ratusan dolar.
"Kau harus memohon lebih indah lagi kalau kau ingin aku melepaskan ini, Ryou," Toudou menyengir. Satu tangannya meninggalkan pinggang si pirang yang dipanggil Ryou sebelum meremas kasar ereksinya yang terlihat hampir ungu karena cock ring terpasang di pangkalnya. Jeritan yang Ryou hasilkan terdengar seperti musik di telinganya; hasrat Toudou semakin terbakar.
"T-Toudou-san ... k-kumohon," kembali Ryou memohon. Kali ini ia sama sekali tidak mencoba menahan isak tangis. Ia membungkuk sebisa mungkin, menyapukan ciuman-ciuman yang dipenuhi rasa frustrasi ke seluruh bagian tubuh Toudou yang bisa ia jamah. "Kumohon ... lepaskan aku. Bukankah aku sudah menjadi anak baik untukmu?"
Ryou mengangkat wajah. Dua manik emasnya nyaris terlihat hitam saat iris termakan pupil yang berdilatasi karena nafsu. Air mata menggenangi pelupuknya, menangkap cahaya perak pucat yang menyusup dari celah gorden dan membuat irisnya nyaris terlihat emas. Rambut pirang Ryou yang biasanya tertata rapi kini terlihat berantakan; tanda-tanda merah menghiasi kulit putih susunya yang sebelumnya tak bercela. Tak berlebihan jika Ryou dikenal sebagai Malaikat Jatuh di luar sana.
Kini, malaikat itu jatuh ke pelukan Toudou. Ia hampir tersenyum—puas dengan pencapaiannya—dan jika saja ia tidak mengingat aturan dasar yang Ryou berikan kepada semua kliennya, ia pasti telah melumat bibir polos Ryou. Alih-alih, ia harus memuaskan diri dengan membubuhkan kecupan pada pipi porselennya, mencicipi jejak asin air mata yang tertinggal di sana.
"Aah, kau benar. Kau telah menjadi anak baik, Ryou. Baiklah, kali ini kau akan mendapatkan keinginanmu."
Dalam kegelapan yang menyembunyikan sosok mereka, Toudou sekejap berkhayal menangkap senyum manis yang Ryou berikan setelahnya. Kemudian, dalam satu gerakan cepat, ia menarik cock ring yang menahan klimaks Ryou lepas, diikuti dorongan tajam pinggulnya. Semua itu berhasil membuat napas Ryou tercekat sebelum—sepersekian detik setelahnya—tubuhnya menggelinjang hebat dan cairan yang hangat dan lengket membasahi abdominal mereka.
Liang Ryou seketika menjadi sangat sempit dan Toudou tidak membutuhkan waktu lama untuk ikut tersapu dalam puncak kenikmatan. Ia mencengkeram pinggang Ryou dengan sangat erat saat ejakulasi. Si pirang sendiri hanya bergumam malas, tidak terlalu mengkhawatirkan kenyataan Toudou mencapai puncak saat masih di dalam tubuhnya. Lagipula, ia sudah memperkirakan hal ini, karena itulah ia meminta Toudou memakai kondom sebelum aktivitas ranjang mereka.
Mereka terdiam untuk beberapa saat, berusaha menenangkan debar jantung yang terlalu cepat dan meraup oksigen untuk memenuhi paru-paru yang kelaparan. Andai mereka sepasang kekasih, ini adalah saat mereka saling merengkuh satu sama lain hanya untuk merasakan kedekatan bersama pasangan. Puas setelah larut dalam gelombang kenikmatan yang menyisakan malas sehingga keintiman terasa lebih wajar. Sayangnya, mereka bukan dan tidak akan menjadi kekasih.
Ryou selalu menjadi yang pertama pulih dalam keadaan seperti ini, seolah pekerjaan telah membuatnya terbiasa dengan semua aktivitas mereka. Ia lantas mengangkat diri, hanya sedikit mengernyit saat kejantanan Toudou yang terbungkus kondom keluar dari tubuhnya dengan suara licin. Ia turun dari kasur dan meregangkan otot-otot yang lemas setelah 'aktivitas berat' mereka, sama sekali tidak malu akan ketelanjangannya. Kakinya melangkah dengan sedikit kaku ke meja di sisi ranjang, tempat sebuah amplop cokelat tebal dan ponselnya diletakkan.
Ia mengambil ponsel terlebih dahulu—mengenali lampu tanda pesan masuk yang menyala—dan mengecek isinya dengan malas, menduga hanya akan mendapat pesan dari para kliennya. Tapi, tidak. Tidak, tidak. Ia salah total. Untuk sesaat, manik matanya membulat. Ia menatap layar ponsel yang berpendar tanpa berkedip, sebelum senyum lebar merekah di wajahnya. Tiba-tiba, ia merasa gelembung kegembiraan menguasainya dan jika saja ia tidak mengingat dengan siapa ia kini berada, pemuda yang dipanggil Ryou itu pasti telah melompat kegirangan.
"Mendapat berita bagus, eh? Kau bahkan tidak melirik amplop yang kutinggalkan."
Dari arah ranjang, suara parau Toudou dapat terdengar. Ryou melirik dari ekor matanya, senyum cerah masih terbias di wajah. "Hanya sedikit kabar dari teman lama! Toudou-san tidak perlu cemburu seperti itu~" ia menggoda, walaupun tangannya masih dengan cepat mengetikkan balasan. Hanya setelah ia mendapat pemberitahuan pesan terkirimlah ia meletakkan ponselnya kembali dan mengambil amplop cokelat tebal di sampingnya.
Tak butuh waktu lama hingga amplop cokelat itu dirobek terbuka, lalu Ryou menghitung lembaran dolar di dalamnya dengan cekatan. Alisnya sedikit melengkung saat ia selesai menghitung. Ia tertawa, pelan dan palsu, sebelum berbalik menghadap ranjang.
"Apa kau salah menghitung, Toudou-san? Ada $150 di sini, padahal aku hanya memasang tarif $100. Bahkan untuk tip, kurasa kau memberikan terlalu banyak."
"Aku hanya memberikan yang kau pantas dapatkan. Lagipula, hanya $50 tidak berarti banyak bagiku."
"Kau benar-benar membuatku iri!" Ryou kembali tergelak. Ia meletakkan lembaran dolar itu kembali ke atas meja dan seketika perilakunya berubah. Diawali dengan tatapan seduktif, ia kemudian merangkak naik ke atas ranjang, dengan sengaja menggoyangkan bokongnya di udara. Ia menelusuri tubuh polos Toudou perlahan sambil sesekali menggesekkan badannya, dan saat mereka telah sejajar, ia berbisik parau di telinga Toudou, "Untuk $50, kau bisa mendapatkan satu ronde lagi, Toudou-san dan bukankah kau beruntung? Aku sedang tidak membawa kondom cadangan."
Siapa pun tak mungkin menolak seduksi seperti itu, terutama saat dijanjikan kesempatan merasakan tubuh panas Ryou yang menekan tanpa pembatas apapun. Toudou menelan ludah, instingnya mengatakan ia tak seharusnya terjerat dalam permainan sang inkubus, tapi hasratnya tak lagi terbendung. Logika tak memiliki tempat di sini, maka ia memutuskan untuk kehilangan akal.
Tawa yang terdengar mengejek lepas dari bibir Ryou saat punggungnya menyentuh ranjang dengan keras. Manik matanya berkilat jenaka, tapi kemudian kelopaknya terpejam saat Toudou kembali memasuki liangnya dalam satu gerakan cepat. Ia memalingkan wajah, tak berniat berpartisipasi dalam babak tambahan ini. Pikirannya melayang jauh pada pengirim pesan di ponselnya dan tiba-tiba, dari celah gorden yang terbuka, ia merasa dapat melihat bintang di langit hitam yang mulai melemah.
To: Kise Ryouta
From: Aomine Daiki
Subject: (no subject)
Kise, kita harus bertemu. Luangkan jadwalmu yang padat dengan para klienmu. Beri aku kabar kapan dan di mana aku bisa menemuimu.
To: Aomine Daiki
From: Kise Ryouta
Subject: (no subject)
Posesif Aomine-cchi selalu membuatku berdebar~ temui aku besok, jam 1900 di tempat kerjaku. Jangan memakai seragammu. Kita akan membicarakan bayaranku di sana~
To: Kise Ryouta
From: Aomine Daiki
Subject: (no subject)
Candaanmu sungguh tak lucu.
Satu hal yang Aomine pahami: masa depan tidak selamanya menyenangkan. Ia bukan Kise yang sering membual tidak akan ada yang berubah di antara mereka di masa depan, tapi ia juga tidak pernah mengira perguliran waktu akan mengubah mereka seperti ini. Ironis, mengingat Kise, si optimis di antara mereka, justru menjadi yang paling berubah di antara mereka—dan bukan dalam pengertian yang baik.
Rasa bersalah selalu hadir tiap kali Aomine memikirkan hal itu. Jauh di dalam hatinya, ia merasa bertanggungjawab atas perubahan pada diri Kise dan jika bisa, mungkin ia sudah memutar aliran waktu untuk merombak kesalahannya. Bagaimanapun, hal itu mustahil Aomine lakukan, maka ia memutuskan untuk menyudahi pemikiran bodohnya saat gedung tempat Kise bekerja tampak di hadapannya.
Bekerja. Heh, bahkan tanpa disuarakan pun hal itu terdengar konyol. Kise memilih sebuah klub mewah yang tidak bisa dimasuki oleh sembarang orang sebagai tempat pertemuan mereka. Gedung itu dimiliki oleh kelompok yakuza paling berpengaruh di kota ini. Keamanan dan kerahasiaan menjadi barang dagang, bersama dengan gadis-gadis maupun pemuda-pemuda cantik yang bisa dipilih sesuka hati selama pembeli memiliki cukup uang untuk membayar mereka. Di gedung ini, Kise hanyalah salah satu komoditi dagang—dan ia menyebutnya bekerja. Kise memang tidak pernah bisa melucu.
Aomine menuruti saran Kise dan alih-alih memakai seragam polisinya, ia kini mengenakan setelan kemeja mahal dan celana bahan yang dilengkapi pantofel hitam. Ia terlihat seperti eksekutif dan merasa seperti pecundang. Tapi hal itu sepadan dengan kesempatan bertemu Kise yang ia dapatkan. Penjaga pintu memberhentikannya dan meminta identitas—Aomine memberikannya identitas palsu serta 'tiket masuk' yang Kise kirimkan lewat surel sebelumnya—sebelum membiarkannya masuk. Ketegangan di tubuh Aomine mengendur. Satu masalah telah teratasi.
Kakinya lantas melangkah mantap di atas lantai marmer yang mengkilap. Alunan melodi piano memanjakan telinganya, melatari dengung obrolan dari para tamu berpakaian mahal yang memenuhi ruangan. Aomine tidak menghabiskan waktu. Ia mengedarkan pandangan, mencari sosok pirang yang telah sangat ia kenal.
Sayangnya, menemukan Kise di antara kerumunan ini bukanlah hal yang mudah. Aomine menggeram dan ia sudah hendak mengambil ponsel untuk menghubungi Kise saat matanya menangkap sosok pemuda pirang itu di meja bar. Kedua tungkai Aomine melangkah cepat menuju bar, bibirnya terbuka untuk memanggil nama Kise—hanya untuk menelan perkataannya kembali saat ia melihat Kise tidak sendirian.
Tidak. Kise tidak sendirian. Lebih tepatnya, ia terlihat sibuk memagutkan bibir dengan orang asing berambut pirang-emas yang nyaris membuat Aomine buta. Di hadapannya, Aomine melihat Kise memejamkan mata, bibirnya terbuka dan Aomine membayangkan desahan terdengar saat ia menautkan lidahnya dengan orang asing itu. Udara di sekitar Aomine seolah menipis. Dadanya terasa sesak karena pasokan oksigen yang tiba-tiba dicuri darinya dan sesaat, ia mengira dunia telah tersapu dari bawah kakinya.
Tapi kemudian Kise membuka mata—perlahan, bulu mata lentiknya bergetar bak sayap rapuh kupu-kupu—dan tatapannya segera menemukan sosok Aomine. Tak sampai sedetik kemudian, iris cokelat madu berbinar senang. Kise melepaskan diri dari rengkuhan si pria asing tanpa membuang waktu dan berjalan—dengan lompatan kecil di tiap langkahnya—mendekati Aomine.
Satu bagian kecil dari Aomine mati saat melihatnya.
"Aomine-cchi!"
Tuhan, bukankah dunia sungguh tidak adil? Bahkan senyum dan keceriaan yang Kise tunjukkan saat melihatnya tidak berubah, seolah sebelumnya ia tidak baru saja membiarkan orang lain menjamah bibirnya. Aomine ingin mengoyak senyum itu dari wajah Kise, tapi di satu sisi ia bersyukur Kise yang ia kenal belum benar-benar mati. Senyum yang hadir di wajahnya tidak secerah lengkung di bibir Kise, tapi setidaknya itu sudah cukup bagi si pirang.
"Kau datang tepat waktu! Tumben sekali! Dan," Kise memindai penampilan Aomine dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan seksama, sebelum bersiul pelan. "kau terlihat sangat tampan dengan pakaian seperti ini! Benar-benar tampan, sampai aku tidak akan keberatan memberikanmu pelayanan gratis."
"Jangan berkata bodoh, Kise," Aomine menggerutu walaupun rona merah dapat terlihat samar di wajahnya; memancing tawa lepas dari Kise. Ia memutar bola matanya ringan sebelum mengacak helaian pirang Kise tanpa berpikir. Ia baru menyadari tindakannya itu bodoh saat tawa Kise dengan segera lenyap, tergantikan dengan kecanggungan yang menyelimuti mereka.
Aomine berdeham untuk menutupi kecanggungan itu. Ia menarik tangannya perlahan, menangkap sensasi saat tiap helaian pirang lolos dari sela-sela jemarinya. "Bisa kita bicara di tempat lain? Aku tidak suka bicara di tempat seramai ini." Ia mengedarkan pandangan lamat-lamat ke seluruh ruangan, menandai tatapan menyelidik dari hampir seluruh tamu di sana—dan yang sedikit membuat Aomine terkejut, beberapa bahkan terlihat ... cemburu?
"Ah, tunggu sebentar. Aku ingin memperkenalkanmu dengan seseorang." Senyum di wajah Kise telah kembali, hanya saja kali ini ada kesedihan yang membayangi senyum itu. Sayang, ia telah memalingkan wajah sebelum Aomine dapat menelisik alasan di balik kesedihan itu. Kise mengapit lengan si rambut biru dan setengah menariknya ke arah bar untuk memastikan Aomine tidak melarikan diri.
Erangan sebal hampir lolos dari Aomine kalau saja ia tidak menggigit bibir tepat pada waktunya. Kise, si bodoh itu, justru membawa Aomine tepat ke hadapan si pria asing yang sebelumnya mencumbunya. Seolah ia sengaja membuat Aomine kesal (walaupun sebetulnya Kise tidak mungkin tahu Aomine tidak menyukai pria itu. Lagipula, ia hanya menyimpan kekesalannya dalam hati).
"Al! Hey, can I go with this man for a while? I don't have any customer today!"
Kise membuka percakapan dalam bahasa Inggris yang sangat lancar, membuat Aomine menatapnya seolah baru pertama kali mengenal si pirang. Sejak kapan Kise begitu fasih berbahasa asing?!
"Are you sure you will be alright with this gentleman, Ryou?" Si pria asing—Al—bertanya dengan ringan. Seulas senyum tersimpul di wajahnya, suatu kontras dengan manik biru langitnya yang menatap Aomine dengan begitu dingin.
"It's fine, it's fine. I've known him since a long time and he won't suddenly kill me or anything. Besides, don't you think he has real delicious body, eh~?"
Lagi, Aomine dapat merasakan wajahnya memanas. Ia mungkin tidak sefasih Kise dalam berbahasa asing, tapi ia masih dapat memahami perkataan Kise—dan kalaupun tidak, lirikan nakal yang Kise berikan kepadanya memperjelas semuanya.
"You've always been so naughty," Al menghela napas berat seolah menyesali kelakuan Kise sebelum menyeringai. Nampaknya ia telah terbiasa menanggapi permintaan kekanakkan Kise. Ia akhirnya melepaskan Aomine dari tatapan dinginnya dan manik birunya berubah hangat saat bertemu pandang dengan manik cokelat madu Kise. "Just make sure you don't give him too much discount, okay? I'll see you tomorrow."
"Yes, sir, you got it, Sir!" Kise mengangguk mantap. "You're the best, Al. Thank you!" Lanjutnya sebelum sekali lagi menarik Aomine; kali ini menuju pelataran parkir.
Seulas senyum masih terlihat di wajah Al, tapi saat Kise telah benar-benar memunggunginya, senyum itu lenyap. Sekali lagi pandangannya bertumbuk dengan Aomine. "Take care of him for me, Boy. If you damage him, you can be sure I will ruin your life."
Kalimat itu nyaris tidak tertangkap oleh telinga Aomine, tapi peringatan dalam nada rendah Al lebih dari cukup untuk membuat Aomine yakin ia tidak main-main. Aomine mendelik ke arah pria asing itu, merasa kesal ia tidak dapat memberikan balasan karena keterbatasan bahasa. Pada akhirnya, ia hanya memberikan gestur kasar dengan tangannya sebelum menuruti tarikan dari Kise.
"Siapa dia?"
"Alphonse, maksudmu? Dia bosku, sekaligus pemilik klub tempatku bekerja. Aku menduga dia pemimpin keluarga mafia di Amerika yang bekerjasama dengan yakuza di sini, tapi secara personal, kurasa dia tidak terlalu kejam."
"Dia menjadikanmu komoditi dagang dan kau tetap menganggapnya tidak kejam. Hebat seka—tunggu, ini mobilmu? Kau mengendarai BMW?!"
"Mm, secara teknis, ini mobil Al; tapi dia selalu membiarkanku membawanya kapan pun aku mau. Jadi, secara tidak langsung ini mobilku."
"... Fuck. Kau pasti anak kesayangannya kalau dia sampai memberikanmu mobil semahal ini. Apa yang kauberikan sebagai balasan? Tubuhmu setiap malam? Atau ciuman seperti yang tadi kaubagi bersamanya?"
"... Aomine-cchi, kautahu kau terdengar seperti apa?"
"Ah? Apa maksudmu?"
"Kau terdengar seperti kekasih yang cemburu dan bukankah itu sangat lucu? Karena satu, kau bukan kekasihku dan dua, kau sendiri sudah punya istri, jadi sebaiknya kaututup mulut sialanmu dan segera naik atau aku akan meninggalkanmu di sini."
"... Aku tidak percaya akan mengatakan ini, tapi aku lebih menyukai Kise yang dulu."
"Selamat kalau begitu, karena kau sudah terlambat beberapa tahun dan Kise yang dulu kaukenal sudah tidak akan kembali."
Perjalanan mereka diiringi dengan kesunyian yang berat. Kise memfokuskan seluruh perhatiannya pada jalanan di hadapannya sedangkan Aomine memilih untuk menatap nanar ke luar jendela. Lampu kota berubah menjadi garis cahaya samar saat mobil Kise melaju kencang di jalanan aspal dan deru halus mobil itu hampir membuai Aomine. Sayangnya, sebelum kesadarannya sempat benar-benar menghilang, Kise telah berbelok menuju lingkungan apartemen mewah.
Ia tidak lagi terkejut saat Kise memarkirkan mobil dan menyuruhnya turun. Lagipula, bahkan sejak mereka masih SMA Kise telah memiliki apartemen mewah karena pekerjaannya sebagai model. Melihat Kise dikelilingi kemewahan bukan lagi hal yang baru baginya. Aomine mengikuti Kise saat ia menaiki lift menuju lantai 10 dan menunggu dengan sabar saat Kise membuka pintu apartemennya dan memasukan kode keamanan.
Apartemen yang gelap segera berubah cerah saat Kise menyalakan lampu ruangan. Ia mengganti sepatunya dengan sandal dalam ruangan, memastikan Aomine melakukan hal yang sama, sebelum melangkah masuk melewati genkan.
"Kita bisa bicara di ruang tamu, kalau kau mau."
Aomine mengangguk menyetujui saran Kise. Ia mengekor di belakang si tuan rumah saat Kise menunjukkan jalan ke ruang tamu yang tiga kali lebih besar dari ruang tamu di rumah Aomine. Ia mengedarkan pandangan, mencatat bahwa walaupun luas, tapi apartemen Kise hampir terlihat tidak ditinggali. Tidak ada televisi ataupun rak buku di sana. Pigura-Pigura foto yang Aomine kira akan ia temukan pun sama sekali tidak terlihat dan bahkan tidak ada karpet yang melapisi lantai apartemen itu. Furnitur yang ada di sana hanyalah sepasang sofa kulit berwarna hitam dan meja kaca panjang yang ada di tengah ruangan. Selebihnya, ruang tamu itu hanyalah sebuah ruangan luas yang terlihat kosong dengan meja bar dan pintu partisi dengan kaca buram yang membatasinya dengan dapur.
"Duduk saja dulu. Aku akan mengambil minuman. Bir atau air mineral, mana yang kau mau?"
"Air mineral. Aku tidak ke sini untuk bertamu, Kise."
"Oh, ya. Terima kasih telah mengingatkanku soal itu. Untung saja aku tidak repot-repot menyiapkan kudapan." Kise menjawab sarkastis sebelum menghilang di balik pintu partisi menuju dapur.
Setelah itu, Aomine mengambil tempat di salah satu sofa kulit yang ada di ruangan. Perhatiannya dengan segera teralihkan oleh botol obat tanpa label yang ada di atas meja kaca di hadapannya. Penasaran, ia mengambil botol obat itu dan membukanya. Ia mengendus isi botol itu sekali, hidungnya segera mengernyit setelahnya. Bau itu familiar. Kecurigaannya bertambah; Aomine lantas menuang satu tablet putih tanpa pengenal dari dalam botol dan mengusapkan jari di permukaan tablet sebelum mencicipi serbuk putih yang menempel di ujung jarinya.
Dugaannya benar. Benda yang ada di tangannya adalah sebotol penuh ekstasi.
"Kau tahu, mengambil barang orang lain tanpa izin pemiliknya bisa dianggap tindak kriminal."
Suara tenang Kise terdengar dari depan pintu partisi, membuat Aomine sontak menoleh ke arahnya. Manik biru laut Aomine bertemu dengan bola-bola cokelat madu. Rahang Aomine mengeras, kedua alisnya bertaut dan tangannya meremas botol obat di genggamannya dengan semakin kuat.
"Tapi sebelum kaubisa menuntutku, aku sudah akan menangkapmu." Ia berkata, suaranya rendah dan berbahaya tapi Kise bahkan tidak berkedip di bawah tatapan intimidasinya. "Aku tidak tahu kau memakai obat-obatan, Kise."
"Yah, sayangnya, ada banyak yang tidak kauketahui tentangku sekarang, Aomine-cchi," Kise mengedikkan bahu. Ia mengambil tempat di sebelah Aomine, memastikan ada cukup jaral di antara mereka, sebelum meletakkan botol air mineral di atas meja dan mengambil botol obat dari tangan Aomine. "Lagipula, apa pedulimu kalau aku menjadi pecandu? Sebelum ini, kau tidak pernah menghubungiku selama tiga tahun terakhir, jadi kurasa kau tak punya hak bertingkah seperti kau memikirkanku. "
Perkataan Kise disampaikan dengan ringan, tapi tetap terasa menusuk. Aomine tidak dapat menyembunyikan ekspresi terlukanya, karena kebenaran yang terkandung dalam kalimat itu terlalu berat untuk diakui olehnya. Pada akhirnya, ia memutuskan untuk memalingkan wajah, tidak ingin Kise melihat raut wajahnya yang kacau. Seharusnya ia ingat hubungan mereka kini telah berubah. Karena itu, percuma saja Aomine menyangkal perkataan Kise—lagipula ia benar, sudah terlambat beberapa tahun baginya untuk mengatakan ia selalu memikirkan Kise. Bahkan sejak perpisahan mereka tiga tahun lalu, tak pernah sekali pun Kise meninggalkan pikirannya.
Jika ia mengatakan semua itu sekarang, Aomine tahu Kise hanya akan menertawakannya.
Di sisinya, Kise mengesah berat. "Sudahlah. Kau tidak datang ke sini untuk berargumen. Apa yang kaubutuhkan dariku, Aomine-cchi? Aku yakin kauingin cepat-cepat menyelesaikan urusanmu denganku."
Aomine menelan ludah—dan semua penyangkalan lain yang mendesak untuk dimuntahkan—dengan susah payah. Ia mengangguk kecil sebelum mengeluarkan beberapa lembar foto yang ia simpan di saku celananya. Alasan utama mengapa ia menemui Kise sebagai salah satu detektif di departemen pembunuhan di kepolisian. "Foto-foto ini diambil dari kasus pembunuhan terbuka yang baru-baru ini terjadi," ia mulai menjelaskan, menyebarkan foto-foto itu di atas meja. "Total sudah ada tiga korban yang ditemukan. Semuanya pemuda berusia akhir belasan sampai awal dua puluhan tahun. Berambut cokelat hingga pirang tua dengan iris cokelat hingga hazel. Semua korban memiliki ciri fisik yang sama, membuat kami curiga pelaku memiliki gambaran sosok ideal di benaknya. Selain itu, semua korban juga ditemukan dalam posisi yang sama—menegaskan dugaan pelakunya satu orang."
"Mm, tubuh mereka memang disusun dengan sangat rapi ... dan apa itu yang mereka pegang? Setangkai mawar hitam?" Kise bertanya. Ia memicingkan mata melihat salah satu foto di tangannya. Ekspresi wajahnya sama sekali tidak berubah sekalipun melihat dokumentasi asli perkara kriminal, seolah ia sudah terbiasa melihat pemandangan mengerikan seperti itu.
"Ya, seperti yang kaulihat, semua korban diatur seperti tertidur lelap dengan setangkai mawar hitam tersematkan di antara tangan mereka."
"Hmm," Kise kembali meletakkan foto-foto yang telah selesai ia lihat di atas meja. "Lalu? Kenapa kau meminta bantuanku untuk kasus ini?"
"Well, selain karena semua korban memiliki penampilan fisik yang mirip denganmu, ada satu persamaan lain dari para korban yang membuatku segera mengingatmu: mereka semua bekerja sebagai pelacur."
Bibir Kise terkulum dalam senyum geli. "Nampaknya kau mendapat kasus Jack The Ripper jaman modern, Aomine-cchi~"
"Ya, hanya saja Jack The Ripper kali ini sedikit lebih sopan dengan tidak mencincang para korbannya." Balas Aomine. Ia sudah menduga Kise akan mengatakan hal itu.
"Dan dia lebih menyukai sodomi!" Kise tergelak. "Tapi, tidak. Kurasa ini bukan kasus Jack The Ripper." Ia bergumam, pandangannya kembali memindai foto-foto di atas meja. Ia sedikit memiringkan kepala sebelum melanjutkan, "Ah, seperti dugaanku. Kondisi tubuh para korban lebih mengingatkanku kepada Putri Tidur."
"Putri Tidur? Maksudmu salah satu dongeng anak-anak buatan Disney itu?"
"... Oh, Aomine-cchi, aku benar-benar takjub kebodohanmu sama sekali tidak berubah." Kise menghela napas berat, mengabaikan protes dari Aomine yang merasa terhina, dan mulai menjelaskan, "Putri Tidur bukan hanya cerita yang dibuat oleh Disney. Cerita itu aslinya didongengkan oleh Grimm Brothers dan versi asli cerita itu jauh lebih gelap dari konsep happily ever after yang Disney berikan. Oh, apakah para korban diperkosa sebelum dibunuh?"
Aomine memicingkan mata. "… Tidak. Maksudku, memang ada tanda-tanda hubungan seksual pada tubuh korban, tapi nampaknya hal itu dilakukan secara konsensual. Tidak ada sobekan pada dinding anus korban dan sayangnya kami tidak bisa mendapatkan sampel sperma yang signifikan. Dari mana kau tahu soal itu? Kurasa hal ini belum diberitakan kepada publik."
"Hanya tebakan yang berlandaskan sedikit pengetahuan tentang dongeng anak-anak. Kautahu cerita asli Putri Tidur, Aomine-cchi?" Kise bertanya, walaupun ia sudah dapat menebak jawabannya. Ia tidak terlalu terkejut saat Aomine menggeleng dan memutuskan untuk melanjutkan, "di cerita aslinya, Putri Tidur tidak terbangun karena ciuman pangeran. Alih-alih, pangeran mengambil kesempatan itu untuk memerkosa sang putri. Sembilan bulan kemudian, sang putri melahirkan dua anak kembar—masih dalam keadaan tertidur. Satu-satunya alasan dia bisa terbangun karena salah satu anaknya mengisap jarinya saat lapar, dengan demikian secara tidak sadar bayi itu telah mengeluarkan duri beracun yang membuat sang putri tertidur.
"Aku hanya menduga si pelaku akan menitikberatkan masalah itu, mengingat para korbannya adalah pelacur. Lagipula, bukankah menurutmu ada ironi yang manis di sana? Cerita Putri Tidur benar-benar dongeng yang paling tepat bagi kami."
"Bagaimana dengan mawar hitam yang ditinggalkan di tubuh korban, kalau begitu? Apa dongeng asli Putri Tidur juga mencantumkan hal itu?"
"Tidak, tapi menurutku mawar diambil dari adaptasi Disney mengenai cerita itu. Kalau aku tidak salah ingat, Putri Aurora sering disamakan dengan mawar, karena itulah sang penyihir melindungi kastil dengan batang mawar yang penuh duri. Sejujurnya, aku justru mengkhawatirkan pemilihan warna mawar yang ditinggalkan."
"Mawar hitam? Memangnya kenapa dengan itu?"
"Pengertian kasar mawar hitam adalah 'Kau milikku selamanya', Aomine-cchi. Jadi kurasa kau sedang berhadapan dengan maniak yang tidak akan berhenti membunuh sampai dia menemukan targetnya yang sebenarnya."
Mereka membicarakan mengenai kasus itu untuk beberapa lama, saling melontarkan dugaan dan teori-teori yang mungkin akan membawa mereka lebih dekat ke identitas pelaku, tapi percuma. Tidak ada cukup petunjuk yang bisa didapatkan dari tubuh korban dan, sekejam apapun kalimat ini terdengar, mereka tidak akan bisa melanjutkan penyelidikan hingga ada korban baru yang mungkin akan memberikan petunjuk baru. Setelah beberapa jam menemui jalan buntu, mereka akhirnya sepakat untuk menyudahi pembahasan mereka saat ini.
Kise menyandarkan punggung ke sofa dengan erangan pelan. Ekspresinya terlihat frustrasi karena tidak bisa menemukan jawaban. "Aku akan mencoba mengumpulkan informasi dari para kolegaku dan menyebarkan peringatan, kalau itu tidak masalah?" Kise bertanya sebelum mengambil botol air mineral miliknya. Tenggorokannya terasa kering karena terlalu banyak bicara.
Sambil membereskan kembali foto-foto para korban, Aomine mengangguk. "Tentu. Hanya saja, kalau bisa aku ingin kau tidak menimbulkan kepanikan. Dan aku akan sangat tertolong kalau kau bisa segera menghubungiku jika menemukan informasi baru."
"Akan kucoba, walaupun mungkin itu akan sedikit sulit. Jadwalku sangat padat, aku tidak yakin akan dapat menghubungimu tanpa membuat para klienku curiga."
"Masukkan aku dalam jadwalmu, kalau begitu. Jadikan aku salah satu klienmu. Dengan begitu, tidak akan ada yang curiga walaupun kau sering bertemu denganku."
Kedua alis Kise merengut. "Kautahu itu berarti kau harus benar-benar membayarku tunai. Apa kau yakin bisa membeliku, Aomine-cchi?"
"Departemenku mendapat biaya untuk penyelidikan ini. Aku yakin mereka akan setuju memberikanku bantuan dana selama itu bisa membantu kami mendapatkan informasi." Ia menoleh ke Kise. "Bicara soal biaya, kaubilang aku harus membayarmu untuk pertemuan ini. Jadi, berapa yang kauminta? Kuharap tidak terlalu mahal, karena untuk kali ini aku harus menggunakan dana pribadiku."
"Oh, aku tidak ingin kau membayarku dengan uang, Aomine-cchi. Karena jujur saja, penghasilanmu selama sebulan pun tidak akan sanggup membeliku."
"Lalu apa yang kau mau? Aku tidak ingin berutang kepadamu."
Perlahan, seulas senyum yang terlihat berbahaya terukir di wajah Kise. Ia menyapu lidah perlahan pada bibirnya; pupilnya melebar menunjukkan hasratnya yang mulai meningkat. Melihat itu, sebuah tanda peringatan menyala nyaring di dalam kepala Aomine.
"Blowjob, Aomine-cchi," Kise mendengkur seperti kucing yang puas. "Aku ingin kau membiarkanku memberikanmu blowjob sebagai bayaran."
Untuk sesaat, jantung Aomine seolah berhenti berdetak.
Jika ditanya, Aomine tidak akan bisa menjawab kapan tepatnya Kise berubah. Mereka memang cukup dekat saat masa-masa sekolah—kekalahan menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi mereka semua—tapi kemudian saat mereka memasuki jenjang kuliah, para Kiseki no Sedai semakin terpencar. Meskipun mereka masih menyempatkan bertemu setiap sebulan sekali, tapi jarak dan kesibukan masing-masing telah meregangkan hubungan mereka. Diantara para teman-teman Kiseki no Sedai-nya, Aomine merasa paling dekat dengan Kise (dan Momoi, sebetulnya, tapi gadis itu sudah bersama dengannya sejak kecil, jadi ia tidak masuk hitungan) dan mereka mencoba mempertahankan korespodensi melalui surel ataupun telepon singkat. Tapi tetap saja pertemanan mereka pun terasa mulai berat.
Terutama karena Kise menyukai Aomine—dalam taraf lebih dari sekadar teman—dan mereka berdua mengetahui kenyataan itu dengan baik. Kise telah menyatakan perasaannya kepada Aomine lebih dari sekali, tapi setiap saat pengakuannya hanya ditepis ringan oleh pemuda tan itu. Aomine tidak menolaknya, tapi ia tidak juga menerima perasaan Kise. Kemudian, tiga tahun yang lalu Aomine memutuskan untuk menikah dengan Momoi.
Ia tidak memberitahukan keputusannya kepada Kise; tidak cukup tega mematahkan harapan rival nomor satunya itu, sampai akhirnya Momoi mengirimkan undangan pernikahan mereka kepada sang model. Kise tidak hadir di pernikahan mereka. Ia hanya mengirimkan surel yang isinya sebagian besar omong kosong dan Aomine tidak pernah lagi bertemu dengan Kise—sampai ia ditempatkan di departemen barunya dan mendengar berita mengenai klub tempat Kise bekerja.
Sejujurnya, Aomine bukannya tidak menyukai Kise—karena kalau ia memang membenci pemuda itu, Aomine pasti sudah menghindarinya sejak awal Kise menyatakan perasaannya—hanya saja, selama ini Aomine dibesarkan di keluarga konvensional. Homoseksualitas masih menjadi hal tabu baginya dan sebagai anak tunggal, Aomine tidak ingin mengecewakan kedua orangtuanya. Karena itu ia mengambil pilihan yang nampak pasti: menikahi Momoi, teman masa kecilnya, menjadi polisi dan kemudian membesarkan keluarga.
Hanya saja, ia tidak pernah menyangka setiap malam bayang-bayang Kise selalu hadir dalam bunga tidurnya, membuatnya terbakar hasrat melebihi apa yang dirasakannya kepada Momoi—istrinya sendiri.
Mungkin seharusnya sejak awal Aomine tidak membohongi dirinya sendiri. Karena sejak ia paham Kise tidak akan pernah lagi menjadi miliknya, perasaannya terhadap pemuda itu justru mengendap dan menjadi semakin poten. Kini Aomine selalu bercinta dengan Momoi dalam kamar yang gelap, membayangkan surai yang terurai di atas ranjang berwarna pirang alih-alih merah muda. Pengingkaran justru membuat hasrat Aomine terhadap Kise semakin besar dan mungkin karena itulah ia tidak menolak saat Kise menuntunnya menuju kamar.
Ia tidak menyangka Aomine akan menyetujui permintaannya. Sama sekali tidak.
Karena itu, debar jantungnya yang seolah ingin berlari keluar dari kurungan rongga dadanya saat ia menuntun Aomine ke kamar tidurnya dapat dimaafkan. Imajinasi Kise bermain liar. Ia telah mendambakan kesempatan seperti ini sejak dulu, namun moral dan etika dulu membatasinya dan kini, mengingat adanya cincin yang melingkari jari manis Aomine, ia hampir memupuskan harapan.
Tapi, lihatlah. Di sini ia sekarang, berlutut di depan ranjang tempat Aomine duduk dengan sedikit canggung. Dari posisinya sekarang, Kise hampir sejajar dengan selangkang Aomine; ia dapat melihat dengan jelas bahwa di balik kegugupannya, Aomine juga mengantisipasi apa yang akan ia lakukan. Saliva memenuhi mulut Kise. Ia menelannya dengan susah payah dan, oh, betapa inginnya ia mencumbu Aomine, mencurahkan semua perasaannya yang tidak pernah hilang (tidak, tidak hilang; hanya terkubur dalam) hingga Aomine tidak akan dapat lepas dari cengkeramannya.
Bayangan seorang gadis jelita yang tersenyum manis lalu berkelebat di mata benaknya, membuat Kise sadar ia hampir menjadi terlalu serakah. Seulas senyum selalu menjadi pertahanan utama Kise melawan kekecewaan dan kali ini pun sama saja. Ia meletakkan tangan di atas lutut Aomine yang masih terbungkus celana, jemarinya mengusap perlahan, membuat tubuh Aomine semakin tegang.
"Aku sudah memimpikan hal ini sejak lama, Aomine-cchi," ia mengaku dalam bisikan. Bahkan hanya berada sedekat ini dengan Aomine saja telah membuatnya bersemangat. Ia lalu mendekatkan wajah ke selangkang Aomine, meniupkan napasnya di atas kejantanan Aomine yang masih tertutup dan menyeringai saat seluruh tubuh Aomine terlonjak karena sensasi yang ia rasakan.
"Tenanglah. Aku akan membuatmu merasa sangat nikmat."
Nada suara Kise menjadi semakin dalam—hampir menyerupai geraman—saat ia membuka kancing celana bahan Aomine dengan cekatan dan menurunkan celana itu hingga ke pergelangan kaki Aomine, mengekspos celana dalam hitam Aomine. Ia baru hendak mengekspos Aomine seutuhnya saat jemari yang kasar karena pekerjaan secara tentatif mengusap puncak kepalanya. Sentuhan itu membuat Kise menengadah, hanya untuk menatap Aomine yang terlihat sedikit ragu.
"Aku tidak memakai proteksi, Kise. Apa kau tidak punya kondom di sini?"
Manik cokelat madu Kise mengerjap mendengar perkataan Aomine. Ia terkekeh, secara tulus merasa terhibur (dan mungkin sedikit tersentuh) oleh kekhawatiran Aomine. "Tentu aku punya kondom di sini, Aomine-cchi. Dengan pekerjaanku, aku harus punya persediaan kondom setiap saat. Tapi kau berbeda. Kau tidak pernah berselingkuh dari Momo-cchi sebelumnya, yang berarti kau tidak mungkin mengidap STD dan tidak ada STD yang ditularkan hanya melalui saliva, jadi kau tidak usah khawatir." Lagipula, Kise telah mendambakan Aomine untuk bertahun-tahun, ia tidak ingin hanya mencicipi karet yang alot sekarang.
Sementara ia berbicara, tangan Kise mulai menurunkan celana dalam Aomine. Perlahan, seolah ia ingin menyiksa mereka berdua, hingga akhirnya kejantanan Aomine yang hampir tegang terekspos sempurna. Mulut Kise kembali dipenuhi oleh saliva. Pikirannya tersapu oleh keinginan primal untuk mencicip yang seolah menguasainya dan sebelum otaknya dapat memberikan perintah pada tubuhnya, Kise telah merunduk untuk mencium kepala kejantanan Aomine.
Suara erangan yang terdengar selanjutnya tidak hanya berasal dari Aomine. Kise memejamkan mata saat akhirnya ia dapat mencicipi Aomine (walaupun sesungguhnya rasa asin daging Aomine tidak jauh berbeda dari rasa para kliennya). Ia membuka mulut sebelum mengulum hanya kepala kejantanan Aomine yang kini telah ereksi sempurna. Sebelah tangannya yang bebas menekan ereksinya sendiri di balik celana jins yang ia gunakan, berusaha menahan klimaksnya.
Dari atasnya, Aomine merutuk kasar. Ia berusaha untuk mematri sosok Kise saat ini dalam ingatannya, tapi sensasi kenikmatan yang ia rasakan membuatnya tak kuasa membuka mata. Blowjob bukan hal yang asing baginya, tapi semua pengalaman yang pernah ia dapatkan sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan cara Kise memberikannya kenikmatan. Tanpa kesadaran, kedua tangannya telah menggenggam kepala Kise, memberikan sedikit dorongan agar si pirang menelannya lebih dalam—dan Aomine sama sekali tidak merasa malu dengan lenguhan yang ia hasilkan saat Kise menurut.
Berat ereksi Aomine di dalam mulutnya terasa begitu tepat. Kise tahu saliva telah membasahi rahang dan dagunya—bahwa ia terlihat sangat berantakan—tapi saat ini ia tidak peduli. Ia justru mengendurkan rahang, membawa Aomine masuk semakin dalam, melawan gag reflex yang hadir saat daging Aomine menyentuh pangkal kerongkongannya dan tidak berhenti sampai ia merasakan hidungnya menyentuh rambut pubis Aomine. Kise hanya menarik diri saat ia butuh bernapas, lidahnya mengambil kesempatan menyusuri urat-urat nadi yang mengitari ereksi Aomine.
"Fuck—Kise ... aku tak akan bertahan lama!"
Jemari Aomine mengepal helaian pirangnya dengan sangat kuat. Kise mendesah di sekitar ereksi Aomine, dengan lihai membuka celananya sendiri hingga ia dapat memompa ereksinya yang sudah basah bersamaan dengan isapannya pada kejantanan Aomine. Mereka berdua tidak akan bertahan lama. Bertahun-tahun imajinasi liar akhirnya terealisasikan dan kenikmatan yang mereka rasakan tidak mungkin dapat dibendung.
Kenyataan perbuatan mereka saat ini terhitung tabu dan penuh dosa hanya menambah hasrat mereka. Aomine mengerang saat pikiran itu hadir. Ia mendorong kepala Kise hingga seluruh ereksinya kembali tertelan dalam rongga mulut Kise yang hangat, basah dan—Oh!—saat Kise mengisap kuat, segala inti pembentuk persona Aomine pun terurai. Ia mencapai klimaks saat itu juga; cairan semennya dengan segera tertelan oleh sang inkubus pirang.
Desahan puas dapat terdengar dari Kise. Ia menjilati kejantanan Aomine yang kembali lemas hingga tidak ada semen menempel di sana sebelum melepaskannya. Tangannya yang memompa dirinya sendiri bergerak semakin cepat. Kedua matanya terpejam dan dengan bayangan wajah Aomine yang mencapai klimaks di benaknya, Kise pun akhirnya ikut tersapu dalam klimaksnya sendiri.
Setelahnya, Kise berbaring di atas ranjangnya. Sendirian. Di luar, suara hujan mengguyur kota dengan deras dapat terdengar, diiringi oleh gemuruh petir yang menggelegar. Semua itu seolah tidak memengaruhi Kise. Pandangan matanya terlihat kosong; ia bahkan tidak peduli dengan kegelapan pekat yang menguasai kamarnya. Bau seks masih tercium kuat di kamar, tapi ranjang Kise terasa dingin. Tidak ada lagi tanda-tanda Aomine sempat hadir di sana.
Kise memejamkan mata, mencoba menekan kekecewaan dan luapan emosi yang kembali menguasainya. Lagipula, apa yang bisa ia harapkan? Sejak awal ia tahu Aomine hanya akan bersamanya sebagai bagian dari perjanjian mereka. Aomine hanya menggunakan jasa Kise, seperti semua kliennya, hanya saja ia tidak membayar Kise dengan uang—tapi dengan seks. Seulas senyum satir terbentuk. Kise diam-diam mengucapkan selamat pada dirinya sendiri yang telah mengubah Aomine Daiki menjadi pelacur sepertinya.
Lagi, ia dapat merasakan perih air mata menusuk kelopaknya yang terpejam. Seperti malam-malam sebelumnya, air mata selalu merayu Kise untuk terjatuh dalam pelukan kesedihan, menggoda dengan manja agar ia terlelap dalam tidur yang dalam—terus dan terus terlelap hingga ia akan benar-benar tenggelam.
Malam demi malam demi malam. Tidak pernah berubah. Mungkin seharusnya ia tahu lebih baik. Ia tidak akan bisa mendapatkan apa yang ia inginkan; sosok Aomine sama seperti kunci emas atau bulan perak baginya—tak akan bisa tergapai. Kise hanya Si Bodoh yang tak tahu kapan harus menyerah, alih-alih bersedia melakukan apa saja untuk mendapatkan keinginannya. Satu bulir air mata kembali meninggalkan jejak di pipinya. Kise menarik napas gemetar sebelum tangannya mencari-cari botol obat yang ada di meja samping ranjang. Segera setelah menemukannya, Kise menarik tubuh hingga terduduk sebelum mengeluarkan dua tablet putih. Kembali senyum satir hadir di wajahnya.
Harapan Kise hanya satu: ia menunggu kedatangan pangeran yang akan membuat segalanya lebih baik, seperti dalam cerita Putri Salju. Hanya saja, ia tidak yakin pangerannya akan datang karena orang sepertinya tidak pantas mendapat akhir yang bahagia. Dan jika harapan diibaratkan seperti nyala api lilin yang selalu dapat padam sewaktu-waktu, maka tablet putih di tangannya adalah bensin yang ia butuhkan untuk menjaga lilinnya tetap menyala. Kise tak dapat kehilangan harapan—karena itulah satu-satunya penopang hidupnya sekarang—sehingga ia memutuskan untuk membangun sangkar delusi bagi dirinya sendiri, mencerabut sayap-sayapnya dengan kedua tangannya sendiri hingga Sang Pangeran datang untuknya atau kematian lebih dulu menjemputnya.
Ia menelan kedua tablet di tangannya, lantas menyandarkan punggung pada kepala ranjang. Kegelapan mengepungnya dengan semakin liar dan ia siap menari bersama delusinya sekarang.
To be Continued ...
