I have original character of my story. Since it's at ffn, no doubt I must borrow some character from one of anime in this world (without permission of course).

.

Aku tidak tahu jika aku berharga bagi orang lain. Aku tidak tahu siapa yang tidak tahu bila ada yang hal yang sangat pasti dan paling aku ketahui, aku memiliki perasaan rumit yang sulit aku ungkapkan kepadamu.

.

Degdeg! Degdeg..degdeg…

Detak kehidupan menggema diantara dinding ada nyawa dalam detakan yang di sentuh oleh yang nyaris mati, bangkit kembali oleh sebuah sentuhan lembut. Sentuhan yang ku kira dapat membunuh sebuah detak lemah.

Ku terawang awan dan bertanya-tanya apakah ini nyata? Aku dapat mendengar hentakan demi hentakan jantung. Ini seolah mimpi. Namun rasa hangat dari cairan merah yang berceceran diman-mana menjelaskan padaku bahwa ini sama sekali bukan mimpi. Ku gerakkan tangan, menggapai udara kosong seolah ingin menyentuh langit jingga. Aku paham ini bukan mimpi. Jika pun ini mimpi, maka ini mimpi yang terasa sangat nyata. Suara dunia redam, hanya tersisa aku dan detak jantungku.

Degdeg…

"daijobou ka?"

.

C A R D I O I D

Perlahan aku memutar bola mata ke asal suara yang memanggil-manggil namaku. Lalu... degdeg..deg..deg… tanpa alasan pasti, getaran kecil terasa dalam dada. Sampai berdetik-detik kemudian sebuah hentakan lemah tercipta. Sangat lemah sampai aku takut detak itu menghilang. Menggema-gema detak tersebut di telingaku. Ini kah keajaiban setelah rasanya aku tak bernafas selama beberapa detik? Namun getaran demi getaran dalam dada menyadarkanku bahwa detak lemah ini merupakan bagian dari kehidupan.

.degdeg..degdeg..

Jika keajaiban tidak ada, aku pikir ini karena kekuatan keinginan hidupku yang begitu besar. Bagaimana hatiku memaksa jantung untuk berdetak kembali. Dorongan dan tekad yang kuat. Mungkin begitulah tepatnya yang harus ku katakan.

"…d-dai..jo..bou…. desu…"

Perputaran waktu detik berpindah tempat. Pasir dari jam pasir mulai menghambur bebas. Darah-darah yang melumuri tubuhku menguap bebas sealunan arah angin. Membawanya terbang entah kemana. Menjelaskan bahwa ini adalah salah satu bentuk ucapan selamat datang kembali kepada jantung ku. Ini membuatku terpaksa menghias wajah dengan senyuman kecil. Tak peduli apakah senyuman ini manis atau tidak. Tak peduli apakah aku pantas tersenyum atau tidak.

Ku genggam kuat-kuat ponsel orange di benda ini yang membuatku terluka sekaligus yang membuatku bertahan dalam luka itu sendiri.

.

.

.

"Adakah dia peduli padaku?"

.

Hening mengisi penuh ruangan. Tanpa sadar, ia mengharapkan sesuatu yang lebih dari orang-orang yang sengaja datang menjenguknya. Mungkin mereka akan memberi banyak buah, makanan atau lebih baik jika mereka memberi uang. Bukan, bukan, bukan tentang itu!

Kawanan gagak mulai berkoar seiring sayap mereka yang tak berhenti mengepak. Menandakan bahwa sore akan segera berganti. Selama 3 hari ia tetap menungu seperti ini, duduk diam di kasur sambil melihat keluar jendela. Berharap ada seseorang yang diinginkannya datang menjenguk, atau setidaknya orang itu lewat di depan rumahnya. Itu sudah dalam garis ternyata, orang yang diinginkan tidak pernah juga tidak pernah mengetahui atas kondisinya saat menyedihkan.

"Karin, sudah minum obat?"

Ia melirik sendu sosok lembut yang senantiasa selama 3 hari ini merawatnya tanpa pamrih. Kemudian Karin mengangguk lemah sebagai jawaban.

"apa yang masih terasa sakit? Tanganmu masih sakit, nak?"

Kali ini Karin diam. Matanya kosong seperti boneka beruang di sampingnya. Pertanyaan itu adalah pertanyaan biasa, tetapi secara tidak langsung telah menghubungkan ke dimensi lain, ke maksud yang lain. Dimana luka yang ia dapat adalah karena orang yang paling diinginkannya. Dimana tubuhnya bergerak sendiri untuk melakukan hal yang bodoh demi orang tersebut.

"nee, Okaachan, tolong ambilkan ponsel." akhirnya kata Karin, mengabaikan pertanyaan sang ibu. Meski khawatir dan merasa curiga ada sesuatu hal yang di sembunyikan, Sang Ibu tetap menurut karena ini adalah permintaan dari putri bungsunya.

Ruangan kembali hening setalah ibu pergi meninggalkan Karin bersama ponsel berstrap boneka hujan. Ada sebuah pertimbangan dalam otak Karin, antara menghubungi secara langsung orang yang paling diinginkan, atau membuat sebuah rekayasa yang secara tidak langsung menghubungi orang yang diinginkan.

Di genggamnya lemah ponsel flap berwarna orange tersebut. Tangannya sedikit gemetar. Sampai akhirnya ia mengetik beberapa kata lalu tak lama setelah itu…

"Isamine Karin Membosankan. Selama tiga hari duduk diam tanpa bisa menggerakan tangan kanan."

Karin menghela nafas panjang-panjang. Berharapa orang yang diinginkannya memberi komentar pada status facebooknya yang paling terbaru. Kapan itu terjadi? Entah kapan. Semoga secepatnya (bila itu terjadi).

.

Ini sederhana, tetapi rumit…

Bisakah kau mengerti?

.

Seisi kelas ribut setelah 3 hari keabsenanku karena kecelakaan. Satu persatu dari mereka mulai bertanya-tanya meski 2 hari yang lalu mereka telah menjenguk sekaligus menanyakan hal yang sama. Terlebih aku sudah cukup menarik banyak perhatian dengan sebelah tangan yang beberapa pertanyaan yang ku tidak dalam mood yang bagus. Mauku, tidak ingin berbicara sama sekali. Tapi tentu, aku tidak bisa harus menjaga sikap agar tetap ramah.

Ku lihat bangku di kanan belakangku, kosong. Padahal sudah jam segini. Aku yakin betul penghuni bangku tersebut bukan tipe orang , dia tidak masuk sekolah? Ya, sepertinya aku bertanya, tetapi nampaknya tidak bisa mengundang bisa mengetahui sebuah kebenaran yang tak ingin ku orang yang duduk di bangku itu dan tentang tangan ini.

.

Hari ini waktu berjalan cepat. Sampai aku tidak bisa mengejar apa yang guru terangkan. Terlebih teman-teman dekatku yang mayoritas adalah anak-anak jail, sering kali mengajakku bercanda saat pelajaran berlangsung. Satu hal yang membuat hari ini terasa lama ; keberadaan orang itu. Orang yang duduk di belakang samping , dia tak mungkin datang pada jam segini, setelah jam istirahat pertama berakhir.

Dang..deng..dong…deng..dong..

Lonceng sekolah yang sangat ku rindukan akhirnya menggema di antara dinding-dinding keagungan yang konon katanya lonceng tersebut sudah berusia lebih dari seratus tahun.

"KARIN!" Jantungku menghentak keras selama beberapa aku ada sesuatu yang hendak membuang tatapan ketika seseorang dengan wajah ceria menggebrak mejaku."Kenapa kau tidak ikut ke kantin bersama ku, huh?"

Aku diam sejanak dan menghela nafas panjang, lalu berkata "aku malas harus berexciting ria hari ini bersamamu."

Mimik muka Sakura berubah menjadi syok yang dibuat-buat."Kau bosan melakukan aktifitas yang seperti menghirup oksigen, HAH?"

Aku mendesis kesal."Kau bisa diam tidak?" aku karena agar dia mengerti aku sedang ingin , Sakura dan dua kawan lainnya berteman sudah hampir 2 tahun menjalin hubungan pertemanan yang cukup dekat, dan hal rebut-ribut seperti ini biasa aku lakukan bersama teman-teman. Jadi, kami selalu menganggap enteng ketika ada teman lain yang marah. Karena dia tidak akan bertahan lama dengan rasa marahnya. Yaa, begitulah…

"baik, baik, si Karin sedang berubah ke dalam mode perempuan. Jangan ganggu dia!"kataIno sambil mengajak yang lainnya berlalu pergi. Aku dkk terkenal berkelakuan non perempuan. Berlebihan atau tidak, orang-orang—termasuk kami sendiri—akan menganggap aneh bila sedikit saja kami bersikap lembut.

Tepat sebelum Sakura dkk melangkah lebih jauh dari mejaku, pintu kelas terbuka yang belum duduk di bangku masing-masing segera mempercepat langkah. Memburu bangku masing-masing seolah mereka akan mati jika terlambat sedetik saja.

Pelajaran apapun sekarang, sama sekali tidak membuatku bersemangat. Aku nyaris menyesali kehadiranku di kelas. Jika bukan karena pengaruh kehadiran terhadap nilai, aku tidak akan datang ke sekolah untuk alasan apapun. Rasa tidak mau sekolah ini terbukti dengan tindakan kecilku di kelas ; kepala ku pasti mengarah bukan ke papan tulis setiap kali guru―mata pelajaran apapun―menerangkan. Biasanya kepalaku mengarah ke jendela, memandang jauh pemandangan di bawah sana, kota kecil kelahiranku. Oh, aku mulai bernostalgia. Termasuk bernostalgia ke hari dimana aku menemukan orang itu, orang yang menghancurkan mimpiku…

Ketika seruan kesal anak-anak meledak secara tiba-tiba, kepalaku berputar ke arah papan tulis. Di sana tidak ada seorang guru pun berdiri.

"…ahahaha sumimasen!" seru anak yang sedang dilempari kertas. Dia berdiri agak malu-malu dengan tas gitar di punggungnya. Dia bukan seorang , murid yang tak aku lihat pagi tadi.

"Jangan buat kami mengira kau adalah guru!Mati saja kau tertindas becak!" kata Sakura.

"Jangan!" sela Temari—salah satu teman dekatku juga. "lebih baik dia tertindas delman dan mati karena menelan kotoran kuda. Akakakakkakakkkk"

"SETUJU!" seru Sakura dan Ino bebarengan diikuti gelak tawa anak-anak lain. Anak yang di depan hanya tertawa mengikuti tawa lainnya.

Mungkin, aku satu-satunya yang tak , aku satu-satunya orang yang bermata terkesima pada waktu lama aku tak melihat wajah itu?Berapa lama aku tak mendengar suara riang itu?

Degdeg..degdeg…

Cardioid kembali bergerak dalam sekali lagi bahwa aku masih nyata.

"he? Oh, oy, Karin!"

Gawat… dia melambai ke ini waktunya aku untuk mati?

"Tanganmu sudah sembuh?"

.

Ini adalah menit-menit yang ku inginkan. Tetapi begitu ini terjadi, rasanya aku berharap lebih baik ini tidak terjadi sama sekali. Mentalku terasa tertekan berada dalam jarak sedekat ini dengan Sasukeo Uchiha, anak yang tidak masuk 2 mata pelajaran pertama hari ini.

"tangan kananmu bisa di gerakkan lagi kan?" tanyanya polos. Kepalaku menunduk memandang lekat-lekat layar ponsel di tangan betapa Sasuke, Sakura dan kawan-kawna menunggu yang seringkali terlontar dari mulut setiap orang yang melihat tangan , aku menjawab singkat dengan anggukan kurang jelas dan senyuman kecil. Kali ini nampaknya aku tidak melakukan hal yang sama. Melihat mata mereka mengawasiku dengan seksama membuatku sangat ragu untuk menjawab.

"Hei Sakura, aku boleh minta sosis dari bekal mu?" kataku mengalihkan -buru Sakura mengangkat kotak bentoknya, menjauhkannya dariku.

"Jawab dulu pertanyaan Sasuke!"

Aku tertegun,kembali mata terpusat pada layar ponsel. Satu-satunya yang bisa aku lihat selain dari mata-mata mereka yang menuntut.

Lama aku tak menjawab sampai Sasuke kemballi berkata kepadaku "Oh, aku belum minta maaf dan berterimakasih. Terimakasih untuk semua yang kau korbankan dan maaf, kau mendapat masalah berat karena aku."

Sontak Sakura dkk mengangkat kepala ke arah tak tahu kemana arah pembicaraan saja mereka tidak mungkin ini seperti sebuah rahasia bagiku dan bagi juga permintaan maaf dan ucapan terimakasih tersebut sengaja Sasuke katakan pada detik-detik aku tak bisa menjawab pertanyaan lagi-lagi mungkin, Sasuke telah menebak jawabanku, jawaban menakutkan yang tak ingin dia dengar.

.

.

.

Srret..sret..sreetsretsret!

Pensil berwarna hijau tua bergerak lincah di tangan noda hitam di atas kertas putih setiap ku pindahkan dari satu titik ke titik lainnya. Membentuk goresan-goresan cantik yang saling berhubungan satu sama lain merangkai kata-kata sampai menjadi sebuah ceritera menarik.

"Karin!"

Tak ku gubris panggilan tetap asyik menulis meski kelas telah kosong.

"Ayo dong, Rin!"Sakura menghampiriku dengan langkah-langkah tak ku hiraukan.

"KARIN!" Bentaknya sembari menggebrak pun berhenti -lahan melihat wajah kesal Sakura."Hn, sebentar."Jawabku singkat dan lalu kembali membuang muka bersamaan dengan decakan kesalnya.

"Hei, cepet!" suara lain terdengar dari jarak jauh. Nadanya datar dan aku tahu siapa pemilik suara tersebut. Segera ku masukan pensil ke wadahnya dan memasukkan semua perlengkapan menulis ke dalam tas tanpa diperintah lagi.

Aku menengadah, menatap orang yang terakhir kali menegurku, meleos pergi tanpa senyuman seperti biasa.

"lama!" Sakura kembali protes. Protesannya sama sekali tak terdengar di telingaku. Masih terngiang suara aku bodoh, tetapi teguran Sasuke membuatku senang.

Sore ini, aku, Sakura dkk serta Sasuke mungkin menjadi murid terakhir yang keluar dari sekolah untuk Ino dan Temari pulang paling pulang setelah aku dan Sakura yang merencanakan pulang bersama-sama ini dengan sedemikian tentu, aku melakukannya tanpa terlihat ini ku lakukan demi pulang bersama Sasuke.

Tak satupun diantara Sakura dkk yang ku beri tahu mengenai perasaanku terhadap , sebagai kawan dekat, aku pikir mereka tahu dengan sendirinya.

"Eh, ponsel ku ketinggalan di kolong bangku!" seru Sasuke sesaat setelah kami melewati gerbang sekolah."Kalian pulang duluan akan kembali ke kelas."Katanya seraya berlari langkah ketiganya, aku berkata "biar aku saja yang ambil!"

Sasuke berbalik tatapan aneh -buru aku kembali berkata untuk mengusir pikiran curiganya. "lariku cepat! Aku atlet sewaktu SMP."

"aaahh…Sasuke bodoh! Bagaimana bisa kau meninggalkan ponsel di kelas, huh?"Sakura kembali rasa kesal yang timbul karena aku, belum hilang pada dirinya.

"ahahaha tidak apa, tidak apa…Aku akan kembali dalam waktu kurang dari 3 menit." aku menepis enteng."Ini, tolong pegang tasku."Kataku kepada Ino.

"biarkan saja Sasuke yang lakukan. Dia kan laki-laki." Sela Temari. Namun seolah tak mendengar, aku segera melesat pergi kembali ke kelas. Jika Sasuke kembali ke kelas, maka rencana yang aku impi-impikan sejak dulu tidak akan terjadi. Kesempatan emas belum tentu dating dua ingin pulang bersama merasa iri kepada Sakura yang dengan mudahnya dapat pulang bersama , ini satu-satunya kesempatan yang terlihat.

Syukurlah aku menemukan ponsel Sasuke dengan cepat. Jadi,aku bisa menepati janji. Namun, aku tak cepat-cepat menolakkan kaki dari ruang malah menggenggam kuat-kuat ponsel selanjutnya, menu pesan telah ku buka dan ku temukan banyak pesan masuk dari Sakura. Hanya Sakura.

Kenapa harus Sakura?Maksudku… yahh, memang seperti yang terlihat, Sasuke itu laki-laki dingin yang sulit di -satunya orang yang paling dekat dengannya hanya teman sebangkunya dan -sampai hampir semua orang berfikir jika Sasuke dan Sakura memiliki sebuah hubungan tidak tahu yang ku lihat, Sasuke nampak menyukai tidak sebaliknya bagi Sakura.

Tidak apa. Selama aku belum menemukan bukti pasti, aku masih punya kesempatan meraih apapun aku kembali 2 sampai 3 anak tangga sekaligus. Sampai melewati gerbang dan berhenti di depan jalan. Oh, ternyata teman-teman sudah menyebrang duluan.

Selewat saja aku melihat lampu hijau penyebrang jalan menyala. Tanpa lihat kiri-kanan lagi, aku langsung menginjakkan kaki ke zebra cross. Karena di sebrang sana, Sasuke memberikan sebuah lambaian tangan agar aku cepat-cepat ke sana. Aku tidak sabar. Lalu… Klakson truk yang suaranya keras ku tolehkan kepala ke asal suara, aku tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Detik selanjutnya, aku hanya bisa melihat sebuah cahaya putih menyilaukan diiringi suara debum dan tubrukan antar seng. Semuanya seperti pemandanganku kembali, ada sebuah aliran hangat di sekitar kepala dan tangan kanan yang ku tangan kiriku menggenggam erat-erat ponsel Kazu di aku sadar, aku pikir ini hanya mimpi belaka.

Hening… hanya perasaanku saja kah?Tetapi ini sungguh -sampai aku bisa mendengar detak jantungku takut…takut melihat darah yang melumuri tangan sebuah fakta mengerikan ketika aku tak bisa merasakan apa-apa dari tangan kananku. Aku pun sadar, ini bukan mimpi ketika ada reaksi lain yang ku rasakan dari sekujur tubuh. Sakit yang luar biasa.

Degdeg…degdeg…

.

.

.

Sehari berlalu dari hari permintaan maaf dan ucapan ada yang berubah sejak kejadian tetap bersikap dingin dan aku masih belum bisa melanjutkan aktifitas ringan yang sangat aku cintai―menulis. Mungkin tidak akan pernah bisa, bukan belum.

Dari hari pertama aku bersekolah, aku tidak membawa alat ku hampir kosong. Sekarang, aku hanya membawa perekam suara dan banyak persediaan memory tidak bisa tidak sakit ketika geli ketika diusap oleh bulu dan tak terasa apa-apa bila seseorang kananku seperti ada yang bisa ku rasakan untuk menggerakannya sekalipun.

Bagiku tidak masalah dengan kehilangan tangan baik-baik saja, karena ini ku lakukan demi , orang terbodoh di dunia, merelakan impianku sendiri demi menyelamatkan sebuah ponsel orang yang aku sayangi. Jika ibu dan kakak mengetahui fakta ini, aku tak dapat membayngkan betapa mereka akan memarahiku dan mencaci Sasuke.

Hari baruku di sekolah dihabiskan dengan duduk tenang di sekali tidak mencerminkan , aku jarang ada di kelas pada jam ada saja kekacauan atau kebisingan yang aku dan kawan-kawan bukan karena kehilangan tnagan kanan, tetapi ini karena sejak cardioidmengalir dalam tubuhku, aku memiliki hobi baru; memperhatikan Sasukedari jauh.

Siang itu, kelas tidak cukup dkk pergi entah kemana setelah gagal berbagai macam makanan perutku berseru , tak ku hiraukan seruan tetap menjaga sikap tenang semenjak sadar seseorang memperhatikanku dari gelagap canggungnya terlihat dia berjalan ke arah benar.

"ada apa?" tanyaku dingin. Aku tak mau menunjukan padanya bahwa aku itu, menurutku aku harus menjaga imej maksudnya aku membuat kepribadian secara tidak alamiah, tetapi aku sendiri menyadari bahwa aku sedikit berubah semenjak kecelakaan yang menghilangkana tangan kananku aku periang dan tak suka berlaru-larut dalam kesedihan.

"tidak makan siang bersama Sakura dan yang lain?"

Aku menggeleng singkat. Ketika dia membahas Sakura, maka topik itu yang palling aku tidak suka. Aku tidak suka senyumnya yang tiba-tiba mengembang tiap kali namaSakura di sebut-sebut. Aku tidak suka melihatnya senang karena Sakura.

"kau mulai menulis menggunakan tangan kiri?"

Sejenak aku diam. Berpikir beberapa saat, jawab atau tidak. Lama dia menunggu sampai aku menjawab datar "tidak."

"Kau pernah bilang ingin belajar gitar kan? Mau ku ajari sekarang?"

Ya, aku ingat pernah mengatakan hal seperti kali aku berkata tidak pernah Sakura yang baru sekali meminta―dengan nada setengah bercanda―Sasuke langsung pula hal yang tidak aku sukai terlalu dia bercanda mengajariku gitar dengan keadaan seperti aku hanya tertawa kecil sebagai yang sedikit dipaksakan.

"Ohh," ceplosnya dengan wajah tak baru menyadari satu hal. Entah dia benar-benar lupa dengan kondisiku sekarang atau ini memang bagian dari candaannya yang tidak lucu. "maaf.. maaf! Maaf!" katanya buru-buru berulang-ulang."Baiklah, nanti akan ku ajari setelah tanganmu ?" katanya yang biasa dia lakukan kepada sedikit yang ku rasakan bukan karena riang menghargai atau …riang yang sesungguhnya. Apakah mungkin…..? tidak! Ku rasa, dia hanya menyadarai dirinya yang memiliki dosa kepadaku.

"ya, terimakasih." Jawabku singkat sembari berdiri bangkit dan pergi dari acungan jempol, yang berarti meminta aduan tangan dariku untuk kepastian secara takut jika aku terus tahu Sasuke hanya menyukai Sakura meski laki-laki ini tak besarpun aku berusaha, itu tidak cukup kuat untuk membelokkan hatinya. Aku tidak akan lagi berharap lebih. Laki-laki di dunia ini masih banyak. Masih banyak orang yang bisa ku cintai dan masih ada banyak harapan lain. Meski keputusan ini ku ambil tanpa pikir panjang.

Aku lelah…aku tak mau tersakiti lagi karena Sasuke dan seharusnya yang tak pernah menyadari yang tak kunjung memberiku simpati sewajarnya karena aku baru saja kehilangan tangan kananku, tepatnya impianku sebagai benar-benar lelah berpura-pura tertawa diantara mereka.

Sasuke menarik itu juga nafasku serasa berhenti.Degdeg… Cardioid sadari, ini cardioid yang berbeda dari pertanda dari luapan antara rasa sedih dan kesal yang tak Sasuke tidak mengerti juga?

"kau..marah?" lirihnya pelan. Seakan dunia tiba-tiba menjadi hening karena hanya dihuni oleh dua orang manusia saja.

Ku tundukan kepala tidak dalam mood yang bagus hari ini. "tidak. Aku hanya ingin ke kamar lepas."

"Karin…"

"Sasuke.."

"Karin!"

"LEPAS!"

.

.

~Bukankah sulit ketika dihadapkan dengan satu perasaan kompleks?

Sangat tidak mudah untuk mengatasinya~

.

.

To Be Continued...

.

A/N:

I wonder you will like a song with the same title with my story. It was sung by Hatsune Miku, one of vocaloid member. I got idea bcz this song.

Thanks for reading. I'd like to read your review.