Disclaimer : J.K Rowling (Harry Potter sayangnya bukan milikku, kalau punyaku sudah kubuat Harry menikah dengan Draco pada buku ke-empat).
Pair : Harry Potter/Draco Malfoy
Rate : T (Bisa berubah sewaktu-waktu)
Genre : General/Romance
Warning : OOC, Slash, Typo, MPreg!
The Third Prophecy
by
Nara Shevandra
Chapter 1
Britania Raya, Hogwarts, 4 Juni 1982
Cuaca di malam pekat itu terasa begitu dingin membekukan tulang. Awan hitam tampak bergulung-gulung di hamparan langit, sehingga menutupi cahaya rembulan yang memang terlihat redup. Lolongan panjang anjing hutan terdengar bersahutan dari segala arah, sehingga mampu mendirikan bulu kuduk siapa saja yang mendengarnya. Angin kencang diiringi titik gerimis yang pada akhirnya menjelma hujan membuat suasana malam itu terasa kian mencekam. Namun, keadaan alam yang nampaknya tidak bersahabat itu tak menghalangi langkah cepat seorang pemuda berpakaian serba hitam yang terlihat begitu tergesa-gesa menerobos terjangan hujan.
Sesekali, pemuda dengan jubah hitam panjang yang hampir menyentuh tanah itu menengadahkan kepalanya ke atas, menatap gumpalan awan yang semakin hitam menebal dengan mata memicing, menahan gempuran butir-butir hujan. Desahan nafasnya terdengar begitu panjang dan berat, bahkan tak jarang terdengar memburu. Meskipun begitu, ayunan langkah sepasang kakinya yang meyakinkan tidak berkurang barang sedikitpun. Ia tetap berjalan lurus ke depan dengan mata menyorot tajam.
"Hhh, bertahanlah, Luce. Kita sudah hampir sampai di Hogwarts," terdengar desahan pelan setengah bergumam dari bibir pemuda itu.
Pemuda berwajah pucat yang kelihatannya berusia di pertengahan dua puluh-an itu tampak membopong sesosok tubuh yang juga mengenakan jubah hitam yang menutupi hampir seluruh tubuhnya. Sosok dalam pondongan itu terlihat seperti sedang tertidur pulas, dengan rambut pirang memanjang yang tampak basah. Jubah hitam yang mengetat karena curahan air hujan itu tampaknya tak mampu melindungi keadaan perutnya yang membuncit. Sekilas pandang, bisa dipastikan bahwa sosok berambut pirang dalam pondongan itu sedang dalam keadaan hamil besar.
Pemuda berambut klimis sepundak dengan hidung bengkok tak ubah paruh elang itu baru menghentikan langkah kakinya setelah tiba di sebuah dataran tinggi di depan sebuah kastil tua yang berdiri megah dengan banyak menara di setiap sudutnya. Satu set pintu kayu ek yang begitu besar tampaknya merupakan pintu utama untuk masuk ke dalam kastil tersebut. Di sisi selatan kastil tampak sebuah danau yang cukup besar dengan permukaan air yang tenang, namun sesekali beriak, memantulkan bayang pucat rembulan. Sementara itu, hutan lebat yang sangat luas tampak memanjang hingga ke sisi barat kastil.
Tak menunggu lama, setibanya di pintu utama bangunan kastil tua yang begitu megah tersebut, pemuda berhidung bengkok itu segera mengeluarkan sebatang kayu hitam kecil dari balik jubahnya. Kayu hitam kecil yang tak lain adalah sebatang tongkat sihir itu ia keluarkan dengan sedikit bersusah payah, mengingat posisinya yang sedang membopong seseorang. Setelah tongkat sihir itu berada di dalam genggaman tangannya, pemuda itu terlihat mengayunkan benda itu lurus menghadap pintu tebal yang berdiri kokoh di hadapannya. Bibirnya terlihat bergerak kecil, menggumamkan sepotong mantera. Bunyi deritan terdengar ketika pintu kayu itu membuka, dan pemuda berwajah pucat itu segera melangkahkan kakinya memasuki halaman depan yang begitu luas. Pintu besar di belakangnya kembali menutup setelah pemuda itu berada di dalam bangunan kastil. Seolah telah paham betul dengan keadaan di dalam bangunan tersebut, pemuda itu terus berjalan melewati halaman depan yang begitu luas. Ia melewati lima buah meja panjang besar serta sebuah ruangan yang memiliki langit-langit tembus pandang sehingga keadaan langit yang penuh taburan bintang terlihat jelas, meski sesungguhnya keadaan alam di luar bangunan kastil itu sangat jauh berlawanan. Lukisan-lukisan dengan objek bergerak terlihat di setiap dinding ruangan. Pemuda itu lalu berbelok ke arah kiri, menuruni sederetan anak tangga menuju ruangan lain yang merupakan sebuah ruangan bawah tanah. Langkahnya tetap cepat, seolah tak terpengaruh oleh berat dari sesosok tubuh yang tampak bernafas teratur dalam pondongannya.
Setelah melewati beberapa anak tangga dan sebuah koridor yang temaram, pemuda tersebut akhirnya sampai pada sebuah kamar tidur yang cukup besar dengan warna hijau lumut mendominasi sebagian besar ruangan. Sebuah perapian dengan nyala api kecil tampak di salah satu sudut ruangan tersebut. Dengan hati-hati, direbahkannya sosok yang sejak tadi berada di dalam pondongannya ke atas tempat tidur kayu berukuran besar yang disangga oleh empat buah pilar kokoh dengan kain sutera berwarna senada dengan dinding ruangan sebagai alas.
Pemuda itu kemudian mengayunkan tongkat sihirnya ke tubuhnya sendiri seraya menggumamkan mantera pengering. Dalam sekelip mata, seluruh pakaiannya yang telah basah kuyup terkena air hujan kembali kering seperti sedia kala. Ia lalu melepaskan jubah hitam panjang yang melekat di tubuhnya, dan menyampirkannya di atas lengan sebuah kursi kayu yang berada tak jauh dari tempat tidur. Tak lama, pemuda berambut klimis itu tampak mendudukkan dirinya di sisi kiri pembaringan dengan sikap begitu hati-hati, seolah tak ingin membangunkan sesosok tubuh yang terbaring tenang di hadapannya. Dipandanginya seraut wajah tampan berkulit putih pucat yang tengah memejamkan matanya itu dengan pandangan yang sukar dijabarkan.
Si pemuda yang tampak gagah dengan rambut hitamnya yang klimis itu pada akhirnya kembali mengayunkan tongkat sihirnya ke arah sosok berambut pirang yang belum menampakkan tanda-tanda akan segera membuka matanya itu. Ia menggumamkan mantera untuk menanggalkan pakaian kotor dan basah yang dikenakan sosok angelic yang terlihat berusia beberapa tahun di atasnya. Pemuda itu juga menggumamkan mantera pengering ke atas sosok tubuh pemuda bangsawan yang bahkan terlihat begitu anggun dalam tidurnya, lalu menarik sebuah selimut tebal berbahan satin untuk menutupi tubuh polos dengan perut membesar yang berbaring tenang tanpa emosi di hadapannya.
Untuk beberapa saat, hanya kesunyian yang tercipta di antara kedua sosok pemuda itu, sehingga dentang jam dinding tua di atas perapian terasa begitu jelas terdengar. Pemuda berhidung bengkok itu lalu menggulung lengan kemeja hitam yang ia kenakan, lalu dengan jari-jarinya yang kurus dan panjang diselipkannya anak-anak rambut yang menjuntai di kening sosok berambut pirang itu ke belakang telinga. Tak lama, tampak ia menundukkan kepala dan mendaratkan sebuah ciuman singkat di kening pemuda tampan yang masih tertidur itu.
"Severus!"
Sesosok lelaki tua bertubuh tinggi besar dengan rambut dan jenggot keperakan yang memanjang hingga melewati pusar tampak keluar dari perapian. Dikibaskannya debu yang menempel di seluruh jubah putih panjangnya. Lelaki tua berwajah arif dengan senyum bijaksana dan sepasang bola mata yang berbinar ceria di balik kacamata berbentuk bulan sabit itu tampak berjalan ke arah pemuda yang dipanggilnya Severus itu. Sementara itu, pemuda berkulit pucat yang ternyata bernama Severus tersebut segera menegakkan kembali kepalanya, lalu mengalihkan pandangan ke sosok lelaki tua yang baru saja datang.
"Albus!"
"Severus, kulihat kau telah membawa Lucius kemari, Anakku," lelaki tua yang dipanggil Albus itu ikut duduk di sisi pembaringan berlawanan arah dengan Severus. Pemuda bernama Severus itu hanya mengangguk. Tatapan matanya tak beralih dari sosok pemuda tampan yang bernama Lucius itu. Untuk sesaat, tak ada kata yang tercipta di antara mereka. Masing-masing lelaki berbeda usia itu tampak larut dengan pikirannya masing-masing.
Suara erangan lirih dari sosok berambut pirang di atas tempat tidur itu akhirnya memecah kesunyian yang tercipta. Perlahan, sosok pemuda tampan bak malaikat itu tampak membuka matanya. Sepasang bola mata berwarna silver tampak mengarahkan pandangannya ke setiap sudut ruangan. Pandangannya baru berhenti ketika ia bertemu dengan wajah pucat dari pemuda bernama Severus itu.
"Luce, kau sudah bangun?" Lucius, atau Luce seperti Severus memanggilnya itu tampak mengangguk lemah. Dicobanya untuk menggerakkan tubuh, namun rasa sakit di seluruh bagian tubuhnya, terutama pada bagian bawah perutnya membuat ia meringis. Severus dengan sigap meletakkan beberapa buah bantal besar yang empuk di belakang Lucius untuk menyangga tubuhnya, lalu dengan sangat hati-hati membantu si pemuda berambut pirang itu untuk duduk. Albus tampak menggeser sedikit posisi duduknya. Tangan kirinya tampak memeriksa kening Lucius yang mulai dibanjiri oleh keringat dingin. Keningnya berkerut.
"Lucius, Anakku, melihat kondisimu saat ini tampaknya kau akan segera melahirkan puteramu. Aku akan segera memanggil Poppy. Dan kau, Severus, bantu aku menyiapkan segala sesuatunya," setelah berkata begitu dan mendapatkan anggukan kepala sebagai balasan dari Severus, Albus tampak kembali ke perapian dengan nyala api hijau tempat dimana ia muncul. Ia tampak menggumamkan sesuatu, yang lebih mirip seperti seseorang yang sedang berbicara dengan sosok lain yang tak terlihat. Tak berapa lama, tampak seorang perempuan setengah baya dengan sebuah tas putih di tangan yang tampaknya merupakan seorang perawat keluar dari perapian.
"Poppy, syukurlah kau datang tepat pada waktunya," seru Albus seraya menyambut perempuan itu. Perempuan yang dipanggil Poppy itu hanya menganggukkan kepala, lalu tanpa berkata-kata lagi ia segera melangkahkan kakinya ke arah tempat tidur. Albus hanya berdiri di sisi perapian. Sementara itu, di atas tempat tidur Lucius tampak sedang menggenggam erat pergelangan tangan Severus ketika dirasakannya intensitas rasa sakit yang kian luar biasa. Severus terlihat mengusapkan sapu tangan untuk menghapus butir-butir keringat di wajah tampan yang sedang mengerang kesakitan di hadapannya itu.
"Well, Lucius, tampaknya puteramu tidak sabar lagi untuk segera melihat dunia ini. Dalam waktu tidak berapa lama lagi kau akan melahirkan bayimu. Kulihat air ketubanmu telah pecah. Dengarkan aku, aku tak bisa memberimu obat penahan rasa sakit saat ini karena itu akan sangat membahayakan keselamatan kau dan bayimu. Yang harus kau lakukan adalah mengikuti apa yang kuperintahkan. Kau mengerti?" sebuah anggukan sudah cukup sebagai jawaban untuk Poppy. Perempuan setengah baya itu segera duduk di bagian ujung tempat tidur, tepat di depan kaki Lucius yang terbuka lebar. Selimut tebal yang sejak tadi menutupi tubuh polos Lucius segera ia singkapkan begitu saja. Rona merah dengan cepat menjalar di bagian wajah pemuda berambut pirang itu. Ia lalu terlihat membenamkan wajahnya ke dalam pelukan Severus.
"Kau tidak perlu malu padaku, Lucius. Yang harus kau pikirkan saat ini adalah bagaimana supaya proses persalinanmu berjalan lancar. Seperti yang pernah kukatakan sebelumnya, ini bukan pengalaman pertamaku menangani pasien laki-laki yang hendak melahirkan. Hanya saja, karena kau sendiri adalah keturunan Veela dan bangsa Elf, maka aku juga sangat bergantung pada kerjasamamu," sambung Poppy. Dan lagi-lagi Lucius hanya mampu mengangguk. Ia masih menyembunyikan wajah tampannya di dalam dekapan hangat Severus. Sementara itu, Albus tampak berdiri tenang di sudut perapian.
"Jangan khawatir, Love, ada aku di sini yang menemanimu dan calon anak kita," Severus turut menenangkan pemuda tampan itu. Lucius menggigit bibirnya ketika ia merasakan perasaan sakit yang begitu luar biasa di bagian peranakannya. Lucius pada akhirnya tak mampu lagi menahan rasa sakit yang ia alami, hingga ia menjerit seraya mempererat pegangan tangannya di lengan Severus.
"Aaarrrggghhh!" Severus sendiri terlihat menggigit bibirnya menahan perasaan sakit di lengan kanannya yang sejak tadi digenggam oleh Lucius. Meskipun begitu, ia tidak sedikitpun berniat menepis genggaman tangan dari pemuda yang ia panggil love tersebut.
"Baiklah, Lucius, lebarkan posisi kedua kakimu! Ya, seperti itu. Dalam hitungan ketiga, ketika aku memintamu untuk mendorong, maka kau harus mendorong sekuatmu. Kau mengerti? Ayo, satu, dua, tiga…! Dorong sekarang juga, Lucius!" kembali sebuah teriakan panjang terlontar dari pemuda tampan berambut pirang panjang yang kini terlihat acak-acakan tersebut. Perutnya yang membuncit terlihat mengeras. Nafasnya terengah-engah dan keringat dingin semakin deras mengucur dari pelipisnya.
"Aaakkkhhh! Severus, tolong hentikan rasa sakit ini! Please…!"
"Tarik nafasmu perlahan lalu hembuskan. Lakukan seperti yang telah kuajarkan. Dorong lagi, Lucius! Kali ini kau harus mendorong dengan sekuat tenaga. Aku telah melihat kepala bayimu. Ayo, dorong lagi!" perintah Poppy. Lucius tampak menarik nafas perlahan lalu menghembuskannya dengan teratur. Setelah mengumpulkan segenap kekuatannya, Lucius kembali berusaha mendorong bayinya dengan tenaga yang jauh lebih besar dari sebelumnya. Jemarinya yang mencengkeram lengan Severus tampak memutih. Jerit kesakitan bercampur sumpah serapah terlontar begitu saja dari bibirnya. Dan pada akhirnya, setelah empat kali dorongan, suara tangis bayi terdengar memenuhi ruangan, tepat ketika lonceng malam berdentang dua belas kali, menandakan pergantian hari.
Poppy segera menyambut bayi merah yang masih berbalut darah tersebut, lalu mengayunkan tongkat sihirnya untuk memotong tali pusar si bayi mungil sambil mengucapkan sepotong mantera. Dengan mantera juga, ia membersihkan tubuh si bayi mungil tersebut lalu membungkusnya dengan selimut berwarna hijau lembut. Setelah si bayi terbungkus rapi, Poppy lalu menyerahkan bayi tersebut kepada Severus, yang tampak berkaca-kaca ketika menerima si bayi. Tangannya bergetar ketika menggendong sosok mungil yang baru saja dilahirkan itu. Poppy lalu sekali lagi mengucapkan mantera untuk membersihkan Lucius yang tampak tergolek lemah di tempat tidur pasca melahirkan.
Severus mengangkat tubuh si bayi mungil yang ternyata memiliki rambut pirang seperti Lucius itu ke depan wajahnya. Senyuman manis tampak terukir di bibirnya yang sejak proses kelahiran itu tertutup rapat. Diberikannya sebuah kecupan lembut di kening si bayi yang secara refleks membuka matanya, memperlihatkan sepasang bola mata berwarna silver yang lagi-lagi tampak seperti Lucius. Setelah itu, Severus segera menyerahkan si bayi mungil ke pelukan Lucius. Butiran airmata tampak mengalir menuruni pipi berkulit pucat milik Lucius. Dengan perasaan yang sukar dikatakan, Lucius segera mengecup kedua belah pipi dan kening puteranya itu, lalu mendekapnya erat di dalam pelukannya. Severus tampak menganggukkan kepala, lalu dengan ujung jari ia segera menghapus airmata yang bergulir dari wajah tampan tersebut.
Albus yang sejak tadi berdiri di sudut perapian segera menghampiri kedua pemuda tampan yang sedang berbahagia di atas tempat tidur tersebut, setelah sebelumnya mengucapkan terima kasih kepada Poppy yang telah membantu proses melahirkan itu. Poppy hanya mengangguk seraya tersenyum lebar, lalu meletakkan sebuah perkamen di atas meja di sudut kiri perapian. Beberapa botol ramuan juga tampak ia letakkan di atas meja. Setelah memperingatkan beberapa hal, Poppy kembali menghilang menggunakan perapian yang ia gunakan sebelumnya.
"Selamat untukmu, Lucius. Juga untukmu, Severus. Putramu tampan sekali," ujar Albus seraya membelai rambut Lucius dan duduk kembali di sisi ranjang. Lucius dan Severus tersenyum lebar, dan mengangguk hampir bersamaan.
"Perkenalkan, Draconis Thomas Tobhias Malfoy," ucap Lucius seraya mengangkat putranya, dan menyerahkannya pada Albus. Albus tersenyum seraya menggendong bayi mungil yang tampak tenang dalam tidurnya itu. Albus lalu menundukkan kepalanya, mengecup kening lembut si bayi. Sementara itu, Severus meraih jemari Lucius, dan menggenggamnya erat.
"Kau luar biasa, Love. Kau telah menghadirkan seorang bayi yang begitu istimewa ke dunia ini. Sebaiknya kau istirahat sekarang. Kau pasti lelah luar biasa setelah melahirkan anak kita," kata Severus seraya mengecup pemuda tampan itu. Lucius menganggukkan kepalanya seraya menghembuskan nafas berat, seolah ada suatu beban yang masih mengganjal di benaknya. Severus menarik kembali sebuah selimut tebal untuk menutupi tubuh Lucius yang tampak telah memejamkan matanya. Albus yang masih menggendong si kecil Draco menyerahkan si bayi dalam pelukan Severus. Severus lalu bangkit dari tempat tidur, dan berjalan menuju ranjang kecil dengan kelambu halus berwarna hijau daun dan dengan perlahan meletakkan bayi mungil itu ke tempat tidurnya. Sebuah ciuman singkat kembali ia hadiahkan untuk si bayi, sebelum akhirnya ia berpaling menatap Albus.
Severus dan Albus tampak sedang duduk mengelilingi meja kayu mahoni berbentuk lingkaran yang tak seberapa besar di ruangan lain di ruang bawah tanah Howgarts. Tiga buah gelas berisi teh hangat tampak tersaji di atas meja, bersama beberapa piring makanan kecil. Di sudut kanan sebuah lemari kaca tinggi yang berisikan beberapa buah throphy, Lucius tampak duduk tenang seraya menggendong bayinya di atas sebuah sofa kecil. Tampaknya ia baru saja selesai menyusui si bayi. Ia mengedarkan pandangannya, menatap dua lelaki yang juga sedang menatapnya.
"Ijinkan aku menikmati waktu bersama putraku sedikit lebih lama lagi, Albus. Setelah hari ini, aku tak tahu entah kapan waktunya aku bisa mendekapnya seperti ini," Lucius tampak menggigit bibir bagian bawahnya seraya bergantian memandangi Albus dan Severus. Setitik airmata bergulir dari wajah tampannya. Severus segera berdiri dan turut duduk di samping pemuda itu, seraya menarik pemuda tampan itu ke dalam pelukannya. Gumaman lirih Lucius berubah menjadi isakan. Pundaknya tampak terguncang hebat di dalam pelukan Severus.
"Ssshhh, Love. Kau harus kuat. Kita harus melakukan ini demi anak kita. Demi naga kecil kita, Sayang," Severus mengusap-usap punggung Lucius, berusaha menenangkan si pirang yang tampaknya belum mampu meredakan tangisnya.
"Aku benci dengan takdirku, Severus. Benci dengan takdir yang telah tertulis untuk Draco. Kenapa harus dia? Kenapa dia harus dipisahkan dari kita? Lihat dia, Severus! Lihat wajah polosnya! Aku tak tega untuk meninggalkan putraku yang baru kulahirkan dan harus kembali melayani si bangsat terkutuk itu!" jerit Lucius. Draco kecil yang sejak tadi tertidur damai dalam pelukannya perlahan membuka mata. Seolah ada ikatan batin yang begitu kuat, bayi itu menatap wajah sang 'Ibu' yang tampak memerah bersimbah airmata.
"Love, kau tidak boleh menyebutkan kata-kata itu di depan putra kita. Aku mengerti perasaanmu, Baby. Tapi kau harus ingat, kau dan aku tak bisa merubah takdir yang telah tertulis untuk kita. Lima belas tahun, Luce. Setelah lima belas tahun kita akan kembali bersatu sebagai sebuah keluarga dengan naga kecil kita. Kau harus bertahan. Kau harus kuat demi putra kita," bujuk Severus seraya mengecup kening Lucius dan Draco kecil bergantian. Albus yang sedari tadi hanya membisu, akhirnya berdehem, mengalihkan perhatian keluarga kecil itu.
"Kau tak perlu khawatir, Lucius. Aku akan membesarkan Draco seperti putraku sendiri, meski aku akan membesarkannya di Perancis, bukan di Inggris. Tak akan ada yang mengetahui bahwa dia adalah putramu, Lucius. Posisimu dan Severus sebagai Pelahap Maut sekaligus mata-mata akan sangat berbahaya. Apalagi jika Tom mengetahui bahwa Draco adalah putra kandungnya. Kau mendengar sendiri ramalan ketiga itu, Lucius. Bahwa Pangeran Kegelapan hanya akan ditakhlukkan oleh seseorang yang terlahir bertepatan dengan matinya bulan ke tujuh. Namun, sang penakhluk itu juga harus menyatukan kekuatan dengan seseorang yang terlahir tepat pada pergantian hari dimana di dalam tubuhnya mengalir darah dari Pangeran Kegelapan itu sendiri . Dan orang itu adalah putramu, Draco adalah salah seorang yang akan mengalahkan kekuatan Tom, selain Harry Potter. Kuatkan hatimu, Anakku," ucap Albus seraya menepuk pundak kedua pemuda tampan tersebut. Severus hanya mengangguk, sedangkan Lucius memeluk erat bayinya. Hatinya terasa tersayat-sayat mendengar ucapan Albus. Sejenak, diangkatnya wajahnya, menatap sepasang mata Severus yang tampak lembut memandanginya. Mata lelaki yang sangat ia cintai dan juga sangat mencintainya, sebelum sang Pangeran Kegelapan menghancurkan kebahagiaannya, dengan merenggut kehormatannya sekaligus menghamilinya.
Mengingat malam jahanam ketika ia kehilangan kesuciannya, Lucius kembali menggigit bibirnya sehingga tak menyadari setitik darah mengalir dari bibirnya yang terluka. Severus yang masih memeluk pemuda berambut pirang itu mengusap darah yang mengalir dengan ujung jarinya. Ia tahu persis perasaan kekasihnya itu. Sebagai setengah Veela, Lucius tentu merasa sangat bersalah karena telah membiarkan orang lain selain mate-nya menyentuh dirinya. Namun Severus tak bisa menyalahkan kekasihnya itu, itulah salah satu harga yang harus dibayar untuk posisi mereka sebagai agen ganda.
"Kau lihat tiga titik membentuk segitiga kecil di antara kedua alis putraku ini, Albus? Sebagai setengah Veela, ia ditakdirkan untuk memiliki seorang mate. Selain mate-nya, hanya orang tertentu saja yang bisa melihat tanda itu. Dan apabila ia telah menemukan mate-nya, maka titik itu akan berubah menjadi lingkaran berwarna silver yang hanya mampu terlihat oleh mate-nya saja. Aku ingin kau menjaga putraku sebaik-baiknya, Albus. Aku tak ingin ada seorangpun yang menurunkan tangan jahatnya terhadap putraku. Kau mungkin bisa mengontrol pesona seorang Veela yang ada di dalam dirinya, tapi karena putraku juga keturunan seorang Elf, maka ia akan menjelma menjadi seseorang dengan daya tarik luar biasa. Kau harus memasang mantera pelindung tingkat sembilan setiap bulan purnama untuk mengurangi kekuatan pesonanya, Albus." jelas Lucius, setelah lama terdiam dalam pelukan Severus. Albus hanya menganggukkan kepala, meski di dalam hati ia memuji betapa putra Lucius itu akan menjelma menjadi seorang penyihir dengan pesona dan kekuatan luar biasa.
"Seperti yang telah kita sepakati, Lucius, Severus, sejak Draco kecil berada di bawah pengawasanku, maka namanya adalah Draconis Thomas Tobhias Dumbledore. Dia akan menggunakan namaku, meskipun ia hanyalah putra angkatku. Kau akan menjadi ayah baptisnya, Severus. Sementara kau, Lucius, akan bersikap selayaknya seorang paman. Bagaimana pun, kalian berdua adalah Slytherin sejati yang mengetahui dengan pasti bagaimana menggunakan 'topeng'. Kalian bisa mengunjunginya kapan saja. Akan kupastikan, sampai usianya menginjak empat belas tahun, tak ada seorangpun yang akan mengetahui bahwa ia pernah terlahir. Ia akan tinggal di Dumbledore Manor di sebelah selatan Perancis. Apapun kebijakan yang akan kuberikan padanya, pasti akan kubicarakan terlebih dahulu dengan kalian berdua sebagai orangtuanya. Bagaimana?" kedua pemuda tampan itu menganggukkan kepalanya tanda mengerti. Sekali lagi Lucius mencium kening putranya seraya membisikkan beberapa kalimat dalam bahasa Elf yang tidak dimengerti oleh Albus maupun Severus.
"Berjanjilah satu hal lagi padaku, Albus, kalau kau akan memagari putraku dengan mantera untuk mengelabui penglihatan agar tak ada yang mengetahui bahwa ia adalah darah dagingku. Aku memiliki keyakinan bahwa Draco akan memiliki wajah yang sangat mirip denganku. Dan aku juga yakin ketika Draco beranjak remaja, ia akan semakin terlihat sepertiku. Hanya kita bertiga yang boleh mengetahui hal ini, Albus. Dan kita bertiga pula yang bisa mencabut kembali mantera yang memagari tubuhnya itu setelah semuanya usai. Kumohon, Albus!" pinta Lucius dengan penuh harap. Albus menganggukkan kepalanya, lalu membungkuk dan menciumi kening pemuda tampan yang sudah dianggapnya seperti anaknya sendiri itu. Pemuda tampan yang juga merupakan murid favoritnya beberapa tahun silam.
Sebelah Selatan Prancis, 5 tahun kemudian
Seorang anak laki-laki menawan berusia lima tahun dan berkulit pucat tampak tengah duduk di sebuah taman mungil yang di bangun di bagian belakang sebuah manor megah. Manor megah tersebut dikelilingi oleh perkebunan anggur dan zaitun di kanan dan kirinya, sementara peternakan domba terdapat tak jauh di arah barat manor. Anak lelaki berambut pirang sepundak dengan sepasang bola mata berwarna silver yang berpijar umpama merkuri itu duduk sambil ditemani oleh dua peri rumah, dan beberapa ekor kelinci berbulu putih. Salah satu kelinci tampak sedang duduk manis dalam pangkuannya, menikmati wortel yang tinggal setengah. Dengan sebelah tangan, anak lelaki berwajah menawan itu mengusap-usap bulu kelincinya. Sementara tangan satunya lagi yang sedang memegang tongkat sihir pendek, tampak berayun perlahan. Beberapa untai mantera penumbuh terlontar dari bibir tipisnya yang berwarna merah jambu. Bunga-bunga mawar aneka warna tampak merekah indah di bagian kiri taman.
Anak laki-laki yang tak lain adalah Draco itu terlihat tersenyum kecil ketika dirasakannya aura sihir yang kuat namun lembut terpancar dari belakangnya. Ia tahu pasti siapa orang yang mendatanginya, namun sengaja bersikap seolah-olah tak tahu. Ia tetap asyik mengusap bulu kelincinya, seraya melemparkan beberapa potong wortel dari keranjang kecil di ujung kakinya untuk kelinci-kelinci lain yang mengelilinginya. Sementara dua peri rumah yang setia menemaninya tampak berlarian mengejar kupu-kupu yang berada di antara kelopak-kelopak bunga yang merekah. Angin pegunungan terasa lembut berhembus, mempermainkan rambutnya yang halus terawat.
"Well, tampaknya putraku tak lagi ingin memberikan pelukan hangat untukku, hemmm?" suara berat di belakangnya membuat Draco menoleh. Ia segera berdiri, setelah terlebih dahulu meletakkan kelinci yang berada di pangkuannya ke atas rumput-rumput halus yang tumbuh di setiap ruas taman, juga setelah mengibaskan debu dan remah-remah wortel yang menempel di atas jubahnya. Senyum mekar tersungging di wajah manisnya ketika melihat sosok yang menyapanya.
"Daddy!" pekiknya dengan gembira. Ia segera menubruk kaki lelaki tua yang tak lain adalah Albus Dumbledore, ayah angkatnya. Kedua tangannya diangkat ke atas sebagai isyarat bahwa ia ingin ayah angkatnya itu menggendongnya. Dengan senyuman lebar, Albus segera menggendong putra angkatnya yang telah menjelma menjadi anak lelaki dengan pesona begitu kuat dalam usianya yang masih terlalu muda itu. Sebuah ciuman mendarat di kedua pipi putra angkatnya itu.
"Sepertinya mantera penumbuh-mu berkembang luar biasa, Son. Terakhir sekali Daddy mengunjungimu, taman ini masih ditumbuhi rumput dan perdu-perdu liar. Tapi coba lihat sekarang, taman ini menjelma menjadi sebuah taman yang begitu indah. Daddy bangga sekali denganmu, Son." ujar Albus seraya mengacak rambut putra angkatnya itu. Perbuatannya itu dibalas dengan tawa berderai dari anak lelaki tampan tersebut.
"Daddy, kau merusak tatanan rambutku," protes Draco kecil. Albus hanya menggelengkan kepala mendengar protes dari putra angkatnya itu. Putranya itu memang benar-benar replika dari Lucius, pikirnya.
Albus lalu mendudukkan dirinya di sebuah kursi kayu di salah satu sudut taman, dengan Draco berada dalam pangkuannya. Kembali ia mencium kening putra angkatnya yang selalu beraroma vanilla tersebut, sedang Draco dengan manja merebahkan kepalanya di dada sang Ayah, sambil mempermainkan jenggot lebat Albus.
"Aku rindu sekali padamu, Daddy," ujar Draco, lirih.
"Daddy juga sangat merindukanmu, Son. Teramat sangat," balas Albus seraya mendekap erat putranya. Albus melirik ke meja kecil di sisi kanannya, tampak sebuah piring porselin berisikan anggur hijau segar menghiasi meja. Ia mengambil sebutir anggur itu, lalu menyuapkannya pada putranya. Ia tertawa renyah melihat pipi putranya yang menggelembung lucu ketika mengunyah anggur tersebut.
"My little Prince, bagaimana kalau kau dan Daddy masuk ke dalam, dan kau bersiap untuk tidur siangmu, hemmm? Daddy akan menceritakan sebuah kisah tentang seorang anak lelaki yang mampu menahan kekuatan sihir dari seorang penyihir hitam yang sangat hebat. Bagaimana?" Draco bertepuk tangan dengan gembira. Ayah angkatnya itu tahu persis bahwa ia sangat suka mendengarkan kisah-kisah heroik di dalam dunia sihir. Meski kadang cerita yang disampaikan oleh Albus adalah cerita yang pernah ia baca di dalam buku-buku sejarah dunia sihir sejak ia mampu membaca ketika berumur tiga tahun, namun ayahnya selalu mampu bercerita dengan versi berbeda.
"Baiklah, Daddy. Kalau begitu aku akan segera membersihkan diri dan mengganti pakaianku. Dan jangan lupa, nanti malam Daddy harus memberitahuku mengenai perkembangan Hogwarts, dan Uncle Sevvy, dan Uncle Luce. Aku merindukan mereka, Daddy. Sudah dua minggu sejak terakhir kali mereka menjengukku. Aku ingin bertanya mengenai ramuan yang sedang kuteliti kepada Uncle Sevvy. Aku juga ingin mendengarkan Uncle Luce bernyanyi lagi untukku. Aku merindukan suaranya," sahut Draco dengan antusias. Ia segera beringsut turun dari dekapan Albus dan berlari masuk ke dalam manor. Albus mengusap setitik airmata yang perlahan menuruni pipi keriputnya dengan ujung jubah. Berkali-kali ia bergumam lirih, dan menggelengkan kepala dengan lemah.
"Daddy, Daddy, kalau boleh tahu, siapa anak lelaki yang akan kau ceritakan padaku nanti malam itu?" Albus menatap putranya yang tampak menghentikan laju larinya di tengah-tengah manor. Senyuman kecil kembali tersungging di bibirnya. Ia memaklumi kalau putra angkatnya itu termasuk anak dengan rasa ingin tahu yang sangat besar.
"Harry Potter."
bersambung...
NB:
Well, ini adalah fanfic pertama yang saya tulis, semoga berkenan. Silahkan mau berkomentar apa saja, apalagi kalau komentarnya bisa membangun, dengan senang hati akan saya terima.
Selamat membaca. Namun harap maklum, seperti yang saya katakan, ini karya pertama saya, kalau jauh dari bagus, ya sekali lagi harap dimaklumi. Hal-hal besar biasanya dimulai dari hal kecil. Bukan begitu? Jangan sungkan untuk meninggalkan jejak di sini ^_^
Salam,
N.S
