Midoriya Izuku mati.
Setidaknya, itu apa yang Katsuki kira. Ia menarik napas, mengempasnya, terlalu terburu-buru. Berusaha menetralkan detak jantung yang meliar dibalik rusuknya. Berusaha menjernihkan isi kepala yang porak-poranda tak jelas. Ia menekan pelipisnya yang diserang pusing mendadak. Ingin sekali menepis kesimpulan nyata yang ditarik syaraf kewarasannya. Tapi, ia tidak salah.
Kalau bisa, Katsuki ingin membuang konklusi bahwa Izuku akan lebih berhati-hati, serta waspada. Sebab kalau berbicara soal Izuku, tentu saja, Katsuki tak bisa berhenti khawatir. Pemuda bersurai hijau lumut itu benar-benar tanpa logika! Barangkali, rasionalitas tak lagi bagian dari kamusnya. Hei, Izuku itu begitu ceroboh dan tak kenal maut bila soal menyelamatkan seseorang. Katsuki harap Izuku lebih sayang nyawa.
Namun, tidak. Ia tak pernah bisa berhenti tidak berhati-hati.
"Sudah kubilang, sialan–berhati-hatilah!"
"Kacchan, tak apa! Jangan marah, aku bisa, kok."
(Entah berapa kali konversasi yang berimplikasi tentang sukma Izuku terulang.)
Astaga, jangan membuat Katsuki mengingat masa-masa SMA. Jangankan SMA, baru dua hari lalu Izuku menaruh dirinya di atas tali yang membentang antara maut dan hidup. Ia tanpa ragu hendak merengkuh gadis yang hampir tertimpa reruntuhkan bangunan itu.
Oh, syukurlah lelaki pahlawan itu berhasil! Sang gadis selamat, begitu pun Izuku. Katsuki menutup pelupuk, sembunyikan sepasang iris darah dari buana. Hendak singkirkan pandangan yang pecah bersetai-setai. Berusaha enyahkan pikiran buruk. Itu kejadian dua hari lalu. Itu apa yang Katsuki tahu.
END
Boku no Hero Academia © Kohei Horikosi
Truth by Saaraa
(This is fictogemino fanfic. Please read from the end until the beginning and vice versa. It'll produce different endings.)
