:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:

CHEATING

:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:

Pair : WonMin ( Super Junior Siwon X Super Junior SungMin )

Rate : M

Summary : Antara kehidupan yang telah sempurna namun tanpa cinta.

Genre : Romance

Warning : Typos, Yaoi, Sex activity

Don't like don't read

No bash

.

.

.

Siwon PoV

"Rasanya semua ini memang salahku."

Aku kembali menutup pintu saat sebelumnya telah mengganggu kegiatan bercinta dua orang di dalam kamar. Kalian tak akan percaya, tanganku gemetar. Aku bahkan tak pernah begitu walaupun tengah berada dalam posisi yang sulit.

Semua adalah kesalahanku...

Dari awal, semua terjadi karena aku...

Saat ini, sepertinya sofa ruang tamu adalah tempat paling nyaman untukku beristirahat. Aku sudah seperti orang bodoh di rumahku sendiri.

Kenapa? Tidak. Kalian tidak salah dengar. Ini memang rumahku. Ruangan yang batal kumasuki tadi adalah kamarku. Kamar kami... aku dan istriku. Baiklah, jangan mendesak. Akan kuberi tahu. Istriku, dia ada di dalam kamar. Ya benar. Kamar yang tadi. Bersama dengan seorang pria.

Masih ingin kuperjelas?

Ck... Istriku, wanita yang kunikahi lima tahun lamanya, sosok paling cantik di akademi tempatku pernah menuntut ilmu, Jung Ryeo Won, aku menemukannya tadi, tengah bercinta dengan pria lain. Di dalam kamar kami.

Sudah jelas? Jadi jangan bertanya lagi.

"Siwon-ah—"

Aku baru saja akan memejamkan mata, namun suara merdunya mengusik. Tak ada jalan selain membuka mata dan akhirnya pesona wajah ayu itulah yang pertama kali memenuhi jangkauan pandanganku. "Kenapa?" Kalian pasti menganggapku gila. Karena setelah memergoki sang istri 'tidur' dengan lelaki lain, hal yang keluar dari mulutku sesudahnya hanya 'Kenapa'.

Dari sudut mata, aku juga menyadari kehadiran seorang yang lain. Tapi sama sekali tak memiliki niat untuk memandangnya. Fokus pada Ryeowon pun sungguh sulit kulakukan, apalagi untuk menatap partner-nya. Kalian benar. Mungkin aku memang sudah gila. Tak sedikitpun keinginan untuk menghajar selingkuhan istriku.

Konyol. Hanya buang-buang waktu.

"Kenapa dengan wajahmu? Kau bersikap seolah aku akan membunuhmu. Bicara saja. Kemudian pergilah. Aku ingin istirahat." Aku benar-benar dalam modus sangat tenang kali ini. kalian harus percaya padaku. Aku seratus persen sadar.

Lama tak ada suara—

Apa-apaan mereka? Mau sampai kapan berdiri dan menunjukkan raut wajah ketakutan seperti itu?

"M-maafkan a-aku—"

Maaf? Cih! Aku bukan Tuhan.

"Berhentilah bersikap layaknya gadis baik-baik. Sangat tidak pantas untukmu. Apa kalian sudah selesai? Pastikan pagi ini semuanya sudah diganti dengan yang bersih. Aku akan tidur di kamar tamu. Selamat malam."

::::: ::::: :::::

Sungmin POV

"Kau tak akan bisa lagi berenang."

Aku? Tanpa 'berenang'? Pak tua itu pasti bercanda. Kalau tidak berenang, lantas apa yang harus ku lakukan? Aku tak punya apa-apa. Setelah ini bagaimana aku harus hidup?

Bisa masuk ke dalam universitas paling terkemuka di negeri ini adalah suatu kebanggaan. Bukan hanya itu, untuk pertama kalinya aku merasa memiliki sebuah kehidupan yang sebenarnya. Aku bukan pemuda yang pintar. Tidak. Bahkan menghitung uang kembalian saat menjaga toko pun aku masih kesulitan. Tapi kalian harus tahu, kalau pemuda bodoh ini menguasai lautan di Daegu. Orang-orang menyebutku si Raja Air. Kawasan wisata tempatku tinggal, para penjaga pantai bisa memiliki waktu bersantai paling banyak karena sudah memiliki aku.

Hingga sebuah surat yang menawarkan beasiswa di Pulau Jeju datang padaku. Menuntut ilmu, bukan dengan bayaran uang. Tapi dengan kemampuanku berenang. Aku harus memenangkan setiap kompetisi untuk mengangkat citra sekolah di mata nasional, bahkan internasional. Untuk itulah namaku terdaftar sebagai mahasiswa di sekolah yang hebat itu.

Tapi sebuah kebodohan kecil terjadi. Karena kesombongan, aku lupa bahwa banyak orang yang iri tehadapku. Bahkan ingin sekali membunuhku.

Aku berkelahi...

Oh, baiklah, bukan berkelahi, aku dipukuli.

"Tulang belikat dan lengan atasmu tak bisa lagi dipaksa melakukan gerakan-gerakan cepat. Jika kau nekat, persiapkan diri untuk mengucapkan selamat tinggal pada lenganmu yang berharga itu."

Kuharap para dokter tersebut hanya bercanda. Kuharap saat ini aku hanya sedang bermimpi. Mungkin sedikit bersabar menunggu seseorang yang akan segera membangunkanku, dan semuanya akan kembali seperti semula. Semuanya akan baik-baik saja.

"Kami tak bisa lagi mempertahankanmu di sini. Memulangkanmu adalah keputusan yang harus kami ambil."

Dan di sinilah aku... kembali ke kampung halaman. Orang tua? Aku tak punya. Mereka sudah lama meninggalkanku begitu saja di panti asuhan. Aku juga sudah tak memiliki muka untuk kembali ke tempat di mana aku pernah dibesarkan.

::::: ::::: :::::

"Kita sama-sama kesepian. Bedanya, aku punya banyak uang, sedang kau tidak."

Terkekeh, "Kalau begitu, aku akan menumpang padamu."

"Menumpang? Tidak. Kau harus membayar sewanya."

"Dengan apa? Kau tahu aku bahkan lebih miskin dari pengemis."

"Terserah. Yang jelas, kau tidak bisa gratis tinggal bersamaku."

Aku tak pernah membayangkan akan bertemu dengannya...

~Pertemuan pertama...

Sungmin POV

Aku benar-benar gemetar saat pertama kali melihat wajahnya. Di begitu tampan. Wajahnya... tubuhnya... pesonanya... Ya Tuhan! Jika ingatanku tidak salah, ini pertama kalinya Kau memperlihatkan ciptaanmu yang begitu hebat. Aku benar kan? Dan sepertinya aku bukan satu-satunya. Karena mata itu, obsidian karamelnya juga tak lepas dari tubuhku yang saat ini hanya terbalut celana pendek.

"Aku sedang berlibur. Kau ingin menjadi teman berkencanku selama di sini?"

Berani sumpah, aku benar-benar bukan pelacur. Namun hati kecil ini tak sanggup menolak karismanya yang begitu dalam. Ya, karena hal 'ini' lah yang sampai sekarang membuatku tak memiliki siapapun yang cukup dekat. Kalian bisa menyebutku... special.

"Tapi aku tak memiliki payudara."

Ia tertawa mendengar jawabanku yang sangat.. hmm... entahlah, aku juga tak berpikir dulu tadi. Terucap begitu saja.

"Aku tak suka 'jenis' itu. Lagipula, kau anak termanis yang kutemui saat pertama kali menginjakkan kaki di sini."

"Aku sudah hampir dua puluh tiga tahun, Tuan."

"Bagus kalau begitu, aku juga tak suka disebut phedopil."

::::: ::::: :::::

Normal POV

Berjalan-jalan di atas buliran pasir putih di malam dengan tiupan angin laut yang hangat. Bercengkerama selayaknya dua orang sahabat, saudara, atau (mungkin) sepasang kekasih. Setiap orang yang merekam semua moment-moment mereka berdua pasti tak akan mengira bahwa dua anak adam tersebut baru saja bertemu, asing satu sama lain.

Sedikitpun tak ada keraguan dengan sentuhan-sentuhan kecil yang menggoda. Keduanya begitu menikmati saat kebersamaan mereka. Tak sulit menemukan ketertarikan masing-masing, karena baik Sungmin ataupun Siwon, masing-masing sudah menyamankan posisi mereka. Tak hanya kata-kata lelucon yang mengundang tawa dan rajukan kecil, bahkan selintingan kalimat tabu yang berkesan erotis tak pernah absen masuk ke dalam sela-sela obrolan mereka.

"Jadi bagaimana? Kau harus 'membayar' jika ingin tinggal bersamaku." Siwon berucap dalam posisi teramat dekat. Hembusan napasnya menggelitik setiap bulu-bulu halus tengkuk Sungmin.

"Berhentilah menanyakan hal itu. Kau bahkan masih di Daegu dan aku masih pemandumu. Bukankah seharusnya aku yang medapat bayaran?" Jemarinya menari di atas pasir halus, bergerak kesana kemari membentuk sebuah rangkaian tulisan acak. Jika satu kata terbentuk, ia akan merusaknya, kemudian menulis lagi, lalu menghapusnya lagi, begitu terus, tanpa bosan.

"Apa benar kita baru bertemu kemarin sore? Kenapa rasanya aku sudah jauh mengenalmu, Lee Sungmin?" Kembali, Sungmin merasakan sensasi angin hangat dari belakang leher hingga telinganya. Jika saat ini adalah tengah hari, bagian sana mungkin akan terlihat merah menyala.

"Ahjussi, sejak kapan kau memiliki suara seindah itu?" Sungmin menoleh, hidungnya tak sengaja menyentuh bibir tipis Siwon. "Aromanya bahkan sangat menyenangkan. Apa bagian yang lain juga sesejuk ini?"

Siwon mengerling nakal, "Kau mungkin harus mengeceknya sendiri."

Alih-alih merasa malu karena digoda, ekspresi Sungmin justru memperlihatkan bahwa pemuda itu tengah berpikir. "Aku ingin punya tubuh sepertimu, suara seberat milikmu, alis yang tegas, mata yang indah, dagu yang yang runcing, lesung pipit yang dalam—ahjussi, kau benar-benar memiliki semua hal yang hebat di tubuhmu. Wanita bodoh mana yang sudah mengkhianatimu?"

Siwon terkekeh, "Dari mana kau mengambil kesimpulan bahwa aku telah dikhianati?"

"Kau tahu kenapa pantai di daerah ini begitu sepi?"

"Tidak"

"Yang datang ke tempat ini adalah orang-orang yang sudah mendapatkan perlakuan buruk, membenci kehidupan, dan akhirnya memutuskan untuk terjun dari atas sana." Telunjuk Sungmin mengarah pada sebuah batu karang besar di sisi selatan. Terlihat samar dari tempat mereka duduk. "Sangat jarang ada pria tampan datang ke sini. Karena pria tampan kurasa tidak akan pernah dikhianati."

"Siapa bilang aku sudah dikhianati? Aku datang kemari bukan untuk bunuh diri. Apa kau lupa? Aku ke sini untuk berlibur."

"Baiklah. Anggap saja begitu."

"Apanya yang 'anggap – saja – begitu'? Aku memang tidak datang untuk terjun dari atas batu karang itu." Siwon seperti tersadar akan sesuatu. "Lalu bagaimana dengan dirimu? Untuk apa kau ada di sini? Jangan katakan kau juga salah satu dari mereka—orang-orang yang sudah bosan hidup." Siwon memutar tubuh Sungmin agar menghadapnya. Menatap foxy hitam yang mempesona itu, dan menunggu jawaban.

"Ahjussi, kau ini lucu. Memangnya kenapa kalau aku adalah salah satu dari orang-orang itu?"

Siwon terbelalak. "Jadi benar?"

"Bahkan lautan tak sudi menerima tubuhku. Terjun dari batu besar di sana sama sekali bukan ide bagus untuk mengakhiri hidup."

"Apa maksudmu?"

Sungmin menelengkan kepala, matanya menyipit memandang pria tampan di hadapannya. "Aku sudah mencobanya berkali-kali. Tapi tetap saja selalu bisa kembali ke daratan dengan selamat. Bahkan keadaanku semakin membaik setelah muncul ke permukaan." Sungmin menangkap raut 'tak paham' dari wajah Siwon, "Hentikan ahjussi! Kau jelek kalau seperti itu."

"Sampai kapan kau akan memanggilku dengan sebutan itu? Satu bulan lalu aku baru berumur tiga puluh."

Sungmin memutar bola matanya jengah. Masih cukup tua menurutku, pikirnya. "Aku tidak bohong, bunuh diri dengan menenggelamkan diri ke laut sama sekali bukan metode yang cocok untuk seorang perenang."

"Kau—perenang?" Wajah Siwon melembut.

Sungmin berubah gugup, "Aku tak ingin membicarakannya. Sudah malam, ayo pulang."

::::: ::::: :::::

"Kenapa justru membawaku ke hotel?"

"Rumahmu jelek. Aku tidak mau melihatmu tidur di sana."

"Tempat tidurnya hanya satu."

"Memangnya kau ingin berapa? Ini juga sudah terlalu besar untuk kita berdua."

Pertengkaran pertama? Begitu manis. Walaupun ruangan itu menjadi cukup ramai karena tenor Sungmin betul-betul tak bisa ditahan. Meski satu per satu kalimat 'protes' terus dilayangkan oleh Sungmin, ia tetap melakukan semua hal yang biasa orang lain lakukan sebelum mereka beranjak tidur. Mencuci muka, menggosok gigi, dan mengganti pakaian tidur. Mereka melakukan semuanya dalam satu ruangan.

Dan...

"Apa yang kau lakukan?" Sungmin (lagi-lagi) berteriak.

"Kau berisik sekali sih." Siwon mengangkat tubuh yang lebih kecil darinya itu, dan tanpa aba-aba tubuh mereka berdua langsung membentur kasur tempat tidur yang sangat empuk. Covernya sangat harum dan lembut. Sungmin bahkan menyukai warnanya. Merah muda pucat.

"Ahjussi, tempat tidur ini nyaman sekali." Tubuh mereka berdua sangat dekat. Tidak... tidak... lebih tepatnya sudah menempel. Tidak ada jarak. Siwon mampu menyesap aroma laut yang masih menguak dari rambut hitam Lee Sungmin. "Ahjussi, apa aku benar-benar harus tidur di sini malam ini?"

"Kau seperti profesional saja." Aroma mint dari pasta gigi langsung mengisi paru-paru Sungmin saat Siwon berbisik tepat di wajahnya.

"Aku bukan pelacur."

"Aku tahu."

"Kau memperlakukanku seperti itu tadi."

"Maafkan aku."

Hening...

"Ahjussi—, Apa aku boleh mengeceknya malam ini?"

"Mengecek apa?"

"—tubuhmu."

Segera ciuman panas menguasai mereka berdua. Siwon dengan lahap bermain di mulut Sungmin. Menjilat permukaannya, menelusuri isi di dalamnya, memagutnya dengan lembut, menghisapnya tanpa mempedulikan segala. Seakan tak ingin membaginya dengan orang lain. Bibir Sungmin hanya miliknya. Ia tak akan mentolelir imajinasi dalam bentuk apapaun berkenaan dengan kemungkinan ciumannya bukanlah yang pertama. Bagi Sungmin, malam ini, dirinya haruslah yang pertama.

"Ooohhh..." Desahannya tidak kuat, namun sudah cukup membuat seorang Choi Siwon gila.

Dengan cepat semua penutup kini tergeletak menyedihkan karena dicampakkan sang pemilik. Udara semakin panas, hanya untuk mereka berdua tentunya. Gesekan kulit dengan peluh sebagai pelumas menambah intensitas tiap desahan halus namun menggoda. Beribu kenikmatan mereka rasakan, setiap sentuhan membawa keduanya semakin tinggi.

"Sssshhh... nghhh..." Sungmin menggigit bibirnya sendiri begitu Siwon merasuki tubuhnya secara menyeluruh.

"Suaramu juga sama indahnya. Berteriaklah." Siwon berbisik di antara dagu dan pangkal leher Sungmin. "Kau tak perlu menjadi seperti aku. Karena tubuh ini, wajah ini, ciuman ini, semuanya milikmu."

Pria itu masuk semakin dalam. Menyatukan dengan benar seluruh raga dua keturunan adam dalam satu rasa dan sensasi kenikmatan dunia. Saling mengerang dan berteriak hingga masing-masing memperoleh puncaknya. Mengeluarkan seluruh tanda cinta, seakan keduanya merasa semua itu cukup untuk menenggelamkan mereka lebih dalam. Lebih jauh. Sampai jalan untuk kembali pun semakin tak terlihat.

::::: ::::: :::::

"Ini apa?" Siwon baru saja menyadari sebuah bekas luka besar terukir dari punggung hingga mengikuti garis lengan kanan Sungmin.

"Hidupku." Sahutnya pelan. Suara shower yang lembut cukup mampu menenggelamkan suara-suara yang ada.

"Apamu?"

Lengan Sungmin terulur untuk menghentikan hujaman air hangat di atas tubuh mereka. "Hidupku. Hal terakhir dan paling berharga yang kumiliki di dunia ini." Ada jeda sebentar, "—dan sekarang semuanya tak berarti apa-apa."

Tak perlu penjelasan panjang lebar untuk mengetahui makna dibalik kalimat Sungmin. Siwon kembali memeluk tubuh itu, walau dengan keadaan mereka yang kurang 'pantas'. "Aku tak akan menangis. Aku—tak bisa menangis. Aku laki-laki." ujar Sungmin pelan.

"Aku tahu. Hanya ingin memelukmu seperti ini lebih lama. Jangan melarangku."

"Aku menyukainya. Sesuatu seperti—terisi"

Tak ada kalimat lagi. Tubuh mereka yang bersentuhan, seakan menjadi alat komunikasi terbaik untuk menghilangkan segala rasa 'asing' yang masih tersisa pada diri masing-masing. Mengharmonisasikan degupan jantung dan merasakan aliran darah yang berdesir pada kulit. Sebuah cara aneh untuk menjadikan dua insan Tuhan yang hampir tak mungkin menapaki sebuah takdir serupa, bisa saling memahami.

"Lee Sungmin, terima kasih sudah datang padaku."

.

.

.

"Ahjussi, terimakasih sudah menemukanku."

TBC?END

A.N : Apakah kalian menyukai cerita ini? Perlukah dilanjutkan? Cerita ini dibuat atas permintaan terbanyak yaitu pair WONMIN. Semoga saja kali ini author dapat menyuguhkan thema dan kisah yang berbeda. Sekali lagi terimakasih untuk semua yang telah berkunjung kemari.
Saranghae.