"Ehm."
"—WHOA!"
Aomine Daiki—tigabelas tahun, kelas satu Teiko Chuugakko, sekaligus anggota klub basket—terlompat ke pojok gymnasium, berjongkok dengan badan sedikit gemetar dan posisi tangan melindungi kepala. Tingkahnya benar-benar seratusdelapanpuluh derajat berbeda dengan ucapan sok beraninya kepada Momoi Satsuki—temannya sejak kecil—ketika gadis dengan rambut merah muda itu memberitahunya tentang hantu di gymnasium.
Oh, seharusnya dia tadi tidak usah berlagak menantang one on one dengan hantu apapun yang ditemuinya.
"Siapa kau?" suara tak bernada menyapa Aomine. Sementara remaja dengan rambut biru gelap itu masih saja meringkuk di sudut gymansium sambil bergumam sesuatu tentang hantu.
"Ah, rupanya Aomine-kun."
Mendengar namanya disebut, Aomine memutar sendi-sendi lehernya ke belakang. Anak laki-laki yang lebih pendek dari Aomine berdiri beberapa meter di belakangnya, rambutnya berwarna biru cerah, begitu juga mata besarnya yang menatap Aomine penuh minat.
Aomine menarik napas, lega. Meski hawa kehadirannya nyaris tak terdeteksi, dia hanya anak laki-laki biasa. Bukan hantu.
Segera saja, keduanya duduk di lantai gymnasium, sedikit melupakan tujuan Aomine datang ke gymansium yang konon berhantu itu. Aomine bertanya beberapa hal kepada anak laki-laki yang baru ditemuinya.
"Hah? Jadi, tak ada yang menyadari kau menggunakan gymansium ini karena presensimu yang tipis? Hahahaha," Aomine tertawa dengan volume yang tidak seharusnya setelah mendengar penjelasan laki-laki biru muda itu.
"Aomine-kun, kau tertawa terlalu keras," suara datar milik anak itu menginterupsi tawanya.
Tawa Aomine berhenti, "hei, kurasa aku belum menyebutkan namaku."
"Kau kau anak kelas satu yang populer karena menjadi starter di string pertama." Bocah itu meraih bola basketnya.
"Huh, begitu?" Aomine tampak tidak berminat. "Jadi, siapa namamu?"
Sepasang manik azzure menatap mata biru tua Aomine, lalu terdengar desah napas, "aku masih di string ketiga." Jawabannya sedikit tidak relevan dengan pertanyaan yang diajukan Aomine.
"Bodoh, aku tak peduli kau berada di string berapa. Kau begitu menyukai basket sampai bersedia latihan ekstra setiap malam. Kalau kau benar-benar suka basket, kau bukan orang yang payah," Aomine tersenyum, tampaknya mulai tertarik dengan anak laki-laki itu. "Setidaknya, begitulah teoriku."
Otot bibir laki-laki itu tertarik—membentuk senyuman samar ,"teori yang aneh."
"Eh? Nani?!" balas Aomine sedikit iritasi.
"Namaku Kuroko Tetsuya, salam kenal."
Kuroko no Basket Fujimaki Tadatoshi
Severely
[monolog sang bayangan]
© chryssa
Aku tidak pernah lupa hari itu. Hari dimana aku dan Aomine-kun pertama kali bertegur sapa. Di gymnasium sepi yang biasa digunakan klub basket string ketiga untuk latihan. Sekaligus tempat yang biasa kugunakan untuk berlatih sendirian ketika anggota klub lain sudah kembali pulang ke rumah masing-masing.
Lalu, hari-hari berikutnya juga urung kulupakan. Ketika latihan tambahan bersama menjadi rutinitas kami setiap malam. Masing-masing dari kami berusaha untuk menjadi lebih baik. Meskipun Aomine-kun sudah begitu hebat, dia tetap berlatih. Sepertinya dia adalah pemain basket paling luar biasa yang pernah kujumpai.
Sedangkan aku terus berusaha untuk menjadi hebat.
Tapi, ketika aku bilang, "kau hebat, Aomine-kun."
Dia menjawab, "kalau berbicara soal itu, kupikir kau lebih hebat, Tetsu."
Waktu itu, aku masih tidak mengerti apa maksudnya. Apa yang membuat Aomine-kun berpikir aku hebat? Meski aku berusaha mencari tahu, aku tidak menemukan jawabannya.
Kemudian, pulang sekolah bersama Aomine-kun juga menjadi rutinitas. Dengan setangkai popsicle dalam genggaman tangan kami, jalanan panjang yang remang-remang diterangi lampu jalan, dan candaan yang dilontarkan Aomine-kun, meski akhirnya hanya dia sendiri yang tertawa—sedangkan aku hanya memamerkan senyumku yang biasa. Atau, obrolan-obrolan menyenangkan di sepanjang perjalanan; kami bicara tentang basket, impian, juga harapan. Lalu, tiba-tiba saja aku sudah berada di depan rumahku. Bersama Aomine-kun, jarak dari sekolah hingga tempat tinggalku yang cukup jauh menjadi tidak terasa.
"Kita akan bermain di satu arena, suatu ketika nanti, Tetsu."
Aomine-kun sering berkata seperti itu kepadaku. Tentu saja aku juga berharap begitu. Aku ingin bermain basket bersama Aomine-kun dalam pertandingan yang sesungguhnya. Meski rasanya mustahil. Aku bahkan tidak yakin aku bisa masuk string pertama—ah, tidak string kedua saja rasanya sulit.
Namun, aku berusaha. Tidak ada salahnya mencoba, bukan? Lagipula aku ingin menjadi lebih kuat.
Hingga sesuatu menghentikanku.
Sore itu, setelah ujian praktek di klub basket, aku berniat tidak menemuinya. Aku berniat berhenti bermain basket, berhenti berlatih bersama Aomine-kun. Tapi, kurasa aku perlu menginformasikan soal ini kepada Aomine-kun. Dia sudah banyak membantuku.
Sudah terlalu larut, ketika aku memasuki gymansium tempat kami biasa latihan. Tapi, aku tahu Aomine-kun masih di sana.
"Tidak biasanya kau terlambat, Tetsu," dia berkomentar, masih dengan bola basket di tangannya dan keringat yang bercucuran pasca latihan.
"Aku berpikir, aku akan berhenti bermain basket," tidak menanggapi komentarnya, aku langsung pada tujuanku datang kemari.
Aomine-kun tampak terkejut. Mata biru tuanya sedikit melebar, "kenapa?"
"Dengan kemampuanku, kurasa tidak ada gunanya aku meneruskan bermain basket. Aku bahkan tidak bisa lolos ke string kedua, apalagi bermain dalam satu arena dengan Aomine-kun." Aku berhenti bicara, mengambil waktu sejenak untuk menghirup oksigen yang dibutuhkan paru-paruku. "Aku suka basket dan sudah bergabung dengan klub basket selama setengah tahun, tapi dengan kemampuanku, kurasa aku tidak akan berguna untuk tim."
Aku tidak tahu apa yang dipikirkan Aomine-kun setelah mendengar penjelasanku. Dia hanya memandangku, lalu bicara, "Dalam sebuah tim, tidak ada pemain yang tidak berguna. Meskipun kau tidak bisa ikut pertandingan, tidak berarti kau, yang pulang paling akhir dan latihan lebih lama daripada anggota string pertama—ah, bukan, lebih lama daripada siapapun di klub ini—tidak berguna untuk tim."
Aku hanya diam, mencoba mencerna setiap kata yang dilontarkan Aomine-kun, sambil membuang muka. Mencoba untuk tidak memandang sepasang kristal sewarna laut milik Aomine, sebelum aku semakin terseret kedalamnya. Kemudian, dia melanjutkan, "paling tidak, untukku, melihatmu berlatih keras seperti itu membuatku menghargaimu dan membuatku berlatih lebih keras."
Aomine berhenti bicara. Tampaknya dia membiarkanku berpikir sejenak. Meski dia mengucapkannya dengan nada yang arogan dan gayanya yang biasanya, aku justru merasa dia sedang mencegahku berhenti dari hal yang kusukai. Kupikir, berhenti melakukan hal yang kausukai memang tidak semudah kelihatannya.
"Aku tidak akan bicara tentang kau pasti bisa melakukannya jika kau tidak menyerah," Aomine-kun melanjutkan pidatonya. "Tapi, jika kau menyerah, tidak akan ada lagi yang tersisa. Semua kerja kares yang kau lakukan menjadi sia-sia."
Aku masih bungkam. Memandangi lantai gymnasium seolah tempatku berpijak itu lebih menarik dari apapun—tanpa kecuali ceramah singkat Aomine-kun barusan. Sebenarnya, benakku berparadoks. Dusta, jika aku bilang beberapa kalimat yang diucapkan Aomine-kun tidak menimbulkan distraksi tersendiri dalam diriku. Bohong, jika aku tidak berpikir ulang mengenai keputusanku untuk berhenti bermain basket."
"Terima kasih, Aomine-kun."
Aku belum sempat menyuarakannya.
Kalimat itu masih menggantung diujung lidahku, ketika seseorang memanggil nama Aomine-kun. Kami menoleh ke arah pintu gymnasium yang terbuka. Tiga sosok laki-laki dengan warna rambut yang mencolok berdiri di ambang pintu. Aku mengenal mereka sebagai anggota klub basket yang menonjol di string pertama selain Aomine-kun—Akashi Seijurou, Midorima Shintarou, dan Murasakibara Atsushi.
"Aku jarang melihatmu belakangan ini, ternyata kau latihan di sini," dengan nada suara yang dingin dan sedikit arogan, remaja laki-laki bersurai merah—Akashi-kun—berbicara pada Aomine-kun.
"Yah, gymansium lain terlalu penuh," power forward yang belakangan ini menjadi temanku menjawab.
"Well, aku tidak peduli dimana kau latihan." Akashi-kun melangkah masuk ke gymnasium. Tiba-tiba saja sepasang matanya yang berbeda warna menatap ke arahku. Wajahnya tampak sedikit terkejut—seperti menemukan sesuatu yang baru. "Siapa dia?"
"Dia?" Aomine-kun menoleh ke arahku. "Aku selalu latihan ekstra bersamanya di sini. Namanya Tetsu."
"Hee? Memangnya dia anggota klub basket kita?" giliran si rambut ungu dengan tinggi badan yang abnormal—Murasakibara—bertanya.
"Dia bukan anggota string pertama," Aomine-kun menjawab lagi.
"Hmm, terserah," tampak bosan, si jangkung itu berkata lagi. "Ayo pergi."
Akashi tampak tidak sependapat. "Aku penasaran padanya. Menarik... Aku belum pernah melihat pemain seperti dia."
Keempat entitas di ruangan itu memandang Akashi-kun—termasuk aku. Sepertinya, tiga orang prodigy itu sama bingungnya denganku tentang hal yang baru saja diucapkan Akashi-kun.
"Mungkin dia memiliki talenta tersembunyi yang sepenuhnya berbeda dengan kalian."
"Just one more, I want to see Aomine-kun playing with a smile."
Hari-hari selanjutnya terasa menyenangkan. Latihan bersama Aomine-kun, Akashi-kun, Murasakibara-kun, dan Midorima-kun menjadi rutinitas setiap sepulang sekolah. Meski awalnya aku tidak terbiasa dengan Midorima-kun dengan segala macam benda keberuntungannya dan ramalan Oha Asa. Atau dengan Murasakibara-kun—aku sering berdebat dengannya jika tak ada pelatih atau kapten kami di arena. Begitu pula dengan Akashi-kun—kapten kami, yang segala perintahnya adalah mutlak. Seperti Aomine-kun, mereka semua luar biasa. Masing-masing memiliki kemampuan yang sedikit sulit dipercaya dimiliki oleh seorang siswa sekolah menengah. Tidak salah, jika mereka disebut-sebut sebagai Kiseki no Sedai—Generation of Miracle.
Aku debut di pertandingan basket antar sekolah pada tahun keduaku. Aku benar-benar bisa bermain basket di arena yang sama dengan Aomine-kun—seperti yang sering dia katakan padaku dulu. Aomine-kun adalah cahaya yang begitu bersinar di arena basket, sang ace Kiseki no Sedai. Sedangkan aku adalah bayangannya—mereka memberiku julukan Sixth Phantom Man.
Senyum Aomine-kun setiap dia berhasil mencetak skor, lalu kami saling beradu kepalan tangan. Tidak ada yang menarik atensiku selain senyum itu, ataupun tawa gembira yang lolos dari tenggorokannya ketika peluit tanda pertandingan usai dibunyikan dan nilai di papan skor mengatakan bahwa kami yang menang. Sejak itu, aku ingin terus melihat senyum itu—senyum dan tawa Aomine-kun pada setiap permainan.
Menonton Aomine-kun bertanding one on one melawan Kise-kun —anggota baru kami. Mendengar tawa Aomine-kun mengejek Kise-kun yang sama sekali tidak berhasil memasukkan bola ke dalam ring atau keluhan Kise-kun, menjadi kegiatan baru untukku yang biasanya hanya terkapar di bangku panjang seusai latihan. Aku tidak pernah bisa melepaskan atensiku dari permainanAomine-kun yang seolah menyihirku. Lalu, tawa Aomine-kun juga menjadi daya tarik tersendiri untukku.
Dalam setiap decit sepatu diseret di atas lantai. Dalam dentuman bola yang nyaris menulikan telinga. Dalam setiap kepalan tanganku dan Aomine yang beradu pasca duet kami di lapangan. Ataupun gelak tawa dan sedikit perdebatan yang mengisi gymnasium Teiko Chuugakko. Dalam semua kenangan yang membanjiri memoriku sepanjang hari-hariku di sekolah menengah. Aku tahu, bahwa aku tidak ingin kehilangan tawa dan eksisitensi seorang Aomine Daiki.
"The only ne who can beat me is me alone."
Ada yang berubah. Ada sesuatu yang berbeda dari biasanya, sesuatu yang janggal dan sedikit mengganjal.
Aomine-kun semakin sering membolos latihan basket. Meski tampaknya tak ada satupun anggota Kiseki no Sedai yang peduli—kecuali aku; sepanjang Aomine-kun tetap mencetak angka dan mempersembahkan kemenangan untuk Teiko.
Bosan, begitu katanya ketika kutanya tentang hal itu. Baginya, tak ada lawan yang sepadan dan berlatih hanya membuatnya semakin kuat.
Tiba-tiba saja, aku merasa asing dengan pemuda bernomor punggung enam di hadapanku. Siapa dia? Dia bukanlah Aomine-kun yang aku kenal. Bukan Aomine-kun yang selalu bersemangat setiap pertandingan, yang tertawa lebar setiap berhasil mencetak angka, yang mencintai basket dari dasar hatinya. Bukan pula remaja laki-laki yang—dulu—mencegahku meninggalkan hal yang sama-sama kami cintai.
Aku tidak mengenalnya.
Aku tidak mengenalnya.
Aku tidak mengenalnya.
Siapa dia?
Begitulah. Dan terus mengaum dalam hati, tanpa aku berani menyuarakannya.
Aku sepenuhnya mengerti, jika aku benar-benar berani mengatakannya, hal itu hanya akan semakin membentangkan jarak di antara kami. Bahkan tanpa aku menyuarakannya pun, bentangan jarak itu sudah semakin melebar.
Puncaknya, ketika Aomine-kun tidak lagi menyambut kepalan tanganku dan membiarkannya menggantung di udara kosong. Mengabaikannya. Sekaligus mengabaikanku yang kehilangan sosoknya yang lama.
"Kau tidak perlu memberikan pass padaku lagi, Tetsu."
Lalu, punggung kokoh itu semakin menjauh.
"Yang bisa mangalahkanku, hanyalah diriku sendiri."
Dan bertambah jauh. Hingga tak bisa lagi kuraih.
Kau berubah terlalu jauh, Aomine-kun. Cahaya yang dulu berpendar pucat namun cukup untuk menerangi, kini semakin berkobar hingga menyilaukan. Bahkan membakar.
Ya, membakar habis semua kenangan kita. Menghanguskan setiap tawa yang pernah kita bagi. Menghancurkan semuanya, menjadikannya serpihan abu.
Kemudian, semuanya juga turut berubah. Baik Kise-kun, Akashi-kun, Midorima-kun, ataupun Murasakibara-kun. Semua berhenti percaya padaku. Kami bukan lagi tim. Kami hanya bertanding untuk menang.
Semuanya, terlihat salah—setidaknya di mataku. Kemenangan yang kami dapatkan di hari-hari belakangan ini tak lagi terasa manis.
Lalu, kusadari jika kontribusiku cukup sampai di sini. Aku sudah tidak dibutuhkan di tim inti Teiko.
Hal yang aku ingat selanjutnya, hanya pengunduran diriku dari klub basket Teiko dan wajah terkejut Akashi-kun mendengar keputusanku.
"Even if we win, who knows id he'll change or not. But if we lose,then for sure nothing will change from before."
Dulu, dulu sekali, ada derai tawa bahagia yang menggema di lorong gymnasium sekolah. Ada pula percakapan tak bermakna dari beberapa anak yang kelelahan pasca latihan. Ada pula sampah bungkus makanan dan minuman ringan yang berserak di koridor.
Kau tahu? Itu kami.
Aku dan Aomine-kun. Terkadang Kise-kun bergabung dengan kami. Tidak jarang, Murasakibara-kun dan Midorima-kun turut serta. Sebelum pintu berderit terbuka dan menampakkan sosok berambut sewarna api dan mata heterokrom kembali menyuruh kami latihan (dengan sedikit ancaman, tentu saja).
Tapi itu dulu. Dulu sekali.
Jauh-jauh hari ketika kami masih sama-sama membela panji Teiko. Saat aku masih memakai seragam putih dengan aksen sewarna dengan rambutku, bernomor punggung limabelas.
Bukan ketika kami kembali bertemu di arena pertandingan—kali ini sebagai lawan. Dengan seragam yang berbeda dan membela sekolah kami masing-masing. Ataupun ketika kami berkumpul dalam jersey beraneka warna—bukan lagi putih berpadu biru muda—beberapa jam sebelum Winter Cup karena perintah Akashi-kun.
Lalu, dalam babak penyisihan Winter Cup, kami benar-benar menghentikan Aomine-kun. Dunk Kagami-kun merubah hasil akhir pertandingan Seirin versus Touou. Bukan rentang skor yang berbeda puluhan angka, cukup perbedaan satu angka. Tapi kami menang.
Dengan tubuhku yang yang limbung dan Kagami-kun yang membantuku tetap menapak dengan kedua kakiku sebagai tumpuan. Dengan staminaku yang terkuras habis, Aomine-kun menyambutnya—menyambut kepalan tanganku yang terulur kepada pemain Touou Gakuen nomor lima itu. Setelah hampir satu tahun yang lalu dia mengabaikanku.
Kemudian, kusadari ada senyum samar terlukis di wajah Aomine-kun. "Lain kali, aku akan menang."
"To protect your beliefs, you have to fight and win."
Dalam sisa waktu yang kumiliki dengan Aomine-kun—yang berarti di sela-sela latihan shootku dengan mantan partnerku semasa di Teiko itu, aku mencoba berbicara banyak dengannya. Seperti dulu—di lorong gymnasium Teiko, atau dalam perjalanan pulang seusai latihan.
Aku senang dia kembali, meski belum sepenuhnya. Setidaknya, Aomine-kun yang kukenal sedikit demi sedikit kembali. Aku melihat sedikit harapan untuk memperbaiki hubungan kami. Meski kami bukan lagi partner seperti dulu. Meski aku bukan lagi bayangannya—dan aku sudah memiliki cahayaku yang baru.
"Aki senang kau menemukan cahayamu yang baru, Tetsu," dia berkata. Lalu meneguk minumannya. "Yah, meski dia masih sedikit payah."
Aku tersenyum samar. Sudah terbiasa mendengar Aomine-kun mengejek Kagami-kun payah—baik di depan orang yang bersangkutan, ataupun ketika partnerku dengan rambut sewarna darah itu tidak ada.
"Aomine-kun," aku menoleh setelah melemparkan gelas kartonnya ke tempat sampah. "Meskipun kau bukan lagi cahayaku, kau tetap mejadi temanku."
"Aku tahu,"Aomine-kun mengacak surai biruku. Mengingatkanku pada hari-hari dimana dia selalu mengulurkan tangannya kepadaku dan telapak tangannya yang hangat menyentuh permukaan kulitku. Lalu dia melanjutkan, "Di pertemuan kita yang selanjutnya, kita akan menjadi lawan, Tetsu."
"Ya," aku menjawab singkat.
Lalu jeda. Kami hanya bergeming di lapangan basker outdoor itu. Bersama salju yang menari-nari di udara. Berteman dengan desau angin musim dingin yang membuat temperatur semakin turun, hingga nyaris beku.
Lirih, aku berucap.
"Terima kasih. Aomine-kun."
Compiuto
Maaf jika ada beberapa yang melenceng dari timeline yang sesungguhnya di manga ataupun segala OOCness dan semua kecacatan fiksi ini. Saya berusaha se-canon mungkin dan se-IC mungkin, tapi yah... sedikit sulit. Terlebih lagi saya agak tolol menyangkut sudut pandang orang pertama.
Writing friendship is quite hard, tbh. Otak saya ngajak lebih melulu =.=
Sebenarnya ini ide lama—banget. Hanya saja berhenti di tengah jalan, dan baru-baru ini saya menemukannya kembali di tumpukan dokumen yang nyaris dibuang ke recycle bin. Akhirnya saya lanjutkan, tapi tampaknya ada perbedaan style dari tengah hingga akhir dengan bagian awalnya. Uh, entahlah itu mengganggu atau tidak—semoga tidak. Tadinya mau saya rombak dari awal dan saya bikin kayak monolog di teater begitu, tapi malah jadi absurd.
Terima kasih sudah membaca. Silahkan eksekusinya. Saya sayang kalian :)
Untuk tujuh jam yang luar biasa—6 Februari 2013.
[chryssa]
