{Edited}
Disclaimer: Masashi Kishimoto
Warning: emo, klise, idenya tiga seribu di pasar, alternateuniverse, alur acakkadul, typos as always, ooc, cold!Naru. Author tukang php janji update.
Don't like - Don't read - Don't judge.
Jadilah pembaca yang bijaksana. Kalau tau engga suka pair, atau konfliknya, dll, yah back saja. Jangan menghakimi saya di review. Okey? *wink*
.
..
.
Hinata Hyuuga masih tertidur dengan pulas di kasurnya yang baru. Kasur empuk berukuran king sized itu sangatlah nyaman, sehingga mimpinya akhir-akhir ini sangat indah.
Ketika ia membuka mata, yang dilihatnya adalah rambut kuning berantakan yang sangat dekat dengan jangkauannya. Dan ketika ia menggulirkan pandangannya ke bawah, yang ia lihat adalah mata teduh berwarna biru safir milik suaminya.
Suami sahnya, Namikaze Naruto.
"Ohayou." sapa suaminya lembut.
"Ohayou." Hinata membalas dengan senyuman, plus suara serak khas baru bangun tidur.
"Nyenyakkah?" Suaminya kembali bertanya, sambil membelai rambut indigo panjang Hinata lembut. Sesekali belaian itu mampir di pipinya, mencubitnya pelan.
Hinata mengangguk. Lalu memejamkan mata menikmati belaian Naruto. Ketika ia membuka mata, Naruto sudah berada beberapa sentimeter di depannya, dan di detik berikutnya ia mengecup kening Hinata lembut.
Hinata tersenyum manis.
"Akan kubuatkan sarapan." Kata Hinata setelah Naruto menjauh darinya. Naruto tersenyum dan mengangguk lalu beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi. Hinata berdiri, sedikit membereskan tempat tidur, menggelung rambut panjangnya, dan mulai berpikir tentang menu sarapan hari ini.
…
Hinata memasak nasi goreng omeletnya sambil bersenandung kecil, menikmati setiap langkah yang harus ia lewati untuk membuatkan makanan enak untuk suaminya.
Ketika hendak mengambil garam, bau mint khas pasta gigi Naruto mendekat, membuat senyum Hinata langsung mengembang lebar.
Tak menghentikan aktivitasnya, wanita berusia 24 tahun tersenyum, "Aku tau kamu ada disitu, Naruto-kun."
Tangan Naruto yang semula hendak memeluk Hinata dari belakang langsung jatuh di sisi tubuhnya, berdecak kecewa karena ia ketahuan.
"Ah, kamu tidak asyik, Hinata-chan. Seharusnya kalau kamu tahu pun, kamu kan bisa pura-pura tidak tahu." Kata Naruto sambil memasang muka cemberut. Ia menarik salah satu kursi dari meja makan berisi enam orang dan duduk di sana.
Hinata melirik sekilas ke arah muka cemberut suaminya yang menggemaskan. Ia lalu membawa piring yang berisi masakan wangi yang membuat air liur Naruto menetes.
"Nasi gorengmu sudah jadi, Naruto-kun." Katanya, lalu menarik kursi di hadapan Naruto.
Muka cemberut suaminya itu langsung berubah seratus delapan puluh derajat. Ia cepat-cepat mengambil sendok dan menyendoknya ke mulut. Awalnya, ia sedikit panik karena ia menyendok makanan saat masih sangat panas. Lalu, setelah membuka mulut beberapa saat, ia akhirnya bisa menikmatinya dengan baik.
Setelah beberapa kali kunyahan, Naruto menelan sumber karbohidrat itu. Ia sengaja membuat mukanya berubah menjadi ekspresi datar.
Raut suaminya yang berubah masam menimbulkan kecemasan kecil di hati Hinata. "Tidak enak, ya, Naruto-kun?"
Naruto menyendok makanannya lagi, namun kali ini ia menyodorkan sendoknya ke arah Hinata. "Coba sendiri."
Hinata membuka mulutnya, dan sebuah sendok berisi nasi goreng masuk ke dalam mulutnya. Tidak ada yang aneh, semua terasa sangat sempurna di lidahnya.
"Tidak enak di bagian mana, Naruto-kun?" Tanya Hinata sambil mengunyah.
Naruto memutuskan untuk berhenti bersandiwara. "Itu dia pertanyaannya. Tidak ada bagian yang tidak enak. Masakanmu yang paling enak sedunia, Hinata-chan. Terimakasih atas makanannya." Kata Naruto, ia kembali menyuapi dirinya dengan semangat, sementara Hinata tersenyum, menonton suaminya yang makan dengan lahap itu.
Ketika ia hendak minum, air putih yang ia pegang tiba-tiba tumpah dan mengenai jas kerjanya. Ia langsung berdiri dan tetesan air meluncur dari jasnya itu.
"Biar aku ambilkan yang baru." Kata Hinata, lalu ia setengah berlari ke kamar mereka, mengambilkan jas yang baru, namun sesuai dengan warna dasi dan celana yang dipakai Naruto.
Ia kembali dengan jas biru donker, lalu memakaikannya pada Naruto.
"Kamu terlihat tampan, Tuan Namikaze." Pujinya.
"Kamu juga terlihat cantik, Nyonya Namikaze." Balas Naruto. "Walaupun belum mandi." Tambahnya lagi. Lalu mereka tertawa bersama.
Ia lalu mengantarkan suaminya hingga depan pintu. Lalu melambai ketika mobil mewah Naruto keluar dari halaman rumah mereka.
Saat ia kembali masuk, ia mendengar bunyi telepon berbunyi. Ia berjalan cepat menuju telepon itu.
KRINGG!
Hinata mengangkatnya, namun tetap tak ada jawaban dari seberang telepon.
KRINGG!
KRINGG!
KRINGG!
…
KRINGG!
Manik lavender Hinata terbuka, mengembalikannya ke dunia nyata. Hinata menatap ke arah alarmnya yang berbunyi sejak tadi, lalu mematikannya.
"Haah... Ternyata cuma mimpi."
Yah, mimpi. Semua yang ia alami tadi hanya mimpi indah semata. Tak ada satu keping pun kejadian dalam mimpinya yang pernah menjadi kenyataan selama ini.
Ia terbangun di kamarnya sendiri, kamar mungil berwarna ungu yang di sisi-sisi dindingnya banyak terdapat lukisan-lukisan lucu asli karyanya sendiri.
Tidak ada siapapun di samping kasur Hinata, membuatnya menghela nafas panjang. Ya, ia tak pernah tidur sekamar dengan suami yang dinikahinya tiga bulan lalu.
Suami sahnya, Namikaze Naruto.
Ia beranjak menuju jendela, melihat ke arah kalender sebentar lalu tersenyum kecil. Ia membuka tirai jendela, lalu menatap langit yang mulai berubah terang.
Hari itu sudah masuk penghujung bulan desember, namun tidak ada salju yang turun. Biasa, memang. Namun Hinata benar-benar mengharapkan salju yang turun di bulan ini.
Setelah sejenak melamun, Hinata mengikat rambutnya dan turun kebawah untuk memasakkan sarapan untuknya dan suaminya.
…
Naruto turun dengan pakaian lengkap ke meja makan. Hinata menyambutnya dengan dua piring nasi goreng omelet.
"Sarapan, Naruto-kun?"
Naruto yang masih sibuk dengan gadget-nya itu melirik ke nasi goreng omelet yang menggugah selera itu, namun setelah itu ia kembali sibuk dengan gadget-nya.
"Tidak sekarang. Aku buru-buru." jawabnya dingin.
"Oh." Hinata perlahan meletakkan kedua piring itu di meja makan, berniat untuk memakannya sendirian. Ia seharusnya sudah tahu, karena Naruto jarang berkeinginan untuk sarapan. Apalagi dengannya.
Naruto mengambil segelas air putih di atas meja, dan berniat meminumnya. Namun karena terlalu sibuk dengan gadget-nya, ia malah menumpahkan air itu ke jasnya.
Hinata yang melihat hal itu segera berlari ke kamar Naruto, dan mengambilkannya jas yang baru. Dengan senyum sumringah dan tanpa memilih warna apapun, ia mengambil sebuah jas berwarna biru donker.
Saat ia kembali, yang ia lihat adalah Naruto yang masih sibuk dengan gadget-nya, mengabaikan jasnya yang basah dengan air yang terus menetes-netes.
"I-ini, aku ambilkan yang baru, Naruto-kun." kata Hinata pelan sambil menyodorkan jas itu ke arah Naruto, berharap lelaki itu mau memakainya.
Namun tanpa melepaskan bayangan dari gadget-nya, Naruto berkata, "Tidak perlu, di kantor masih banyak."
Mulut yang terbuka ingin menyampaikan protes tertutup lagi karena Naruto sudah berjalan menuju pintu depan rumah mereka.
"Jam berapa Naruto-kun pulang?" tanya Hinata lagi, menyusul langkah Naruto yang besar-besar dan panjang-panjang.
"Entah." jawab Naruto irit. Ia lalu membuka pintu depan rumahnya yang besar berwarna coklat.
"Bi-bisakah Naruto-kun pulang se-sebelum makan malam karena aku–
"Tidak." balas Naruto, lalu menutup pintu depan rumahnya.
"–sedang berulang tahun, jadi aku ingin memasakkan sesuatu untukmu." jawab Hinata panjang, semakin pelan, semakin lemah, hingga pada akhir kalimat ia murni berucap tanpa suara.
Ia mematung di depan pintu hingga mendengar suara gerbang yang tertutup secara otomatis.
Hinata berjalan pelan menuju meja makan, tempat ia meletakkan piring berisi nasi goreng yang bahkan tak mau disentuh Naruto.
Ia duduk, lalu menyendok makanannya. Setetes air mata keluar dari pelupuk matanya, jatuh menuju nasi goreng di bawahnya. Namun ia tak hirau.
Dua tiga sendok, ia semakin terisak.
"Tidak ada bagian yang tidak enak. Masakanmu yang paling enak sedunia, Hinata-chan. Terimakasih atas makanannya." ucapnya sarkastis, menirukan ucapan Naruto yang hanya ada di mimpi indahnya.
…
Ketika Hinata menyapu bagian depan rumahnya, suara bel mengagetkannya. Ia turun menuju gerbang, dan menekan tombol untuk membuka kunci pintu. Ketika pintu dibuka, sebuah tart mini terhidang di depan mukanya.
"Happy birthday to you..." suara nyanyian serentak muncul, membuat Hinata tersenyum penuh haru.
Di depannya, Sakura, Sasuke, Kiba, Ino, dan Tenten memulai koor dengan berbagai versi suara. Hinata tertawa kecil, memandangi tart coklat tiramisu kesukaannya.
Sakura, Kiba, Ino adalah mantan teman kerja Hinata di sebuah galeri seni, sementara Tenten dan Sasuke bekerja untuk kantor Naruto. Mereka semua berasal dari kampus yang sama. Menjalani kehidupan kampus bersama-sama.
"Tiup lilinnya, tiup lilinnya tiup–"
"–tunggu dulu!" suara semi-teriakan Sakura mengganggu adegan yang membahagiakan bagi Hinata itu. Menimbulkan muka penuh tanda tanya dari teman-temannya, tak terkecuali Hinata. Namun senyuman bahagia tidak ia lepas dari wajah putihnya.
"Tart Hinata tidak ada lilinnya." katanya lagi, membuat semua orang melongo sebentar, lalu tertawa terbahak-bahak, termasuk Hinata.
Setelah sesi tertawa yang keras itu, Sasuke mengulurkan tangan kanannya ke hadapan muka Hinata, mengacungkan jari telunjuknya sebagai pengganti lilin.
"Ayo tiup." katanya.
Merasa itu adalah ide bagus, semua teman-temannya berbuat hal yang sama, mengasumsikan jari telunjuk mereka adalah lilin ulang tahun bagi Hinata.
Hinata tersenyum haru, menyukai bagaimana teman-temannya masih dapat menghiburnya. Ia mengucapkan doa, berharap yang terbaik bagi dirinya dan suaminya, dan berterimakasih karena Kami-sama memberikan teman-teman yang sangat berharga baginya.
Ketika membuka mata, ia menatap jari-jari yang teracung di depan mukanya, lalu meniupnya, seakan meniup lilin ulang tahun. Lalu menyuapi teman-temannya dengan potongan tart tadi.
Walaupun dinginnya pagi itu sangat menusuk, ia merasa begitu hangat karena teman-temannya yang memberinya kejutan hari ini.
…
"Apa kado yang diberikan suamimu, Hinata?" tanya Sakura.
Mereka kini duduk di sofa ungu ruang tamu rumah Hinata dan Naruto, ditemani beberapa cookies dan segelas teh hangat.
Hinata tampak tertegun, lalu segera membuat sebuah senyum palsu. "Dia tak perlu memberikan apapun. Sebuah ucapan selamat dan ciuman selamat pagi juga sudah cukup." balas Hinata.
Sakura dan Ino gregetan, mereka berteriak kecil. Kiba dan Tenten tertawa renyah. Bagi mereka, Hinata yang sederhana belum berubah. Namun tidak bagi Sasuke. Lelaki tampan penuh misteri ini mengartikan senyum dan kata-kata Hinata sebagai sebuah sandiwara.
…
"Kami sudah bolos kerja untukmu, Hinata. Bagaimana kalau kita pergi jalan-jalan?" usul Ino.
"Ya! Ide bagus. Aku akan membelikan apa saja yang diminta Hinata nanti. Sekalian untuk kado ulang tahunnya." balas Sakura setuju. Teman-teman yang lain pun mengangguk. Mereka sudah terlanjur bolos kerja, rupanya.
Hinata tampak sedikit bingung. Sebenarnya ia ingin menunggu suaminya, berjaga-jaga kalau dia akan pulang untuk makan malam. Ia melihat jam yang tergantung di dinding, sudah jam 4 sore. Ia tahu, kalau berbelanja dengan Ino dan Sakura, mereka akan menghabiskan waktu minimal empat jam.
'Lagipula, dia sudah bilang tidak akan pulang hari ini.' ucap Hinata dalam hati.
Setidaknya, ia butuh juga waktu untuk bersantai dan menikmati hidup bersama teman-temannya.
"Baiklah. Ayo!" ajaknya, lalu mengambil kunci mobilnya dari gantungan kunci.
…
Jam 9.30 malam. Naruto pulang dan mendapati mobil merah mungil milik istrinya tidak ada di garasi. Ia masuk ke rumah, dan mendapati rumahnya yang gelap, dan terkesan lebih sepi dari yang sebelumnya.
Biasanya ketika ia pulang, Hinata akan membuatkann kopi macchiato kesukaannya dan membukakan jasnya. Bertanya bagaimana hari dan pekerjaannya, yang dibalas sekenanya oleh Naruto. Tidak ada niat menceritakan apapun pada wanita itu. Makanan Hinata yang sedap akan menyambutnya, namun lebih banyak ia akan menolaknya karena sudah makan di kantor. Kini, ada sedikit penyesalan mengapa ia begitu mengabaikan istrinya itu.
Ia berjalan menuju kamarnya, dan membuka jas kerjanya, lalu mandi dengan air hangat. Setelah mandi, barulah ia merasa lapar.
Naruto turun ke dapur dan tidak melihat satupun makanan ada di atas meja. Yang ia lihat adalah piring bekas makanan yang terdapat banyak krim diatasnya. Ia membuka kulkas, dan mendapati bahan lasagna yang tinggal dihangatkan.
Naruto mengambilnya, meletakkannya di mangkuk, lalu memasukkannya ke dalam microwave. Namun sejenak ia berhenti karena tidak tahu bagaimana menggunakan microwave. Dengan kesal ia menggaruk kepala kuningnya dan memukul bagian atas microwave itu.
Ia lalu membuka rak di atas kepalanya, berniat mencari gelas dan membuat segelas kopi. Tapi setelah mencari-cari lagi, ia tidak menemukan kemasan kopi instan di rak manapun.
"Delivery saja."
Ia mengambil smartphone-nya dari saku celana. Namun naas, gadget canggih terbarunya itu kehabisan baterai.
"Sial!" umpatnya. Ia berjalan ke kamarnya, lalu mengambil charger dan segera mengisi ulang baterainya. Ia mulai berpikir untuk mencari makan diluar.
Disaat itulah ia mendengar suara pintu gerbang dibuka dan suara mobil Hinata yang masuk.
Ia segera turun, menunggu istrinya di ruang tamu.
…
Hinata turun dari mobil dengan perasaan gembira, ia lalu membawa semua barang yang diberikan teman-temannya. Kebanyakan belum dibuka, karena sebenarnya ia, Sakura dan Ino berpisah dari Sasuke, Tenten dan Kiba. Disaat Sakura dan Ino ingin membelikan apapun yang diinginkan Hinata, Sasuke, Tenten dan Kiba malah memisahkan diri dan mencari kado itu sendiri.
Ketika ia membuka pintu, ia melihat Naruto berdiri menunggunya.
"Tadaima, Naruto-kun." sapanya sambil tersenyum manis.
"Dari mana saja kau?" tanya Naruto dingin. Mata safirnya melihat Hinata membawa banyak kantung belanjaan. Dan saat melihat merek-merek ternama dan perkiraan harga dari barang-barang branded itu, ia langsung gelap mata.
"A-aku habis dari–"
"–oh, jadi ini kerjamu selama aku bekerja dan bekerja?" katanya sambil menunjuk-nunjuk kantung belanjaan Hinata. "Disaat aku capek menghasilkan uang, kau malah membelanjakannya dengan semua ini?" Ia lalu meninggikan suaranya.
Hinata bergerak mundur, ia takut. Baru kali ini ia melihat Naruto marah.
"Aku tidak memberikan uang setiap bulannya untuk kau foya-foyakan!" katanya lalu merebut kantung-kantung belanjaan itu dan mencampakkannya ke lantai. Setelah itu ia keluar dari rumah dengan sebuah bantingan di pintu.
Beberapa tetes likuid keluar dari mata Hinata. Ia berjongkok, memunguti kantung-kantung belanjaannya. Apa salahnya? Apakah bahkan di hari ulangtahunnya suaminya sendiri tak bisa memberikannya sedikit kebahagiaan? Sedikit perhatian?
Air mengalir dari sebuah kantung belanja Hinata. Ia membuka kantung itu, dan mendapati sebuah kotak kado rapuh yang bagian luarnya sudah basah. Perlahan, ia membuka kado itu.
Sebuah snow globe, atau yang tadinya sebuah snow globe. Kacanya sudah pecah, dan airnya berhamburan kemana-mana. Hinata makin merasa sedih.
Ketika ia melihat lagi di kantung itu, ada sebuah ucapan.
'Selamat ulang tahun, sahabatku Hinata..
Terima kadoku, ya. Aku tahu dari dulu kau suka snow globe dengan malaikat yang menari di dalamnya.
Itu limited edition, loh. Dijaga baik-baik, ya!
Kiba Inuzuka'
Tangis Hinata semakin menjadi-jadi. Ia merasa bersalah pada sahabatnya itu. Mereka sudah bersusah payah menjadikan hari ini sebagai hari spesial untuknya, dan bahkan ia tak bisa menjaga sebuah kado dari temannya.
Hinata mengelap airmatanya kasar, mengambil kantung-kantung belanjanya, lalu mengumpulkan semua pecahan kaca dan membawanya ke kamar.
…
Kaki Naruto berjalan dan membawanya ke sebuah mini market. Ia mengambil beberapa makanan ringan dan sebungkus ramen instan. Di mini market itu ia bisa menyeduh ramennya sendiri.
Ketika ia membayarnya, ternyata isi dompetnya kosong. Ia lalu mengeluarkan credit card-nya.
"Maaf pak, tidak ada fasilitas untuk credit card bapak. Bapak harus bayar tunai." kata sang kasir.
Naruto berdecak pelan. "Kalau debet?"
"Tidak juga, pak."
"Lalu bagaimana? Kau mau aku berhutang?" tanya Naruto lagi.
Sang kasir lalu menunjuk sebuah ATM centre di seberang mini marketnya. "Bapak bisa mengambil uang tunai di ATM, lalu kembali ke sini dan membayarnya. Saya akan menyimpan belanjaan bapak." kata sang kasir ramah.
"Terserah." balas Naruto lalu melenggang keluar mini market menuju ATM.
Ketika membuka dompetnya, ia lalu tersadar bahwa kartu ATM milik Hinata ada di dompetnya. Iseng, ia memasukkan kartu itu untuk melihat berapa uang yang dihabiskan Hinata.
Saat menekan tombol cek saldo, ia menjadi kebingungan sendiri. Uang di dalamnya tidak berkurang sedikitpun, malah bertambah. Seingatnya ia membuka rekening ini beberapa hari setelah mereka menikah, dan mengirimkan uang sebesar 15 juta rupiah setiap bulannya. Berarti sudah ada 45 juta di dalamnya. Lalu, seingatnya Hinata pernah bercerita kalau ia memindahkan semua tabungannya yang berkisar 90 jutaan ke dalam rekening barunya.
Berarti, Hinata tidak memakai uang dari rekening ini. Saldo berkisar 135 juta itu tidak menipunya.
'Apa Hinata punya tabungan lain?'
Ia hanya mengangkat bahu, dan mengambil beberapa lembar uang dari tabungan Hinata untuk membayar ramen.
…
Naruto pulang dengan perut kenyang saat ini. Ketika melewati pintu depan, kakinya menginjak lantai yang basah. Naruto berjongkok mengamatinya. Ia juga menemukan serpihan kaca yang lumayan besar di lantai yang sama.
Ia mengambil serpihan itu.
Naruto naik ke kamarnya dan membuang serpihan kaca itu di tong sampah yang ada di luar ruangannya. Ketika ia masuk, ia melihat led ponselnya berkedip.
Ada sms masuk.
From : Okaa-san
Naru-kun? Hpmu tidak aktif. Hp Hinata juga. Jadi kaa-san sms saja. Sampaikan selamat ulang tahun untuk Hinata, ya. Ajak kaa-san dan tou-san kalau kalian mau makan malam bersama.
Mata Naruto membelalak, ia benar-benar lupa hari ini ulang tahun Hinata. Ia lalu keluar, mencari istrinya untuk sekadar mengucapkan selamat ulang tahun dan menyampaikan pesan ibunya.
Ketika Naruto masuk ke kamar Hinata, yang ia dapati adalah istrinya yang tertidur di antara kantung-kantung belanjaannya.
Ia mendekat, lalu membelai rambut indigo halus istrinya.
"Maaf, aku lupa ulang tahunmu." katanya lembut, sambil tak henti membelai lembut rambut istrinya. "Selamat ulang tahun." katanya lagi.
Naruto membereskan semua kantung-kantung belanjaan yang ada di sekitar tubuh terbaring Hinata. Di sebuah kantung, ia melihat sebuah dress yang indah, dan sebuah kartu ucapan di didalamnya, yang berisi kalau benda itu adalah hadiah ulangtahun dari Ino.
Ia akhirnya membuka semua kantung belanjaan yang ada di sekitar Hinata. Tidak satu pun benda yang dibeli Hinata untuk dirinya sendiri. Yang ada hanya hadiah, hadiah, dan hadiah. Jadi fakta yang mengatakan bahwa Hinata tidak memakai uang tabungannya adalah sebuah kebenaran.
Sebuah bola kaca dengan isi berserakan menarik perhatiannya. Ia melihat dengan seksama bola kaca yang penuh dengan lem itu. Ia kemudian memegang tangan istrinya, melihat beberapa goresan luka kecil akibat kaca.
Sebuah kotak kado yang basah mengingatkannya pada lantai yang basah dan pecahan kaca yang ia temukan di lantai ruang tamunya. Ia langsung tahu kalau bola kaca salju yang ada di hadapannya ini pecah akibat ulahnya.
Bahu tegapnya merosot jatuh, ia merasa bersalah. Ia juga sekilas melihat kartu ucapan yang basah dan membacanya.
'Jadi Hinata suka snow globes, ya.'
Ia membelai lembut pipi Hinata, menggumamkan kata maaf yang tak terdengar, lalu menarik selimut tebal ke atas bahunya.
Hinata mulai merasa nyaman, ia menggulingkan tubuhnya kesamping, membelakangi posisi Naruto sekarang.
Naruto berdiri, lalu pergi keluar dan membongkar tong sampah di depan kamarnya. Ketika mendapatkan serpihan kaca yang ia yakini sebagai pecahan snow globe yang hilang, ia tersenyum puas dan kembali ke kamar Hinata.
Ia meletakkan serpihan itu di tempat snow globe yang bolong. Dan, memang benar, serpihan itu yang melengkapi snow globe tanpa salju dan tanpa air Hinata. Naruto tersenyum lagi.
Di belakang snow globe hadiah dari Kiba, ada sebuah kotak yang berukuran sedang berwarna ungu, warna kesukaan Hinata. Ia membukanya, penasaran apa isinya.
Pertama, ia menemukan kartu ucapan kecil.
Happy birthday, Hinata.
Bunch of Love, Sasuke.
'Sasuke?' Batin Naruto. 'Jadi karena ini dia tak masuk kerja tadi.' sambungnya lagi sambil terkekeh. Ia paham, Sasuke adalah teman baik Hinata dari semenjak sekolah menengah. Ia membuka kotak itu, dan terkejut.
Kekehannya berhenti, berganti dengan sebuah tanda tanya mengapa Sasuke memberikan hadiah yang lumayan aneh itu. Alisnya mengkerut tanda tidak suka.
Cincin?
Mengapa harus sebuah cincin?
.
.
.
Tbc (Tuberculosis)
Terimakasih untuk para reader, reviewer, yang jadi alarm untuk update setiap bulannya, dan semua yang sudah menambahkan Chrizzle dan ficnya yang abal-abal kedalam alert maupun ke favoritnya. Itu apresiasi terbesar yang pernah aku dapat sebagai seorang author.
Aku akan senang sekali kalau kalian mau mereview lagi.
See you in 2 nd!
-Ijel.
