Snow That Freeze All Heart
3 bulan, pertarungan terakhir Rusia, Kastil Saazbaum berhasil ditaklukan. Laporan korban jiwa : Unknown. Asseylum Vers Allusia, posisi belum ditemukan.
Jepang, 2015. Rumah Sakit Pemerintah, Nagasaki.
Bunyi tut nyaring terdengar memenuhi ruangan membuatku mual. Aku berbaring di rumah sakit ini sudah 2 bulan lamanya, sebelum dipindahkan ke rumah sakit pemerintah, aku berada di pusat medis militer di Rusia. Tempat perang terakhir kami dengan Vers. Ya bangsa Mars, untuk kali ini mengadakan gencatan senjata. Tepat setelah kastil Saazbaum berhasil pasukan bumi taklukan dengan mengorbankan banyak nyawa. Bukan hanya masyarakat sipil dan militer saja, namun putri pewaris tahta kerajaan Vers pun berhasil terbu—tidak, aku belum tahu keadaannya sekarang.
Hari itu, ketika Saazbaum menembak Seylum, hatiku terasa sakit. Seperti.. ada beberapa bagiannya yang runtuh akibat peristiwa itu. Melihatnya berbaring bersimbah darah. Aku, mengumpulkan sedikit tenaga yang masih ada untuk segera meraih tangannya. Seperti perpisahan terakhir. Aku yakin dia benar-benar sudah tewas (Seharusnya).
Perlahan dan tertatih, aku terus berjalan mendekatinya. Hari itu aku tak mampu menangis. Seluruh air mataku telah kering sejak orangtuaku meninggal akibat perang. Namun, tak bisa dibohongi kalau perasaan sedih merayap ke dalam hatiku.
"Inikah perang yang ingin kumenangkan? Tak ada hasilnya? Tidak, tidak, perang ini kami berhasil kami menangkan walau hanya sekali. Mengorbankan begitu banyak nyawa prajurit."
Aku menengadah ke arah langit-langit. Wajahku kusam tak pernah terkena sinar matahari selama 2 bulan. Dari bunker bawah tanah hingga rumah sakit yang berada di Jepang. Sesekali Yuki-nee menjengukku di sela-sela kesibukannya dalam mengatur persiapan perang selanjutnya. Setiap ia datang, aku hanya mampu menatapnya datar, tak bisa berkata-kata, luka yang ku derita sejak perang itu belum sepenuhnya kering.
Perang sebentar lagi akan kembali berkecamuk. Tak ada kata kedamaian di bumi jika bangsa Mars belum meraih keinginan mereka, yaitu menguasai Bumi. Mimpi kebencian dan balas dendam mereka pada ras manusia yang tinggal di bumi. Itu yang kudengar dari Rayet saat ia menjengukku tempo hari.
"Perang ini belum usai, Inaho. Apa kau akan terus terbaring di sini? Menunggu bala bantuan? Atau mukjizat tuhan?" ujarnya sambil menatapku serius.
Aku balas menatapnya. Tatapan ini berbeda ketika saat perang dahulu. Tatapanku mungkin kosong dan tanpa keinginan. Hanya ingin tetap damai seperti ini selamanya. Tapi semua itu tidak mungkin. Perang akan berkecamuk lagi. Barang satu atau dua bulan lagi. Aku tak boleh sia-sia berbaring di sini.
Tak lama, setelah itu, Rayet meninggalkanku sendirian di ruang rawat. Kata-katanya masih mengggantung di pkiranku hingga saat ini. Saat ketika kalian membaca tulisan ini.
Aku mencoba untuk bangun. Dalam keadaan susah payah, aku menjejakkan kaki ke lantai dan mencoba untuk berdiri. Pusing tiba-tiba saja menyerbu. Aku menapah ke dinding. Menahan tubuh ini agar tidak jatuh. Sudah lama aku tidak bergerak. Ini mungkin efeknya.
Setelah aku berhasil mengambil separuh tenaga, dengan perlahan aku berjalan menuju jendela besar di kamar inapku. Di sana, gordin berwarna putih pucat tengah menutupi bagian dalam kaca. Menutup cahaya sinar matahari untuk masuk ke dalam kamarku.
Aku menarik gordin hingga terbuka matahari mulai menerangi tiap sudut ruangan. Menghangatkan kasur, sprei dan sofa tunggu yang berada di kamar. Aku menarik nafas. Sudah lama tidak melihat pemandangan ini lagi.
Luka bekas jahitan di kepalaku masih terlihat jelas. Hari itu peluru bersarang di tengkorak kepala. Beruntung, ia tidak menembus otakku. Masih berada di dahi sebelah kiri.
Kepalaku diperban. Betadine berwarna merah masih menunjukkan warnanya di sana. Tak mau pergi. Tak ada luka yang lain. Semua lukaku berada di kepala dari mulai gegar otak ringan hingga kepala yang tertembus peluru. Untung saja aku berhasil diselamatkan.
KG-6 Sleipnir yang dahulu kugunakan, sekarang telah menjadi bangkai Kataphrakt yang disimpan di pusat industri Jepang. Kondisinya sangatlah parah.
"Kalau terjadi perang, apa motivasi ku untuk terjun kembali ke sana?" gumamku pelan.
Baru kali ini aku merasakan kebingungan yang luar biasa. Dahulu, ketika menghadapi banyak kataphrakt yang berkekuatan dewa itu, aku tak sebingung ini. Ada yang hilang….
Dari belakang, terdengar derit pintu yang terbuka. Sosok seorang perempuan muda masuk ke dalam dan berdiri di sana dalam diam. Wajahnya pias, namun senang. Ia tersenyum sekaligus terkejut ketika melihatku berdiri. Inko menghampiriku dengan setengah berlari. Ia lalu menggenggam tanganku dan mulai berceloteh.
"Akhirnya kau bisa berdiri juga, Inaho! Kau tahu, dokter sedikit frustasi melihatmu tak mau barang sekali berpindah dari tempat tidur. Sekarang kau mampu berdiri. Aku senang," katanya sambil menitikkan air mata.
"Aku kembali Inko."
Infrastruktur kota ini sebagian telah hancur akiibat perang. Hanya beberapa bangunan saja yang dapat digunakan untuk beraktivitas. Sekolah yang seharusnya digunakan untuk belajar, kini digunakan untuk wajib militer. Remaja-remaja berumur 15 tahun ke atas berbaris di depan seorang instruktur yang ku kenal. Ia menatap semuanya dengan tegas lalu meneriakkan perintah untuk segera berlari mengitari lapangan dalam 3 putaran. Tak lama, instruktur itu menoleh ke arahku. Wajahnya tampak seperti menangis. Ia lalu tanpa sadar berlari ke arahku dan memeluk dengan erat. Perasaannya kini tercurah sepenuhnya lewat pelukan kepadaku.
"Syukurlah, Nao-kun. Kau sudah kembali," katanya sambil terisak.
"Aku kembali Yuki-nee," ucapku untuk menenangkannya. Pelukan itu bertahan selama 3 menit. Setelah itu, aku melepas pelukannya dengan paksa. Tidak enak ketika dilihat orang lain.
"Bagaimana keadaanmu? Masih terasa pusing?"
Aku menggeleng.
"Apa mereka juga akan mengendarai kataphrakt?" tanyaku untuk merubah topik.
"Ya begitulah. Banyak sekali prajurit yang tidak kembali dari pertempuran. Kini, secara terpaksa, kita harus menarik prajurit baru dari kalangan sipil untuk membantu."
Begitu, suatu saat anak-anak ini akan terjun ke medan perang dan akan melawan kataphrakt-kataphrakt canggih itu. Apabila suatu saat aku akan bertemu dengan salah satu dari mereka. Apa aku masih siap untuk melawan tanpa takut?
"Yuki-nee, apa ada kataphrakt yang sedang tidak digunakan di sini?"
Yuki terlihat berpikir. Ia lalu berkata, "Ada, di gudang penyimpanan sekolah. Dua buah KG-6 Sleipnir seperti yang kau gunakan dahulu. Memangnya ada apa?"
Setelah Yuki-nee memberitahu tempatnya, aku segera pergi ke sana. Yuki-nee yang melihatku tiba-tiba berlalu akhirnya mengejar dan mencoba menghentikanku. Tapi.. aku menolaknya. Untuk sekali ini, aku ingin mencoba kembali kemampuanku untuk mengendarai Sleipnir.
"Yuki-nee, apa yang terjadi setelah kau menemukanku?"
"Aku.. hanya melihat kau tergeletak bersimbah darah. Ah dan dua buah kataphrakt tanpa pilot di sana. Yang satu Sleipnir sedangkan yang lain.. kataphrakt yang menyerangmu itu."
"Karaphrakt yang lain itu sekarang di mana?"
"UE telah mengambil kataphrakt itu. Aku dengar mereka membawanya ke Moskow untuk diteliti. Beruntung, tidak banyak kerusakan yang berarti pada tubuh kataphrakt itu. Mungkin suatu saat kita bisa menggunakannya."
Aku diam sejenak. Kataphrakt musuh dilingkapi dengan Aldnoah Drive dan hanya bisa diaktifkan dengan kehendak oleh penerus tahta Vers. Kalau pun manusia bumi mampu menggunakannya. Apa kita bisa menemukan cara untuk mengaktifkan cahaya misterius Aldnoah?
Kami pun telah sampai di gudang sekolah- bukan, aku lebih suka menyebutnya hangar. Di dalam dua buah Sleipnir tengah didudukkan pada masing-masing platformnya. Sekilas, aku melihat kalau kedua kataphrakt itu tidak masalah yang berarti. Segera, aku mendekati salah satunya dan masuk ke dalam kokpit untuk mencoba kembali kataphrakt itu.
"Hati-hati, Nao-kun. Kau baru saja keluar dari rumah sakit."
Aku mengangguk lalu menempatkan kaki pada tali kekang untuk masuk ke dalam kokpit kataphrakt.
"System start, engine check, power check, system all green. Ready to launch."
Keliahatannya mesin sleipnir ini masih baik. Aku menarik tuas dan mulai menyeimbangkan tubuh dari Sleipnir. Berharap setelah tiga bulan ini belum menggunakannya aku masih mampu untuk setidaknya melakukan pemanasan dengan mesin ini.
"Apa kau baik-baik saja Nao-kun?" Tanya Yuki-nee dari bawah. Wajahnya khawatir.
"Aku tidak apa-ap—ugh!" tiba-tiba saja kepalaku pusing. Memori-memori saat perang di Rusia perlahan mulai berputar di kepalaku. Dari mulai invasi pasukan Saazbaum ke dalam bunker, taktik infiltrasi dari Stratosfir yang kami lakukan hingga saat terakhir…
"Seylum-san…," kepalaku mulai sakit kembali ketika mengingat itu. Seylum-san, ia tewas, ini karena aku yang belum kuat. Sama seperti laki-laki itu.. ketika aku tak mampu menahan genggaman tangannya.
Ingatan-ingatan itu mulai berkecamuk makin keras. Menghantam perlahan lalu semakin keras ke dalam otakku. Menyakitkan.
"Nao-kun! Kau tidak apa-apa?" Yuki-nee sekarang berada di kokpit. Tepat di belakangku. Wajahnya panic.
"Tidak apa-apa, hanya merasa sedikit pusing."
Yuki-nee menarik nafas lega dan mengeluarkanku dari kokpit. Ia mencoba menjauhkanku dari ingatan-ingatan yang menyedihkan di dalam sana. "Harusnya kau tetap istirahat di rumah sakit. Kau baru saja bisa bangun hari ini bukan?"
"Tidak, aku harus berlatih kembali. Setidaknya aku harus mencoba untuk masuk dan menggunakan sleipnir."
Yuki-nee memapahku. Beberapa anak yang sedang wajib militer membantu Yuki-nee dan membawaku ke UKS untuk beristirahat.
"Kau tak harus memaksakan diri seperti ini. Lihat tubuhmu, masih lemah. Kau koma selama dua minggu setelah peristiwa itu. Fungsi otakmu belum bekerja sempurna. Seharusnya tidak usah bergerak begitu banyak dan jalan kemari hanya untuk menggunakan kataphrakt bukan?"
Aku hanya diam. Tak mau membalas kata Yuki-nee. Lebih baik aku keluar dari rumah sakit dan mulai berlatih lagi menggunakan sleipnir sekaligus menyehatkan kembali pikiranku sehabis peristiwa itu.
"Apa ini karena Asseylum?" Tanya Yuki-nee.
Aku mengangguk, "Aku tidak tahu bagaimana keadaannya… tidak, seharusnya dia sudah tewas bukan."
"Aku tidak tahu keadaannya. Ketika kami menemukanmu, Asseylum sudah tidak berada di sana. Ia menghilang entah ke mana."
Dia tidak ada di sana? Jasadnya.. seharusnya berada di depanku bukan? Apa jangan-jangan si kelelawar itu yang membawanya. Berpikir logis, itu adalah kemungkinan yang paling masuk akal. Orang itu membawa jasad Seylum-san entah ke mana.
"Setelah aku koma. UE dan Vers gencatan senjata? Tak ada perang setelah itu?"
Yuki-nee menggeleng.
"Begitu."
Perang sementara ini berhenti. Setidaknya dalam waktu dekat semuanya akan berkecamuk kembali. Aku harus kembali ke medan perang meski dalm keadaan seperti ini.
"Yuki-nee, bawa aku ke markas pusat militer Jepang. Aku ingin melakukan sesuatu di sana."
