Title: When Love Choose Their Victim
Character: England/Arthur Kirkland, America/Alfred F. Jones
Genre: Friendship, Romance
Rated: T
Summary: Cinta itu memang tidak pernah kenal korbannya, ketika Alfred melihat Arthur yang tertidur di ruang OSIS, ia dipaksa harus mengakui sesuatu yang sebenarnya tidak ingin ia akui.
Warning:AU, Typo sana-sini, Human named used.
Note:Fanfic kedua, dan first attempt menulis love romance, aslinya ini berasal dari ide membuat cerita dari 3 item 'Pulpen, Kertas dan Uang' dan jadilah cerita ini.
Hetalia is own by Hidekaz Himaruya, saya juga ucapkan terima kasih kepada Hidekaz Himaruya yang rela membiarkan karakter ciptaannya di 'cemplungin' kedalam berbagai settingan cerita para fansnya dan tidak marah.
Anyway, Selamat Membaca\(^o^)/
Chapter 1
Waktu pulang sekolah menjadi waktu yang sangat dinanti oleh para murid karena di waktu itulah, mereka dapat menikmati kebebasannya sebagai murid dengan segenap hati. Dimana mereka dapat dengan bebas mengekspresikan passion yang mereka miliki dan melakukan berbagai hal yang menurut mereka sangat menyenangkan dan juga konyol.
Sayangnya, semua kegiatan sore yang konyol itu tidak dapat dinikmati oleh salah seorang murid. Di suatu ruangan di sekolah, tepatnya di ruang OSIS, sang ketua OSIS, Arthur Kirkland, sibuk mengetuk-ngetuk pulpennya ke meja sembari menatap dokumen permintaan penambahan budget klub sepak bola yang sudah ke ratusan kalinya dikirim ke ruang OSIS dengan muka kesal. Arthur mengetuk pulpennya makin keras, pasalnya, ia sudah berkali-kali menolak dokumen itu dengan alasan sudah disesuaikan dengan budget keuangan yang dimiliki sekolah, namun mereka tetap saja mengajukannya tanpa henti, bahkan mereka menyuruh sang American -Alfed F. Jones nama lengkapnya- memberikan kertas permohonan secara pribadi pada dirinya agar dokumen itu dapat disahkan. Astaga, sampai segitunya mereka memohon hingga harus melibatkan sang American, yang bahkan mendengar namanya saja sudah membuat perutnya mual setengah mati.
Ya, keberadaan Alfed yang sudah seperti parasit itu cukup memberinya banyak kekesalan. Jujur saja, sikapnya yang selalu mencampuri urusan orang lain; termasuk dirinya yang notabennya sebagai Ketua OSIS super tegas nan dingin. Ia tidak bisa menghabiskan waktunya untuk mengerjakan urusan OSIS dengan serius lagi karena setiap saat Alfred selalu mendatanginya dan melakukan hal tidak jelas, hingga berakhir dengan amukan Arthur yang menyuruh Alfred pergi, dan kalau perlu, menyuruh Alfred mati sekalian.
Arthur menghela nafasnya, ia melempar pulpennya kasar dan beranjak menghempaskan tubuhnya ke sofa didekatnya, berusaha untuk melupakan semua yang sudah terjadi hingga hari ini. Tubuh dan jiwanya lelah, ia hanya ingin secepatnya menyentuh kasur dan tidur dirumah, namun saat ini sofa sudah lebih dari cukup untuk membuatnya merasa nyaman dan ngantuk.
Ia memperhatikan jam dinding, sudah jam empat sore, waktunya untuk menikmati mentari sore sambil meminum teh earl grey favoritnya. Arthur menggerutu, lalu dengan pasrah ia pun mencari posisi yang nyaman untuk tidur, terlalu lelah untuk memberikan dirinya kesempatan untuk menjamu dirinya dengan teh.
"Dua jam... aku hanya boleh tidur dua jam... aku harus bangun... " gumam England, perlahan matanya terpejam hingga tak lama, dirinya sudah hanyut terbawa arus menuju alam mimpi.
Meskipun Arthur mengatakan hanya tidur dua jam, namun jam dinding hanya bisa bisu ketika waktu tidur Arthur telah melebihi batas yang telah ditentukan oleh dirinya sendiri.
Namun bagusnya, masih ada satu orang murid terakhir yang berbaik hati mau mendatangi ruang OSIS, meskipun hati kecilnya was-was kalau-kalau ada sebuah penampakan di lorong sekolah yang sudah sepi itu. Tanpa mengetuk pintu, orang ini langsung membuka pintu ruang OSIS...
... hingga dirinya tertegun dan terkejut. Ya, itulah reaksi utama Alfred ketika dirinya masuk kedalam ruang OSIS yang gelap gulita tanpa penerangan, hanya ada cahaya bulan yang menerobos lewat jendela yang masih terbuka lebar.
Saat itu, jam dinding sudah menunjukkan pukul delapan lebih lima belas malam, dan Alfred harus pergi ke ruang OSIS setelah disuruh menanyakan kabar dokumen budget anak sepak bola pada Arthur.
Alfred menghela nafas kesal karena dirinya harus menjadi korban babu anak sepak bola yang menurutnya pengecut karena takut menemui Arthur, namun disatu sisi dirinya senang karena dapat bertemu dengan ketua OSIS itu, berarti ia punya kesempatan untuk menjahili Arthur hari ini, berhubung seharian ini, ia belum bisa menemuinya karena sibuknya si ketua OSIS.
Ya, menurutnya, dibanding dengan anak-anak yang lain pada umumnya, Arthur termasuk anak yang paling beda sendiri; kemampuan sosial yang bisa dibilang miris parah, pendiam, suka menusuk kalau berkata-kata, dan kalau marah dia bisa meledak-ledak hingga bisa saja ia memberikan sebuah 'pernyataan' final mematikan yang bisa membuat para korbannya menangis seperti ikan menggelepar mencari oksigen.
Namun dia juga yang terlihat paling kesepian dibanding orang lain.
Inilah alasan sederhana mengapa Alfred betah berlama-lama bersama Arthur - meskipun setiap ia selalu menjahilinya dan Arthur selalu mengumpatnya karena kesal- Ia ingin bisa menjadi orang pertama yang bisa merubuhkan dinding pertahanan yang sudah dibentuk Arthur sejak pertama ia berada disini. Menurutnya, Arthur pantas untuk merasakan hangatnya sebuah sahabat lebih dari siapapun, karena terkekang dalam kesendirian itu sesungguhnya sangat menyiksa jiwa dan raga.
Dan mari kita kembali ke realita cerita.
Sosok Arthur yang tertidur di sofa, tersinari cahaya bulan, dengan pakaian yang sedikit kusut, dasi yang dilonggarkan dan tiga kancing atas bajunya yang terbuka, cukup membuat Alfred tertegun.
Arthur yang selalu dikenal sebagai sosok ketua OSIS yang sempurna itu, bisa juga menjadi seperti anak berandal yang kalau sudah bertemu dengan kebebasan, bisa lupa sosok sempurnanya.
Dan posisinya sekarang sangat 'tanpa pertahanan', Alfred jadi ingin mengganggu dan mengusilinya. Namun niat itu segera ia urungkan, ketika dia melangkah mendekati Arthur dan menatap wajahnya lebih dekat. Wajah kelelahan, kantong mata yang cukup besar dan gelap karena kurang tidur, dan tubuhnya juga sangat kurus dibanding anaklaki-laki lain pada umumnya.
Alfred membelai rambut Arthur pelan, senyuman kecil merekah dari bibirnya. Ia kemudian mengambil sebuah amplop putih yang ia terima dari anak-anak klub sepak bola dari kantong jaket bombernya, yang berisi sejumlah uang, dengan maksud untuk menyogok Arthur agar menyetujui penambahan budget klub sepak bola itu. Alfred masih menatap amplop itu kemudian menatap Arthur pelan.
"Kurasa, kalaupun aku memberikan amplop ini padamu, yang ada hanya uang ini kau lempar ke perapian pastinya." Ujar Alfred sambil tertawa pelan. "Lebih baik kalau uang ini aku gunakan untuk membiayaiku makan hmburger sampai satu tahun kedepan."
Ia menatap wajah damai Arthur dan tanpa sadar, wajahnya sudah maju mendekati wajah Arthur dan mencium dahinya, lemah lembut dan lama, menyesapi aroma earl grey yang ada di tubuhnya. Dan America pun mempertanyakan sesuatu di dalam hatinya...
...apa arti keberadaan Arthur bagi dirinya?
Sebagai temankah?
Atau lebih dari itu?
Kalau ia menganggap Arthur lebih dari sekedar sahabat, akankah Arthur membalas perasaannya?
Tidak, tidak mungkin. Kenapa tiba-tiba ia berpikiran seperti itu. Arthur sudah pasti hanya sebagai temannya saja. Ya, hanya sebagai temannya saja.
Lalu...
Lalu ciuman yang barusan itu apa?
Lamunan Alfred seketika buyar ketika mendapati wajah Arthur mengernyit dan nafasnya menjadi tidak teratur. Sepertinya ia mendapat mimpi buruk.
Alfred endak memanggil namanya ketika Arthur menggumam "Tolong..."
"Eh?"
"Jangan pergi... Alfred..."
"...hah?"
"Aku... mau memasakmu..."
"..."
Kalau tidak ingat Arthur yang sedang tidur, mungkin saat ini Alfred sudah berniat memukulnya atau melakukan hal lain pada Arthur, ia bahkan sampai lupa untuk bernafas saking terkejutnya. Wajahnya merah padam, dan jantungnya berdebar keras tidak karuan gara-gara gumaman itu.
Oh tidak, ini buruk.
Sangat buruk
Alfred menatap England lagi. Ia memang pernah dengar pepatah kalau serangan cinta tidak mengenal usia dan jenis kelamin. Cinta dapat tumbuh pada siapapun bahkan ketika mereka adalah dua insan sesama jenis sekalipun. Tapi tetap saja, ini sangat absurd.
Apa mungkin...
...karena aku ingin agar ia dapat membuka diri, makanya aku jadi punya perasaan seperti ini?
Tapi aku dan dia sama-sama laki-laki! Ini rasanya terlalu aneh!
Alfred menutup matanya dan berpikir keras, bimbang dengan perasaannya yang sebenarnya sudah jelas ada didepan mata jawabannya.
Hanya saja, ia terlalu takut untuk mengakuinya, sangat takut malah. Takut kalau ia mengakuinya sekarang...
... Arthur akan menolaknya...
... atau malah membencinya...
... dan ia tidak mau hal seperti itu terjadi.
Mengambil nafas panjang. Alfred menyentuh bahu Arthur dan menggoyangkannya pelan, membangunkan Arthur yang kemudian menatap Alfed bingung.
"Al? Kenapa kamu tiba-tiba ada disini? Kenapa ruangan ini gelap sekali? Sekarang jam berapa?" Tanya Arthur memperhatikan sekelilingnya. Mata Arthur membulat ketika menyadari jam dinding sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Arthur menolehkan wajahnya pada Alfred dengan muka kesal. "Bloody git! Sejak kapan kau ada disini dan kenapa tidak membangunkan aku, hah?!" Amuk Arthur. Alfred hanya mengedipkan mata kaget, namun kemudian wajahnya menyembulkan senyumannya yang paling cerah.
"Habis wajahmu lucu sih. Kalau saja baterai hp-ku masih penuh, aku ingin memotret wajah tidurmu tadi." Tawa Alfred senang, hingga wajahnya langsung menerima lemparan jaket OSIS milik Arthur yang entah Arthur dapatkan darimana dengan keras.
"Git! Tidak lucu tahu! Padahal kalau aku bisa bangun lebih awal, aku mungkin masih sempat mengerjakan tugas sekolah dan tugas OSIS lainnya!" Arthur langsung beranjak menyalakan lampu dan segera merogoh tas sekolahnya, mengeluarkan tugas-tugas sekolahnya. Alfred hanya memperhatikan setiap gerak-gerik Arthur dalam diam.
Arthur yang saat itu tengah menulis sebuah dokumen mengalihkan perhatiannya pada Alfred, merasa tidak nyaman diperhatikan olehnya. "Apa, git? Kalau kau mau menjahiliku nanti saja, aku sedang tidak berniat meladenimu." Ujar Arthur. "Lalu, ada perlu kau kesini?"
Alfred hanya tersenyum padanya. "Tidak ada apa-apa. Aku tadinya mau membuatkanmu teh dan menemanimu disini." Ungkap Alfred. "Habis aku kangen padamu sih..."
Dan reaksi Arthur berikutnya diluar prediksi Alfred. Seketika terdengar suara pulpen pantah, disertai terhentinya tangan Arthur dari menulis. Tidak hanya itu, wajah Arthur juga memerah, kaget dan malu disaat bersamaan. Alfred terlalu tertegun ketika menyadari pulpen patah tadi sudah melayang mengenai wajahnya dengan keras.
"Alfred F. Jones, dasar bloody git! Apa maksud perkataanmu itu, hah?! Kalau kau sebegitu inginnya menjahiliku, akan kuladeni kau sekarang!" Entah dari mana asalnya, ditangan kanannya sudah terdapat scones kebanggaannya yang bisa saja ia lempar ke arah Alfred kapan saja. Bukannya menyelamatkan diri, Alfred malah makin menantang Arthur dengan berjalan mendekatinya, sangat cepat hingga tahu-tahu ia sudah menyambar tangan Arthur dan mendorongnya ke dinding. Jarak yang memisahkan mereka mengecil sehingga dahi mereka bersentuhan dan mereka dapat saling merasakan hembusan nafas satu sama lain.
Untuk saat itu, tidak ada satu pun dari mereka yang berbicara atau melakukan apapun.
Keheningan yang cuma terjadi sesaat itu dipecahkan pertama kali oleh Arthur. "Git, lepaskan tanganmu." Ujar Arthur, mata hijau zamrudnya menatap mata biru langit Alfred tanpa berkedip satu kalipun. Tangan kananya mulai sakit karena di genggam erat oleh Alfred. "Sakit..."
Namun Alfred tidak mengidahkankan kata-kata Arthur.
Malah tindakannya berikutnya sangat mengejutkan Arthur.
"Suka..."
Dan setelahnya, tidak ada yang saling bicara.
Alfred sukses mengunci bibir Arthur dengan bibirnya.
Keheningan malam dan kesunyian ruang OSIS itu sukses menjadi saksi bisu seorang Arthur dan Alfred, tengah berciuman satu sama lain, hingga Alfred kemudian melepas Arthur. Sepatah kalimat terucap begitu saja dari bibirnya.
"Aku menyukaimu, Arthur Kirkland."
Akhirnya, kalimat itu ia ucapkan juga.
Kalimat yang sederhana dan pendek, namun memiliki dua kemungkinan di akhir ceritanya; bahagia, atau hancur.
Alfred sempat terkejut mendapati dirinya berkata demikian. Ya, akhirnya ia mengakui bahwa ia menyukai Arthur, dan sekarang sudah terlambat untuk menarik kembali kata-katanya itu. Ia hanya bisa menunggu jawaban dari perkataan itu dengan hati bimbang.
Alfred semakin merasa bimbang dan goyah ketika Arthur tidak kunjung juga mengucapkan sepatah kalimat apapun padanya. Sedetik, dua detik, akhirnya hanya satu kata yang keluar dari bibir Arthur, dan itu sangat membuat hati Alfred hancur berkeping-keping.
Detik berikutnya, Alfred sudah beranjak dengan cepat dari ruang OSIS, tidak mengindahkan panggilan Arthur yang berusaha menahannya.
Dan Arthur hanya bisa diam membisu menatap punggung Alfred yang semakin jauh dan tidak terlihat.
Maaf...
Satu kata yang mampu merubah perasaan bahagia itu menjadi pecah berkeping-keping.
Etto... Cliffhanger... desu, ne? #Plak *Dilempar Setrika*
Maaf ya minna-san kalau jadi kecewa membaca cerita abal saya, saya belum pernah menulis cerita tentang romance jadi... Maafkan saya... (T_T) *Nangis darah
Seperti biasa, Kritik dan Saran akan sangat membantu~ \(^_^)/
