A Whole New World

Fanfic by Fuu

All character © Masashi Kishimoto

SasuSakuSara Canon

.

.

.

Pagi itu merupakan hari yang teramat bahagia untuk sakura. Karena anggota baru dalam keluarga uchiha akan segera terlahir ke dunia.

.

.

.

Happy reading guys!

.

.

.

Pukul tujuh tepat Sarada menghentikan kegiatannya berkutat pada dapur. Dan seperti orang terlatih, mangkuk yang sudah disiapkan diisi oleh makanan yang baru saja matang. Kepulan asap terlihat menari dan menggelitik hidung. Dengan gerak cekatan mangkuk tersebut kini sudah berpindah bersama makanan yang lain dimeja makan.

Sambil melepas apron yang tersampir ditubuh Sarada bergerak menuju tempat diujung dapur. Disana terdapat sebuah pintu. Benda yang menghubungkan ruangan dalam rumahnya dengan dunia luar. Dalam pandangannya Sarada bisa melihat sosok Sakura yang juga sedang berjalan menghampiri. Pas sekali wanita itu sudah selesai menjemur semua pakaian beberapa hari ini.

Mungkin ada sebagian orang yang belum mengetahui, bahwa selama ini jika Sakura sedang memiliki banyak pekerjaan Sarada lah yang selalu menyiapkan sarapan pagi seperti sekarang. Memasak lauk pauk dan menghidangkannya ke atas meja makan. Tidak jarang juga Sarada melakukan pekerjaan rumah seperti bersih-bersih. Baginya, hitung-hitung membantu Sakura yang selama ini bekerja seorang diri.

Selama lima belas tahun hidup hanya berdua dengan Sakura, Sarada telah belajar begitu banyak hal dari sosok wanita yang dikaguminya itu. Tentang apa arti kesabaran dan juga ketulusan. Bagi Sarada tidak ada yang lebih hebat dibanding Sakura. Bagaimana cara Sakura menyikapi sebuah masalah, bagaimana cara Sakura selalu sabar dengan keadaan, juga bagaimana cara Sakura memberi sebuah perhatian tanpa mengharapkan balasan.

Begitu pun dalam hal memasak. Meski Sakura tidak mengajarkannya secara langsung. Bisa dibilang, Sarada belajar dengan sendirinya. Dahulu ia suka memerhatikan saat Sakura memasak. Bagaimana cara menambahkan bumbu, mengiris sayuran dan daging, serta yang lainnya.

Pernah sekali ia membuatkan Sakura bubur ketika wanita itu sedang tidak sehat. Saat itu Sarada baru pertama kali memasak dan memegang benda-benda didapur. Awalnya ia sangsi bahwa Sakura akan menyukai masakannya. Tetapi saat Sakura tersenyum dan mengucapkan terima kasih atas makanan yang sangat lezat membuat hati Sarada menghangat. Mungkin bisa dibilang itu lah awal Sarada suka memasak seperti sekarang.

"Sarapan sudah siap."

Ia berucap pada Sakura yang sudah ada didepannya, yang kemudian ditanggapi oleh senyuman.

"Terima kasih."

Satu kecupan dahi diterima oleh Sarada. Mereka berjalan menuju meja makan. Namun sebelum itu Sakura sudah menaruh lebih dulu keranjang cuciannya didekat kamar mandi. Sarada pun demikian, ia menaruh apron yang tadi dipakainya serta mencuci tangan.

"Itidakimasu."

Ucap mereka bersamaan. Sarada mulai menyendok beberapa makanan dan ditaruhnya kedalam mangkuk. Meniup sedikit agar makanan yang masih panas tidak merusak pengecapannya. Hal tersebut berbanding terbalik dengan Sakura. Awalnya ia begitu nafsu melihat makanan-makanan tersebut. Namun saat menyium aroma dari kepulan asap tidak tau mengapa rasa mual mengoyak daerah perutnya. Dengan gerakan spontan sebelah tangan ditaruh didepan mulut.

"Ada apa?"

Sakura hanya berkedip beberapa kali. Ia masih berusaha menetralkan rasa yang menggelitik perut dan tenggorokannya dalam waktu bersamaan.

"Kau baik-baik saja?"

Sarada menurunkan sumpit ditangannya. Ia menatap Sakura khawatir.

Setelah berhasil menelan saliva Sakura kemudian berkata. "Aku hanya merasa—"

Dan rasa mual itu kembali menyerangnya. Bahkan Sakura sudah tidak bisa menahannya lagi. Dengan cepat ia berlari menghampiri wastafel yang ada didapur. Memuntahkan isi lambung yang hanya mengeluarkan cairan kuning. Ia baru ingat belum menyentuh makanan apapun sejak semalam. Pantas muntahannya terasa begitu pahit dan membuat tenggorokkannya terasa panas.

"Apa aku perlu menelpon Shizune-san dan bilang padanya kalau kau tidak bisa bekerja hari ini?"

Pertanyaan itu datang ketika Sakura sudah kembali ke meja makan. Kepala Sakura menggeleng, diikuti gerakan tangannya.

"Tidak perlu. Aku baik-baik saja."

Sebenarnya Sarada tau kalau Sakura hanya sedang bersikap 'sok kuat' didepannya. "Baiklah."

Namun alih-alih khawatir Sarada hanya bisa berkata demikian.

Tidak ada percakapan lagi setelah itu. Mereka fokus dengan makanannya masing-masing—ralat, mungkin hanya Sarada saja yang menikmati makanannya. Sedang Sakura, yah, wanita itu hanya menatap puterinya makan dengan begitu lahap. Ia jadi tidak enak sendiri tidak memakan masakan Sarada. Tapi, apa boleh buat? Rasa mual masih mengganggunya saat ini.

"Mama, kau yakin baik-baik saja? Aku merasa sepertinya kau butuh istirahat."

Ucap Sarada sambil membawa mangkuk kotor kehadapan wastafel.

"Ya. Mungkin aku akan pulang cepat nanti."

Sakura menanggapi. Ia mulai mencuci mangkuk kotor dengan sabun.

"Hari ini aku akan pulang terlambat." Sarada mengambil mangkuk yang sudah bersih, kemudian disusun rapih pada rak. "Konohamaru sensei bilang misi kali ini akan berada jauh dari desa."

Sakura menoleh. Ia tersenyum hangat. Tangannya yang dipenuhi sabun diangkatnya. "Semangat, Sarada."

.

.

.

Sakura melangkah pelan menuju halaman rumah sakit. Kicauan burung menyambutnya diantara langkah. Udara pagi selalu terasa begitu sejuk saat ia menghirupnya dalam-dalam. Walau langit terlihat lebih gelap dari biasanya ketika pandangan mengarah keatas. Meski begitu tidak mengurangi sedikit pun rasa bahagia yang terselip dalam hatinya.

Ada berbagai hal yang membuat wajah Sakura semakin mengembangkan senyum cerah ceria hari ini. Diantaranya adalah sapaan sopan pada setiap orang yang dilewati. Entah itu para pegawai rumah sakit atau pasien yang ditangani.

Sakura merasa begitu senang. Terlebih saat ia menyadari sesuatu. Suatu hal yang tidak pernah ia duga, suatu hal yang selalu ia impikan, dan suatu hal yang membuat dunianya bertambah berkali-kali lipat lebih indah. Ia mungkin belum bisa memastikan apakah hal ini benar atau tidak. Maka dari itu kini langkahnya menuntun Sakura ke sebuah ruangan. Ia hanya ingin memastikan bahwa dugaannya benar seratus persen.

"Sakura."

Suara itu menyambut saat Sakura masuk setelah mengetuk pintu lebih dulu. Disana terlihat Shizune yang seketika berdiri dari bangkunya dibalik meja.

"Ada apa?"

Sakura tersenyum. "Aku hanya ingin memastikan sesuatu." ia sedikit tertawa. Ada semburat merah diwajahnya.

"Memastikan apa maksudmu?"

Shizune mulai melangkah menghampiri Sakura. Ada kerutan bingung diwajahnya ketika menatap teman sejawatnya ini. Sedang Sakura, ia diam-diam menarik napas. Kalau boleh jujur ia sedikit malu mengatakan. Tapi rasa penasarannya jauh lebih besar dari pada itu.

"Sepertinya aku telat. Bisa kau periksa aku?"

Mata Shizune melebar. Ada tatapan terkejut dari bola mata itu. "Benarkah?"

Sakura mengangguk malu. Shizune menuntun Sakura untuk segera duduk pada kursi diruangannya. Ia kemudian memeriksa pergelangan tangan Sakura. Denyut nadi wanita itu sedikit lebih cepat, mungkin karena Sakura habis berjalan. Telapak tangannya diarahkan pada permukaan perut Sakura. Cahaya hijau lalu terlihat dari sana.

Shizune menatap Sakura spontan. "Aku merasakannya."

Mendengar penyataan Shizune saat itu juga Sakura merasa bahwa dunia benar-benar terasa jauh lebih indah dari sebelumnya.

"Tapi kita perlu tes yang lain untuk memastikan bahwa ini memang benar."

.

.

.

Sehari setelah memeriksakan keadaannya Sakura langsung memberitahu Sarada. Pada awalnya Sakura bingung mau memberitau bagaimana dan dengan cara seperti apa. Ia takut kalau anak itu tidak suka. Pikirnya, karena Sarada sudah besar, mungkin anak itu akan malu jika nanti memiliki adik. Tetapi semua kegelisahan tersebut lenyap begitu saja saat melihat wajah gembira Sarada. Mata anak itu memancarkan kebahagian yang biasa Sakura lihat hanya ketika Sasuke pulang. Sakura seperti merasa menjadi orang paling beruntung didunia.

Hari demi hari dilewati dengan susah payah untuk Sakura. Kini kandungannya sudah memasuki bulan ke ketiga. Entah kenapa Sakura merasa begitu menderita dikehamilan ini. Tidak seperti saat mengandung Sarada dulu. Ia bahkan tidak bisa menghitung sudah berapa kali bolak balik wastafel untuk muntah pada hari ini. Mungkin janin juga bisa melihat dan merasakan keadaan. Apa jadinya kalau saat mengandung Sarada dulu ia seperti ini. Ia pasti hanya merepotkan Sasuke saja.

"Mama apa kalau sedang mengandung memang seperti ini?"

Sarada memberikan selembar tisu pada Sakura.

"Iya untuk sebagian orang."

Anak itu menjauh dan duduk dikursi meja makan. Mengambil satu sumpit dan memainkannya. "Apa kau juga dulu tersiksa seperti ini saat mengandungku?"

Sarada merasa kasian pada Sakura. Selama dua bulan ini ia selalu melihat Sakura mual dan muntah, tidak bisa mencium bau-bauan bahkan parfumnya sendiri.

"Tidak. Tidak sama sekali." Masih sangat melekat dalam memori ketika perjalanan menemui Sasuke. Sakura sedang mengandung saat itu. Tetapi meskipun usia kandungannya muda ia tidak separah ini. Seperti orang biasa saja, hanya memang ia jadi gampang pusing atau lelah.

Namun untuk kali ini, semenjak tau kalau dirinya hamil lagi, Sakura tidak pernah keluar rumah. Bukan karena apa, hanya saja Sakura seperti malas ke mana-mana. Hamil muda begini membuatnya cepat lelah. Bahkan meski itu hanya mengunyah makanan.

"Sarada, hamil itu bukan sebuah kesengsaraan." Sakura bergerak, dan duduk dibangku sisi Sarada. Hanya berpindah tempat seperti ini saja sudah sangat membuatnya lelah.

"Mama merasa senang menjalani ini, ya meskipun rasa itu kadang memang mengganggu." ia menyandarkan badannya pada punggung kursi. "Tapi lebih dari itu, kau akan merasa senang yang teramat sangat saat perutmu mulai membesar nanti. Apalagi ketika ia memberikan tendangannya disini." Sakura mengelus perutnya.

"Seperti itukah?"

Sakura hanya bergumam dengan kepala mengangguk.

"Aku jadi tidak sabar ingin melihatnya nanti." Ia tersenyum. Membayangkan kalau nantinya ia akan menyuapi sang adik, menemaninya tidur, dan membantunya mandi. Jika adiknya perempuan Sarada akan membantunya memakai jepitan atau bandana, serta pakaian lucu yang lain. Ah, hanya memikirkan hal sekecil itu saja membuat hatinya terasa sangat bahagia.

"Apa mama sudah memberitau papa?" Saat membayangkan bagaimana kedepannya nanti tiba-tiba sesosok wajah melintas dalam pikiran Sarada. Itu Sasuke, dan ia baru menyadari apakah Sakura sudah memberitahu Sasuke akan hal ini atau belum. Sudah dua bulan lamanya, kemungkinan Sakura sudah mengabari.

Tetapi...

"Ku rasa belum."

Sakura membuat ekspresi berpikir. Kenyataannya memang belum.

"Kau berniat menyembunyikan ini?"

Bukan, bukan seperti itu. Sakura hanya ingin memberitahu Sasuke secara langsung. Bukan lewat surat atau yang lain. Ia hanya ingin melihat bagaimana ekspresi lelaki itu jika tau kalau dirinya memiliki anak lagi. Ia ingin tau bagaimana reaksi Sasuke saat nanti dirinya memberi kabar gembira tersebut. Tetapi dua bulan ini Sasuke tidak pulang, dan ia tidak tau kapan Sasuke akan pulang. Lelaki itu selalu tidak terduga. Terkadang ia tiba-tiba muncul didepannya, terkadang pula ia pergi begitu lamanya.

"Tidak." Ekspresi wajah Sakura menurun. Kesedihan meliputi hatinya. Mengingat Sasuke membuat moodnya tidak baik.

"Bisa kita berbicara yang lain?"

.

.

.

"Sakura-Chan."

Yang dipanggil menghentikan jalannya. Sakura sangat mengenal suara itu. Tubuhnya memutar guna melihat sang empu suara.

"Naruto." Ia tersenyum.

"Baru pulang?" Naruto bertanya sambil berjalan mendekat. Ditangannya terdapat satu buah map berwarna merah.

Sakura hanya bergumam menanggapinya. Sudah satu bulan lalu ia mulai kembali bekerja. Karena dirasa mual dan muntahnya perlahan menurun, ia jadi memberanikan diri untuk bekerja lagi. Meskipun awalnya Sarada tidak mengizinkan, dan Shizune sangat tidak menyetujui keputusan itu, tetapi lama-kelamaan pada akhirnya mereka memperbolehkannya juga.

"Apa ini?" Naruto berkacak pinggang. "Mengapa kau terlihat lebih berisi?" Tangannya menyentuh pipi dan lengan Sakura.

Sakura hanya tertawa.

"Benarkah?" Ia melihat tampilan tubuhnya sendiri dari bawah sampai lengan. "Apakah sebesar itu perubahanku?"

"Ya, kurasa." Naruto mengelus dagunya dengan ibu jari dan telunjuk. "Aku hampir tidak mengenalimu jika saja tidak ada lambang klan dipunggungmu."

Sakura kembali tertawa. Tapi kini sebelah tangannya mengelus bagian perut. "Mungkin karena dia."

"Kau?"

Sakura mengangguk bahagia. Usia kandungannya saat ini sudah memasuki bulan kelima. Perutnya mulai membuncit, dan nafsu makannya mulai meningkat. Hal yang wajar jika Naruto berkata demikian mengenai dirinya. Tetapi mungkin bagi sebagian yang tidak begitu mengenal Sakura tidak akan melihat perubahan itu.

Naruto membuka pelukan untuk Sakura. Mengelus punggung teman kecilnya itu. Teman yang tidak pernah bisa ia dapatkan hatinya.

Saat mengurai dekapan selintas pertanyaan muncul dalam benak Naruto. "Sasuke sudah tau?"

"Belum." Senyum Sakura memudar.

Naruto memegang kedua pundak Sakura. "Mengapa kau belum mengabari hal penting seperti ini? Aku yakin ia pasti sangat senang mengetahuinya."

Mendengar ucapan Naruto membuat hati Sakura terasa perih. Ia tau itu. Ia juga sangat ingin memberitahunya.

Dengan menurunkan tangannya, Naruto berkata. "Benar juga." Pikirnya mungkin Sakura tidak tau Sasuke sekarang dimana. Dirinya saja sangat sulit menghubungi lelaki itu jika saja lelaki itu tidak lebih dulu memberitahu dimana tempat pijakkannya.

"Baiklah kalau begitu, serahkan padaku."

Sepertinya keinginan Sakura untuk memberitahu Sasuke secara langsung akan kandas.

.

.

.

Langit orange menyambut Sakura saat dirinya melangkah keluar dari gedung rumah sakit. Dengan hanya ditemani sapuan angin pada kulitnya ia berjalan perlahan. Hangatnya sinar matahari sore menyoroti tubuh bagian depan Sakura. Sebenarnya hari ini ia sedang tidak bekerja, hanya memeriksakan diri ke rumah sakit.

Sudah beberapa hari ini ia sering merasa pusing, dan tadi dokter telah meresepkan suplemen penambah darah untuknya. Dokter menyarankan agar ia berhenti bekerja saja, karena mungkin akan berakibat pada kondisi tubuh dan janin. Tetapi ia malah terus memforsir tenaganya untuk tetap menjalankan rutinitas seperti saat belum hamil dulu. Padahal ia sudah sangat berusaha agar tidak terlalu lelah, tetapi sepertinya ucapan dokter yang merupakan temannya itu harus ia pertimbangkan kembali untuk kesehatannya dan juga kesehatan janinnya.

Hari ini Sarada akan pulang agak malam, katanya. Jadi sepertinya ia terpaksa harus makan malam sendiri mau tidak mau.

Sakura ingin makan daging panggang, tetapi ia sedang malas memasak. Ia hanya ingin langsung makan tanpa berkutat dulu dengan benda-benda dapur. Persediaan daging dikulkas juga sudah habis. Masa ia harus kepasar? Melihat ramainya orang dirumah sakit saja membuat kepalanya semakin pusing. Kalau ada Sarada sih ia bisa menyuruh anak itu, bahkan tanpa disuruh pun anak itu akan bergerak untuk memasak dengan sendirinya.

Apa ia makan diluar saja saja? Mungkin itu adalah pilihan yang terbaik.

Langkah Sakura berbelok alih-alih berjalan lurus. Memasuki pelataran taman yang sedikit ramai oleh anak-anak. Dari kemarin ia ingin pergi ke sini tetapi belum kesampaian. Ia ingin duduk diayunan sambil menikmati pemandangan desa.

Beruntung masih ada satu ayunan yang kosong. Lantas Sakura langsung duduk disana. Kakinya mengayuh pelan. Sangat pelan. Bahkan seorang anak kecil disampingnya menawarkan diri untuk mendorong ayunan yang dinaiki.

"Mau aku bantu dorong?"

Sakura tersenyum. Ia menghentikan gerakan ayunannya. Mengacak pelan rambut depan anak itu. "Tidak usah. Aku ingin seperti ini saja."

"Baiklah." Lalu anak laki-laki itu pergi dengan berlari. Ia menghampiri teman-temannya yang lain dijantung taman.

Lucu sekali melihat anak itu. Sakura jadi membayangkan jika nanti anaknya sudah lahir. Entah laki-laki atau perempuan. Apapun itu pasti akan sangat lucu seperti anak kecil yang menghampirinya tadi.

Dari dulu Sakura memang sangat suka dengan anak-anak. Baginya anak-anak merupakan malaikat tanpa sayap yang selalu berhasil membuat hatinya luluh. Anak-anak adalah harapan setiap desa. Masa depan desa tergantung bagaimana anak-anak tumbuh besar nantinya. Maka dari itu Sakura hanya berharap semoga tidak ada anak-anak yang menderita didunia. Entah menderita dalam hal fisik maupun batin.

"Eh!?"

Sakura memegang rantai ayunan secara spontan saat mendapat dorongan dari arah belakang. Memang tidak akan membuatnya terjatuh, hanya saja hal tersebut sangat mengejutkannya.

Sakura menoleh kebelakang. Ada seseorang disana. Seseorang yang sangat dirindukannya. Seseorang yang selama ini sedang ditunggunya. Seseorang, yang selalu dan selalu membuatnya jatuh cinta.

Sakura tersenyum. Namun seseorang itu tidak. Ia kemudian kembali membalikkan wajahnya kearah depan, bersamaan dengan ayunan yang perlahan mulai bergerak.

Senyum tidak pernah lepas dari bibir Sakura. Perasaannya begitu hangat dan nyaman. Entah karena tangan kekar itu menyentuh punggungnya atau karena kehadiran orang yang selama ini ditunggunya. Atau memang karena keduanya? Yang jelas Sakura merasa sangat senang, dan ia menyuarakan rasa senangnya dengan tertawa.

Selagi ayunan perlahan mulai berhenti seseorang yang sedari tadi mendorong tubuh Sakura mulai melangkahkan kakinya. Ia bergerak dan berdiri tepat disamping Sakura. Sedang Sakura hanya mengulum senyum hangat.

"Sasuke-kun."

Yang dipanggil tidak menjawab. Namun bukan berarti ia tidak mendengarkan.

"Ada banyak hal yang ingin sekali ku sampaikan padamu."

Sakura menarik napas dan menghembuskannya kasar. Ia siap menyampaikan kata-kata yang selama ini ia rangkai. Mungkin Sasuke akan menganggapnya berlebihan. Tapi tidak masalah.

"Tentang perasaanku."

Tanpa Sakura tau setelah mengucap kata itu, sebenarnya Sasuke menatapnya diam-diam.

Dan ketika ayunan Sakura telah benar-benar berhenti, detik itu juga ia kembali berkata. "Aku hanya wanita biasa. Aku bukan berasal dari klan yang terpandang didesa. Aku hanya seorang putri dari keluarga yang biasa. Namun kau memilihku, kau mempercayaiku, kau menjadikanku rumah untuk tempatmu kembali. Aku selalu berpikir betapa beruntungnya aku selama ini."

Sakura berhenti sejenak. Kembali merangkai kata untuk ia suarakan pada Sasuke.

"Kau mungkin bertemu banyak wanita, dari berbagai klan yang yah, mungkin cukup kuat dan terkenal. Tapi aku tidak tau apa yang membuatmu memilihku untuk menjadi pendampingmu."

Sakura menatap mentari yang perlahan beranjak dari tempatnya. "Dalamnya laut bisa diukur, namun dalamnya hati siapa yang tau?"

Kepalanya menunduk. Entah kenapa ada sebersit rasa yang menyelinap dalam hatinya. "Apapun alasanmu, aku yakin itu berasal dari lubuk hatimu. Kau tau bukan, sesuatu yang berasal dari hati, pasti tidak akan salah."

Sakura tertawa samar. Ia berdiri dari tempatnya. Bergerak menghadap Sasuke.

"Aku memang bukan wanita sempurna, namun untuk kali kedua kau telah menjadikanku wanita sempurna." Tangan Sasuke diambilnya, yang kemudian ia taruh diatas perut yang mulai membuncit itu.

"Terima kasih, Sasuke-kun."

.

.

.

"Tadaima."

Ucapan salam terdengar bersamaan dengan pintu yang terbuka. Sakura menjawab dari dalam. Ia beranjak dari tempatnya untuk menyambut Sarada yang kini tengah melepas sepatunya.

"Bagaimana misimu?"

"Berjalan dengan lancar."

Sarada menaiki lantai rumah. Ia memerhatikan Sakura sesaat. Seperti ada yang aneh. "Ada apa dengan wajahmu?"

Sakura mengangkat kedua alis. "Ada apa dengan wajahku?" Ia kembali mengulang pertanyaan Sarada tadi.

"Kau berdandan?"

Sakura mengelus wajahnya sendiri dengan punggung tangan. "Tidak. Memang kenapa?"

"Papa!"

Pertanyaan Sakura diabaikan saat pengelihatan Sarada menangkap sosok Sasuke. Ah, pantas saja. Sekarang ia mengerti mengapa wajah Sakura tampak sangat merona.

Ia sedikit berlari untuk menghampiri, dan berhenti tepat dihadapan Sasuke.

"Kapan kau sampai?"

Belum sempat Sasuke membuka mulut, Sakura kembali mengulang pertanyaannya.

"Ada apa dengan wajahku?"

Namun lagi-lagi Sarada mengabaikan. Anak itu malah asyik sendiri mengobrol dengan Sasuke tanpa menghiraukan kehadiran Sakura. Awalnya Sakura merasa kesal, tetapi ketika melihat tawa bahagia Sarada semua kekesalan itu sirna. Ia senang melihat Sarada bahagia. Apalagi saat melihat interaksi antara Sasuke dan Sarada.

.

.

.

Sakura duduk dengan sedikit terengah setelah selesai membersihkan tempat tidur. Melihat kamarnya rapih ia jadi pangling. Beberapa minggu ini ia sudah jarang membersihkan kamar. Tidak tau mengapa rasanya malas sekali. Bawaannya ingin langsung tidur saja jika sudah melihat tempat tidur.

Selama mengandung Sakura memang menjadi mudah tertidur. Tidak bisa sedikit saja menemukan meja dan bangku bawaannya ingin tertidur. Ino bahkan sampai menyebutnya putri tidur setelah kemarin saat pergi berdua ia malah tertidur direstaurant tempat mereka makan. Aneh memang jika dibandingkan dengan Sakura yang selama ini jarang sekali tidur karena sibuk bekerja.

Sebelah tangannya otomatis menutup mulut saat merasakan ingin menguap. Baru saja ia sandaran sebentar dipunggung kasur setelah memadamkan lampu. Rasa kantuk sudah menghinggapi kedua matanya.

Dan kalau saja pintu kamar tidak terbuka mungkin Sakura sudah tertidur saat itu juga.

"Ini milikmu?"

Sasuke menyodorkan satu kantung plastik putih berisikan obat. Sakura menanggapinya. Bagaimana bisa ia lupa dengan obat itu.

"Dari mana?" Ia membuka obatnya dan langsung meminumnya saat itu juga.

"Dapur."

Sesaat hening. Sasuke masih berdiri ditempatnya. Itu mengundang pertanyaan Sakura. "Ada apa?"

"Apa yang kau minum?"

"Vitamin." Ia menaruh plastik obat itu kedalam laci nakas.

"Kau selalu mengonsumsinya?"

Sambil menatap sakura menjawab. "Bisa dibilang."

Tidak lama kemudian akhirnya Sakura tersenyum. Dilihat dari raut wajah Sasuke sepertinya lelaki itu penuh banyak pertanyaan dikepalanya.

"Aku baik-baik saja." Tegasnya. Sakura sungguh tidak ingin membuat Sasuke khawatir. Selama ia masih bisa mengatasinya, mungkin tidak apa-apa berbohong sedikit. Apalagi lelaki itu sedang menjalankan misi penting untuk desa.

Sasuke hendak mengarahkan jari ke dahi Sakura. Namun alih-alih melakukan hal itu kini tangannya bergerak untuk mengelus pelan rambut Sakura. Wajahnya terlihat sangat kaku, tetapi untung saja lampu sudah padam dan Sakura mungkin tidak menyadarinya.

"Pastikan untuk selalu menepatinya."

Setelah mengucapkan itu Sasuke berjalan menuju ranjang disisi Sakura. Ia merebahkan tubuhnya lalu mematikan lampu tidur.

Mungkin itu hanyalah kalimat sederhana, namun cukup membuat Sakura menjadi susah tidur karenanya.

.

.

.

Ya ampun, rasanya udah lama ngga buat fic cem gini. Pengeeen bgt gitu dpt kabar bahagia kayak gini dr mereka. Tapi... Dalam mimpi. Wkwk.

Anyway, untuk keseluruhan fic nya mohon maaf bila ada kesalahan kata atau bahkan kurang mendapat feel. Ya, seperti yang udh dibilang td, aku udh lamaaa bgt ngga buat fic canon begini.

Kebetulan fic ini emang udah ada di note hp, tapi tenggelem, dan karena terlalu lama jd berdebu deh. Wkwk. Paan sih.

Trus baru dibuka lagi pas pgn buka note buat bikin fic buat event. Karena genrenya sama, jadilah fic ini yang dilanjutin.

Emang udah setengah jadi, cuman dibagian akhirnya aku ubah.

Untuk yang udah baca thanks, dan untuk yang udah review / fav thanks banget. Wkwk.

Berhubung senin aku uas, aku minta doanya supaya dilancari nyonteknya. Amin. Maksudnya dilancarin ngerjainnya. Amin.

Udah segitu aja. Lg pgn ngomong banyak disini, karena lg seneng. Biasanya kan cuma seucrit.

Kali-kali kan.

Bye!

.

Oh iya, jujur nih. Pas kalian baca judul keinget sesuatu gak? Atau malah jadi ikut nyanyi. Wkwk.