Selamat datang di kamar kebutuhan.
Tempat di mana kau tak perlu merasa kekurangan apapun. Tempat di mana segala permintaanmu menjadi kenyataan. Di mana segala harapanmu terkabul dalam sekejap.
Selamat datang di ruang mimpi.
Tempat segala risau terselesaikan. Tempat segala kesedihan terhapuskan.
Bergembiralah, semua kebutuhanmu akan terpenuhi.
The Room of Requirement
By : kurok1n
Harry Potter © JK Rowling
Nah, selagi kau menikmati keterpesonaanmu pada tempat ini, mari kuceritakan sebuah rahasia.
Dahulu kala, beratus-ratus tahun yang lalu, di sebuah bagian bumi bernama Middle Earth, bertemulah empat orang penyihir paling kuat di bumi. Empat orang yang dikatakan akan mewarisi peradaban dunia sihir dengan ilmu dan kekuatan mereka yang tak tertandingi. Mereka adalah Godric Gryffindor, Rowena Ravenclaw, Helga Hufflepuff, dan Salazar Slytherin.
Bukanlah sebuah rahasia jika empat orang itu tidak memiliki sifat yang sama.
Godric Gryffindor, seorang pria gagah dengan jiwa ksatria yang pemberani, jujur, dan hidup untuk kebenaran dan kepahlawanan. Rowena Ravenclaw, wanita anggun yang memiliki kecerdasan luar biasa, yang kepalanya bersinar oleh kebijaksanaan. Helga Hufflepuff, perempuan yang rendah hati, yang memiliki kesabaran seluas samudera. Salazar Slytherin, pria cerdas yang ambisius, yang memiliki akal selihai ular.
Di jaman sebelum keempat penyihir kita belum bersatu, kaum penyihir semakin terdesak oleh kawanan muggle (non-sihir) yang semakin berkembang. Kaum muggle pada waktu itu mungkin berbeda dengan muggle yang kau temui sekarang. Mereka bukanlah orang-orang yang berbelas kasih. Mereka menganggap kaum penyihir adalah mahluk terkutuk yang patut dibinasakan. Segala cara telah dilakukan oleh kaum penyihir untuk menciptakan kedamaian dengan kaum muggle. Namun para muggle, dengan kedengkian yang memuncak, membiarkan rasa benci menguasai mereka. Rasa benci yang terlampau besar hingga menumpahkan darah yang sia-sia dalam banyak peperangan. Sementara kaum penyihir, terdesak karena kalah jumlah, memutuskan untuk mengasingkan diri, bersembunyi. Sesuatu yang masih mereka lakukan hingga saat ini.
Nah, apakah kau bertanya-tanya tentang nasib keempat penyihir kita? Biar kujawab dengan singkat, mereka baik-baik saja. Jika saja hanya mereka penyihir yang tertinggal dalam peperangan, maka akan dengan yakin kukatakan, mereka pasti akan memenangkan peperangan dengan mudah. Namun apalah jadinya dunia sihir jika yang tersisa hanyalah empat orang? Mereka harus mempertahankan kuantitas kaum penyihir sebanyak yang mereka bisa. Namun kaum muggle yang licik sering menipu kaum penyihir dengan kedok perdamaian, untuk akhirnya menjerumus dan membantai mereka. Nah, untuk menghindari penumpasan tanpa hati terhadap kaum mereka, maka mereka memilih mengalah, dan menggiring kaum mereka ke tempat yang lebih aman, yang tidak terjangkau oleh pandangan kaum muggle yang kejam. Tempat yang, jika kau mau memperhatikan, hanya berjarak selemparan batu dengan tempat tinggal kaum muggle.
Itulah keunikan kaum penyihir. Mereka memiliki kelebihan dibanding kaum muggle. Mereka bisa membuat diri mereka tidak terlihat. Mereka bisa membuat diri mereka terbang, seperti yang pernah dilakukan oleh salah seorang penyihir kita, Salazar Slytherin. Andai saja mereka menggunakan kelebihan itu sejak dulu. Ah, aku tidak akan mengeluh tentang keteledoran kaum penyihir kita di jaman dahulu. Nah, mari kita lanjutkan cerita kita.
Semenjak itu, kaum penyihir hidup dalam kedamaian. Mereka hidup dengan tenang dan berkembang. Populasi anak di antara para penyihir semakin meningkat, seiring kestabilan hidup mereka. Hingga kemudian muncul masalah baru: pelatihan sihir bagi generasi baru. Populasi orang tua yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan anak-anak mereka menyebabkan mereka kewalahan dalam mamantau perkembangan sihir keturunan mereka. Hal inilah yang menjadi perhatian keempat penyihir kita.
Berawal dari pentingnya pendidikan sihir bagi anak-anak yang baru lahir, juga demi keberlangsungan jati diri mereka, keempat penyihir kita sepakat untuk mendirikan sebuah sekolah sihir. Maka dibangunlah sekolah itu di sebuah perbukitan di Middle Earth, di mana danau bening mengelilinginya dengan tenang. Di mana benteng-benteng tak kasat mata dibangun di sekelilingnya hingga tidak terjangkau oleh para muggle. Setiap batu yang digunakan untuk membangun diteliti dan dimantrai, hingga pada saat kau menginjakkan kaki di dalamnya, kau akan merasakan sensasi sihir merayapi setiap inci kulitmu.
Kemudian, setelah puluhan purnama terlewati, tepat pada saat generasi baru mencapai umur optimal untuk belajar sihir, sekolah itupun selesai dibangun. Dengan keempat penyihir kita menjadi guru utama, dan dibantu oleh beberapa penyihir lain yang memiliki cukup ilmu, sekolah itu resmi didirikan. Sekolah itu, yang hingga saat ini masih belum berubah satu keping batu pun, dinamakan Hogwarts.
Nah, kau pasti bertanya-tanya, apakah ini rahasia yang ingin kuceritakan? Bukan. Tentu saja bukan. Cerita mengenai bagaimana Hogwarts terbentuk bisa kau baca di bukumu. Rahasia yang akan kuceritakan, adalah tentang ruangan di mana kini kau duduk nyaman.
Ya, tentang Kamar Kebutuhan.
Dulu, ketika murid-murid baru mulai berhamburan dan belajar di kastil ini, banyak sekali keinginan dari kepala mereka yang terdengar oleh dinding-dinding kastil yang kokoh. Batu-batu yang menyokong dinding, yang sudah kuceritakan padamu, adalah batu yang telah dimantrai, sehingga setiap incinya memiliki kemampuan sihir yang mungkin tidak pernah kau bayangkan. Salah satu kemampuan itu adalah menyampaikan setiap pesan tak terkatakan kepada penyihir yang memantrai mereka. Kebetulan, pesan dan keinginan non verbal itu kerap kali beterbangan dan memantul pada dinding-dinding kastil di tingkat atas, tempat Rowena Ravenclaw membangun bagian kastilnya. Hingga pada suatu hari yang mendung, batu-batu yang termantrai itu menyampaikan impuls-impuls pesan tersebut kepadanya dalam sebuah bola perak besar dan berpendar.
Rowena Ravenclaw, dengan kecerdasan juga kebijaksanaannya yang tak tercela, menghadapi bola keinginan itu dengan kening yang berkerut. Ia mengerahkan seluruh isi kepalanya yang bersinar untuk mencari solusi dari masalah di hadapannya. Lalu pada suatu hari, saat para murid tengah menikmati jeda belajar mereka, ia mendapatkan pemecahan masalahnya. Ia mendapat sebuah ide untuk membangun sebuah tempat tak kasat mata, yang dapat menampung dan mengabulkan segala permintaan. Sebuah kamar kebutuhan.
Lalu berlarilah ia dari ruangannya di ujung menara, melewati pintu keluar ganda yang melayang di udara, lalu menuruni tangga menuju lantai tujuh. Memilih satu area di seberang permadani hias Barnabas the Barmy, lalu mengayunkan tongkatnya. Bisa kukatakan padamu bahwa kepalanya yang bersinar terlihat menyilaukan kala itu, saat ia mendaraskan mantra-mantra kuno yang rumit. Hingga akhirnya, sebuah pintu terbentuk di dinding itu, membuka ke dalam sebuah ruangan. Ke sebuah kamar.
Rowena kita memasuki kamar itu dengan kepalanya terangkat tinggi. Pada saat itu, kamar itu hanyalah menyerupai kamar asrama biasa. Tidak ada yang istimewa di dalamnya. Maka dari itulah ia kembali mengacungkan tongkatnya, mengayunkannya sedemikian rupa ke segala arah, hingga satu persatu batu yang menyusun dinding berpendar kebiruan. Dan setelah beberapa saat terlampaui, pendar itu mulai menghilang, seiring tongkat Rowena yang mulai diturunkan. Ah, tak bisa kukatakan betapa aku terpukau. Satu demi satu benda-benda yang tak terduga bermunculan. Buku-buku, bantal, perapian, peralatan perang, bahkan bentuk ruangan itu sendiri. Hanya satu yang tak mucul kala itu: makanan. Penyihir kita terlihat puas sekali. Lalu, setelah selesai membaca bukunya yang muncul dari ketiadaan, ia pun beranjak pergi dari kamar itu.
Sambil tersenyum kulihat ia kembali mendaraskan mantra melalui tongkatnya yang terarah ke pintu masuk. Menutup segala celah dan cahaya menuju petak di dalamnya. Membuatnya tak terbuka lagi dalam jangka waktu yang lama. Sebuah petak, yang kini kau jejaki.
Butuh waktu bagiku untuk memahami sifat dari kamar kebutuhan ini. Sudah lama aku bertanya-tanya, mengapakah pintu ajaib itu tak pernah terbuka lagi. Namun suatu ketika, setelah bertahun-tahun berlalu dan aku mulai lupa mengenai kamar ini, sesuatu muncul dari ujung lorong. Sebuah pendar berkilauan di atas kepala seorang anak muda yang nampak resah. Pendar yang sama yang dikirimkan dinding kastil kepada penyihir bijak kita. Seketika aku pun tersadar, bahwa pintu ajaib di dinding lantai tujuh ini hanya akan menampakkan dirinya pada keinginan yang kuat. Pada sebuah kebutuhan yang membara.
Aku pun tersenyum menyaksikan anak tersebut terperangah melihat gurat-gurat pintu muncul dari dinding kosong. Ah, rasanya sudah lama aku tidak menyaksikan keajaiban kecil ini. Meskipun setelahnya telah banyak yang menemukan pintu itu. Dan kau, adalah salah satunya.
Nah, nikmatilah keberadaanmu di kamar kebutuhan ini. Di tempat di mana kau tak perlu merasa kekurangan apapun. Tempat di mana segala permintaanmu menjadi kenyataan. Di mana segala harapanmu terkabul dalam sekejap.
Nikmatilah keberadaanmu di ruang mimpi.
Tempat segala risau terselesaikan. Tempat segala kesedihan terhapuskan.
Bergembiralah, semua kebutuhanmu akan terpenuhi.
a/n. A… Aneh ya? Kasih tau saya ya kalo aneh X(
Fic ini adl semacam kumpulan oneshot. Bisa dibaca terpisah, tapi tetap satu universe : kamar kebutuhan. Oiya, rate dan genre fic ini akan berubah seiring kisah yang diceritakan. Mohon tinggalkan saran dan kritik untuk perbaikan chap berikutnya ya. Terima kasih…
Love,
Kurok1n.
