"Hei, aku menyukaimu. Masak kau tak percaya padaku, Soifon?" Pemuda itu berjingkrak-jingkrak di hadapan seorang perempuan berkepang dua yang memandangnya jijik. Ia berusaha menarik perhatian sang perempuan agar dapat benar-benar memperhatikan gelagat kesungguhannya.
"Aku tak mau. Kau ini apa-apaan sih? Dasar bodoh!" Perempuan itu malah lari. Wajar mungkin, siapa yang tak malu, mengungkapkan perasaan dengan atraksi topeng monyet. Oh, Soifon sungguh tak pernah mengharapkannya.
Disclaimer : Bleach Tite Kubo
RJG of Monster Style :
Male Bee's Love
Chapter 1
Reason: 'cuz you're like monkey!
"Kau lihat perempuan itu? Dia perempuan yang dilamar monyet, katanya. Hahaha," ucap seorang siswi dengan nada—benar-benar—mengejek.
"Ggio Vega melamar, eh, maksudku menembak dia?" komentar siswi lain, namanya Menoly. "Aku tidak suka kau memanggilnya seperti itu, mungkin yang lain yang tidak menyinggung Ggio-ku?" sambungnya lagi.
"Kau sangat lucu. Terus saja jagai kekasih, oh, bukan, mantan kekasihmu itu. Jelas-jelas dia menembak Soifon," celoteh siswi tadi, Loly.
"Ya, aku tahu. Ggio tidak lagi mencintaiku, dia malah mengejar-ngejar Soifon. Itu memang masalahnya, kan? Jadi?" Kali ini Menoly menggunakan gerakan tangan untuk mengekspresikan kekesalannya.
"D-dia datang!" Loly memukuli pundak Menoly. Dua kali. Lalu tangannya yang satu menunjuk ke arah siswi dengan kepangan kembang dua iris yang berjalan ke arah mereka.
"Aku tahu yang kalian bicarakan. Terdengar sampai sana, tahu!" protesnya. "Dan tidak jadi masalah kan, selama aku tak menerima cintanya?" Soifon, ia benar-benar tahu yang sedang dibicarakan.
"Sayangnya tidak semudah itu, Soifon! Kau tahu Ggio, sampai sekarang pun, masih mengejar-ngejarmu," sahut Menoly.
"Dan itu masalahnya." sambung Loly.
"Bukan salahku! Hanya kalian saja yang seakan-akan menciptakan masalah. Dan Ggio mengejar-ngejarku bukan berarti aku akan menerimanya. Tidak akan!" Soifon malah mengeluarkan suara kerasnya, lebih keras dari suara Menoly dan Loly. Ia seakan lupa dengan peringatannya sendiri.
"Oh? Begitu ya? Aku masih ragu," celoteh sang Loly.
"Loly, kita ke kantin sekarang."
"Baiklah, Menoly. Dan Soifon, biarkan dia merenungkan perkataannya barusan, huh!"
Mereka pun pergi.
Soifon berjalan ke arah yang sama, namun membelok ke ruang kelasnya. Ia duduk di tempat duduknya; paling depan pojok dekat tembok. Ia mengeluarkan tumpukan buku kebanggaannya.
"Soifon-chan! Sudah kerjakan PR belum?" Dari belakang, suara itu berasal dari arah belakang Soifon. "Boleh aku pinjam?" Ggio Vega, orang itu yang dari tadi berteriak-teriak. Masalah lagi bagi Soifon. Sepertinya ia sedang banyak penggemar hari ini, setelah diperbincangkan di 'media gosip', sekarang minta 'tanda tangan'?
"Apa? Hah? Mendekat saja tidak boleh, jangan harap kuberi buku PR-ku!" Soifon berteriak juga. Ternyata 'artis' kita sedang tidak pada mood yang baik. Untuk pagi ini, suaranya sudah overload.
"Oke, berikan aku alasan menghentikkan langkahku." Sampai kalimat itu terucap, langkah kaki Ggio belum berhenti. Sekarang ia menatap iris mata Soifon, lalu melangkahkan kakinya dua kali, ia fokus lagi pada iris itu sebelum memutuskan untuk melangkah lagi.
"Alasan? Ehn, … k-k-k-ka-rena kau mirip monyet." Asal, Soifon benar-benar asal mengucap kata monyet itu. Mungkin karena kejadian itu—juga yang diucapkan Loly—menyugesti Soifon mengatai Ggio dengan sebutan 'monyet'.
"Hei, kau bilang apa barusan? Aku mirip monyet? Kau bercanda?" Alasan tak diterima, Ggio sukses berada di depan sosok Soifon yang duduk terintimidasi di sudut ruangan.
"Monyet bodoh sedang mendekatiku, TOLONG!" Soifon mengagetkan—sempurna—seisi satu kelas. Beberapa siswa laki-laki bahkan mendekat ke arah mereka.
"Apa yang kau lakukan, Ggio? Kau membuat seorang perempuan berteriak, hah?" Laki-laki yang benar-benar berkomentar dengan jujur, Hitsugaya.
"Aku tidak membuatnya berteriak, hanya langkah kaki—yang bahkan tidak menimbulkan suara," Ggio membela diri.
"Kau memaksaku meminjamimu PR," ungkap Soifon sedikit berlebihan.
"Salah, aku hanya tidak terima dibilang mirip monyet!"
"Oops, monyet? Ungkapan jujur yang mana lagi itu? Soifon, kau benar-benar mengatainya? Hahaha," Semula tak ada niatan untuk bertertawa-ria di pojokan sini, tapi tertawa juga sang ketua kelas.
"Apa yang kau tertawakan, Hitsugaya?" Matanya sipit sekali, benar-benar tidak senang tampaknya. "Pokoknya, kau harus kutemani pulang, Soifon!" Ggio marah dan memberi hukuman yang … lucu sekali. Ia kembali melangkah ke tempat duduknya—di belakang. Suara hentakan kakinya sengaja dipertegas, dan dengan menyeret Hitsugaya, ia memintai buku PR milik ketua kelas.
#
Soifon jadi tidak fokus sekarang. Padahal di depannya sudah terpampang lembaran soal ulangan sosiologi. Tepat di atas meja itu, ia hanya menghentak-hentakkan pulpen mekaniknya. Apa yang ia pikirkan? Oke, setengah soal ulangan memang sudah diisinya, tapi bukan setengahnya lagi yang menjadi beban pikirannya sekarang.
Ggio Vega, jawabannya.
Kalau dilihat dari sisi depan kelas, anak itu, Ggio Vega, sedang tekun menulis di atas ker—, bukan, di atas meja. Memang akan aneh jadinya jika ia mengerjakan soal sosiologi itu dengan semangat. Tapi apa yang ia kerjakan di atas meja kayu? Mengukir?
Baiklah, apa yang Soifon pikirkan bukanlah apa yang sedang dilakukan Ggio, melainkan 'hukuman' aneh yang lucu itu. Pulang bersama? Memangnya akan terjadi hal yang buruk sehingga pulang bersama itu bisa dibilang hukuman? Mungkin memang buruk buat Soifon. Tapi tetap saja, kan, itu lucu sekali. Apalagi cara bicaranya tadi. Childish.
Kali ini Soifon membalikkan timpang kepalanya ke bagian kiri. Berpikir yang lain: Apa yang mau Ggio lakukan? Pertunjukkan topeng monyet lainnya? Apapun itu, sudah dipastikan Soifon tidak akan menyukainya. Ya, apa sih yang bisa membuatnya tertawa, jawabannya pasti bukan topeng monyet—ataupun sejenisnya.
Oke, baiklah, Soifon memasang pose bertopang dagu sekarang. Berpikir yang lain lagi? Ya, bagaimana caranya menghindari laki-laki itu. Apa bisa ia kabur dari laki-laki itu? Dengan cara biasa, sudah pasti tidak. Harus cara pintar lainnya. Berpikir, berpikir, berpikir.
"Hmm. Soifon, sudah selesai?" Akhirnya guru itu memecahkan suaranya juga. Sedari tadi, sang guru, Ukitake, hanya menonton gelagat aneh sang murid. Menarik memang baginya, tapi sekarang ia mau berbagi dengan murid yang lain.
"Eh, belum, Sensei," jawab Soifon sedikit kaget.
"Aku pikir sudah. Apa yang kaulamuni, sih? Soalnya tidak susah kan?" Pengertian sekali guru ini. Tapi sebenarnya tidak. Ini salah satu bentuk tegurannya. Suaranya sengaja ia keraskan hingga seisi kelas tahu apa yang mereka bicarakan.
"Oh, Sensei, suaramu tidak kecil tahu! Masak kau membiarkan yang lain tahu perbincangan tentang lamunanku?"
"Tidak ada, kok. Aku hanya sedang memikirkan kata-kata yang tepat. Aku kan memang lemah dalam menyusun kata. He-he-heh." Salah bicara. Soifon menyadari perkataannya barusan, jawaban yang ngawur. Belum lagi intonasi dan lafalnya sangat jelas, dan jelas-jelas memalukan karena terdengar sampai ke meja paling belakang.
"Anu, bukankah soal kita pilihan berganda?"
#
Soifon berlari sekencang-kencangnya. Apa lagi yang bisa dilakukannya sekarang? Di belakangnya seorang 'monyet' sedang mengejarnya. Rambutnya panjang diikat, matanya emas, mulutnya terbuka lebar meneriakkan, "Soifoooon…!"
Alasan yang tepat untuk tidak berhenti. Laki-laki di belakangnya itu sungguh terlihat ganas saat ini.
Sebentar lagi gerbang sekolah akan ia lewati. Itu berarti sudah lebih dari satu kilometer ia berlari—tanpa henti. Ia melewati lima kelas yang kira-kira punya panjang delapanbelas meter, dan jarak gedung sekolahnya sampai pintu gerbang mencapai duapuluh meter lebih. Oke, bisa dijadikan alasan untuk berhenti sekarang? Tidak! Masih belum. Ggio masih mengejarnya.
Ggio tampak masih semangat berlari, meskipun keluh keringatnya terlihat juga. Namun, seakan mengincar hadiah musim panas, meskipun berkeringat dikejar juga.
"Dapat!" Soifon tak bisa kabur. Pergelangan tangannya di genggam tangan kurus lainnya. Ggio benar-benar senang sekarang, dan Soifon, ia merasa sangat dipermalukan. Sungguh, ia telah berlari dengan susah payah namun tertangkap juga. Memang benar, dengan cara biasa mana bisa kabur dari anak ini.
"Aku mau pulang, tak mau ke mana-mana lagi!" Soifon berteriak sekeras mungkin. Ya, sudah tidak berada di lingkungan sekolah lagi, jadi bisa ia lakukan.
"Memang pulang, kok. Kau pikir kita mau pergi ke mana?"
"Aku pikir? Kebun binatang."
"Oke, kau yang minta." Dengan masih menggenggam pergelangan tangan itu, Ggio kini menarik Soifon mengikuti arah langkah kakinya.
"Hei, aku sungguhan mau pulang!" Soifon berusaha menghentikan langkah Ggio, namun sulit. Ggio memang tidak berlari begitu kencang, masih bisa Soifon menjaga langkahnya agar tidak terkantuk. Tapi, langkah ini bahkan melewati jalan yang tak sama dengan jalan pulang. "Bukankah kebun binatang jauh sekali, Ggio. Kita tak mungkin ke Tokyo, kan?"
Ggio hanya melebarkan garis bibirnya. Senyum itu sangat manis, namun begitu menyebalkan buat Soifon. Baginya, itu seakan menyatakan kebahagian di atas penderitaan orang lain, ia maksudnya. Oke, mungkin tidak seburuk itu juga, namun Soifon benar-benar tidak tahu langkahnya itu akan dibawa ke mana. Bisa saja, ke rumah pesakitan, kan?
#
Rumah pesakitan, ya, benar. Rumah pesakitan. Ini memang rumah, rumah biasa bahkan. Tapi pesakitan.
"Silakan duduk, Soifon-chan. Kau mau minum apa?"
Oh, Soifon masih belum berkata-kata. Ia juga belum duduk. Benarkah rumah pesakitan ini? Tidak mungkin. Sekarang ia berada di rumah Ggio Vega. Parahnya, cuma merekalah yang berada dalam rumah itu. Makanya disebut pesakitan. "Ggio, kau membawaku, ke rumahmu? Kenapa tidak bilang dari tadi! Kalau tahu, aku akan lebih dengan susah payah membelok tadi!"
"Susu. Oke, aku akan buatkan susu. Cokelat atau vanila?" Heh, Ggio ngelantur? Tidak, ia hanya tidak mau berdebat—dulu.
"Hei, aku tak akan minum apapun! Aku tidak percaya kau tidak akan menaruh obat tidur di minumanku nanti!" Soifon masih dalam posisi berdiri. Asal tahu saja, kalau pintu rumah ini tidak dikunci pemiliknya, ia sudah pergi dari tadi. Dan, coba pikirkan apa yang akan dibuat Ggio padanya: kunci rumah, obat tidurkah? Seperti yang Soifon katakan.
"Jangan berlebihan, Soifon-chan! Aku akan buatkan susu vanila, ya?" Tidak menjawab, Soifon tidak sudi menjawab. Sekarang ia benar-benar terperangkap dalam kandang monyet.
Ggio sudah pergi ke dapurnya. Sekarang, Soifon sendirian di ruangan itu. Ruang yang tidak begitu luas, terdapat sepasang Sofa kulit warna hijau, meja jati sederhana dengan kaki rendah, jam dinding tua yang besar—menghasilkan aura mistis lainnya. Ruangan itu penuh dengan sepasang lemari dua pintu. Dari balik kacanya dapat dilihat isinya hanya tumpukan kertas berwarna, buku-buku dan CD. Oh, sebenarnya Soifon ingin mencari foto keluarga, tapi tidak ada.
Tunggu, Soifon sekarang tersentak. Apa yang sedang ia lakukakan? Ia tidak sedang menunggu Ggio membawakan susu vanila manis untuknya, kan? Tidak! Ia mulai mendobrak pintunya. Percuma memang, tapi kali ini jepitan rambutnya, warna hitam seperti jarum, ia gunakan sebagai pembobol lubang kunci.
"Ehn, aku tak tahu kau punya jepit rambut seperti itu. Tak pernah kau pakai, ya?" Ggio sudah kembali—dengan susu vanilanya. Soifon sukses kaget. Posisi berdirinya ia benarkan—tidak lagi condong pada pintu.
"Ayolah, aku kan bukan orang jahat." Ggio meletakkan gelas itu pada meja jati tadi.
"Bukan orang jahat? Mengunci perempuan dengan paksa dalam rumahnya, itu sudah seperti penculik," ucap Soifon dengan kasar.
"Jadi kau mau pulang sekarang? Duduk sebentar lah, minum susu buatanku." Raut wajah Ggio begitu minta dikasihani. Soifon pun tak dapat menampiknya. Akhirnya ia duduk. Dan dapat dirasakannya, sofa itu tidak empuk.
Dari posisi duduknya sekarang, bisa ia lihat gantungan kunci itu berada di kantong celana Ggio sebelah kiri—tercetak jelas. Niat Soifon jadi timbul untuk diam-diam mencuri kunci itu dari tempatnya. Ya, bukankah sudah dibilang, anak ini tidak bisa diatasi dengan cara biasa.
"Oke, aku hargai kau sebagai pemilik rumah. Terima kasih susu vanilanya. Aku memang menyukainya, kok." Terlihat kontras kan, tapi Ggio tidak menunjukkan ekspresi terkejutnya. Mungkin ia terlalu 'lugu' untuk mengetahui maksud tersembunyi Soifon.
Soifon meminum susu itu. Manis, seperti biasa, susu kental. Oke, ia tak mungkin memuji Ggio hanya karena bisa membuat susu kental manis. Ia kecap beberapa kali dalam mulutnya. Noda susu berjejer di atas bibirnya. Ehn, ada yang janggal dirasakan Soifon. Airnya dingin.
"Dingin, ya? Aku tak sempat buat air panas. Lagi pula, kalau dingin obat tidurnya lebih cepat bekerja." Jujur sekali Ggio ini. Ggio duduk di sebelah Soifon, mengambil gelas susu yang belum habis itu.
Dan, … Soifon mulai terlelap. Sebelum tidur manisnya, mata yang kaget terbelalak itu tergambar dalam rautan wajahnya.
Soifon tertidur di rumah Ggio. Lebih tepatnya, dibuat tidur oleh Ggio. Baikkah ini?
~TBC~
A/N : Oke minna, ini GgioSoi pertama buat Reizuki Jude. Sebenernya ada yang lain, tapi belum dipub.
Udah lama banget pengen bikin GgioSoi, hahai. Kesampaian juga.
Dan fic ini sebagai ajang penyaluran desperate akhir-akhir ini. Huaaah.
Judulnya Cinta Lebah Jantan, terinspirasi dari presentasi temen biologi. Katanya lebah jantan melakukan hubungan dengan ratu lebah hanya sekali, lalu mati. Wah, keren kan?
Oke, lah.
After read this story, mind to Review ?
