(1) Kembali Ke Hogwarts
*
"Well, mari kita lihat," Ron membolak-balik halaman buku yang baru saja dibelinya di Diagon Alley. "Kau benar-benar akan kembali ke sana, sweatheart? Kenapa kau tidak bekerja di Kementrian seperti kami?"
Hermione mendongak dari selembar perkamen yang merincikan apa saja yang harus ia beli untuk keperluannya selama di tahun ketujuhnya. "Ron, kau tahu kan kalau aku tidak ingin masuk Kementrian dengan begitu saja hanya karena aku—bersama kalian—menyelamatkan dunia sihir dari penyihir gelap?" tuntutnya, menatap si rambut merah dengan tatapan mencela.
Dia kembali menatap perkamennya. Masih ada beberapa yang harus ia urus sebelum besok akhirnya ia kembali ke kastil yang dulu penuh teror dan kini hampir bisa dipastikan teror itu tidak akan kembali. Tapi sayangnya, kedua temannya ini tidak mengikuti jejaknya dan lebih memilih langsung menjatuhkan diri mereka memasuki sekolah Auror atas permintaan Shacklebolt.
Saat ini mereka sedang berada di salah satu toko makanan di Diagon Alley menikmati secangkir Butterbeer di musim panas saat matahari langsung menyorot wajah mereka sehingga membuat orang-orang yang melewati mereka langsung menatap penuh kekaguman. Tak jarang, selama sepuluh menit ia duduk di sini, beberapa penyihir kecil meminta tanda tangannya atau Ron dan menggumamkan terima kasih karena telah menghilangkan teror di dunia sihir. Kau tahu, Hermione benar-benar tidak menikmati popularitasnya.
"Dan kau akan mengikuti semua pelajaran seperti tahun ketiga?!" Ron memekik sambil mengamati daftar pelajarannya di perkamen lain.
"Kecuali Ramalan dan Satwa Gaib, Ron. Apa kau tidak bisa membacanya?"
Harry datang sambil membawa sangkar burung hantu baru—sebenarnya, ia masih terpukul atas matinya Hedwig, namun karena pekerjaannya, ia harus membeli burung hantu baru—duduk di samping Ron dan ikut mengamati perkamen. Alisnya berkerut saat ia mengamati huruf-huruf kecil di sana, ia berdeham dan bertanya ragu-ragu,
"Apa kau akan meminjam Time Turner dari Mcgonagall lagi?"
"Mhm," dia bersenandung ringan.
"Jangan bilang kau telah membicarakan ini padanya?" si rambut merah memekik panik.
Hermione merasa bosan dengan pertanyaan ini. Ini hanya pelajaran. Dan demi Merlin, kenapa mereka mencemaskannya? Bukankah dia pernah mengikuti banyak pelajaran saat di tahun ketiganya? Dia menatap kedua sahabatnya dengan muram dan berkata jelas,
"Ya, dan itu ada padaku."
"Bloody hell, kau benar-benar akan membuat dirimu kerepotan dengan semuanya," Ron memekik, menyebarkan tangannya yang menunjuk semua perkamen yang berserakan di depannya. Ia mengambil salah satu perkamen dan melanjutkan pekikannya, "Lihat, lihat! Kau bahkan menjadi Ketua Murid dan kau masih mengambil semua pelajaran?!"
"Dan bersama Malfoy?" Harry mengernyitkan keningnya.
"Demi celana dalam Merlin, Mione, apa yang ada di otak jeniusmu itu? Apa kau mau membuatnya meledak dan kau tak punya otak lagi?" si rambut merah menatapnya dengan mata selebar piring.
Dia meletakkan kedua lengannya di atas meja dengan posisi terlipat dan mengabaikan perkamen yang belum selesai ia baca dan mulai menguliahi pacarnya, "Dengar, sayang, otak tidak akan meledak begitu saja. Kau tahu kan, untuk bekerja itu membutuhkan NEWTs yang tinggi dan aku harus mendapatkan minimal A atau bahkan E, bukankah itu berat?"
Ron menatapnya seakan ia hantu. "Tidak," dia menggeleng tanpa melepas pandangannya. "Dengan otak seperti itu, kau akan mendapatkan O tanpa harus mengambil semua pelajaran!"
"Dan bukankah untuk NEWTs kau hanya harus mengambil jurusan sesuai dengan pekerjaan yang kau inginkan, Hermione?" pemuda dengan rambut berantakan itu bertanya dengan lembut.
"Memang," Hermione mengangguk, merenung. Setelah beberapa detik, ia kembali menambahkan dengan polos, "Tapi aku tidak tahu ingin bekerja sebagai apa. Aku ingin menjadi penyembuh, tapi aku juga ingin bekerja di Kementrian sebagai Auror seperti kalian atau bahkan mungkin Penegak Hukum Sihir. Dan aku telah membicarakannya pada Mcgonagall, dan dia mengijinkanku untuk mengambil semuanya."
*
Satu September. Hermione mendorong trolinya melewati kerumunan Muggle ber-jas bersama kedua orang tuanya. Ia telah meminta mereka untuk tetap tinggal di rumah, tapi karena menurut mereka ini merupakan momen penting, mereka tidak ingin melewatkan berpisah dengan anak satu-satunya mereka.
"Jika ada kekacauan lagi di dalam sana—" Mr Granger menunjuk dinding beton batu bata yang berdiri kokoh di hadapan mereka dan kemudian menatap anaknya dengan serius, "—jangan hilangkan ingatan kami lagi, Mione."
"Aye, Dad. Aku kan sudah bilang kalau itu demi kebaikan kalian berdua," jawabnya dengan polos menampilkan senyum menawan yang membentangkan bibirnya.
"Jadi, kita hanya bisa mengantarkan anak kita sampai di sini?" Mrs Granger menatap anaknya dengan tatapan sedih.
Wanita yang memilik rambut cokelat digulung dengan rapi itu memeluk anaknya erat-erat. Sebelum melepaskannya, dia memberi ciuman di kedua pipi anak itu dan terakhir di keningnya.
"Jangan lupa mengirim surat," kata sang ibu dengan suara keibuannya.
Gadis itu mengangguk sambil tersenyum. Kedua tangan dipegangan troli mengerat, dan setelah menyampaikan sampai jumpa pada orangtuanya, ia berlari melewati kerumunan Muggle menuju dinding beton di hadapannya. Sebentar lagi dan dunianya akan berubah.
Jika Muggle melihat, mungkin mereka akan melongo syok dan mencoba meraba-raba dinding mencari celah di sana, jadi Hermione sebisa mungkin menembus palang rintang saat para Muggle tidak memperhatikan. Langkah terakhir dan dia menembus dinding dengan begitu mudahnya tanpa adanya cidera atau luka kecil dan patah tulang.
Di balik dinding, kepulan asap dari sebuah kereta membuat segalanya tampak abu-abu. Ia melewati kepulan asap dari Hogwarts Express dan berjalan sambil melirik mencari orang yang ia kenali. Bahkan sejujurnya, ia tidak benar-benar tahu siapa saja yang mengulang di tahun ketujuh mereka. Jika sekarang ada Harry ataupun Ron, semuanya akan menjadi mudah.
Selama ia berjalan melewati kerumunan siswa baru dan lama, beberapa dari mereka menunjuk-nunjuknya dengan binar kekaguman dan berceloteh riang kepada orangtua mereka kalau mereka ingin menjadi sepertinya atau kedua temannya yang lain; menyelamatkan dunia sihir. Itu menjemukan, kau tahu, menjadi pusat perhatian.
Hermione mengangkat koper besarnya seorang diri untuk dinaikkan ke dalam kereta, beruntung dia telah memberi mantra peringan di sana sehingga ia tidak perlu bantuan orang lain. Ia berjalan dengan santai sambil menarik kopernya menuju kompartemen khusus Ketua Murid dan Prefek. Tak memerlukan waktu lama, ia segera membuka kompartemen yang ia maksudkan dan duduk di dalamnya. Di dalam belum ada siapa-siapa dan dia bisa dengan leluasa berganti jubah sebelum semua Prefek datang dan mereka akan berpatroli.
...
"Malfoy, kau atur para Prefek dan aku akan mengatur siswa barunya," perintahnya tajam saat kereta mulai melambat dan langit di luar telah menghitam.
Kereta mulai melambat yang menandakan kalau tempat tujuan mereka hampir tiba. Hermione dan rekan Ketua Muridnya telah bersiap-siap untuk mengatur murid baru agar ke jalan yang benar. Dia melirik Ketua Murid laki-laki berambut pirang di sampingnya yang menampilkan wajah masamnya selama di kereta tadi. Bahkan ia hanya beberapa menit di dalam kompartemen yang sama dengannya dan pemuda itu langsung pergi lagi entah ke mana. Well, dia tahu kenapa pemuda itu melakukan hal seperti itu. Itu karena, kau tahu, ayahnya menjadi tawanan Azkaban dan dia menjadi agak tersingkir di dunia sihir sekarang karena nama keluarganya yang tercoreng dan masuk daftar hitam.
Hermione tidak sepenuhnya menyalahkan Malfoy, meskipun ia benar-benar agak kesal karena pemuda itu benar-benar tidak bisa bersikap tegas dengan keluarganya sendiri dan lebih memilih menjadi Pelahap Maut dibandingkan kabur dan menjadi buronan. Beruntung Harry menyelamatkannya dan ibunya dari sidang Kementrian karena sahabatnya itu merasa berutang kepada Mrs Malfoy yang sempat menyelamatkan nyawanya hanya karena wanita itu ingin melihat anaknya masih hidup atau tidak.
Kereta berhenti. Para siswa berduyun-duyun turun dari kereta dengan agak berdesakan. Semuanya telah memakai jubah sesuai asrama mereka kecuali bagi murid baru yang masih memakai jubah hitam polos biasa. Setelah kereta akhirnya kosong, Hermione dan Malfoy turun mengikuti rombongan anak tahun pertama. Malfoy dengan mudahnya menyelinap dan tiba-tiba sampai di depan semua anak saat berteriak lantang,
"Tahun pertama ikuti aku!"
Hermione yang berdiri di belakang, mengawasi, bisa melihat wajah ketakutan mereka dan keantusiasan mereka saat melihat kastil megah Hogwarts. Dia jadi bertanya-tanya, apakah waktunya dulu dia juga seperti mereka? Mengeluarkan gumaman kagum dan mata berair karena terlalu gembira.
"Perjalanan yang menyenangkan, Hermione?" suara berat mengusik pikirannya dan dia menoleh.
Dia menemukan makhluk besar dan tinggi dengan jenggot hitamnya yang panjang sampai perutnya. Rambut keriting hitamnya acak-acakan dan makhluk itu tampak lebih baik dari terakhir kali ia bertemu dengannya. Ia mengenakan jubah dari kulit musang berwarna kecokelatan yang agak tebal dan sedikit bau jika kau menciumnya dari dekat.
"Cukup menyenangkan, Hagrid," jawabnya ramah, mengembangkan senyum cerahnya. "Atau setidaknya akan menjadi lebih baik jika Harry dan Ron di sini."
"Ah, mereka," renung si raksasa. Mata besar Hagrid mengamatinya saat ia kembali berkata, kesedihan memutar suaranya, "Harry dan aku berkirim surat. Tak pernah bertemu, kau tahu, sejak kejadian dua tahun lalu. Dia bilang dia akan menjadi Auror dan aku bilang sekolah rusak total."
Hermione mengangguk. "Aku tahu," jawabnya, senyumnya tak pernah goyah. "Mcgonagall juga bilang kalau mereka sampai harus merombak kastil akibat perang itu dan membutuhkan setidaknya setengah tahun."
Dia melirik ke kerumunan tahun pertama yang agak menjauh dan tampak sedang mengantre perahu untuk melewati danau.
"Malfoy agak baik di sini," gumamnya pada si raksasa.
"Itulah akibatnya jika kau berbuat salah," Hagrid berseru, suara kerasnya menggema cukup keras.
Hermione memutar matanya dengan geli. Setelah Hagrid menggumamkan beberapa perpisahan, dia akhirnya menyusul gerombolan anak tahun pertama dan menaiki salah satu perahu yang agak kosong. Dan itu adalah perahu terakhir. Malfoy di depan sana memandu anak tahun pertama dengan ekspresi dinginnya yang membuat siswa baru itu agak ketakutan menerima tatapan dingin dari si pirang. Well, mungkin dia bisa memberitahunya nanti saat acara pesta penyambutan telah usai.
...
Acara penyeleksian telah usai dan semua siswa sedang menyantap makan malam mereka dengan penuh semangat. Suara dentingan sendok dan garpu yang melawan piring serta gemerisik obrolan pecah dari Aula Besar. Hermione sedang duduk bersama Ginny. Satu-satunya Weasley yang masih bertahan di Hogwarts dan kembali bersekolah setelah berulangkali George menggoda adiknya untuk langsung bekerja di toko Weasley.
Hermione sangat senang, setidaknya ia dan Ginny cukup akrab karena Ron adalah pacarnya dan mereka juga telah mengenal cukup lama. Terutama semenjak gadis berambut merah itu sering curhat mengenai masalahnya tentang Harry. Kau tahu, masalah para gadis sedang jatuh cinta, kan? Pokoknya, Ginny mempercayainya untuk menjadi penasehatnya mengenai hubungan percintaan mereka. Padahal sangat jelas bahwa ia hanya baru berpacaran sekali dan itu pun bersama Ron. Jika kau bertanya mengenai Viktor Krum dia bahkan tidak begitu menganggap Krum sebagai pemuda yang sedang berusaha mendekatinya saat di tahun keempatnya. Terakhir ia dengar, Krum akan menikah entah dengan siapa dan ia tidak peduli.
"Perbedaan yang luar biasa, tak ada Harry dan Ron dan Dumbledore," kata Neville dengan termenung.
"Dan tak ada Voldemort lagi, Neville," Ginny menambahkan dengan riang.
Hermione menyuap sesendok puding coklat ke dalam mulutnya dan diam-diam hanya mendengarkan percakapan teman Gryffindor-nya tanpa benar-benar ingin masuk ke dalamnya. Kau tahu, rasanya berbeda. Tak ada Harry dan Ron. Tak ada sikap takut seperti yang selama bertahun-tahun dirasakan setiap siswa. Perubahan drastis ini amat menyiksa, kau tahu, seperti sesuatu yang biasanya jadi teman dalam hidupmu tiba-tiba meninggalkanmu, rasanya hanya... aneh dan kosong. Bukan maksudnya ia merindukan ketakutan dan kecemasan atau kegelisahan dan lain sebagainya, hanya saja hidupnya kurang lengkap tanpa itu meskipun ia sangat menghargai kenyamanan dan ketenteraman dalam dua tahun belakangan ini.
"—benar bukan, Hermione?"
Hermione mendongak dari puding mangkuk pudingnya dan mengerjap pada Ginny di seberangnya. "Eh?"
"Kau dan si Pelahap Maut kecil kita akan tinggal satu asrama, benar bukan?" ulangnya agak kasar.
Hmm, pelahap maut, ya? Tanpa diminta mata cokelatnya langsung meluncur ke barisan anak-anak Slytherin. Di sana, seorang pemuda berambut pirang yang tampak kurus tengah memainkan sendoknya di piring dengan malas dan tampak sendiri. Dia duduk di paling ujung dan diabaikan oleh orang-orang. Well, sebenarnya tidak benar-benar diabaikan, hanya saja ia mengisolasi dirinya dan mengabaikan semua obrolan yang terjadi di sekitarnya.
"Yeah, sepertinya," jawabnya kemudian saat matanya kembali menatap gadis berambut merah.
"Aku benar-benar tidak mendapat petunjuk kenapa Mcgonagall menjadikannya Ketua Murid tahun ini. Maksudku, kenapa dia tidak menjadikan Corner saja? Dia Ravenclaw dan dia juga pintar, kan?" gadis itu mengeluh sambil mengayunkan garpunya di udara dengan tangan yang bertumpu pada sikunya.
"Dan yang benar adalah, kenapa dia kembali?" Neville menyuarakannya, "dia tampak... diasingkan di sini, kan?"
"Parkinson, Zabini—Merlin, mereka kembali!" Ginny menancapkan garpunya ke meja kayu dekat piringnya sendiri.
"Dan mereka bersikap seperti dua tahun lalu bukanlah perang yang mematikan," kata Dean dengan bisikan sok misterius.
"Mcgonagall bilang, Malfoy berada diurutan kedua setelah aku dan Corner ketiga. Jadi, kalian bisa menebak kenapa Mcgonagall memilihnya, bukan?" katanya dengan santai.
Jujur saja, ia tak terlalu mempersalahkan mengenai pengangkatan Malfoy menjadi rekannya nanti atau alasan kenapa Mcgonagall memilihnya. Dia memang Pelahap Maut, tapi dalam hal pelajaran dia tidak buruk-buruk amat kok. Saat di tahun keenamnya dulu bahkan Malfoy mengikuti Aritmanchy dan Rune Kuno dan di sana ia juga cukup memuaskan meskipun tentu saja ia masih kalah dengannya. Intinya adalah, dia tidak buruk meskipun keluarganya telah dicap buruk oleh semua penyihir di dunia sihir.
Dan yang ia pedulikan saat ini adalah keesokan harinya saat ia memulai pelajarannya yang akan memadatkan waktunya. ]
