Patrick Jane sangat membenci orang yang membunuh istri dan anaknya—Red John.

Hingga dirinya menjadi duda, Red John tetap mencuri perhatianya, yang kini menjadi obsesinya.

Kasus pembunuhan yang dilakukan oleh Red John ia ikuti, ia amati, ia pelajari.

Red John.

Red John.

Red John.

Tiap detik, menit, jam, hari.

"Kau perlu istirahat Jane." Lisbon dengan pakaian casualnya menasehati dirinya yang tengah terpuruk.

Patrick Jane kembali ke sifat sombongnya. Berpikir ulang tentang Red John, nah.

Dia bukan cenayang sungguhan, sehingga tidak bisa menemukan keberadaan Red John meski banyak petunjuk yang dibuat oleh Red John sendiri yang seakan mengejeknya.

Dia—Red John menantangnya. Patrick Jane bukan penakut, sombong malahan. Tidak akan mundur.

Pertama kali ia bertemu dengan Red John tubuhnya reflek bergetar hebat, mengingat kematian anak dan istrinya yang sungguh tragis.

Suara baritone yang seduktif ditelinganya seakan menjadi undangan untuknya.

"Ssshh—Jane."

Red John dengan topeng diwajahnya menyeringai lebar, mempermainkan korbannya adalah keahlianya.

Jane berkeringat dingin, kondisinya yang terikat tidak memungkinkan untuk menembakkan satu butir peluru ke tubuh tegap dihadapanya.

"Kau berbeda Jane." lagi Red John mengelus pipinya, Patrick Jane tidak bisa menahan dirinya untuk tidak terpejam menikmati sentuhan yang diberikat Red John.

Seduktif.

Tangan yang mengelus wajahnya perlahan turun, membuka kancing atas kemeja yang dipakai Jane.

Bagai magnet, Jane pasrah jika dirinya akan mati saat itu.

"Jane?" Jane tersadar dari lamunannya ketika Cho memanggil dirinya dengan wajah datar tengah memandangnya dengan sebelah alis yang terangkat.

"Aku butuh toilet." tiga kalimat dari Jane untuk mengalihkan perhatian Cho darinya.

.

.

.

The Mentalist — Bruno Heller

.

Focus — Rangga Sengak

.

WARNING : HOMO, M/M, GAJE, TYPO, OOC.

.

.

.

"Jane, ada panggilan untukmu."

Jane memutar tubuhnya menjadi menghadap ke arah Cho yang setia dengan wajah datarnya. Terkadang Jane ingin membuat wajah Cho menunjukkan ekspresi lain, yang hasilnya tak berhasil.

"Siapa?" tanya Jane, Cho menatapnya datar yang artinya ia juga tidak tahu.

"Angkat saja." datar dan akhirnya Cho meninggalkan Jane sendiri didalam kamar yang didindingnya tergambar simbol dari Red John.

Jane menatap ponsel Cho, orang yang menelephonya sungguh rumit, pikirnya sansi.

"Halo." Sunyi. Jane tertawa dalam hati, menertawakan Cho yang berhasi mengerjai dirinya.

"Aku senang mendengar suaramu Jane." tubuh Jane membeku, ia kenal suara ini, suara yang membunuh Istri dan anaknya, Red John.

"A-aku—" Jane mengutuk dirinya. Selalu begini bila ia dengan Red John.

"Apa maumu?" tanya Jane setelah berhasil menenangkan pikirannya.

"Ahh.. kamu tahu apa yang kuinginkan Jane." Wajah Jane sedikit bersemu, Red John— pria gila pembunuh ini entah bagaimana bisa membuat dirinya berbunga-bunga seperti rasa yang sama pada almarhum Istrinya. Jane serasa ingin membunuh dirinya sendiri.

"Sayang sekali aku ada urusan." Dahi Jane mengkerut tanda tak suka.

"Good Night, Jane. Sweet dream."

tutt...

Red John mengakhiri panggilannya.

"Hei—" Protes Jane, kemudian kemudian sudut bibir Jane sedikit terangkat.

"Dasar." pikirnya.

Jane meremas dadanya yang terus berdebar, hanya mendengar kata-kata dari Red John, Jane yakin ia akan bermimpi indah.

Terkadang Jane berfikir, apakah Red John membunuh Istri dan anaknya adalah untuk..

Ahh, Jane mengutuk dirinya sendiri kemudian memejamkan matanya.

'Good Night Red John'

.

.

.

[Update : 12/03/2015]