1

THE BEGINNING

Hogwarts Kingdom

Year 1

Hogwarts Kingdom sebuah negeri yang indah diliputi pegunungan hijau dan sebuah kastil besar. Ibukotanya adalah Gryffindor dan merupakan tempat tinggal seorang pemuda bernama Harry. Seorang arkeolog muda berusia 18 tahun, meneruskan mendiang ayahnya, James, yang meninggal dua tahun lalu. Harry tinggal bersama ibunya, Lily yang sedang sakit keras di flat mereka yang terletak di pusat kota. Dia sangat tampan dengan kacamata dan penampilannya. Harry dan ibunya menyewa flat itu semenjak James meninggal dan malangnya mereka harus satu atap dengan keluarga menjengkelkan bernama keluarga Vernon. Lily terus menerus diperas oleh Petunia, istri Vernon untuk memberikan uangnya namun Harry terus menerus membelanya. Dia mengancam akan melaporkan perbuatan keluarga Vernon kepada Raja namun dilarang oleh Lily.

Sementara itu, seorang gadis berambut merah dengan kisaran usia sekitar 17 tahun memakai jubah penyamarannya dan menyelinap keluar istana. Dia diam-diam mengambil kuda penjaga istana dan memacunya secepat mungkin ke kota. Tak lama kemudian dia menurunkan kecepatan kudanya lalu turun di tengah-tengah pasar. Dia menuntun kudanya sembari tersenyum melihat keramaian pasar. Tidak ada yang menyadari penyamarannya kali ini dan tempat tujuannya sudah dekat. Setelah melewati keramaian pasar, gadis itu akhirnya tiba di depan bangunan berlantai empat lalu menambatkan kudanya di pagar depan pintu masuk. Setelah membelai kudanya sebentar, gadis itu masuk ke dalam bangunan lalu naik ke lantai dua. Dia mencari-cari pintu-pintu yang berderet di lorong dan bertemu dengan seorang anak muda gendut yang kelihatannya berusia sama dengannya. Anak itu baru saja keluar dari pintu kamarnya dan berhadapan dengan gadis itu dengan tatapan aneh. "Mencari siapa?"

Gadis itu tersenyum, "Ah, maaf. Aku mencari Harry, apakah dia tinggal di sini?"

Anak itu menatapnya dengan tatapan curiga lalu mengangguk, "Kamarnya di sebelah kamarku. Dia tinggal bersama ibunya. Siapa kau?"

Gadis itu tersenyum sambil mengucapkan terima kasih lalu pergi meninggalkan anak itu menuju pintu yang ditunjukkan lalu mengetuknya. "Harry, kau ada di rumah?"

Tidak ada jawaban lalu gadis itu mengetuknya lagi, agak keras. "Harry, ini aku, Ginny!"

Kemudian pintu terbuka dan muncul seorang wanita berambut merah dengan tubuh agak lemah menyambutnya. Dia tersenyum kepada gadis itu. "Ada yang bisa kubantu, Putri Ginny?"

"Ah, maafkan saya, Madam," gadis itu membungkuk sedikit sambil meminta maaf. "Saya ingin bertemu Harry."

Lily tersenyum kepada gadis yang dipanggil Putri Ginny itu lalu membuka tudung yang menutupi kepalanya., "Harry sedang pergi ke pusat penggalian. Kau bisa menemuinya di sana dan tidak sebaiknya kau pergi sendirian, Putri. Anda akan dalam bahaya besar."

"Jangan kuatirkan saya, Madam. Saya baik-baik saja," kata Ginny tersenyum lalu menarik tudung menutupi kepalanya kembali. "Madam tetap sehat, kan?"

Lily mengangguk pelan lalu melambaikan tangannya kepada Ginny ketika gadis itu pergi meninggalkannya. Namun senyumnya langsung hilang begitu menyadari sosok anak gendut tetangganya masih berdiri di situ dengan wajah bengong. Sebenarnya ia ingin mendamprat anak keluarga Vernon itu dan memaksanya untuk tutup mulut. Belum sempat niat itu ia jalankan, anak itu tersenyum jahat, "Kurasa seluruh kota akan tahu ini dan Ibuku pasti akan menyebarkannya, kalau keluarga miskin seperti kalian ternyata punya hubungan dekat dengan keluarga kerajan."

Lily memandang geram anak gendut yang menertawainya itu ketika bergegas turun tangga. Tangannya mengepal tapi tidak lama. Dadanya terasa sakit sekali dan ia butuh istirahat. Lalu ia menutup pintunya. Sementara itu, di lokasi penggalian, hanya pemuda berambut hitam dan berkacamata itu sendirian. Dia menatap dua monumen aneh di depannya. Monumen yang indah, membentuk sayap dan simetris dilengkapi pasir-pasir penggalian dan pegunungan hijau di sekelilingnya serta pemandangan ibukota Gryffindor di bawah bukit itu. Dia masih memandang dua monumen misterius itu sampai tidak menyadari ada dua telapak tangan halus menutupi mukanya. "Tebak siapa?"

Harry terdiam tidak lama lalu memutuskan untuk melepaskan kedua tangan itu dari mukanya dan berbalik badan. Dia menatap Ginny yang sedang tersenyum berseri-seri kepadanya. Rambut merahnya sedikit berkibar ditiup angin sore yang menyejukkan. "Putri, apa yang anda lakukan di sini?"

"Menemuimu," jawab Ginny, "dan jangan panggil aku putri. Panggil aku Ginny!"

"Anda adalah Putri Hogwarts Kingdom. Bagaimana mungkin saya berani memanggil nama anda seperti itu?" kata Harry sambil tersenyum kecil.

"Kita kan teman sejak kecil, Harry. Masa kamu lupa?" protes Ginny dengan tampang cemberut. Harry tertawa kecil lalu menarik tangan Ginny, berlari menuju dua monumen itu lalu duduk di atas batu besar. Harry memberikan kantong minuman yang ia keluarkan dari tasnya ke Ginny, "Kamu pasti haus. Minumlah,"

"Trims, Harry," kata Ginny sambil menerima kantong minuman itu lalu meminumnya, "Hmm, rasanya segar."

Harry menatapnya sejenak lalu kembali memandang kedua monumen itu lagi. Ginny mengikutinya. "Aku tidak menyangka kamu begitu sangat sibuk belakangan ini hanya untuk mengurusi dua monumen aneh begini?"

"Bagiku tidak," kata Harry. "Walau sangat aneh, menurutku sangat misterius. Aku ingin tahu bagaimana asal muasalnya dua bangunan bersayap ini berada di Hogwarts Kingdom. Aku seperti merasakan adanya kekuatan aneh berasal dari dua bangunan ini."

"Kekuatan apa?" tanya Ginny ingin tahu.

"Tidak tahu, tapi rasanya begitu sangat kuat. Aku masih ingin menelitinya lebih jauh…"

"Harry," Ginny memegang tangan pemuda itu. "Ada yang ingin kukatakan padamu."

Harry langsung menoleh, "Apa itu?"

Ginny tersenyum, pipinya sedikit memerah semu. "Aku akan ulang tahun minggu depan. Kamu mau datang ke istana, kan?"

Harry tersenyum kepadanya lalu menundukkan kepala seraya menggaruk rambutnya yang tidak gatal. "Entahlah, Ginny. Apakah aku bisa datang, soalnya…"

"Harry, kau harus datang. Pokoknya harus!" kata Ginny sambil mendorong-dorong tubuhnya. "Kamu dan ibumu harus datang dan lupakan sejenak pekerjaanmu. Harry, ayolah!"

Harry tertawa sambil menjawil dagu Ginny. "Baiklah, Putri. Aku dan ibuku akan datang ke pesta ulang tahunmu di istana."

"Janji?" tanya Ginny sambil tersenyum ceria seraya mengacungkan jari kelingkingnya. Harry tersenyum kepadanya seraya mengaitkan jari kelingkingnya ke jari kelingking Ginny. "Aku janji, Ginny."

"Hore, Harry akan datang ke pesta ulang tahunku!" seru Ginny gembira langsung memeluk Harry sampai nyaris terjatuh dari atas batu besar itu.

"Putri…"

"Sudah kubilang, Harry," kata Ginny sambil bergegas berdiri. "Panggil aku Ginny, oke?"

Harry tersenyum kepadanya lalu mengangguk. "Kalau begitu, aku pulang dulu, Harry. Sampai jumpa!"

Harry langsung bangkit dari duduknya dan memandang Ginny yang sedang menaiki kudanya. Dia membalas lambaian tangan Ginny dan melihatnya hilang dalam kegelapan lalu menghela napas.

Harry dan Ginny adalah sahabat semenjak kecil. James adalah seorang arkeolog terkemuka dan sahabat Raja Hogwarts Kingdom terdahulu, Dumbledore. Berawal dari pertemanan James dan Dumbledore, akhirnya Harry dan Putri Ginny bertemu di istana dan mereka bersahabat. Setelah Raja Dumbledore meninggal empat tahun lalu, Fred menggantikannya menjadi Raja Hogwarts Kingdom. Fred adalah kakak Ginny, sangat menyayangi adiknya dan selalu melindunginya. Selain itu Fred juga menjadi raja yang baik dan dicintai oleh rakyatnya. Namun kisah persahabatan antara keluarga Harry dan keluarga kerajaan sudah lama menjadi rahasia dan tidak ada seorangpun yang tahu.

Putri Ginny sampai ke istana malam itu dan membuka kembali penyamarannya. Dia melangkah dengan riang menuju kamarnya namun dicegat oleh seseorang. "Kakak!"

"Dari mana kau?" tanya Fred. Rambutnya merah seperti Ginny, wajahnya sangat berwibawa dan tampan sekali dengan jubah kebesaran yang ia kenakan.

"Jalan-jalan," kata Ginny dengan cuek. "Kau menghalangi jalanku, Fred. Minggir!"

"Ginny, sebagai kakakmu aku harus melindungimu, apalagi semenjak ayah meninggal. Kalau aku tidak bisa menjaga adikku dengan baik, apa yang akan dikatakan oleh rakyat seluruh negeri ini?"

"Aku bisa menjaga diriku sendiri, kok!" seru Ginny. "Jangan kuatirkan aku, Fred."

"Ginny, jaga sikapmu sebagai seorang putri!" kata Fred, "Jika kau begini terus, aku akan melarangmu keluar istana."

"Coba saja," kata Ginny dengan acuh tak acuh melangkah pergi meninggalkan Fred menuju kamarnya. Fred hanya menatapnya sembari menggeleng-gelengkan kepala. Dia membutuhkan kesabaran ekstra untuk menghadapi adiknya yang selalu keras kepala seperti ini.

"Yang Mulia, bersabarlah," kata seseorang di belakang Fred. Dia menoleh ke sumber suara dan melihat Pendeta Tinggi George yang sudah lama menjadi penasehatnya semenjak Fred menjadi Raja Hogwarts Kingdom. "Tuan Putri sudah semakin dewasa dan saya yakin ia bisa menjaga dirinya dengan baik."

Fred tertawa, "Walau begitu, dia tetap adikku, George, dan akan terus kuanggap sebagai anak kecil sampai dia menikah."

"Masalahnya dengan siapa ia harus menikah, Yang Mulia," kata George.

"Ginny akan mengumumkannya pada ulang tahunnya minggu depan. Aku penasaran apakah sudah ada laki-laki pilihannya sendiri? Kuharap ia bukan laki-laki sembarangan yang bisa menikahi adikku."

George mengangguk setuju. Mereka berdua akhirnya pergi keluar koridor istana menuju ruang rapat. Fred harus menemui para menterinya untuk membahas sejumlah agenda pemerintahan.

Putri Ginny memakai gaunnya yang cantik dan menggeraikan rambut merahnya yang indah. Dia mematut diri di depan cermin dan menatap bayangan dirinya sambil tersenyum ceria. Dia terus memandang dirinya yang sedang mengenakan gaun itu, "Aku sudah tidak sabar untuk memperlihatkan gaun ini kepada Harry pada saat ulang tahunku nanti lalu kukatakan perasaanku selama ini kepadanya. Oh, seandainya waktu dapat dipercepat!"

Setelah berpuas diri di depan cermin, ia melepas gaun itu dan melipatnya pelan-pelan lalu dimasukkan ke dalam lemari pakaian kemudian berganti baju. Usai berganti pakaian, Ginny melangkah keluar balkon kamarnya. Dia ingin meneruskan kebiasaannya memandang bintang-bintang di langit malam sebelum tidur. Bintang-bintang bercahaya begitu indah sehingga menimbulkan ketakjuban dalam hati Ginny. Dalam hatinya ia berharap bisa menikmati pemandangan indah ini bersama Harry di sampingnya. Kemudian ia menurunkan pandangannya dari langit menuju sebuah bukit tempat dua monumen misterius itu berada. Mulutnya membentuk senyum. Dia tahu Harry berada di sana. Dia tahu Harry masih bekerja dan mendoakannya agar Harry selalu diberikan keselamatan.

Ketika Ginny sedang menyilangkan tangannya sambil berdoa, muncul suara misterius dari balik telinganya. Suara misterius yang sama seperti sebelumnya, selalu menghampiri Ginny dalam mimpi-mimpinya. Suara itu berbisik seperti memanggil dirinya. Ginny membuka matanya untuk mencari sumber suara itu namun tidak dapat menemukannya karena memang tidak ada siapa-siapa di balkon itu apalagi kamarnya. Ginny berusaha mengabaikannya namun tidak berhasil. Suara itu sangat kuat mempengaruhi dirinya dan akhirnya dia terhipnotis untuk mengikutinya. Dia melihat pancaran cahaya putih bersinar terang dari dua monumen itu dan Ginny ingin meraihnya. Dia ingin mencapai cahaya terang itu.

Dalam keadaan tidak sadarkan diri dan seperti disihir, tubuh Ginny melayang dari atas balkon. Tangan kanannya digerakkan seperti hendak mengulurkan sesuatu namun hanya sebentar. Tak lama kemudian ia langsung menghilang dari balkon. Suara misterius itu rupanya membawanya ke dua monumen sayap itu. Beruntung, ketika Ginny hendak menghilang, ada seorang saksi mata yang melihatnya. Pelayan Ginny yang masuk kamar langsung histeris dan berlari keluar untuk menemui Raja Fred dan melaporkan apa yang terjadi dengan Ginny.

Fred yang terkejut langsung menghentikan rapat dan memanggil pasukannya untuk pergi menyelamatkan Ginny. Dia pergi dari istana ditemani oleh George. Sementara itu, di lokasi monumen Harry yang menyaksikan cahaya aneh tepat di depan matanya langsung berlari masuk menuju sumber cahaya dan menyaksikan pemandangan mengejutkan. Putri Ginny tengah melayang dengan dua sayapnya yang lebar, diapit dua monumen dan matanya terpejam. Harry yang terkejut langsung lari ke hadapan Putri Ginny sambil berteriak memanggilnya, "Putri!"

Ginny membuka matanya perlahan langsung menatap Harry di bawahnya, "Harry…"

"Ginny, bertahanlah. Aku akan menyelamatkanmu!"

"Harry, pergi dari sini…"

"Ginny!"

Ketika Harry bermaksud untuk menyelamatkan Ginny, seketika muncul lima puluh tentara misterius berseragam hitam menghadangnya. Muka mereka ditutup topeng sehingga tidak jelas identitasnya. Harry tidak siap menghadapi mereka. Dia langsung dihajar begitu saja. Namun Harry berusaha melawan dengan senjata seadanya yang ia dapatkan di sekelilingnya namun tetap gagal. Putri Ginny yang menyaksikan itu hanya menangis karena ia tidak berdaya apapun untuk membantu Harry. Dia masih terus melayang di sana, menyaksikan Harry dikeroyok tentara-tentara misterius itu.

Namun perkelahian itu tidak berlangsung lama. Pasukan Hogwarts Kingdom yang dipimpin Fred datang menolong Harry. Mereka menyerbu tentara-tentara misterius itu sampai akhirnya mereka menghilang. Harry yang terluka dan hampir terkapar pingsan di tanah menatap Pendeta Tinggi George yang mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri. Harry segera meraihnya. Dia berdiri dengan Fred dan George di samping kiri dan kanannya. Mereka menyaksikan Ginny yang masih terus melayang di sana. "George, tidak bisakah kau melakukan sesuatu?" seru Fred. "Selamatkan adikku!"

George menelan ludahnya. Dia ingin sekali melakukannya namun ada resiko besar yang harus mereka bayar nantinya. George tidak tega mengatakan hal ini kepada Harry dan Fred. Namun Fred terus mendesaknya, "George!"

Tanpa berkata apa-apa George mengacungkan tongkat pendetanya. Dia mengucapkan sebuah mantra dan lingkaran besar mengelilingi bawah kedua kakinya. Dia langsung mengacungkan tongkat itu ke arah Ginny dan pancaran sihir berhasil mengenai cahaya itu. Sihir George dan cahaya misterius itu seperti sedang bertarung dan akhirnya sihir George berhasil memenangkan pertempuran. Putri Ginny terjatuh pingsan, sayapnya menghilang. Namun anehnya, sebelum jatuhnya Ginny, ada pancaran-pancaran cahaya misterius menyebar ke berbagai penjuru dari balik punggungnya ketika sihir George berhasil melenyapkan cahaya yang meliputi gadis itu.

Mereka bertiga segera berlari menghampiri Ginny dan Harry langsung mendekapnya seraya berusaha membangunkan Ginny namun tidak berhasil. "Ginny!"

"Apa yang terjadi?" tanya Fred gelisah. Dia menatap George, "Kenapa dengan adikku? Dia baik-baik saja, kan?"

George menghela napas berat. Dia merasa harus memberitahu Fred dan Harry walau sangat tidak menginginkannya. Dia membungkukkan diri dan memeriksa kondisi Ginny yang sedang dipeluk Harry, "Dia pingsan."

"Syukurlah," kata Harry bernapas lega namun Fred tidak. "George, jelaskan padaku apa yang terjadi dengan Putri?"

"Dia pingsan tapi…"

"Tapi…?" Harry mengernyitkan alisnya. "Pendeta George, katakan sejujurnya kepada kami!"

"Kalian tidak melihatnya?" kata George. "Ada sesuatu kekuatan misterius yang membawa Putri Ginny kemari dan ketika aku berhasil mematahkan kekuatan itu, itu adalah kesalahan."

"Bagaimana mungkin itu kesalahan?" tanya Fred gusar. "Adikku dalam bahaya!"

"Bukankah kalian melihat kedua sayap yang muncul dari balik punggung Putri? Dan kedua sayap itu menghilang bersamaan dengan memancarnya pancaran-pancaran cahaya putih yang melesat ke berbagai penjuru langit. Itu adalah bagian dari bulu sayap Putri."

"Lalu apa hubungannya?" kata Harry.

"Artinya, bulu-bulu sayap itu merupakan bagian dari jiwa dan kenangan Putri Ginny. Bulu-bulu sayap itu lenyap dan menghilang ke berbagai dunia. Dunia-dunia lain yang asing, yang tidak kita kenal dan untuk menempuhnya harus melalui sihir dimensi," kata George.

"Aku masih tidak mengerti," kata Fred.

"Bulu-bulu sayap Putri Ginny merupakan bagian dari jiwanya dan jika bulu-bulu sayap itu tidak terkumpul, maka dia akan mati," kata George.

"Tapi dia pingsan, Pendeta George!" seru Harry. "Putri pingsan dan masih hidup."

"Dia memang masih pingsan karena setidaknya ia masih selamat untuk sementara. Namun dalam hitungan jam, maka ia tidak dapat selamat lagi," kata George.

"Mengapa kau tidak mengatakannya kepadaku sebelumnya, George?" umpat Fred. "Seharusnya kau bilang padaku sehingga adikku tidak akan terancam nyawanya gara-gara bulu sayap sialan itu!"

"Maafkan saya, Yang Mulia," George membungkukkan badannya. "Saya ingin mengatakannya sebelum ini namun saya tidak berani menyampaikannya kepada anda. Ini salah saya dan saya bersedia menerima hukumannya."

Fred menghela napas sebentar kemudian berbicara lagi, "Aku tidak akan menghukummu, George. Seandainya kamu bilang padaku sekalipun, aku pasti tetap akan memintamu untuk menyelamatkan Putri Ginny walau nyawa taruhannya."

"Terima kasih, Yang Mulia," kata George.

"Masalahnya adalah siapakah yang akan mengumpulkan bulu-bulu sayap Putri?" tanya Fred.

George tersenyum lalu memandang Harry, "Bagaimana jika Harry yang melakukannya?"

Harry dan Fred terkejut mendengar pernyataan George.

"Jangan bercanda, George!" ujar Fred, "Harry? Astaga."

"Kenapa tidak? Harry adalah sahabat Putri sejak kecil. Mendiang Raja Dumbledore bersahabat dengan ayahnya. Harry dan Putri Ginny saling mengenal satu sama lain dan saya percaya Harry pasti bisa melaksanakan tugas ini. Dia pasti akan menjaga Putri untukmu, Yang Mulia Raja Fred."

Fred terdiam sambil membenarkan perkataan George dalam hatinya. Namun Harry agak keberatan. Dia berdiri sambil menggendong Ginny yang masih pingsan. Tangannya terkulai lemas. "Saya tidak sanggup melaksanakannya, Pendeta George! Saya hanya seorang arkeolog, bekerja untuk meneruskan jejak ayah saya. Saya bukan ksatria!"

"Kau salah, Harry. Bagi Putri Ginny, kau tetaplah ksatria. Kami sangat mengenal ayah dan ibumu bahkan dirimu. Bukankah kau dan adikku bersahabat sejak kecil?" kata Fred. "Aku tidak mungkin mempercayakan misi ini kepada laki-laki asing yang tidak dikenal adikku. Aku mempercayaimu, Harry. Hanya kau yang bisa menjaganya."

"Tapi, saya tidak pernah bertarung…"

"Jangan khawatir, Harry," kata George tersenyum bijak. "Kami akan mengirimkan kalian kepada wanita itu."

"Wanita itu?" tanya Harry.

"Yuko, Penyihir Dimensi. Dia tidak tinggal di dunia ini, tapi dunia lain. Dia akan membantu kalian untuk mencari bulu-bulu sayap tersebut. Percayalah Harry, dia pasti akan memberimu kekuatan untuk menolong Putri Ginny."

"Tapi saya tidak mungkin meninggalkan ibu saya sendirian dan ia sedang sakit!" kilah Harry.

"Tidak mengapa, aku akan menyampaikan hal ini kepada ibumu. Bahkan aku akan membawa ibumu ke istana agar mendapat perawatan secukupnya. Biayanya aku yang menanggung. Jangan kuatir, Harry," kata Fred.

Harry berpikir sejenak seraya menatap wajah Ginny yang pucat. Tidak ada jalan lain baginya. Dia harus menyelamatkan sahabatnya. Dia tidak ingin Ginny dalam bahaya. Dia harus menyelesaikan misi ini. Harry menatap Raja Fred, "Saya bersedia menjalankan misi ini, Yang Mulia."

Fred tersenyum memandang Harry. Dia mencabut pedangnya dan memberikannya kepada Harry, "Ambil ini, Harry."

"Tapi itu pedang anda, Yang Mulia. Saya tidak mungkin menggunakan pedang pusaka Godric Gryffindor!" tolak Harry.

"Tidak apa, aku merelakannya padamu. Ini sebagai tanda kepercayaanku padamu, Harry. Percayalah, aku akan baik-baik saja tanpa pedang ini. George bersamaku di sini. Pergilah Harry, selamatkan Putri Ginny dengan pedang ini dan buktikan kepada dunia, bahwa telah lahir ksatria Hogwarts Kingdom keturunan Godric Gryffindor, pendiri kerajaan ini! Kau setuju, George?"

Harry menatapnya sejenak lalu mengangguk. Dia menerima pedang itu dengan sukarela lalu George menyihir pedang itu menjadi kecil dan akhirnya menjadi kalung liontin untuk dikenakan Harry di lehernya. Kemudian George memerintahkan Harry sambil menggendong Ginny, berdiri tepat di depannya lalu mengucapkan sebuah mantra sihir. Begitu mantra itu diucapkan, sebuah lingkaran formasi sihir mengelilingi Harry dan ia langsung menghilang dalam pusaran cahaya. George dan Fred menatap kejadian itu dengan penuh tegar. Mereka berharap Harry segera menyelesaikan misi ini dan bisa kembali pulang dengan selamat.

Britania

Year 1

Seorang ksatria muda itu baru saja bersenang-senang setelah menyelesaikan misinya dari medan perang melawan bajak laut. Dia sangat bangga bisa menghabisi puluhan tentara bajak laut dan membanggakannya di bar tempat ia minum-minum dengan para koleganya sesama tentara Britania. Sementara pemuda itu sedang bersenang-senang, pintu bar menjeblak terbuka dan seisi bar hening menyaksikan seseorang berseragam tentara diikuti dua pengawalnya berjalan menuju pemuda itu. Seketika seisi bar langsung berdiri seraya menunduk hormat kepada orang itu, kecuali pemuda yang masih duduk santai-santai seraya menuang araknya.

"Kau masih bersantai-santai disini, Ron?" kata orang itu dengan nada gusar.

"Ahahahaha, Jenderal Krum yang kuhormati, bagaimana kabar anda malam ini? Mari minum bersama kami, hahaha…!" seru pemuda itu dengan penuh semangat seraya mengangkat botolnya lalu meminumnya. Dengan penuh amarah, orang yang dipanggil Jenderal Krum itu langsung menjatuhkan botol minum yang dipegang oleh pemuda itu dan langsung menarik kerah seragamnya. "Dasar pemabuk tidak tahu diri!"

"Jenderal…" wajah pemuda itu langsung terperangah menyaksikan nuansa kemarahan begitu memancar dari wajah Jenderal Krum.

"Brengsek kau, Ron!"" umpat Jenderal Krum. "Kalau bukan karena perintah Putri Hermione untuk mencarimu kemari, sudah kuhajar kau sampai mati!"

"Putri Hermione? Apa maksud anda?" ujar pemuda yang dipanggil Ron itu.

"Putri Hermione memanggilmu ke istana, tolol! Dia ingin tahu bagaimana kau menyelesaikan misi yang diberikan olehnya kepadamu!" seru Jenderal Krum.

"Ah, tentunya Putri Hermione tersayang sudah tidak sabar ingin bertemu denganku, untuk mendengarkan cerita-cerita kehebatanku, hahahahaha!"

"Dasar pemimpi kau, Ron! Dia tidak akan terkesan dengan cerita-cerita konyolmu itu," rutuk Jenderal Krum.

"Kenapa, Jenderal? Anda iri pada saya, kan? Akuilah, hahahaha!"

"Brengsek, kau! Kalian berdua, seret pemabuk ini ke istana sekarang. Aku muak mendengar tawanya yang menjijikkan!"

Ron masih saja tertawa begitu ia dipaksa berjalan oleh dua orang pengawal Jenderal Krum dan dibawa pergi begitu saja ke istana untuk bertemu Putri Hermione. Putri Hermione adalah seorang Putri negeri Britania yang terkenal dengan kecerdasan dan kecantikannya. Dia adalah pewaris tahta Britania. Putri Hermione sangat disegani sekaligus dicintai oleh rakyatnya. Jiwa kepemimpinannya sangat luar biasa dan wibawanya menyebabkan ia dihormati dari berbagai kalangan. Banyak bangsawan-bangsawan bujang yang melamarnya namun selalu ditolak oleh Putri Hermione. Dia masih belum tertarik untuk menikah.

Malam itu, Putri Hermione tengah menunggu di singgasananya. Dia ditemani oleh sejumlah dayang dan pengawal. Tak lama kemudian, pintu gerbang terbuka dan ia melihat seorang pemuda yang kelihatannya mabuk tengah diseret oleh dua orang prajurit dan Jenderal Krum langsung membungkuk hormat kepada Putri Hermione.

"Jenderal, kenapa dengan Ron?"

"Maaf, Tuan Putri," kata Jenderal Krum. "Orang ini mabuk."

"Mabuk?" tanya Putri Hermione, menatap Ron yang kelihatan masih tertawa sendiri dan menggumam-gumam tentang keberhasilannya menyelesaikan misi.

"Kelihatannya begitu, Tuan Putri," kata Jenderal Krum.

Putri Hermione memandang Ron dengan wajah sedikit kesal. Dia mengulurkan tangannya kepada seorang dayang, meminta seember air. Begitu seember air itu diberikan, Putri Hermione langsung menyiram air itu ke Ron. Dia tersedak dan terbatuk-batuk. Sedangkan yang lain menyaksikan dengan wajah terperangah.

"Sudah sadar, RON?"

Sambil terbatuk-batuk, Ron menatap wajah Putri Hermione yang kelihatan sangat marah, "Putri?"

"Jangan panggil aku Putri, dasar pemabuk! Kau pikir aku senang dengan misimu?"

"Tapi, Putri," ujar Ron, tergagap hendak membantah, "Misi itu berhasil…"

"Tidak! Misimu kali ini gagal, juga misi-misi sebelumnya. Selama ini aku selalu bersabar tapi sekarang kesabaranku pun ada batasnya!" seru Putri Hermione.

"Maksud Tuan Putri? Saya kira anda seharusnya senang…"

"Senang? Hoh, aku sangat senang, Ron, sangat senang sekali," kata Putri Hermione sinis seraya menyilangkan kedua tangannya. "Sangat senang begitu mengetahui setiap misi, kau selalu membunuh dengan cara yang melampaui kemanusiaan. Kau memotong-motong tubuh para korban bahkan termasuk keluarga mereka? Kau sangat memalukan, Ron, memalukan nama baik negara kita!"

"Tapi, mereka musuh, Tuan Putri…!" bantah Ron.

"Musuh? Jadi kau anggap selama ini walau mereka musuh sekalipun mereka bukan manusia, begitu? Aku selalu heran dengan jalan pikiranmu, Ron. Walau mereka musuh, mereka juga tetap harus diperlakukan dengan baik. Bukan dengan cara kejam seperti itu. Aku hanya meminta supaya sekedar menangkap mereka, bukan membunuh. Kau boleh membunuh jika dalam keadaan terpaksa atau nyawamu terancam!"

Ron kembali diam. Sebenarnya bisa saja ia berbohong dengan beralasan ia membunuh mereka karena terpaksa atau nyawanya terancam namun sepertinya Putri Hermione tidak akan bisa dibohongi. Dia tidak berani menambah kemarahannya. Dia menundukkan kepalanya sedikit menyesal.

Putri Hermione menghela napas, "Aku harus memberimu pelajaran, Ron, agar kau tidak bisa lagi mempermainkan nyawa manusia seenaknya."

"Apa? Pelajaran?" kata Ron terkejut.

"Ya, pelajaran sekaligus hukuman untukmu. Kamu akan kukirim ke wanita itu agar kau bisa belajar darinya bagaimana memperlakukan orang lain dengan manusiawi. Jangan kembali ke negeri ini sebelum kau menjadi Ron yang rendah hati dan berperikemanusiaan. Kau harus belajar menjadi ksatria sejati yang bisa menempatkan keberanian, kecerdasan dan senjata pada waktu yang tepat. Aku ingin melihatmu berubah, Ron!"

"Tapi, Putri, anda tidak bisa melakukannya!" seru Ron, protes.

"Oh, tentu aku bisa. Dan aku akan mengirimmu ke sana, ke dunia wanita itu dan menerima pelajaran darinya," kata Putri Hermione sedikit angkuh.

"Siapa wanita itu?"

"Kau akan tahu, Ron," ujar Putri Hermione seraya menyilangkan kedua tangannya, menggumamkan mantra sihir. Seketika sebuah formasi lingkaran sihir mengelilingi Ron.

"Tuan Putri! Saya mohon, jangan kirim saya pergi!" teriak Ron, dia hendak lari dari lingkaran itu namun terlambat. Dia menghilang bersama cahaya dan teriakan Ron menggaung di dalam ruangan. Putri Hermione menatap kepergian Ron dan air matanya sedikit berlinang. Ia segera menyekanya lalu berbisik, "Maafkan aku, Ron. Semua ini demi kamu, karena aku sangat mencintaimu…"

Clow Country

Year 1

Pasukan Clow Country yang dipimpin oleh Raja Touya kalah telak. Mereka terpaksa mundur ke garis belakang. Raja Touya sendiri terluka. Kali ini musuh misterius yang menyerang negeri mereka sangat kuat dan tidak bisa dikalahkan. Dari luar tenda Touya, masuk dua orang pemuda dan seorang gadis : Pendeta Tinggi Yukito, Shaoran dan Putri Sakura. Mereka berdiri mendampingi Touya yang sedang terbaring. Wajah mereka diliputi kecemasan.

"Tidak ada jalan lain," kata Pendeta Tinggi Yukito, "Kita harus meminta bantuan wanita itu. Semoga ia bisa menolong kita mengalahkan mereka."

"Kau benar, Yuki," kata Touya dengan nada lirih. "Seharusnya kudengarkan saranmu dari awal."

"Jangan menyesali yang sudah berlalu, Yang Mulia. Sekarang masih ada kesempatan. Kita harus meminta bantuan wanita itu," kata Yukito.

"Tapi siapakah yang akan menyampaikannya?" tanya Touya. "Aku tidak mungkin pergi meninggalkan pasukanku apalagi kau."

"Tentu saja, Yang Mulia," kata Yukito sambil tersenyum. "Kita akan mengirimkan Shaoran dan Putri Sakura menghadap wanita itu."

Touya, Shaoran dan Sakura terkejut bukan kepalang atas pernyataan Yukito. "Aku tidak keberatan bila Shaoran dikirimkan ke sana, tapi kenapa adikku juga?"

"Putri Sakura akan dalam bahaya jika tetap di sini. Sudah banyak orang yang mengungsi dan Putri harus pergi dari negara ini juga. Nyawanya bisa terancam," kata Yukito.

"Jadi?"

"Putri Sakura harus pergi bersama Shaoran kepada wanita itu. Aku akan mengirimkan mereka sekarang juga, jika Yang Mulia mengizinkan," kata Yukito sambil membungkukkan badannya.

Touya melirik adiknya. Putri Sakura dan Shaoran kini sudah berusia 18 tahun. Mereka berdua adalah teman sejak kecil. Shaoran meneruskan pekerjaan mendiang ayahnya sebagai arkeolog dan Putri Sakura merupakan putri bungsu kesayangan Raja Clow Country terdahulu, Clow Reed. Meski Touya sangat menyayangi Sakura, ia tidak tega membiarkan adiknya terancam bahaya. Ia sangat mempercayai Shaoran, bahwa ia pasti bisa menjaga Sakura. "Bagaimana menurutmu, Sakura?" tanya Touya setelah sejenak berpikir.

Putri Sakura tersenyum kecil kepadanya, "Kakak, serahkan semuanya padaku dan Shaoran. Kami bersedia pergi atas izinmu, kami akan berjuang demi menyelamatkan negeri ini. Kami sangat mencintai Clow Country dan tidak akan menyerahkannya kepada para musuh."

Touya tersenyum menatap adiknya yang selalu bersemangat. Dia tahu Sakura dan Shaoran juga ingin berjuang untuk menyelamatkan negeri mereka. "Aku setuju, Yukito. Putri Sakura dan Shaoran, mereka boleh pergi. Kirimkan mereka ke wanita itu, ia pasti bisa membantu kita. Tidak ada jalan lain setelah ini."

Yukito tersenyum kepadanya seraya membungkukkan badan. Ia menyuruh Sakura dan Shaoran berpegangan tangan, berdiri di hadapannya. Touya menyaksikan di atas pembaringan. Yukito berhasil mengirimkan mereka berdua keluar dari dunia ini menuju dunia lain melalui sihir dimensi.

Nihon

Year 1

Dalam insiden peperangan, Putri Tomoyo tersudut di istananya. Musuh nyaris menangkapnya jika Kurogane tidak berhasil melindunginya. Laki-laki berjubah serta berikat kepala merah ini menemukan Putri Tomoyo dikepung dan tengah membentengi kamarnya dari para musuh. Kurogane yang tidak terima atas perbuatan mereka langsung menghajar habis-habisan dan akhirnya berhasil menolong Putri Tomoyo.

Tomoyo lantas mengucapkan terima kasih kepada Kurogane namun ia menyadari musuh sangat kuat kali ini. Akan sangat sulit untuk mengalahkan mereka. Maka, Tomoyo pun memutuskan untuk mengirimkan Kurogane ke dunia lain untuk bertemu seorang Penyihir Dimensi guna meminta bantuannya. Kurogane menolak, ia tidak ingin Putri Tomoyo sendirian dalam bahaya, namun keputusannya sudah bulat. Ia segera mengirimkan Kurogane ke dunia lain.

Ashura

Year 1

Laki-laki berambut kuning itu terluka. Ia berbaring dalam tendanya, ditemani oleh seorang gadis berambut keperakan. Musuh juga menyerang negaranya. Rasanya ia sudah melakukan yang terbaik namun pasukannya kalah. Ia curiga pasti ada sesuatu yang membuat pasukan musuh begitu kuat dan tidak bisa dikalahkan namun ia tidak tahu apa penyebabnya. Kemudian ia mendengar suara seseorang dari luar tendanya. Lalu masuklah seorang wanita berambut pirang dan seorang laki-laki bertubuh besar dan berjenggot banyak.

"Ratu Hannah dan Jenderal Hagrid?" lirih pria itu, ia berusaha untuk bangun namun dicegah oleh wanita yang dipanggil Ratu Hannah.

"Kau baik-baik saja, Fai?"

"Saya cuma sedikit terluka, Yang Mulia," kata laki-laki yang dipanggil Fai, melirik seorang gadis di sampingnya, "Chi menemani saya di sini."

"Baguslah kalau begitu," kata Ratu Hannah. Ia berbisik pelan kepada laki-laki di sebelahnya lalu menatap Fai lagi. "Jenderal Hagrid telah menyetujuinya. Ia merelakan salah satu prajurit terbaiknya untuk pergi."

Fai dan Chi terperangah, "Maksud Yang Mulia?"

"Begini, Fai," kata Ratu Hannah, "Musuh kita kali ini sangat kuat. Kami selalu mengandalkanmu setiap kali adanya peperangan dan selalu berhasil berkat strategi-strategimu. Namun setelah menyadari kekalahan pertama kita dan kamu terluka, maka tidak ada jalan lain, terpaksa kita harus meminta bantuan wanita itu dan kamu adalah pilihan terbaik untuk melaksanakannya, Fai."

"Tapi, mengapa?" kata Fai, masih tidak percaya.

"Aku dan Jenderal Hagrid selalu mempercayaimu dan kami ingin mengirimmu kepada wanita itu karena kepercayaan kami padamu. Bukan kami meragukan kekuatanmu sekarang, hanya saja kami tidak ingin kamu mati konyol, Fai. Kami sangat menghormatimu, oleh karena itu, kita harus mengirimkan dirimu kepada wanita itu. Dia pasti bisa membantu kita, Fai."

"Begitukah? Jadi, aku harus pergi?" kata Fai. Ratu Hannah dan Jenderal Hagrid mengangguk.

"Kita ingin tahu apa penyebab kekuatan musuh. Wanita itu pasti tahu kelemahan mereka dan sumber kekuatannya. Bukankah kau tahu, Fai, ada sesuatu yang membuat mereka kuat?" kata Jenderal Hagrid.

"Ya," kata Fai, mengangguk. "Hanya saja aku tidak begitu mengerti, apa penyebabnya."

"Maka, kita harus meminta pertolongannya. Wanita itu pasti tahu," kata Hannah.

"Kau setuju, Fai?" tanya Hagrid.

Fai melirik gadis di sampingnya, "Bagaimana menurutmu, Chi?"

Gadis yang dipanggil Chi itu menoleh, ia tersenyum kepada Fai, "Jika itu permintaan Yang Mulia Ratu Hannah dan Jenderal Hagrid, maka aku bersedia engkau pergi, Fai. Semua demi keselamatan negara kita. Kami selalu menghargai kebijakan Ratu Hannah."

Fai tersenyum lalu menoleh kepada Ratu Hannah dan Jenderal Hagrid, "Baik, aku bersedia pergi."

"Bagus," kata Hannah, tersenyum kepadanya. "Bila sudah selesai, kembalilah kemari, Fai dan selamatkan negeri kita. Kami akan menunggumu."

"Baik, Yang Mulia," kata Fai, sambil membungkukkan badannya, ia bergegas berdiri dari pembaringan, dibantu oleh Chi karena tubuhnya agak sempoyongan. Fai mengucapkan sebuah mantra dan cahaya meliputi dirinya. Ia menghilang.

"Kuharap semuanya baik-baik saja," kata Hannah.

"Tentu, Yang Mulia. Kini semuanya sudah dimulai," kata Hagrid.