haloo..
sedang nekat pub fic yang gajelas ending dan klimaksnya.
kalau berkenan silakan dibaca.. review juga sangat dibolehkan.. #abaikan
karena saya author newbie, maaf jika story saya banyak yang gak jelas.. (_ _ )/
enjoy.. :)
.
.
DISCLAIMER:
Kuroshitsuji
© Toboso Yana-sensei
WARNING:
AU, gaje, belum mencapai SA, story yang masih berantakan. typo—maybe.
Bagi yang kurang suka story suram saya mohon maaf.
SUMMARY:
seorang kelabu itu ternoda. di balik sebuah topeng kelinci kertas dan demi cinta. masterpiece... (gak pinter bikin summary.. T.T) enjoy.
PROLOUGE
.
…
…
Gelap.
Gemuruh guntur tak pula menyerah meraung malam ini.
Kilatan cahaya keemasan yang terselip di antara awan-awan kelabu terus berselang-seling dengan gemuruh sang guntur. Emas kilatan itu terbias jelas di permukaan dinding gelap nan dingin tempat ruangan yang tengah ia tempati sekarang. Emas, indah. Namun bagi sebagian besar insan, kilatan emas itu bagaikan pertanda mimpi buruk. Seperti raungan makhluk yang tersakiti dan menyayat hati. Melodi alam yang mengalun bagai lembutnya desiran angin malam yang meronta menembus dingin.
Malam memang kian larut, tak ayal semua insan yang terlelap itu semakin bertambah angkanya. Namun tidak untuk seorang yang kelam—dia tetap terjaga walau disadarinya waktu yang kian larut menyelimuti aura kelam dan kesepiannya. Sepi. Seakan semua tak ada. Hanya dia dan makhluk kecil tak berdosa yang berada di hadapannya. Merajai malam dengan senyap serta sunyi tanpa suara. Dengan kebisuan mereka.
Dia tak bisa meronta bagaimanapun caranya. Tangan bak pualam putih dan sepucat awan itu terus menjamah tiap lekuk tubuhnya. "Aah, tubuhmu indah, makhluk bodoh." desahnya di saat mata tajam itu akan segera mengenai si makhluk kecil. Sekilas kilatan perak dari si mata tajam membuat makhluk kecil itu menciut nyali—mungkin. Namun dia hanya makhluk kecil yang tak dapat benar-benar berpikir. Tak ada yang ia katakan, tak ada yang ia desahkan. Yang dia rasakan hanya mati rasa. Kaku. Aroma cairan yang tadi ia hirup mungkin sudah memenuhi rongga-rongga kosong dalam tubuh rentanya dan tengah mulai melemahkan syaraf-syarafnya. Kloroform terkutuk. Mungkin kesadarannya tinggal sejengkal. Dan itu normal. Hanya tinggal sejengkal pula dia tak bisa kembali. Malam ini,malam terakhir baginya. "Sudahkah kau memberi salam terakhir kepada keluargamu, makhluk bodoh?"
Mata tajam itu melintang. Sempurna. Letaknya tepat di antara sisi kanan dan sisi kiri. Sempurna. Kilatan perak sang mata tajam besi itu mengkilat dan menyayat. Tepat.
Tak perlu kau tanyakan apa yang akan terjadi. Seorang kelabu itu ternoda. Guratan-guratan yang tersusun atas jaringan epitel[1] lembut itu terburai—segera meninggalkan bercak. "Aku melakukannya! Aku melakukannya! Hahaha.."
Si kelam menatap erat dan lekat telapak bak pualam miliknya. Dia menyeringai tajam. Telapak pualamnya berubah semerah delima. Dengan wajah mengerikan bak serigala yang haus akan anak domba nan manis, dijilatnya telapak pualam delima miliknya. "Sluurp, darah busuk. Haha.. Haha.. Hahaha.."
Sekonyong-konyong air mukanya berubah entah bagaimana, dia kembali mendesah tak keruan,"Bodoh, aku.. aku.." sang kelam mendekap erat tubuhnya sendiri. Mengabaikan bangkai makhluk kecil tadi yang terburai organ dalamnya dalam kegelapan. Trang! mata tajam si perak terpelanting. Sang kelam tak kuasa, dia menjatuhkan tubuh kurusnya ke lantai putih yang hendak mengalahkan putih kepucatan kulitnya. Dia menggigil. Mendekap tubuhnya makin erat. Erat. Jas putih yang dikenakannya terus ditarik, kuat, erat. Hampir sobek dibuatnya.
"INI BUKAN MASTERPIECE!" kelam menutup erat kedua telinganya dengan telapak-telapak pualam bernoda delima miliknya. Berteriak bagai seorang yang dilanda pilu yang terpilu. Dengan nafasnya yang tersengal, ia bangkit dari lantai yang pucatnya hendak mengalahkan pualam putih permukaan tubuhnya. Sengalan nafasnya yang memburu terus berirama mengalahkan kesunyian di dalam ruangan tempat ia berada. "INI BODOH!" erangnya kasar, disambarnya semua yang berada di meja tempat makhluk kecil tadi meregang nyawa. Tak peduli apakah makhluk kecil itu nyaman dibuatnya atau tidak. Dengan buraian epitel usus dan organ dalam yang masih tak keruan menjulur ke luar dari dalam perut mulusnya, si kelam segan melempar makhluk kecil itu hingga semua berserakan di atas lantai putih. Kontras. Putih merah. Kilatan emas menambah kontrasnya yang akan membuat ngeri siapapun yang melihatnya.
"Aku harus menyayat makhluk amfibi bodoh itu tanpa membiusnya.. Hahaha itulah masterpiece yang sebenarnya. Hahaha."
Oleng langkahnya tak menyurutkan niat si kelam untuk berjalan menuju kotak kaca yang berisi banyak hewan yang terus mengorek ricuh. Kotak kaca kecil lusuh yang berada beberapa meter dari tempatnya berdiri memang tempat hewan-hewan disimpan. Kotak-kotak yang tersusun rapi di rak menjadikan mudah bagi si kelam dalam memilih. Kali ini diambilnya makhluk berwarna hijau nan licin.
Kelam itu mengambil papan. Memaku. Tangan dan kaki. Kanan kiri. Tak ada bius kali ini—tak ada kloroform lagi. Dengan seringai tak berdosanya, ia memulai untuk menggenggam erat si mata tajam perak. Kilatan perak muncul. Dan pada permukaan si perak itu, tersirat seringai terjahat yang pernah ada. Seringai si kelam. Sesekali makhluk kecil berwarna hijau itu bersuara. Terusik, si kelam menghunuskan ujung perak ke arah mata si makhluk kecil. Tak perlu menunggu lama hingga makhluk hijau itu akhirnya tak bersuara. "Dasar berisik!" ungkapnya sebal dan sesekali kembali menancapkan ujung perak ke tempat tadi ia menghunuskan mata perak itu di tempat yang sama. "Haha.. Haha.. Hahaha."
Kembali dibuatnya garis melintang. Tepat di tengah seperti makhluk kecil yang tengah terburai tadi. Kelam itu menghunus dan menyayat makhluk hijau yang ada di depan matanya dengan brutal. Pekatnya cairan berwarna layaknya delima itu mencuat dan membasahi meja. Bertaut dengan jas putih yang di kenakannya. Jasnya kini tak jadi putih, delima tepatnya. Pualam pucatnya semakin digerayangi warna delima. Pekat. Dan anyir. Lengket rasanya.
Organ yang tersusun atas epitel itu terburai sempurna. Kelam itu mengaduk-aduk isi dari si makhluk kecil, mencoba mencari sumber di mana si makhluk dapat hidup. Gotcha! Kelam itu menggenggam jantung. Yang masih semerah darah yang pekat. "Ha.. Haha.. Hahaha.." tawanya meledak.
Makhluk tak berdosa itu terbujur kaku. Ususnya yang berceceran, darahnya yang mengalir serta kini jantung kecilnya yang berada di genggaman si kelam. Mata kirinya menjorok ke dalam, kini korneanya pecah dan menyatu dengan pekatnya darah. Malang.
Kelam itu membuka rahangnya. Dia menatap lekat kepalan pualam berwarna delimanya. Tak tunggu banyak waktu dan membiarkan malam yang semakin melarut, ia masukkan jantung itu ke dalam rongga mulutnya. Kunyah. Dia mengunyahnya. Dengan tawa khasnya, dia terus mengunyah jantung yang menjijikkan itu. Dan tak tunggu lama, dia memuntahkannya.
Menu makan malam bersama jantung katak yang dikunyahnya melebur jadi satu dan mendarat persis di lantai putih. "Uhuk. Hahaha.. Hoek.. Ugh.. Hahaha Hahahaha.." dalam tawanya, kilatan emas ikut beradu. Di sela-sela tawa nistanya, sang kilatan emas menyinari dirinya, pembunuh. "Ini semua indah.. masterpiece. Hahaha."
"Aku... aku mencintai ini!"
iioii
"Ciel!"
Laki-laki dengan rambut raven itu terbangun dari tidurnya. Diiringi kilatan emas yang terbias di dinding kamar asrama yang ia tinggali. Tak berselang lama, gemuruh paling mengerikan bersua seakan ingin mencekamnya. JDAR.
Nafas laki-laki beriris merah tersebut tersengal. Keringat dingin mengucur dan membasahi kerah piama yang ia kenakan. Ia merasa mempunyai frasat buruk. Pikirannya segera melayang. Ciel.
Laki-laki raven itu menengok tempat tidur kecil yang berjarak beberapa meter dari tempat ia terbaring. Irisnya melebar. Mengetahui kenyataan bahwa teman sekamarnya tak ada saat itu juga."Ciel, kau..." Belum genap kalimatnya tersusun sempurna, seseorang membuka pintu kamar asrama si raven.
"Ah, kau terbangun ya? Barusan gunturnya keras sekali memang."
Raven menghela nafasnya yang terasa sangat berat. Ia menghapus keringat dinginnya perlahan. Ditatapnya seorang anak lelaki yang tengah menutup pintu kamar dengan kaki kurusnya. Blam.
"Dari mana kau?" tatapan dari iris merah seakan menelisik jauh ke dalam biru laut damai iris dari anak lelaki yang berdiri di depan pintu. Iris biru laut itu meringis, menggaruk pipi putih pucatnya. Di tangan kanannya terdapat segelas susu vanilla kesukaannya. "Aku dari dapur. Haus, bodoh!"
Anak lelaki itu berjalan menjauhi pintu. Tatapannya lurus ke arah jendela besar yang kokoh berada di sisi yang berpelurus dengan pintu kamar. Letaknya di tengah-tengah antara tempat tidur raven dengan tempat tidur si anak lelaki penggemar susu vanilla tersebut. Kamar mereka yang rapi tak seperti kamar anak lelaki lain di asrama yang sama. Cenderung mirip dengan kamar anak perempuan di asrama bagian putri.
Malam itu gorden tebal berwarna senada dengan dinding kelabu kamar mereka masih tersingkap. Kilatan-kilatan cahaya keemasan menerpa hampa kamar mereka dan terbias jelas di lantai sampai ke dinding. Refleksi kilatan cahayanya terlalu panjang—sepanjang jendela nan kokoh tersebut.
Raven kembali menghela nafas berat. Suara serak-serak basahnya sedikit terbawa dari pita suara yang berada di laringnya. Ditatapnya si anak lelaki kurus dengan iris merah menyalanya. Namun semenyala apapun, tatapannya kali ini terasa sayu. Serasa ada sesuatu yang menghalanginya. Takdir-kah? "Bohong kau. Kau sengaja minum susu supaya tambah tinggi kan? Hahaha." raven ambil bicara. Memecah keheningan malam dengan mengalahkan satu-satunya suara gemuruh guntur yang menggelegar di langit asrama mereka. Tawa manisnya menyeruak, muncul dari bibir pucatnya yang hobi mengulum senyum.
Anak lelaki kurus yang tadinya menatap hampa ke arah jendela melonjak kaget. Hampir ia tumpahkan susu vanilla favoritnya yang masih bertengger di genggaman tangannya. "Cih, apa kau bilang?" semburat merah tipis terlukis di pipi pucatnya. Marun. Manis sekali dia layaknya perempuan—walau sebenarnya semua laki-laki berharap bahwa anak kurus beriris biru damai itu adalah perempuan tulen. Rambutnya selembut sutera, cantik dan menawan—banyak yang berharap bahwa rambut itu sebaikya dibiarkan panjang dan di gerai bagai gadis iklan sampo di televisi, dan tentu saja si empunya menolak mentah-mentah permintaan dari orang-orang yang dianggapnya aneh itu. Kulitnya sepucat pualam, bagai salju lembut yang tak bernoda. Matanya selebar mata boneka porselen idaman setiap anak perempuan, dan birunya mendamaikan setiap insan yang menatapnya lekat dan jauh menyelaminya. Dia, sempurna—namun pendek. Sering sebal jika banyak yang menyapanya pendek. Karena itu ia rajin meminum susu agar tubuhnya dapat cepat tumbuh ke atas. Dia senang dengan vanilla—salah satu tanaman yang disukai pula oleh ibunya yang kini sudah tiada.
Raven beriris merah itu menutup bibir pucatnya dengan punggung tangannya yang jua pucat. Meninggalkan segaris hitam tanpa menyuguhkan keindahan iris merah membaranya. Senyumnya menawan. Menawan. "Ahaha, tapi benar kau ingin tinggi dengan minum susu kan, Ciel?" telunjuknya yang kurus panjang mengarah ke gelas bening berisi susu vanilla yang tengah digenggam oleh anak lelaki yang berdiri menghadap ke arah jendela kamar mereka. Rona merah di pipi anak lelaki berwajah manis itu muncul lagi. Dia menggembungkan pipinya, manis dan ah—lucu.
"Aku benar-benar haus, Sebastian. Dan yang ada di kulkas dapur asrama cuma tinggal susu vanilla ini." dia mengaku. Jujur. Entah mengapa dengan menatap dan memperhatikan anak itu si iris merah merasa senang.
Merasa jengah dengan senyum ganjil dari lawan bicaranya, iris biru damai itu segera meneguk habis susu vanilla yang ada di genggamannya. Hingga tetes terakhir. Iris merah melongo memperhatikan teman sekamarnya yang bersikap lucu. "Hah, sudah jangan bicara padaku. Aku mau tidur! Malam, Sebastian." anak lelaki itu meletakkan gelas kosong bekas susu vanillanya ke atas meja kecil yang berada di samping tempat tidurnya. Jika meja biru kecil itu bisa meraung, mungkin akan segera dilakukannya karena anak lelaki beriris biru tadi meletakkan gelas kosong itu dengan kasar kepada dirinya.
Anak lelaki kurus tersebut segera beranjak menuju tempat tidurnya. Duduklah ia di kasur tersebut. Menarik selimut tipis yang tadinya berada di ujung tempat tidur yang satunya dan menyelimutkan kain itu hingga menutupi tubuh kecil kurusnya. Beranjak tidur karena waktu yang menunjukkan pukul 02.08 a.m.
"Selamat malam—whoops, maksudku selamat pagi, Ciel. Mimpi indah ya.. haha."
Raven itu menunggu jawaban singkat dari lawan bicaranya, namun sekian waktu, yang ia dengar hanya suara dengkuran halus dari anak lelaki yang tengah terbaring memunggunginya.
"My, my.."
To be continued…
[1] epitel: adalah jaringan yang melapisi atau menutup permukaan tubuh, organ tubuh, rongga tubuh atau permukaan saluran tubuh hewan.
Yang saya maksud di sini adalah usus si katak :p
.
.
Fic ini sempat saya pub beberapa minggu yang lalu—dan karena suatu faktor maka saya tarik dari pub dan syukurnya saya bisa me re-pub fic ini.
Judulnya saya ganti, dengan beberapa penyuntingan ulang yang saya lakukan.
Semoga berkenan—mind to review? :)
