"Keluarga bukan hanya seseorang yang memiliki pertalian darah denganmu. Tapi seseorang yang memiliki pertalian hati, pikiran, dan perasaan denganmu."—Kakak kelas saya saat SMP.

.

.

.

Disclaimer : Saint Seiya © Masami Kurumada

Saint Seiya The Lost Canvas © Shiori Teshirogi

Kumpulan drabble tentang kehidupan Gold Saint di Sanctuary beserta anak didik mereka masing – masing. Disini GS original saya jadikan masih bocah semua, minus si Dohko. Segala atribut yang disebutkan dibawah adalah milik penciptanya masing – masing. Hope you enjoy, and keep cosmo!

Genre : Humor, Family

.

.

.

Dilarang Masuk

Pagi itu, masih pagi sekali, dua bocah berambut biru pendek berkulit agak coklat berjalan semangat menapaki tangga menuju kuil paling pucuk berlambang ikan kembar. Mereka masing – masing adalah Angelo alias Deathmask alias DM alias penyuka kepala anak asuh dari Gold Saint Cancer Manigoldo. Dan yang satunya lagi Shura anak didik dari Gold Saint Capricorn El Cid.

Langkah mereka terhenti tepat beberapa anak tangga dari teras depan Kuil Pisces, tidak berani melangkah lebih jauh lagi. Bukan karena ada tulisan "Awas ada anjing galak" didepan pintu, melainkan karena menghindari resiko terkena racun. Seperti yang telah diberi tahu guru mereka masing - masing, kuil terakhir ketiga itu memiliki pelindung sebuah padang mawar yang meskipun indah sekali tapi juga beracun sekali. Apalagi sang pemilik kuil yang dikenal juga beracun (bukan keong racun ya), mereka tidak perlu diberi tahu dua kali untuk menjaga jarak.

"Eh, Shur. Itu ada tulisan." Angelo, bocah berdarah Italia itu menunjuk sebuah plat dengan tulisan bertinta merah tebal yang berdiri tegak tepat didepan teras. Shura mengikuti arah telunjuk temannya itu. "Coba kamu baca."

Bocah Spanyol bernama Shura menyipitkan matanya dan mulai membaca keras – keras. "Yang memiliki ciri dibawah ini, DILARANG MASUK!" meski bingung, Shura tetap melanjutkan, "Judge dari Underworld..." dia berhenti sebentar untuk berpikir, kemudian menoleh menatap Angelo, "Kita bukan Judge dari Underworld 'kan?"

"Bukanlah!" Angelo sweatdrop.

"Oh... oke." Shura mulai membaca lagi, "Pemilik surplice Griffin." Untuk kedua kalinya Shura berbalik, "Kita bukan pemilik surplice Griffin 'kan?"

"Dapet cloth Cancer ama Capricorn aja belum, apalagi surplice. Kamu ini ada – ada aja, Shur!" Angelo geleng – geleng kepala.

"'Kan Cuma bertanya!" Shura sewot, lalu kembali membaca tulisan berwarna merah dihadapannya, "Berambut warna perak panjang dan narsis tingkat tinggi."

"Gawat!" Angelo panik, "Kata Kak Kardia, aku 'kan orangnya narsis. Gak boleh masuk dong!"

"Tapi rambut kamu 'kan bukan perak panjang." Shura menyanggah.

"Iya juga ya." Angelo garuk – garuk kepala.

"Kita tidak punya semua ciri itu 'kan?" Shura memastikan lagi, Angelo menggeleng menjawabnya. "Kalau begitu ayo masuk!"

"Tapi kok ciri – ciri itu kayak familiar ya? Kayak pernah lihat dimana gitu." Calon Saint Cancer menyeletuk.

"Itu bukan?" Shura menunjuk kebelakang, Angelo yang penasaran juga ikut berbalik. Dan terkejutlah mereka mendapati seorang pria berambut panjang warna perak, memakai surplice Griffin, yang sudah pasti merupakan seorang hakim neraka, sedang berjalan sambil bersiul menuju kearah mereka. Menggenggam seikat bunga pula!

"Eh, ini kepiting kecil ama kambing kecil ngapain pagi – pagi gini siaga didepan kuil ayang gue?" Minos menunduk menatap Angelo dan Shura bergantian.

"Om sendiri ngapain kesini?" Angelo balik mendongak menatap sang pemberi pertanyaan. Sementara Shura pundung karena dibilang kambing.

"Ngapelin pacar gue-lah!" Minos menjawab agak nyolot, tidak terima dipanggil om – om. Sejak kapan dia nikah sama tantenya ini bocah? Tidak menghiraukan lagi, hakim kita satu itu melangkah dengan santai masuk kedalam kuil Pisces. Tidak memperhatikan plat merah norak yang ditujukan kepada dirinya.

Melihat itu, Angelo jadi panik lagi, "Om! Om 'kan gak boleh ma—"

DUARR!

"—suk"

"GRIFFIN MINOS...! KUIL INI HARAM BAGI KAMU, TAHU!" bersamaan dengan ledakan itu, menggelegarlah suara teriakan murka Pisces Albafica. Bahkan membuat kelopak – kelopak mawar beserta akar – akarnya beterbangan kesegala arah, termasuk keluar kuil. Mampuslah dikau, Judge narsis!

Menyadari situasi yang sudah tidak kondusif lagi, dua bocah utama kita ini buru – buru kabur dari tempat kejadian sebelum mereka dijadikan pot bunga (?) oleh sang Pisces. Melupakan tujuan mereka yang sebenarnya mendatangi kuil itu.

"Awas ada mawar galak...!"

.

.

.

Curhat

Resah. Gelisah. Galau. Putus asa. Tak tentu arah. Menderita.

Itulah yang sekarang dirasakan oleh sang pewaris Gold Cloth Leo. Dengan wajah murung semurung – murungnya, adik dari Aiolos itu duduk termenung diruang tamu kuil gurunya. Meratapi nasibnya yang malang ini. Juga cinta pertamanya yang tidak kesampaian. Benar, pemirsa! Entah Dewi Cinta sedang sakit apa sehingga membuat bocah sepuluh tahun yang polos nan lugu ini bisa merasakan demam merah jambu.

Namanya Marin. Seumuran dengan dirinya, juga berambut coklat. Awal pertemuan perdana mereka adalah saat Aiolia tertangkap basah mencoba mencuri mangga Shion yang tumbuh didekat Colosseum. Takut mendapat hukuman, singa muda ini bahkan sempat mengancam Marin untuk tutup mulut. Diluar dugaan Marin malah ikut membantu Aiolia melancarkan rencana pencuriannya itu. Sejak itulah mereka menjadi dekat satu sama lain.

Aiolia menyukai Marin bukan karena rupa fisiknya, bahkan sang calon Leo belum pernah melihat wajah sang pujaan hati (ya iyalah! Kemana – mana Marin pake topeng). Tapi karena Marin bukan bocah sok baik – baik yang suka mengaturnya. Marin baik, mendukung jika dirinya benar, menegur jika dirinya salah, tidak lebih, tidak kurang. Bukan juga pemaksa kehendak, dan terutama, tipe – tipe kakak sayang adik. Siapa yang nggak klepek – klepek coba?

Sayang beribu sayang, walau mereka berdua akrab sekali, Aiolia tidak berani mengungkapkan perasaannya. Menyinggungnya sedikitpun tidak. Dan beginilah keadaannya sekarang. Resah. Gelisah. Galau. Putus asa. Tak tentu arah. Menderita.

"Lia, kamu kenapa?" ternyata aksi galau – galauan itu mengundang perhatian Regulus yang kebetulan lewat. Aneh baginya melihat muridnya satu itu yang biasanya ceria tiba – tiba jadi murung seolah semua beban didunia diberikan padanya.

Dengan mendesah berat, Aiolia menjawab, "Pusing pala Lia, Guru."

"Kamu sakit?" mau tidak mau Regulus jadi panik juga, "Guru panggilkan Dègel, mau gak?"

"Gak usah, Guru. Lia gak mau ngerepotin Kak Dègel." Aiolia mendesah lagi, "Cuma masalah kecil, kok."

Regulus mengangkat alis, penasaran apa gerangan yang membuat salah satu perusuh Sancuary itu jadi lesu. "Ada apa, sih? Cerita – cerita, dong. Siapa tahu guru bisa bantu." Pemilik cloth Leo itu mengambil tempat disamping muridnya, menatapnya intens.

Aiolia jadi bingung sendiri. Masalah ini lumayan memalukan baginya, disisi lain permintaan sang guru benar – benar menaklukkan hatinya. Dalam kebingungan itu tiba – tiba dia teringat dengan ikrar yang diucapkan gurunya, saat pertama kali mereka bertemu di Pope's Chamber. 'Tidak boleh ada rahasia diantara kita, sesama Leo. Susah senang kita bagi bersama. Kamu senang, guru senang. Kamu susah, guru susah. Kamu gembira, guru gembira. Kamu sedih, guru juga sedih. Kamu kenyang, guru memang gak ikutan kenyang, sih. Tapi guru ikut bahagia dengan kekenyangan kamu.'

Ah... rasanya menolak pun tak bisa. Curhat sajalah, lagi pula bukannya masalah akan berkurang jika dibagi?

"Tapi janji ya, Guru. Jangan bilang ke siapa – siapa! Termasuk Kak Aiolos." Ultimatum Aiolia. Meski keheranan, Regulus tetap mengangguk. Perlahan – lahan, Aiolia berbisik dengan suara amat kecil ditelinga Regulus. Waspada jika ada yang mendengar, walau kuil Leo itu sekarang sedang sepi – sepinya. "Lia jatuh cinta—"

"HAHH...?! KAMU JATUH CINTA...?!" Teriak sang guru tanpa dosa. Mengundang jitakkan Aiolia kekepala coklat pemuda lima belas tahun itu. "Sakit, Lia! Kamu jitaknya jangan pake Lightning Plasma, dong!" Regulus mengusap kepalanya yang benjol sekaligus berasap. Dasar murid durhaka.

"Guru ember, deh!" Aiolia ngambek setengah mati, "Gak jadi curhat, ah!" singa muda itu buru – buru beranjak, tapi kedahuluan oleh Regulus yang segera mencegatnya sambil minta maaf.

"Maaf. 'Kan tadi refleks, diluar kesengajaan." Regulus garuk – garuk kepala merasa bersalah. Dan dengan tarikan lembut, membimbing Aiolia untuk kembali duduk. "Lia jatuh cinta, ya? Sama siapa?"

Malu – malu, Aiolia menautkan jarinya gugup, "A-anu, Marin, Guru. Calon Silver Saint Eagle."

Regulus mengusap dagunya berpikir. "Yang rambut coklat itu? Yang selalu diekorin sama mini Tenma?"

"Mini Tenma?" Aiolia mengerutkan kening.

"Itu lho. Seiya."

"Iya, itu." Aiolia merona lagi, "Tapi Lia malu nembaknya, Guru. Tiap dekat Marin, hati Lia cenat – cenut, lidah Lia kelu, otak Lia beku, tubuh Lia lunglai, Merinding roma Lia—"

'Kok kayak lagu?' Regulus berpikir dalam hati.

"—karena itu, Lia keder buat nembak." Adik Aiolos itu mendesah lagi dan lagi, kemudian menatap Regulus minta tolong. "Guru bisa bantu, gak?"

"Hemm... " Regulus kembali dalam pose berpikirnya. Jujur, pengetahuannya tentang cewek itu dangkal sekali. Tapi sebagai guru yang baik, dia akan tetap mencari jalan keluar bagi muridnya tercinta. Tiba – tiba lampu petromax menyala diatas kepalanya, Regulus menjentikkan jari bersemangat, ide telah didapatkan rupanya, "Coba kamu tanya sama, Sisyphus. Dia 'kan ahli dalam hal tembak – menembak."

Aiolia jelas terperangah. Selama tinggal di Sanctuary, dia tidak pernah tuh melihat, mendengar, mencium, merasa, dan meraba kalau paman gurunya punya affair sama satu cewek pun. Paling banter Cuma Athena Sasha, itu pun hanya sebagai pengawal. Tidak sampai yang ekstrim, lagi pula Sisyphus itu bukan pedofil, walau kelakuannya mencerminkan begitu. Atas dasar apa gurunya menyarankan agar dirinya minta bantuan sama penjaga kuil kesembilan itu?

"'Kan Sisyphus jago memanah. Jadi soal nembak itu pasti urusan kecil buat dia." Jelas Regulus, tersenyum tanpa dosa.

Aiolia speechless mendengarnya. 'Dasar guru gak bisa diandalkan! Gini deh, resiko punya guru masih muda.' Pikir singa itu dalam hati. Dia mencatat, bahwa gurunya ini bukanlah tempat curhat yang baik. Apalagi soal cinta.

"Pusing pala, Lia!"

.

.

.

Paling Hebat?!

"Guruku yang paling hebat!" bocah berwajah mirip Kardia berdiri diatas meja dengan jari telunjuk berkuku merahnya teracung, "Dia bisa bertahan dari penyakitnya selama bertahun – tahun. Bayangkan! Bertahun – tahun!"

"Cih!" Angelo yang ada dibawah meja segera keluar dan memandang rendah sang orator, "Kalau gak ada Kak Dègel, mana mungkin guru narsismu itu bisa terus bertahan." Milo geram mendengarnya, "Guruku, dong! Dengan gagah berani menyerang Dewa Kematian dan Dewa Tidur bersamaan! Bayangkan! Bersamaan!"

"Itu kata – kataku, woii! Jangan copy sembarangan!" Milo sekarang menunjuk Angelo dari atas meja, "Bayar sini!" wadefak?! Kecil – kecil udah mata duitan!

"Berani apaan? Itu nekat namanya." Adik Aiolos berkacak pinggang menatap calon Saint Kepiting, "Guruku yang hebat. Bertarung melawan salah satu Judge neraka. Bayangkan! Salah satu Judge neraka!"

"Lia, kamu juga!" Milo berbalik menuding Aiolia, "Royaltinya mana?!"

"Guruku yang paling cantik!" bocah manis berambut biru muda juga ikut meramaikan.

Kalau – kalau pembaca sekalian bingung dengan apa yang sedang terjadi, dihari Minggu ini, semua anak didik dari kesebelas belas Gold Saint kita tercinta (Dohko gak dihitung) ditambah anak didik kembarannya Gold Saint Gemini diberi libur sehari dari latihan. Sehabis sarapan dikuil Taurus, mereka semua minus Shaka (bocah ceking satu itu punya ritual sendiri sehabis makan pagi. Biasalah, meditasi) memilih bercengkrama dikuil Libra. Bukan karena suasananya yang tenang dan berada ditengah – tengah, tapi karena pemiliknya sedang keluyuran entah kemana. Walhasil kosonglah kuil berlambang timbangan emas itu.

Dan Mu, anak didiknya Shion yang dari Jamir, dengan wajah nan polos memberi pertanyaan simpel, "Siapa Gold Saint terhebat?" yang entah kenapa dampaknya tidak sesimpel pertanyaannya. Kekacauan dimulai dengan Milo yang nekat memanjat meja, dan dengan suara lantang mendeklarasikan gurunya, Scorpio Kardia, sebagai Saint yang paling hebat. Diikuti rentetan pekikkan tidak terima dari anak – anak yang lain.

"Guruku yang paling cantik!" Aphrodite menebar kelopak mawarnya narsis, sayang tidak ada yang berbaik hati memperhatikannya.

"Guruku, yang pasti." Shura berkata tegas, "Siapa lagi orang di Sanctuary yang bisa nebas tembok tanpa pedang sampai sebegitu hancurnya?"

"Paman Sisyphus juga hebat." Aiolos tidak mau kalah, "Paman 'kan pernah dicalonkan jadi Grand Pope, sudah pasti paman dinilai paling hebat dari yang lain."

"Kak Aspros juga, kalee!" Saga mengoreksi, "Yah, walau kejadiannya agak bikin dia dapat malu."

"Kak Defteros juga lumayan. Dia tinggal digunung yang sama dengan namaku!" Kanon menyeletuk dengan bangganya.

"Apa hubungannya?" Shura, Aiolos, dan Saga mengernyit, mendengar pernyataan bocah kloningannya Saga itu.

"Nggak ada, sih. Tapi keren aja, namaku terkenal. Sampai diabadikan jadi nama gunung, gunung berapi lagi!" Bocah Gemini itu masih bangga. Sementara Saga geleng – geleng kepala, dosa apa dia sampai punya adik macam itu anak.

"Guru Shion hebat, kok. Bisa teleportasi kemana – mana, mindahin barang kemana – mana, telepati kemana – mana, goyang Dumang kemana – mana, goyang Karawang kemana – ma—"

"Stop, Mu! Kamu sudah out of topic." Camus menegurnya dingin, menyebabkan rona merah muncul dipipi calon Aries itu. "Kak Dègel rajin membaca." Hanya itu deklarasi dari sang calon Aquarius. Benar – benar singkat, padat, dan jelas. Milo sahabatnya sampai sweatdrop mendengarnya.

"Guruku bisa ngurus tiga anak sekaligus ditambah aku!" Aldebaran, bocah paling bongsor disana membusungkan dada. "Guru kalian mana bisa!"

"Guruku yang paling cantik!" Aphrodite berteriak lagi, kesal karena dicuekin. Dan seperti yang sebelumnya, dia dicuekin lagi. Kasihan kau, nak!

Takut masalah ini akan merembes menjadi lebih besar lagi, Saga dan Aiolos yang notabenenya paling tua diantara mereka semua, mengusulkan ide brilian. "Tanya Pope Sage, saja!" Beruntung usulan diterima, sehingga kedua belas bocah tanggung yang sebenarnya imut itu bergegas memanjat tangga menuju Pope's Chamber. Sepertinya rasa ingin tahu mereka sangat besar, dilihat dari semangat mereka yang tak padam walau harus mendaki tangga yang terkutuk sekali banyaknya itu.

"Pope!" Angelo sebagai orang yang paling dekat dengan Manigoldo yang notabenenya orang paling dekat dengan Pope Sage itu, dengan lancangnya menyerbu sang pemimpin kedua Sanctuary saat rombongannya telah sampai. Tidak peduli pada kondisi sang tetua yang kaget setengah mati. Apa gerangan salah si Pak Tua, sampai – sampai harus diganggu minggu pagi begini. Sama selusin bocah – bocah ingusan lagi!

"Ada apa ini? Spectre nyerang Sanctuary lagi?" Grand Pope itu mengelus dada, butuh mental ekstra untuk menghadapi anak – anak aneh nan hyperaktif dihadapannya.

"Bukan, Pope Sage. Kami hanya ingin menanyakan sesuatu." Aiolos yang menjawab, sepertinya ada kesepakatan tak tertulis diantara selusin bocah itu bahwa Saga dan Aiolos-lah juru bicara mereka. Bukan saja karena mereka-lah yang paling tua, tapi karena mereka berdua dikenal tidak suka berbohong dan selalu jujur. Mu dan Camus juga sih, tapi si Mu terlalu kanak – kanak sedangkan Camus tidak suka banyak bicara. Jadi dua bocah itu didepak dari daftar list juru bicara.

Mantan Saint Cancer itu menaikkan alis bingung, sayangnya tidak kelihatan karena tertutup helm Pope kebesarannya. Pria berumur ratusan tahun itu mengangguk menyuruh Aiolos melanjutkan ucapannya, meskipun dirinya agak risih dipandangi dengan pandangan aneh oleh para bocah disekelilingnya.

"Pope 'kan lama tinggal disini." Calon Sagittarius itu menatap intens pria tua dihadapannya, "Jadi Pope tahu dong, siapa Saint paling hebat di Sanctuary?"

Pope Sage tak langsung menjawab, dia terdiam sebentar. Tidak menyangka akan ditanya hal seperti ini, salah sedikit, pasti akan menghasilkan pemikiran yang salah pada anak – anak ini. Otak para bocah memang sangat kompleks, mereka berpikir dan menyimpulkan tidak selayaknya orang dewasa. Karena itulah pria paling dihormati di Sanctuary itu ogah punya anak, meski cara membuatnya menyenangkan, tapi merawatnya itu lho! Sesulit Holy War.

"Pope Sage kok diam?" Mu menarik – narik jubah sang Pope.

"Guruku 'kan yang paling hebat! Semua orang juga tahu!" Milo lagi – lagi mengklaim julukan 'paling hebat' itu.

Jengkel tak dapat dihindari Kanon. Ampun deh, guru ama murid sama narsisnya. "Guruku-lah!"

"Guruku!"

"Guruku!"

"Guruku!"

"Guruku!"

"Guruku yang paling—"

"DIAMMM...!" Sage menggebrak meja, mengagetkan seisi ruangan. Semua diam, tak terkecuali Aphrodite yang bahkan belum menyelesaikan ucapannya.

"—cantik." Lanjut anak didik Saint Pisces itu dengan suara lirih sebelum pundung dipojokan Pope's Chamber. Kenapa dirinya selalu tidak diperhatikan? Apa salahnya selama ini?

"Dengar..." Sage dengan suara pelan melanjutkan, agak merasa bersalah dengan kekasarannya tadi. Bahkan Mu sampai berkaca – kaca begitu matanya. "Saya memang telah hidup lama. Banyak generasi Gold Saint yang saya lihat dan perhatikan selama ini. Mereka semua memiliki kelemahan dan keahlian masing – masing, tidak ada yang lebih hebat dari siapapun, semuanya bahu membahu untuk—"

"Pope. Langsung keintinya napa? Ngantuk nih?" Angelo menyeletuk tidak berdosa dengan wajah paling menyebalkan yang Sage pernah lihat seumur hidupnya. Ini anak satu benar – benar salinannya Manigoldo. Urakannya sama, serampangannya sama, tidak sopannya pun juga sama. Cih, pernah bikin dosa apa sih dirinya? Bisa punya anak didik serta anak didik dari anak didiknya punya kelakuan preman macam begini.

Mendesah berat, Pope Sage membuka helm kebesarannya dan berjongkok memandangi satu – satu makhluk imut yang juga sedang menatapnya. "Kalau menurut saya, Gold Saint yang terhebat di Sanctuary adalah..." Pope sengaja menggantung ucapannya, memberi kesan greget. Sukses besar, kedua belas cucu (?)-nya itu semakin penasaran, bahkan Aphrodite membatalkan aksi pundungnya hanya untuk ini. "Adalah... Gold Saint—"

"Virgo Asmita, tentu saja."

"Virgo Asmita, tentu saja." Pope refleks membeo. Tapi buru – buru menutup mulut begitu menyadari bukan nama itulah yang ada dalam kepalanya. Tanpa dikomando lagi, Pope beserta Aiolos cs menoleh mencari asal suara. Tanpa disangka – sangka pula, sang pemilik suara adalah anak kecil berambut pirang panjang yang sedang bersila sambil menutup mata ditengah – tengah ruangan.

"Shaka?" Mu bingung, "Sejak kapan kamu ada disini?"

"Shaka sedari tadi memang sudah ada disini, kok." Pope yang menjawab, "Kalian saja yang tidak sadar."

"Ooh..." mereka yang lain mengangguk paham.

"Tunggu dulu!" Aiolia mendadak menjerit, "Gimana bisa gurumu yang paling hebat?"

"Bisa-lah!" anak didik Asmita itu masih tetap dalam pose meditasi sambil tutup matanya, "Guruku bisa melakukan sesuatu yang guru kalian tidak bisa lakukan."

"Apaan coba?" Kanon menagih.

"Guruku bisa duduk bersila selama berjam – jam bahkan berhari – hari tanpa kakinya keram. Guru kalian memangnya bisa?" Shaka mendelik kearah teman sebayanya yang sekarang sedang merenung, memikirkan dalam – dalam ucapan calon Virgo itu barusan. Aphrodite terlihat ingin protes, tapi anak didik Albafica itu buru – buru menutup mulutnya lagi. Semuanya K.O akan skakmat dari Shaka.

"Itu..." Saga-lah yang pertama kali bersuara. Semuanya segera menatapnya penasaran, sangkalan apakah yang akan terlontar dari bibir sang calon Gemini? "Itu benar, juga."

BRUKK! Suara benda berjatuhan segera terdengar, rupanya semua yang ada disana minus Shaka dan Saga mendadak terjatuh dengan kepala duluan.

.

.

.

Threesome

Angelo berbaring terlentang diatas tangga kuil Pisces dengan napas putus – putus. Tepat disebelahnya ada Shura yang terduduk dengan kondisi tidak beda jauh dengan sang teman. Setelah tadi lari kocar – kacir dari amukan sang Pisces cantik, bahkan saking takutnya mereka sampai tiba dikuil Aries, kuil terbawah. (beh... ujung pukul ujung!) Padahal rencana awalnya hanya sampai Kuil Cancer. Dan kedua bocah itu baru ingat tujuan utama mereka mendatangi kuil Pisces pagi – pagi, saat Shion bertanya 'Ada apa?".

Walhasil dengan kaki super lemas, Angelo dan Shura kembali mendaki tangga bejibun itu untuk menunaikan niat awal mereka, ngajak Aphrodite main. Meski resikonya kaki mereka yang boncel itu harus mengalami kesemutan yang tiada tara.

"Ugh! Shur, kakiku lemes." Angelo menggeliat ditangga.

"Aku juga, Angelo. Sabar napa!" Shura yang sedang memijit – mijit kakinya dengan Excalibur (tenang, dia 'kan masih chibi. Jadi Excalibur-nya juga masih tumpul) menjawab ngos – ngosan.

"Gendong dong, Shur!" Angelo menatap sang Capricorn mini dengan mata kepiting-penuh-bintang-bintang-nya, jurus rahasia yang diturunkan turun – temurun bagi setiap Saint Cancer. Sayangnya bagi Shura, itu tidak mempesonanya sama sekali.

"Angelo, kamu punya kantong plastik tidak?" Shura menatap bocah dihadapannya tanpa ekspresi.

"Ada. Nih!" Angelo mengeluarkan kantong plastik warna biru tua dari saku celananya, "Buat apa?"

"Nampung muntahku! Jijik tahu lihat kamu kayak begitu. Berasa lihat Aphrodite kedua." Shura bangkit dari duduknya, dan dengan langkah sempoyongan berjalan pelan kearah pintu kuil kedua belas itu. "Cepat bangun! Jangan manja."

"Iya, iya! Shura bawel!" sang bocah Italia kita tercinta itu berusaha berdiri, tapi sekuat apapun usahanya, kakinya ada batasnya juga. Tidak ingin dimarahi lagi oleh Shura, Angelo terpaksa ngesot mengikuti langkah sempoyongan temannya. Gila! Ngajak Aphrodite buat main aja perjuangannya udah kayak perang dunia kedua.

Melihat keadaan Angelo yang sangat mengenaskan itu, mau tak mau Shura jadi iba. Meski kadang kesal dengan kelakuan temannya yang satu ini, harus Shura akui bahwa Angelo adalah penghiburnya. Kalau saja dia tidak bertemu bocah kepiting itu, latihannya pasti akan sangat kaku dan membosankan. Apalagi gurunya yang serasa sudah putus semua syaraf diwajahnya, sampai senyum tipis pun sang guru itu tak mampu. Akhirnya, berbekal sepasang kaki yang belum sembuh total dari kesemutan, Shura berbaik hati memapah Angelo dan bersama – sama berjalan menuju pintu kuil Pisces.

Sesampainya didepan pintu, Angelo dan Shura saling tatap, membakar cosmo masing – masing, kemudian mengangguk sebelum menarik napas dalam – dalam, bersiap untuk berteriak. "Aphrodite...! Main yoookk...!"

Tak berapa lama, terdengar suara langkah kaki dari dalam. Kemudian munculah Aphrodite, tapi dalam versi yang lebih besar dan lebih gahar, lengkap dengan pot bunga mengacung kasar dari tangannya, bersiap dilemparkan. Tapi saat Aphrodite versi dewasa itu melihat Angelo dan Shura, pot itu tak jadi melayang.

"Oh, kalian." Pemuda berambut biru panjang itu meletakkan pot bunga dalam genggamannya keatas meja, ekspresi tegang pada wajahnya mulai mengendor. Selain karena bersyukur bukan makhluk paling dihindarinya yang datang, dia merasa aneh juga melihat dua bocah yang sering berselisih paham itu malah berangkulan mesra. "Saya kira si Judge sialan itu datang lagi."

"Memangnya itu pot mau diapain, Kak?" Shura bertanya penasaran.

"Mau dilempar kekepalanya." Albafica menjawab tanpa ekspresi. Shura meringis, 'Sadiss!' batinnya. Apalagi dia mendapati bunga yang ada dipot itu adalah Bloody Rose, sekali lempar, pindah alam, deh. 'Dobel sadis!'

"Kak Fica, Aphrodite-nya ada gak?" Angelo bertanya to the point, sebelum mereka lupa lagi.

Pria cantik dihadapan Angelo menaikkan alis, "Tunggu sebentar." Dia menoleh kebelakang selama beberapa menit, lalu kembali menghadap kearah dua bocah didepan pintu, "Aphrodite-nya lagi keramas."

"Oh. Kalo gitu, kita tunggu dia disini aja deh." Shura berinisiatif, Angelo mengangguk menyetujui.

"Kalian mau ngajak Aphrodite main?" Albafica bertanya basa – basi.

"Iya, Kak." Shura dan Angelo menjawab bersamaan.

"Main apa?"

"Emm..." Shura dan Angelo bergumam tidak jelas. Mereka memang ingin mengajak anak didik Saint Pisces itu untuk main, tapi belum menentukan akan main apa. Pasalnya, mereka bertiga selalu adu bacot tiap kali menentukan topik satu ini. Shura maunya permainan yang menguji fisik, misal olahraga, sepak bola, dan sebangsanya. Angelo lebih suka permainan yang bertipe adu nyali, kayak survival kekuburan, gali mayat, dan hal seram lainnya. Sedang Aphrodite, lebih memilih yang agak keperempuan-perempuanan, kayak rumah – rumahan, masak – masakkan, pokoknya tipe - tipe permainan yang bikin para cowok memekik 'iyuhh'. Walau tahu selera temannya yang lain dari yang lain, anehnya Shura dan Angelo masih mau aja main sama itu anak.

"Main Threesome – Threesome-an, Kak." Angelo tiba – tiba bersuara. Menyebabkan Albafica yang jaimnya minta ampun itu berteriak saking kagetnya.

"HAHH...?! APA KAMU BILANG?! THREE—APAHH?!" Heboh, sang Saint Pisces mengguncang bahu kecil Angelo tidak sabaran. Shura sweatdrop, tidak percaya Albafica yang itu teriakannya cukup menggelegar juga.

"T-threesome, Kak." Angelo menjawab takut – takut, terkejut mendapati perubahan manusia dihadapannya ini yang terkesan tiba – tiba, "Memangnya ada yang salah?"

Mencoba mewaraskan dirinya kembali, Albafica mengurut dahinnya kuat – kuat, dunia sudah jadi gila. "Angelo..." dia menatap mata bocah dihadapannya dengan penuh perhatian, "Memangnya kamu tahu apa itu, err... three... three... " astaga, dia bahkan tidak sanggup mengucapnya.

"Some?" Shura melanjutkan.

"Ya. Memangnya kamu tahu apa itu?"

"Tahu dong, Kak!" tidak paham situasi, Angelo malah menyombongkan dirinya. Sama sekali tidak sadar bahwa pria dihadapannya sekarang sedang gemetaran, "Threesome itu permainan yang dilakukan oleh tiga orang. Dimana salah satu dari mereka menjadi—"

"CUKUP!" sang Pisces menutup mulut kecil Angelo yang belum sempat mengoceh, mimik wajahnya kembali seram. Bahkan mungkin lebih menyeramkan dari yang tadi saat Minos mendatanginya. "Siapa yang memberi tahu kamu tentang begituan?"

"Kak Manigoldo." Angelo menyebut nama gurunya, polos akan malapetaka apa yang akan menimpa sang murid Pope Sage itu nantinya.

Aura membunuh yang sangat pekat menguar dari tubuh murid Lugonis itu. Membuat Angelo dan Shura yang ada didekatnya merinding seketika. Dengan kemurkaan yang ditahan, Albafica menyambar pot bunga berisi Bloody Rose yang tadi dia letakkan diatas meja. Gatal ingin melayangkannya kepada sang Cancer tak tahu adab yang telah meracuni pikiran anak – anak. "Dimana? Dimana gurumu itu sekarang?"

"Di-di kuil Cancer, Kak." Ngeri, itulah yang dirasakan bocah kecil itu sekarang. Bahkan sekarang pelukkannya tak mau lepas dari tubuh Shura saking takutnya. Shura yang sama takutnya juga balik memeluk sang calon Saint kepiting tak kalah erat.

Sebelum mereka sempat menyadari, Albafica sudah melesat duluan dengan langkah garang disetiap anak tangga yang dilewatinya. Aura membunuhnya masih sama, terasa jelas pada atmosfir yang ada. Matilah kau, Kepiting narsis!

"Angelo, threesome itu apaan, sih? Kok aku baru dengar." Capricorn mini itu bertanya penasaran.

"Itu aku juga baru dengar, pas lewat didepan kuilnya Kak Dohko minggu lalu. Dia lagi ngobrol sama Kak Shion, tentang hal – hal aneh, salah satunya threesome. Karena penasaran, aku tanya sama Kak Manigoldo." Angelo mengelus dagunya berpikir, mengingat kejadian tujuh hari yang lampau itu. "Yang bikin tambah aneh, mukanya Kak Manigoldo pas aku tanya. Ekspresinya kayak panik – panik gimana gitu."

Shura mengelus dagunya ikut berpikir, "Memangnya jawaban Kak Manigoldo kayak gimana?"

"Dia cuman bilang," Angelo berhenti sebentar lalu berdehem sedikit, sebelum mengubah suara menjadi agak berat, selayaknya suara sang guru. "Threesome adalah permainan yang dilakukan oleh tiga orang. Dimana salah satu diantara mereka menjadi tokoh sentral diantara ketiganya." Tiba – tiba suara sang Cancer mini kembali normal, "Itu aja. Aku juga sebenarnya masih bingung, tapi karena Kak Manigoldo keburu pergi ya aku iyain aja."

"Ohh... begitu." Shura mengangguk paham, "Nanti kita tanya Kak El Cid saja. Siapa tahu dia tahu."

Sementara jauh dikuil Cancer sana, guru Angelo itu sedang berusaha menyelamatkan diri dengan berlari secepat yang dia bisa dari amukan Albafica. Entah sudah berapa kali kuil keempat itu dia kelilingi. Sebenarnya mudah saja baginya untuk melawan, tapi begitu melihat sang Pisces yang sepertinya penuh dendam kesumat, nyali Manigoldo jadi ciut seketika.

"Berhenti kamu, Manigoldo! Saya harus memberi kamu perhitungan saat ini juga!"

"Apa salah gueeee...?! siapapun tolooooongg...!"

.

.

.

TO BE CONTINUED

.

.

.

Fic gaje lagi dari saya :D mumpung lagi banjir ide, lebih baik direalisasikan sebelum membusuk dikepala. Sekaligus pelarian dari UTS yang amat sangat mengekang. Bagi para pembaca, terima kasih banyak telah menyempatkan diri membaca fic saya ini.

Buat mbak Lia dan project SAW-nya, saya semangat sekali menanggapinya, tapi apa daya ujian didepan mata. Mungkin bulan depan, dimana saya bisa berpikir lebih tenang. (Psstt... akun fb saya dikuasai orang tua).

Terima kasih lagi bagi para pembaca yang telah meluangkan waktu. Sayonara~ #lambaisaputangan