Spring

KnB © Tadatoshi Fujimaki.

Warning: Possibly out-of-character, typos, fem!Furi, etcetera.

Why so serious?

.

.

.

Seijuurou jatuh cinta di musim semi, bersamaan dengan mekarnya kelopak sakura. Seijuurou kehilangan cintanya di musim dingin, mengalir pergi seperti salju yang mencair.

.

.

.

Seijuurou tak tahu apa yang dulu membuat ia mampu membiarkan orang lain berada di dalam rumahnya, tempat tinggalnya, daerah privasinya, berkutat di dalam dapur membuatkan sarapan. Seijuurou bahkan tak mengerti kenapa cincin perak sudah melingkar di jari manisnya, berbaur dengan kulit pucatnya. Seijuurou ... tak habis pikir mengapa mau ia menikahi seorang Furiha—Akashi Kouki.

Gadis itu tidak cantik, mungkin manis, tapi bukan tipe Seijuurou. Perangainya ceroboh, kikuk, dan pelupa. Benar-benar bukan wanita idaman Seijuurou. Dia juga tidak kaya, jadi ini bukanlah pernikahan yang didasarkan demi nama kepentingan bisnis, atau harga diri keluarganya maupun harga dirinya. Seijuurou sama sekali tidak mencintainya. Sekalipun tidak terbesit perasaan tertarik setelah melihat Kouki. Wajahnya biasa-biasa saja, tak ada aura yang mampu membuat Seijuurou memalingkan matanya dari koran pagi harian. Suaranya yang mencicit justru membuat Seijuurou sakit telinga. Wajahnya yang mudah panik bahkan jika mendengar suara dering telepon rumah saja sangat mengganggu penglihatan Seijuurou.

Sama sekali tidak spesial, tidak menarik, tidak penting.

Seijuurou saja tak tahu warna mata istrinya itu karena tak pernah mau repot-repot membuang waktunya yang sangat berharga untuk hal tak berguna.

Jadi, kenapa bisa Seijuurou menikahi Kouki?

Kenapa gadis itu ada di sana? Kenapa gadis itu berbicara padanya? Kenapa gadis itu menatapnya? Kenapa gadis itu menghampirinya? Kenapa gadis itu bersamanya?

Masih banyak pertanyaan yang berseliweran di dalam pikiran Seijuurou. Berkali-kali ia kuras otaknya, tak juga mendapatkan jawaban memuaskan. Pada akhirnya, Seijuurou menyerah mencari tahu.

Lalu, cincin itu tak lagi menyesakkan. Sakit yang menahan jari manisnya sudah menghilang. Dapurnya sudah tidak seramai waktu dulu—tidak ada suara pisau, ringisan kecil, air yang mendidih, dan bau makanan.

Kenapa ... gadis itu pergi?

Kalau ada yang bertanya tentang pernikahannya, Seijuurou hanya mampu mengendikkan bahu sambil berlalu. Dengusan kasar terekshalasi dengan begitu mulusnya. Ia bingung, kenapa banyak orang yang bertanya soal tak penting yang akan selalu tak akan pernah masuk dalam daftar prioritasnya? Ada yang hanya tertawa, ada yang melenggang cuek, ada yang menyayangkan, dan ada yang menasihatinya. Sebentar, apa wajah Seijuurou terlihat peduli dengan semua itu? Tidak, tidak. Sama sekali tidak. Persetan dengan segala tetek bengek pernikahan.

Sekali lagi, ia tak tahu kenapa bisa menikah dengan Kouki.

Gadis itu tidak mencintainya—Seijuurou pun sama.

Lalu, jika ada yang bertanya tentang perceraiannya, hal yang sama akan Seijuurou lakukan. Mengangkat bahunya sebelum menenggak habis alkohol di atas meja. Kenapa mereka begitu bersedih? Padahal Seijuurou sama sekali tak keberatan. Tak ada masalah. Seakan-akan kata perceraian hanyalah ajakan makan malam yang dibatalkan karena urusan mendadak. Bukanlah hal krusial yang pantas dibicarakan semalam suntuk bersama banyak orang dan dirayakan dengan sangat dramatis.

Sejujurnya, Seijuurou tak tahu bagaimana mendefinisikan, mendeskripsikan makna pernikahan dan perceraian di dalam kepalanya. Semua berlalu begitu saja, bagai air yang mengalir ke hulu sungai. Datar, pelan, cenderung monoton. Tak ada hal yang membuat Seijuurou terkesan. Ikrar sakral yang ia ucapkan bagai mengatakan salam klise, sapaan penuh basa-basi pada rekan bisnis semata—tak ada perasaan aneh yang menjalar di lidahnya ketika kata-kata suci mengalir. Biasa-biasa saja.

Setiap pagi, Kouki selalu bangun dan menyiapkan sarapan yang ia tolak, memilih berangkat ke kantor buru-buru. Siangnya, Kouki akan mengirim pesan berisi 'semoga harimu berjalan baik' yang tak repot-repot Seijuurou balas. Malamnya, Kouki sudah menunggu di depan meja makan dengan santapan malam tersaji di atasnya, lalu Seijuurou hanya menggeleng sambil mengatakan kalau ia sudah makan di luar sebelum melenggang ke kamar mandi. Selama Kouki tertidur, ia sibuk di ruang kerja sampai tengah malam.

Setiap hari, kegiatan yang sama berputar begitu saja bagai kaset rusak, tak kenal henti seperti ban sepeda yang terus menerus dipacu. Justru membuat pusing. Rutinitas yang konstan terulang tak habis-habisnya, tak bosan-bosannya.

Seijuurou menikahi orang yang membosankan.

Kouki tak suka rumah dan kehidupan mewah bergelimang harta, dimanjakan. Ia memohon agar tak ada pelayan-pelayang yang berlalu lalang di rumahnya. Kouki lebih memilih mengerjakan pekerjaan rumah sendiri karena selain lebih menghemat, ia juga dapat menghabiskan waktu dibandingkan berleha-leha menumpu siku di atas meja.

Seijuurou tanpa pikir panjang mengiyakan saja. Terserah, dia tak peduli. Kalau Kouki mau tangannya menjadi kasar karena detergen dan tugas rumah yang menumpuk, Seijuurou mengatakan kalau itu urusan gadis itu sendiri. Dan, Seijuurou benar—iya, dia memang selalu benar, bukan?—karena tak lama kemudian, matanya selalu menangkap jari jemari Kouki yang terbungkus plester baru tiap harinya dengan bercak kemerahan dan bau antiseptik.

Seijuurou menikahi orang yang membosankan dan bodoh.

Seijuurou tahu Kouki menyukai anak kecil. Dan Kouki juga tahu kalau Seijuurou membenci makhluk-makhluk mungil yang berlarian di dalam rumahnya. Saling mendorong sampai hampir menjatuhkan vas bunga mahal. Berisik, penganggu, pengusik konsentrasinya. Merusak karpetnya dengan noda jus dan makanan manis yang susah dibersihkan, sampai mengotori lantai dengan jejak kotor setelah merusak bunga-bunga di halaman belakang. Lambat laun, Seijuurou menyadari kalau Kouki menginginkan seorang anak—dan, ia benci itu. Keesokan harinya, rumah tak lagi dipenuhi bising cekikikan dan teriakan pemecah gendang telinga. Seijuurou sudah membuat larangan tidak tertulis bahwa anak kecil tak boleh ada di sana selama ia diam di rumah ataupun sibuk di kantor. Kouki kecewa, tapi setelah mendengar bentakan Seijuurou, wajah gadis itu tak lagi merenung—kembali menyunggingkan senyum yang membuat mata Seijuurou terasa sakit.

Di tahun ketiga pernikahan mereka, tepatnya di hari Minggu di mana ia bisa menyelesaikan pekerjaannya di rumah, pada pagi hari di musim salju yang cerah, Kouki sedang membuat susu cokelat hangat dan menyerahkannya pada Seijuurou setelah selesai—yang otomatis ditolak olehnya mentah-mentah. Kouki hanya mengangguk, kembali membawa pergi cangkir berisi minuman mengepul, kemudian membuangnya di wastafel. Agaknya, ia sama sekali tak tersinggung dengan perlakuan Seijuurou barusan. Tak lama, senandung kecil terdengar dari arah tempat mencuci piring, berhambur dengan suara mengalirnya air yang menjilati piring dan gelas kotor.

Kouki sedang bersenandung sendiri, mencuci piring sendiri, berbicara sendiri, dan tertawa sendiri. Semua dilakukan selama tiga tahun tanpa lelah.

Tiba-tiba, kucuran air berhenti, langkah ringan mendekati, kursi di hadapan diduduki, Kouki menatap Seijuurou dengan mata bulatnya yang tak berubah ekspresi. Seijuurou jelas-jelas tak peduli. Kouki berceloteh sendiri lagi. Tapi, kalimat selanjutnya sukses membuat Seijuurou mengalihkan pandangan dari koran pagi.

"Aku ingin bercerai, Seijuurou-san."

Tak ada nada kebencian yang tersirat di kalimat itu. Malahan, yang membuat Seijuurou hampir mengeluarkan tawa kecil adalah karena Kouki mengatakannya setenang guyuran salju kecil yang jatuh menapaki tanah, semudah salju itu mencair ketika menyentuh benda hangat, tapi tak sedingin es yang membeku. Senyum itu, mengingatkan Seijuurou pada matahari yang mengintip malu-malu melihat kegiatan salju di bumi.

Wajah Kouki selama tiga tahun Seijuurou bersamanya, tetap begitu. Tak berubah. Baik, tenang, lembut, dan hangat. Yang berbeda hanyalah, sorot matanya yang menunjukkan keseriusan.

Ah, Seijuurou baru tahu kalau istrinya itu mempunyai sepasang mata berwarna karamel yang dilihat saja terasa legit di lidah.

Karena memang pada dasarnya Seijuurou tak melakukan pernikahan konyol ini dengan dasar cinta, maka tanpa berpikir dua kali, Seijuurou melipat korannya, membuka mulutnya, dan membalas, "Aku sudah menunggu ini sejak lama."

Seijuurou baru sadar, itu adalah kesalahan terbesarnya.

.

.

.

Sepuluh tahun sudah berlalu, Seijuurou semakin disibukkan dengan pekerjaan dan urusan perusahaan yang semakin menggunung. Pundaknya yang kini diberatkan dengan tanggung jawab sebagai kepala eksekutif perusahaan keluarganya, membuat Seijuurou terpaksa mengikis memori tahun-tahun sebelumnya di dalam otaknya. Seijuurou sudah lupa tentang Kouki—bagaimana wajahnya, bagaimana suaranya, bagaimana warna matanya.

Kouki juga, gadis itu seakan hilang diterpa badai salju, tak meninggalkan jejak ataupun bekas.

Seijuurou tak pernah melihat Kouki sejak mereka bercerai.

Namun, kalian tahu apa yang membuat romansa klise macam ini justru terdengar lucu? Ya, karena semua bergerak menurut perintah Tuhan. Matahari berterik nyalang karena perintah Tuhan, daun berguguran karena perintah Tuhan, salju kembali datang karena perintah tuhan, dan pohon sakura akhirnya mekar di pertengahan bulan April karena perintah Tuhan—juga, pada tahun yang kesebelas, Seijuurou bertemu dengan Kouki.

Semua terjadi karena kemauan Sang Pencipta. Dia yang mengatur segalanya, yang menulis jalan hidup Seijuurou dan Kouki nantinya, yang akhirnya menentukan akan jadi apakah Seijuurou terhadap Kouki—ataupun sebaliknya.

Ada hal lain yang juga lucu. Sampai-sampai Akashi Seijuurou hampir tertawa mendengarnya. Faktanya, dunia itu kejam. Seperti roda yang berputar. Ada waktunya bagian bawah menjadi di atas sebelum kembali menyentuh aspal. Ada masanya kebahagiaan diganti kesedihan. Suka menjadi duka. Mau tak mau, terima atau tidak, begitulah kenyataannya.

Saat itu musim semi, tepatnya pada tanggal dua belas di bulan April. Seijuurou tak luput menyadari ada perasaan aneh yang menggelitik memorinya setelah melihat guyuran kelopak sakura di atasnya. Langkah kakinya berhenti sekadar ingin menikmati kelopak-kelopak yang menari, sesekali beristirahat sejenak di puncak kepalanya atau pundaknya sebelum angin menyuruhnya berdansa lagi.

Seijuurou bukanlah tipe orang yang begitu mengangungkan keindahan, tapi ia tak menolak jika disuruh mengapresiasi hal yang menurutnya ... mengagumkan. Maka, Seijuurou kembali melangkah mendekati kursi taman yang berada di bawah salah satu pohon sakura. Map coklat dan tas kerja ia letakkan di sebelahnya, sementara kopi kaleng yang baru ia habiskan setengah di simpan di atas meja. Lalu, Seijuurou menutup matanya sejenak.

"Kaachan, cepat ke sini! Ayo, main basket denganku!"

Kening Seijuurou agak berkedut, tapi matanya sama sekali belum membuka. Iris dikromatik itu tak mau menampakkan diri.

"Jangan lari-lari, Ryou—ah, maaf, Ryou, dompet kaachan tertinggal di mobil. Tunggu sebentar ya, biar kaachan ambil dulu."

Dari kejauhan, ia mendengar suara cempreng khas wanita dan derap langkah yang menunjukkan bahwa pemilik suara itu berlari namun menjauh.

"Mou, kaachan selalu saja ceroboh."

Tak jauh dari tempatnya beristirahat, Seijuurou mendengar hentakan bola yang dipantulkan di atas tanah. Tepatnya, di belakang di mana ia sedang duduk menyandakan punggung. Sesekali pekikan kecil dan dentuman bola yang mengenai pohon, atau benda lainnya. Ibu dan anak sama-sama ceroboh. Seijuurou ingin sekali bangkit dan memarahi anak kecil yang mengusik waktu istirahatnya. Alih-alih, ia meraih kopi yang sempat terabaikan dan memilih meredam amarah dengan kafein yang akan menangkan otaknya walau sebentar.

Tapi, kopi itu terjatuh karena sundulan bola yang entah dari mana asalnya, tanpa tedeng aling-aling langsung menghitamkan kemeja putih dan jas moka yang ia kenakan. Seijuurou membelalakkan matanya, bukan karena rasa panas yang membakar kulitnya karena kopi itu sebenarnya sudah lama dingin, tapi karena ia tak mau dokumen penting perusahaan yang mati-matian ia kerjakan dua malam penuh jadi kotor dan tak lagi mampu ia presentasikan di depan kepala eksekutif lain pada meeting esok hari.

Seijuurou menggeram. Ia berdiri menjulang bagai menara yang suram. Matanya menangkap bola yang bergelinding ke arah anak kecil yang sudah bergetar ketakutan dengan rambut coklat. Bibirnya mendesiskan kata kasar yang hampir ia teriakkan kalau saja lupa bahwa tempat ini adalah tempat umum—dan Seijuurou melihat ada beberapa orangtua bersama anaknya sedang bermain.

"Kau, siapa namamu?" tanyanya dengan suara mengancam bernada dingin mencekam.

Anak kecil itu tak bergeming dari tempatnya. Matanya membelalak horor, dan Seijuurou antara puas dan kesal melihat reaksinya. Ia suka jika ada yang terintimidasi oleh presensinya—membuktikan bahwa Seijuurou adalah orang penting yang pantas disegani. Tapi, ia tak suka jika ada yang mengabaikan pertanyaannya.

Seijuurou melangkah mendekati anak itu dan berdiri tepat satu meter di depannya, membuat si anak terpaksa untuk mendongakkan kepala ke atas. "Siapa namamu?" ulangnya, meski Seijuurou tak suka jika disuruh mengulang perkataannya.

Bibir anak kecil itu perlahan, dengan lamat-lamat terbuka, suara takut-takutnya terdengar mencicit, dan itu membuat Seijuurou jengah. "Ma-maaf, a-aku mi-minta m-ma-maaf."

Seijuurou mendengus. Kesal kembali menggerayangi tengkuknya. "Aku tanya namamu, bukan permintaan maafmu!" ia membentak dengan suara dikecilkan, tak mau didengar orang sekitar, bisa rusak harga dirinya nanti sebagai seorang entrepreneur paling terkenal dan menguasai setengah perekonomian Jepang yang ternyata hanyalah seorang laki-laki bujangan yang mudah tersulut emosinya—padahal, mau bagaimana lagi, ia benar-benar sedang marah saat ini.

"Na-namaku Ka-Kasuga Ryou, ma-maaf, paman ... su-sungguh, a-aku minta maaf."

"Di mana ibumu?"

Anak itu, Kasuga Ryou semakin menegang ketakutan. Kepalanya digelengkan berkali-kali ke kanan dan ke kiri dengan cepat. "Ja-jangan marahi kaachan, pa-paman. Ma-maaf, bu-bukan salah kaachan. Hu-hukum sa-saja aku," pintanya memelas.

Seijuurou tak peduli. Ia ingin sekali menceramahi orang tua ceroboh yang membiarkan anaknya berkeliaran dan mengganggu ketenangan orang lain. Ini mungkin taman, tempat umum, tapi bukan berarti bebas berlarian dan membuat onar atau masalah.

Selang beberapa menit, selama waktu Seijuurou hanya diam tanpa ada niatan menghentikan tangis yang semakin menjadi, tak pula mengindahkan tatapan skeptis pejalan kaki, terdengar suara wanita yang memanggil dan berlari mendekat, dan Ryou berlari menjauhi Seijuurou. Jadi ini ibunya? Seijuurou merasakan bibirnya menyunggingkan seringaian picik.

Seijuurou mengadahkan kepala dan pandangannya lurus ke depan. Ia melangkah menghampiri ibu yang membungkuk mengusap pundak anaknya yang memeluk kakinya erat—masih ketakutan. Namun, ketika wanita yang baru saja ingin ia beri pelajaran dan ceramahan mengangkat kepalanya, Seijuurou menghentikan gerakan kakinya.

Angin berhembus kencang, menyapu kelopak-kelopak sakura dan menerbangkannya jauh, menyingkap rambut sepundak coklat sampai wajahnya jelas terlihat.

Seijuurou kembali maju ke depan, kali ini lebih tegas, bersamaan dengan memori yang digali paksa dalam ingatannya. Saat jaraknya berada dua meter di hadapan wanita itu, Seijuurou ingat sepenuhnya. Tapi, ia tak akan semudah itu meninggalkan semuanya, ia bukanlah pria yang mampu didominasi perasaannya sendiri.

Namun, kenapa lidahnya mendadak kelu? Ke mana perginya semua kalimat pidato penuh sindiran yang sudah ia hapalkan tadi? Kenapa ia jadi tiba-tiba merasa bimbang menghadapi wanita yang membosankan dan bodoh?

Iya, Seijuurou memang pernah menikah dengannya, tapi itu semua hanyalah pernikahan hambar yang bahkan Seijuurou malas mengingatnya. Ironisnya, ia mengingat tanggal pernikahan mereka. Di pertengahan bulan April, tepatnya tanggal 12—hari ini.

Seijuurou menegakkan punggungnya, tak yakin harus memasang ekspresi seperti apa. Wanita ini—ia tidak tahu seperti apa. Seijuurou tidak begitu mengenal sosoknya. Apa makanan kesukaannya, warna favoritnya, hobinya, semuanya. Sebenarnya, ia terasa asing—tapi seharusnya, Seijuurou tak semestinya merasa begitu.

Mau bagaimanapun juga, ia mantan istrinya, kan?

"Aka—Furihata Kouki."

Ada temannya yang pernah bilang kalau wanita akan terlihat semakin cantik jika bertambah tua. Seijuurou tak percaya. Orang gila mana yang mau menghabiskan waktu dengan perempuan berambut putih dan berkeriput? Tapi, Seijuurou harus menelan bulat-bulat pernyataannya barusan—karena, ya, Seijuurou lah orang gila itu.

Kouki tak terlihat seperti wanita berusia kepala tiga. Dengan badannya yang kecil namun proporsional, rambut sepundak lurus tergerai, mata bulat yang semakin besar, bibir mungil, pipi bundar—ia justru terlihat seperti gadis remaja. Meski ada guratan tipis di dekat mata, tapi hanya menambah keanggunan yang ada.

Iya, Seijuurou sepertinya memang sudah gila.

Kouki mengulum senyum kecil, pipnya merona merah, "Aku, Kasuga Kouki."

Hal lucu ketiga hari ini adalah, fakta kalau nada bicara Kouki sama sekali tak berubah. Manis dan ramah. Seperti dulu saat ia menawarkan kopi pagi pada Seijuurou, menyambutnya di depan pintu setelah lelah bekerja seharian, mengatakan selamat malam, dan saat ia meminta bercerai.

Sama. Hambar. Namun, di saat yang bersamaan, menyesakkannya.

"Anak itu, anakmu?" tanyanya, ingin terkekeh pada diri sendiri. Kenapa ia malah memulai percakapan? Jelas-jelas Seijuurou harus segera mencari toilet terdekat dan mengurus kemejanya yang tak lagi bersih.

Kouki membiarkan Ryou berlindung di balik punggungnya, mencengkram erat rok merah muda selutut yang wanita itu kenakan. "Iya, Kasuga Ryou. Bajumu—anakku melakukannya? Maaf." Seijuurou tak merespon, Kouki melanjutkan. "Di dekat sini, aku punya butik kecil yang mungkin kualitasnya tak sebanding dengan bajumu, tapi biarkan aku mengganti rugi atas kecerobohan anakku tadi."

Seijuurou masih tak membuka mulut.

"Ryou, ayo minta maaf pada paman ini," ia berjongkok di hadapan anak kecil yang sudah tak lagi menangis. "Kau kan akan kaachan yang pintar, mau kan meminta maaf?"

Semilir angin yang berhembus mengiringi suara kecil Ryou dan anggukan kaku Seijuurou. Kemudian, Sejuurou kembali memusatkan perhatiannya pada Kouki yang masih sibuk menghapus jejak air mata di pipi anaknya dengan ibu jarinya.

Apa yang Seijuurou lakukan selama ini? Apa yang sebenarnya Seijuurou nanti? Kenapa ia mau membuang waktu percuma hanya memperhatikan Kouki yang berbicara pada Ryou yang sudah mampu tertawa kecil?

Kouki tiba-tiba berdiri, Seijuurou tak sedetikpun melepas pandangan. "Kalau kau ke butikku, bilang saja pada petugas bahwa kau kenal denganku. Aku akan bilang pada Riko-san nanti kau akan datang meminta kemeja dan jas baru di sana," katanya. Telunjuk rampingnya menunjuk ke arah bangunan sederhana di pinggir jalan, tepat di seberang taman tempat mereka berada.

Seijuurou tak menjawab sama sekali. Matanya tetap memandang Kouki datar.

Melihatnya, Kouki mengangguk paham dan tersenyum simpul. "Jadi, aku harus bagaimana?" tanyanya yang lagi-lagi tak meresap sempurna ke dalam otak Seijuurou. "Ah, aku punya kenalan yang memiliki butik dan kualitasnya impor dari luar negeri. Kalau kau mau, aku akan meminta pada Kagami-san untuk menghubungi Himuro-san agar mengantar bajumu. Biar aku yang bayar. Butik itu, kau pasti sudah tahu, kan? Butik Garcia yang sudah terkenal, kuharap masuk ke dalam daftar seleramu juga," kekehnya pelan.

Seijuurou tetap diam. Kalau boleh jujur, tak ada satu katapun yang masuk ke dalam indra pendengarannya. Semuanya mengalir begitu saja seperti angin yang berhembus cepat—terlewatkan, terlupakan.

Detik terus berganti menit. Langit tak secerah tadi. Sore menjemput dan Seijuurou bergeming. Kouki menurunkan alisnya sebagai permintaan maaf, "Kau yakin tak mau aku mengganti rugi? Kalau begitu, aku sangat, sangat, sangat meminta maaf tentang bajumu," senyumnya terkembang lagi. "Kuharap kau tak marah, karena aku dan Ryou harus segera pergi sekarang," matanya melirik ponsel yang berada di genggaman sejak awal. "Suamiku sudah pulang. Kau juga, pulanglah—hari hampir sore. Kalau dingin, nanti kau masuk angin, apalagi bajumu basah."

Sama seperti dulu, saat mereka masih bersama. Kouki berbicara sendiri lagi, menjawab pertanyaannya sendiri, tertawa sendiri, tersenyum sendiri. Mungkin, kali ini Kouki hanya mempertahankan kesopanan saja—Seijuurou tak tahu. Begitu ponselnya bordering lagi, Kouki dan anaknya membungkuk pelan, lalu berpamitan. Mereka, berjalan bersama, bergandengan tangan, mendekati mobil putih yang terparkir tak jauh dari taman. Seijuurou melihat Kouki sekali berbicara di telepon sambil tertawa kecil, raut panik tak luput dari iris heterokromnya.

Seijuurou tak bergerak. Bibirnya terkunci rapat. Kapan terakhir kali ada orang yang begitu memperhatikannya tanpa menginginkan balas budi? Tanpa ada niatan kotor tersirat untuk menguasai kekayaannya? Tanpa ingin apa-apa darinya? Hanya ... hanya ingin agar Seijuurou lebih memperhatikan dirinya sendiri.

Seijuurou tahu satu hal; Kouki sudah bahagia dengan keluarga barunya.

Dan, hal lain yang baru saja menggelitik akal sehat Seijuurou adalah—kenyataan tak terelakkan bahwa ia, Akashi Seijuurou jatuh cinta pada mantan istrinya, pada Kasuga Kouki.

.

.

.

TBC.

(A/N: Saya tahu saya punya banyak yang masih in-progress, tapi beginilah saya. Kampret banget, kan? Iya, emang. Tahu, kok. Sumpah, yang ini bakal selesai lebih awal karena sebenernya ini FF lama yang nyampah di draft. Tinggal rombak sana-sini dan selesai. Oke, nggak ada yang peduli, saya tahu. Tapi buat yang masih nunggu kelanjutan FF saya, mohon dengan sangat, maafkan saya :'''') Makasih kalau sampai sekarang nggak bosen nunggu.

-nju)