Vocaloid © Yamaha. No commercial profit taken.

Warning konflik rumah tangga, ada materi psikoanalisis yang nyempil, cliché. Kesamaan ide harap dimaklumi.


The Hanged Man

by cloevil

[1]


Hari perceraian orangtuanya diawali dengan langit biru tanpa awan, kicau riang burung gereja, dan suhu hangat khas musim panas.

Itu adalah hari yang terlampau cerah untuk kemudian dihancurkan oleh ketuk palu hakim. Itu adalah hari yang terlampau sempurna untuk perpisahan kedua orangtuanya.

Tiga kali ketukan palu terdengar, dan Len pun melihat ibunya tersayang keluar dari ruang persidangan.

Seorang diri. Tidak pernah kembali ke rumah bahkan setelah berhari-hari.

Tidak ada lambaian tangan atau selamat tinggal. Dia hanya pergi tanpa menoleh ke belakang. Membuat Len menanti, lama sekali.

Dan ketika hari itu Len sedang membalik kalender di dinding, dia menyadari satu hal.

Bahwa waktu sudah lewat sebanyak dua tahun.


Hari Rabu adalah hari yang paling Len benci. Ada pelajaran olahraga. Ada matematika. Ada Bahasa Inggris.

Nilai-nilai Len di ketiga mata pelajaran itu adalah yang paling rendah. Belum masuk kategori merah, tapi tetap saja rendah. Tanggung. Dan Len tidak suka melihat nilai-nilai tanggung itu mengotori laporan hasil belajarnya.

Jika saja Len punya nyali besar seperti Dell, Meito, atau anak-anak nakal lain yang namanya sudah tidak asing di buku kasus, pastilah Len sudah membolos. Dia paling tidak suka menghabiskan waktunya untuk mencoba hal-hal yang sekiranya—

"Pssst…. Miku-chan," bisik khas perempuan terdengar di udara, mencuri sedikit perhatian. "Kau sudah dengar soal Pria di Tiang Gantungan?"

"Maksudmu hantu yang ada di novelnya Megurine-san?"

"Uh-uhm. Kudengar itu nyata."

"Eeh? Bohong!" Sedikit jeritan, khas anak perempuan ketika mendapati berita yang tak masuk di akal. "Gosip dari mana?"

"Kakakku yang bilang—"

Kagamine Len meletakkan sepatunya di loker. Ekspresi dingin dan beku menghiasi wajah—yang mana bukan lagi hal aneh. Dia memang jarang tersenyum. Suara obrolan Miku dan Gumi, teman sekelasnya, menghilang seiring keduanya telah menjauh dari sana kemudian digantikan oleh keriuhan yang lain. Beberapa siswa lewat sambil tertawa, yang lainnya mengobrol dengan teman.

Anak laki-laki itu menutup pintu lokernya, berjalan ke kelas seolah-olah ia tidak pernah mendengar apa-apa.


"Uwaah! Sudah kuduga, gadis-gadis dengan seragam olahraga itu luar biasa!" Utatane Piko, berdiri di pinggir lapangan, memandang kagum pada kumpulan siswi kelasnya.

Hari ini, kelas mereka bermain voli. Materi dasarnya sudah diberikan dua minggu lalu. Minggu ini, mereka hanya tinggal pengambilan nilai. Semua siswa laki-laki sudah lebih dahulu menyelesaikan praktek mereka dan menonton para siswi dari pinggir lapangan. Menonton dengan tidak minat, kebanyakan. Kumpulan anak perempuan tidak lebih dari anak ayam yang sibuk bercericip saat berhadapan dengan olahraga. Tidak enak ditonton dan merusak pendengaran akibat polusi suara yang mereka timbulkan.

Cuma beberapa anak yang menaruh perhatian. Sebagian besar karena mereka tidak punya pekerjaan. Sementara Piko, yah, dia memang pada dasarnya punya ketertarikan terhadap hal-hal yang berhubungan dengan perempuan dan sesuatu di balik rok mereka. Dia pernah pura-pura mengambil sesuatu di lantai atau mengikat tali sepatu hanya untuk mengintip isi rok para siswi. Ajaibnya, anak itu cuma pernah ditampar satu kali.

Len mengacuhkan semua komentar Piko tentang para anak perempuan di lapangan ("Hei, Hei, Len. Kau perhatikan waktu Gumi melompat tadi? Ada sesuatu yang memantul." Atau, "Ah, sial! Kukira selama ini dia tidak punya dada."), melipat kedua tangan dan tenggelam dalam kediaman.

Melihat reaksi temannya yang begitu pasif, Piko pun mendesah. "Hei, Len. Semangat sedikit."

Len selama ini memang dikenal tidak banyak bicara. Dua tahun sekelas dan duduk di belakang Len, dua tahun pula Piko berhadapan dengan sikapnya tersebut. Dia hanya bicara seperlunya. Tidak pernah bercerita tentang apa pun.

Ada sekat tinggi yang Len bangun. Sekat yang membatasinya dengan dunia.

"Kau tahu sesuatu tentang Pria di Tiang Gantungan?"

"Eh?" Piko kelihatan bingung dengan pertanyaan yang tiba-tiba saja diutarakan Len. Meskipun begitu, ia tetap menjawab, "Oh, maksudmu yang ada di novelnya Megurine Luka?"

"Kau tahu?"

"Ya, tentu. Itu sedang jadi pembicaraan hangat," jawab Piko, enteng. Beda dengan Len yang introvert, Piko adalah anak berpergaulan luas. Wajar jika dia banyak mengetahui isu-isu yang jadi perbincangan teman-temannya. "Siswi di sini juga sedang heboh-hebohnya membahas itu. Teto dan Haku bahkan tidak pernah berhenti membicarakannya di kelas."

"Itu apa?" Len bertanya lagi. Ia berusaha keras menekan suaranya agar terdengar seperti biasa dan bukan seperti orang yang tertarik—yang mana sepenuhnya gagal karena Piko menaikkan alisnya, gestur standar bahwa ia menyadari keabnormalan di dalam pertanyaan bahkan juga dari nada bicara Len. Namun, anak berambut putih mutiara itu memutuskan untuk diam dan tetap menjawab pertanyaan Len dengan:

"Pria di Tiang Gantungan itu tokoh fiksi di novelnya Megurine Luka. Hantu yang bisa menjawab semua pertanyaan seseorang. Dari yang kubaca sih, begitu."

"Seperti pertanyaan kuis matematika?" Len bertanya asal, dan langsung mendapat jackpot berupa sabetan handuk kecil dari Piko.

"Bukan itu, bodoh!" Piko mendelik. "Misalnya, kau punya kekasih yang sangat kau sayang. Lalu, suatu hari, kekasihmu itu memutuskanmu begitu saja. Padahal, jelas-jelas kalian tidak sedang bertengkar. Saat kau bertanya, apa alasan dia memutuskanmu, kekasihmu itu menolak untuk menjawab dan malah menghilang. Saat situasinya begitu, pasti ada banyak pertanyaan dalam benakmu. Kenapa? Apa yang sedang terjadi? Kenapa dia menghilang? Kira-kira pertanyaan semacam itu. Kemudian, jika kau datang pada Pria di Tiang Gantungan, maka ia akan membawamu ke jawaban yang ingin kau tahu."

Membawa.

Dari sekian panjang penjelasan Piko, Len hanya tercenung pada satu kata itu.

"… Apa maksudmu dengan membawa?"

"Ya, membawa," Piko tahu repetisinya tidak membawa penjelasan apa pun. Oleh karena itu, dia menambahkan, "Kau akan dibawa ke titik waktu tertentu. Melihat apa yang sebenarnya terjadi. Menemukan jawaban dari pertanyaanmu."

Membawa seseorang ke satu titik waktu untuk memperlihatkan apa yang sebenarnya terjadi. Menemukan jawaban atas pertanyaan orang tersebut.

Melihat dengan mata kepala sendiri.

Siapapun Megurine Luka ini, pastilah ia pemegang teguh kata-kata orang bijak; melihat adalah memercayai.

"Jadi, biar kutebak," Len berkata setelah beberapa menit terdiam, "di novel itu, tokoh utamanya punya pertanyaan yang mengusik hidup. Kemudian, si Pria di Tiang Gantungan ini datang, begitu?"

"Kurang lebih begitu. Agak klise, ya?" Piko kemudian menyampirkan handuk yang ia pegang ke pundak. Tertawa melihat Akegawa Miki, teman sekelasnya, gagal melakukan servis.

"Kudengar hantunya nyata."

"Kata siapa?"

Len menaikkan bahu. "Aku dengar obrolan Hatsune dan Nakajima di loker tadi."

Pikiran Piko melayang pada dua orang sahabat yang tak pernah lepas terlalu jauh. Yang satu punya kuncir dua yang khas, sementara yang lainnya terkenal dengan kacamata bingkai merah dan kejeniusannya di bidang Fisika. Dia langsung memutar bola mata. Hatsune Miku dan Nakajima Gumi.

"Ck, itu cuma taktik dagang." Piko menjawab cuek. Mata masih mengamati anak-anak perempuan di lapangan. Salah satu dari mereka memekik ketika bola yang mereka terima terlalu kencang dan membuat lengan mereka memerah.

"Kau tahu, Len. Saat ada buku atau film yang mengangkat tema horor begitu, pasti kita selalu dengar bahwa hantunya—atau setidaknya, ceritanya berasal dari kisah nyata. Kemudian boom! Karya itu akan meledak di pasar. Itu sih, taktik dagang. Percaya, deh!"

Len tak menjawab. Masih mendengarkan Piko.

"Lagipula, kalau memang hantunya nyata, pasti sudah banyak yang coba menemukan dia. Lalu mati."

"Apa maksudmu dengan mati?"

"Ya, karena Pria di Tiang Gantungan tidak akan mengantarmu ke satu titik waktu dengan cuma-cuma." Dia menelengkan kepala, menatap Len. "Di dalam cerita, ia akan minta bayaran. Dan bayaran yang ia minta ke setiap orang selalu sama."

Piko agak memicingkan mata, kemudian berbisik.

Suasana gedung olahraga ramai oleh teriakan para perempuan, tawa siswa di pinggir lapangan, juga bunyi pantulan bola voli. Akan tetapi, Len bisa dengan jelas mendengar bahwa Piko bilang….

Piko bilang….

"Nyawamu."

"…"

Hari itu matahari bersinar dengan sangat terik, tapi ada rasa dingin aneh yang merayap di belakang leher Len.


tbc


mc baru. tapi berani saya publish karena saya sudah menyelesaikan beberapa chapter selanjutnya. akan di-update rutin setiap minggu.

konflik di sini simpel. jadi, pembaca boleh menebak-nebak gimana alur ke depannya. ;)

kritik dan saran yang membangun, amat sangat dinanti.

salam,

cloevil