Robotique Monogatari
Bleach © Tite Kubo
Genre : Romance, Melodrama, Comedy, Fantasy.
Pairing : Ichigo Kurosaki x Rukia Kuchiki
Warning : OOC, Slight, etc.
·•· Special angst for this chapter·•·
·•· ·•· ·•·
Cuaca pagi hari ini sangat sejuk sekali, terlihat dari bagaimana tiap tetes embun yang berjatuhan dari satu daun ke daun yang lain, hingga jatuh meresap jauh kedalam tanah.
Suara kicauan burung gereja kecil yang tengah bertengker indah pun terdengar disetiap sudut pohon-pohon hijau disana.
Seolah tak mau kalah, sang matahari yang perlahan-lahan terbit dari ufuk timur negara Jepang itu pun juga nampak terlihat ingin mendukung suasana pagi yang cerah ini.
''Disini senang, disana senang, dimana-mana hatiku senang~''
Sebuah mobil silver ukuran keluarga besar melaju dengan kecepatan standar pada salah satu jalan besar didaerah Karakura City, mobil itu sedang menuju sebuah daerah dikota Soul Society.
''La~ La~ La~ Lalalala~''
Seluruh keluarga besar yang terdapat didalam mobil itu terus saja bernyanyi riang, semenjak meninggalkan kediaman tempat tinggal mereka sekitar satu jam yang lalu.
Keluarga besar tersebut terdiri atas lima anggota keluarga yang terdiri atas Ayah, Ibu, seorang anak laki-laki dan dua anak perempuan kembar yang tidak begitu identik.
Sang Ayah, terlihat fokus berkendara sembari ikut menyanyikan lirik lagu yang dinyanyikan Istri serta anak-anaknya.
Sang Ibu, nampak melakukan sebuah gerakan tepuk tangan yang mengikuti irama lagu dan tentunya ikut bernyanyi.
Sementara ketiga anak-anak dari pasangan Suami-Istri itulah yang menjadi penyanyi utama disana. Ketiga bersaudara itu terus saja bernyanyi penuh semangat dengan suara yang cukup keras, terkadang juga mereka bertiga terlihat menggoyang-goyangkan seluruh anggota tubuhnya karena sanking menghayati lagu berirama penuh keriangan itu.
''Ayo semua! Lebih keras lagi suaranya!'' teriak anak laki-laki yang duduk dibarisan belakang mobil.
''Hahaha~ Ichigo anak Ayah yang satu ini bersemangat sekali yah?'' saut Ayah Ichigo sambil tertawa renyah ditengah sedang mengendarai mobil.
''Kalau tidak bersemangat seperti ini bukan anaknya Otou-san namanya!'' sambung Ichigo yang masih berteriak penuh semangat.
Mendengar hal demikian, satu keluarga didalam mobil itu hanya bisa tertawa lepas. Sungguh, kebersamaan mereka berlima saat itu menggambarkan sebuah keluarga yang nampak bahagia dan harmonis sekali.
''Tou-chan! Tou-chan! Kapan kita sampai? Aku sudah tidak sabar!'' kata anak perempuan berambut coklat keemasan yang duduk tepat disamping Ichigo.
''Eh? Masih lama Yuzu-chan. Bersabar yah~'' jawab Ayahnya lembut.
Sementara sang Ibu yang duduk dibarisan depan mobil, disamping pengemudi, hanya dapat melihat wajah-wajah lucu anak-anaknya dari balik kaca depan mobil sembari tersenyum lebar.
Awalnya ketika melihat wajah anak laki-laki tunggalnya, Ichigo. Masaki Kurosaki sang Ibu, terkekeh geli karena melihat tingkahnya yang tengah menari-nari aneh dengan kedua tangannya, sembari terus bernyanyi dengan nada yang aneh pula karna terlalu dibuat-buat sehingga tedengar lucu.
Kemudian sang Ibu berfokus kepada anak perempuan disebelah Ichigo sambil tersenyum lembut yakni, Yuzu. Anak perempuannya yang paling manis itu pun melakukan hal yang sama dengan Ichigo, hanya saja Yuzu tidak terlalu berani mengeluarkan tarian-tarian gila seperti yang dilakukan Kakak laki-lakinya.
Beralih menatap anak gadis disebelah Yuzu, senyuman lembut milik Masaki memudar. Wanita paruh baya itu menatap kembaran Yuzu dengan penuh rasa khawatir dan cemas.
''Karin? Kenapa tiba-tiba kau diam saja? Tadi masih bersemangat.'' kemudian Masaki berbalik badan demi melihat kondisi anaknya itu, ''Kau baik-baik saja?''
Seketika suasana ramai didalam mobil itu beralih menjadi senyap. Seluruh mata kini mencoba fokus kepada Karin.
Dengan wajahnya yang penuh dengan keringat dingin, Karin menatap Ibunya lemas, ''Aku... Perutku sakit kaa-chan...''
''Eh? Otou-san! Cepat cari toilet umum! Bisa gawat kalau ruangan dimobil ini tercium bau yang tidak diinginkan!'' ujar Ichigo yang berbicara dengan nada panik sembari sedikit bercanda.
Seketika Karin pun menyungutkan sepasang alis diatas matanya, sembari menatap Ichigo tajam, ''Bakka nii-chan! Ini bukan sakit perut yang seperti itu!''
Mendengar omelan Karin yang demikian, Masaki dan Yuzu sama-sama melebarkan kedua matanya sembari menatap satu sama lain.
''Karin, apa kau sedang...?'' tanya Ibunya memastikan.
''Bu-bukan kaa-chan!'' sanggah Karin cepat yang mengerti maksud dari pertanyaan Ibunya itu.
''Lalu apa, Karin? Katakan.'' tanya Yuzu yang jadi penasaran sekaligus mengkhawatirkan kembarannya itu.
''A-Aku juga tidak tahu, aku merasa perutku melilit saja tapi rasanya sakit sekali...'' jawab Karin lemas.
Perlahan Masaki mencoba mengecek suhu tubuh karin dengan suhu tubuhnya, ''Astaga! Karin badanmu dingin sekali! Yuzu, cepat ambilkan obat dibelakang tempat dudukmu!''
Seketika suasana didalam mobil itu panik, karena salah satu anggota keluarganya yang tiba-tiba saja dalam kondisi yang tidak baik.
Ichigo menatap wajah adiknya yang sedang meringis kesakitan itu, nampak sekali bahwa Karin sedang menahan sakit yang ia rasakan. Demikian dengan keringat yang terus bercucuran dari wajah anak gadis berambut hitam itu, terus bermunculan tanpa henti.
''Karin, tahanlah sebentar! Tou-chan akan membawamu ke Rumah Sakit.''
''Tidak usah, tou-chan! Hanya sakit perut biasa saja kok. Minum obat dan istirahat sebentar juga nanti sembuh.''
''Kau jangan bodoh, Karin. Kami semua disini mengkhawatirkanmu!'' saut Ichigo cemas.
''Onii-chan? Tapi, sungguh tidak perlu ke Rumah Sakit. Aku...'' sebelum melanjutkan perkataannya, Karin melirik Yuzu yang masih sibuk mencari-cari obat untuknya.
''Aku sudah tidak sabar ingin melihat bunga sakura yang sedang bermekaran di Soul Society! Kalau kita pergi ke Rumah Sakit dulu, nanti malah tidak bisa menikmati pemandangan bunga sakura yang sedang bermekaran disana.'' sambung Karin dengan mencoba mengeluarkan nada memelas untuk meyakinkan keluarganya.
Ishin Kurosaki, sang Ayah yang kala itu sedang menyetir, mau tak mau menuruti keinginan anaknya itu.
''Baiklah, tapi kau harus janji setelah minum obat dan istirahat kau akan baik-baik saja. Oke Karin?'' ujar Ishin sembari berusaha menyemangati Karin.
''Oke, Otou-chan!'' tanggap Karin dengan suara lantang disela-sela ia menahan sakit.
''Jangan dipaksakan ya Karin, kalau memang sudah tidak tahan katakan pada Kaa-chan, mengerti?'' sambung Masaki dan hanya ditanggapi anggukan kecil dan senyuman manis dari Karin.
''Ini Karin obatnya!'' Yuzu menyuapi sebutir obat berikut segelas air kepada Karin dengan penuh kelembutan, seolah tubuh Karin adalah tubuhnya juga. Ya, memang begitulah sifat umum sepasang anak kembar.
Ichigo yang masih melihat Karin meringis setelah meminum obat jadi semakin cemas. Buru-buru ia melepaskan jaket tebal miliknya dan ia kenakan dibadan Karin, ''Ini, buatlah badanmu terasa hangat!'' ujar Ichigo sembari menarik seleting jaketnya agar menghangatkan tubuh Karin lebih maksimal.
''Cepatlah sembuh...'' ujar Ichigo disela-sela menarikan seleting jaket itu.
''O-Onii-chan...'' bisik kecil Karin disertai wajahnya yang memerah, karena perlakuan Kakaknya yang jarang sekali ditunjukan dihadapannya.
Ya, beginilah suasana keluarga yang terjalin sangat harmonis itu. Saling menaruh perhatian, rasa sayang, rasa aman karena mereka memiliki ikatan spesial yang dinamakan Keluarga...
''Tapi... Kalau memang ingin buang air besar lebih baik cepat katakan saja, daripada mobil ini bau nantinya.'' ujar Ichigo yang kembali bermaksud bercanda kepada Karin.
Karin yang sempat tersentuh dengan perlakuan Kakaknya itu mau tak mau jadi kesal dan buru-buru menjambak rambut orange milik Kakak laki-lakinya itu, ''Sudah kubilang, bukan sakit perut yang seperti itu kan!''
''Aduh! Aduh! Karin, sakit! Lepaskan!''
Semua yang ada dialam mobil itu jadi tertawa geli melihat ulah Ichigo dan tingkah Karin yang sanggup mengocok perut dalam keadaan seperti sekarang ini.
.
.
.
·•· While In the Other Place ·•·
''Pemirsa, saat ini kami sedang berada dipersimpangan jalan pusat Soul Society dimana beberapa menit yang lalu telah terjadi kecelakaan lalu lintas, dimana sebuah mobil yang melaju kencang tiba-tiba menabrak mobil lain dari arah berlawanan sehingga mengakibatkan benturan terhadap beberapa kendaraan lain yang berlalu lalang disekitar tempat kejadian.''
Saat ini ditempat kejadian, terdapat beberapa lautan manusia yang mengerumuni kejadian kecelakaan saat itu, penasaran dengan kondisi kecelakaan yang sanggup memporak-porandakan suasana lalu lintas dan menelan beberapa korban tewas dan luka-luka disana.
''Hingga kini diketahui dari proses evakuasi terdapat sedikitnya satu korban selamat, tiga korban tewas ditempat serta dua korban luka-luka dan sedang dilarikan ke Rumah sakit terdekat.''
Sang reporter yang sedang meliputi kejadian kecelakaan itu tiba-tiba berlari mencari seseorang yang bisa ia wawancarai sebagai saksi kejadian kecelakaan saat itu.
''Nona! Nona!'' panggil reporter itu sambil terus berlari mendekat.
Sedangkan gadis yang sedaritadi dipanggil itu sama sekali tidak sadar bahwa dirinya sedang diintai beberapa reporter berita. Gadis itu hanya terus menatap kendaraan yang ditumpanginya rusak dihadapannya, dengan dikelilingi tim medis yang terus saja berusaha mencoba menyelamatkan dua kerabat sang gadis yang masih terjebak didalam mobil bagian depan.
''Nona! Bisakah anda jelaskan bagaimana kecelakaan ini bisa terjadi? Anda salah satu korban selamat bukan? Nona?'' pertanyaan dan sentuhan dari tangan reporter dipundak sang gadis itu mampu membuatnya bergeming dari kebisuannya.
''Ah? A-Aku... Aku tidak tahu...'' jawab sang gadis dengan nada suara yang terdengar lemas dan sedikit terbata-bata.
''Lalu, siapa yang ada didalam kendaraan mobil yang anda tumpangi ini, Nona? Apakah mereka Orang Tua anda?''
Gadis itu masih belum mau menatap kamera maupun reporter yang bertanya, pandangannya hanya terfokus pada dua orang kesayangannya yang masih berusaha diselamatkan tim medis.
''Mereka... Kakak dan... Kakak Iparku...'' jawab gadis itu sekenanya.
Mencoba memahami kondisi, situasi dan posisi sang gadis yang masih shock dengan musibah yang terjadi padanya, reporter itu menghentikan pertanyaannya untuk sementara dan menutup laporan berita yang tengah ia liput.
Tak berselang beberapa lama, dari kejauhan nampak sebuah motor pengangkut barang melaju kencang mendekati tempat kejadian kecelakaan. Dari cara mengemudinya sepertinya pengendara motor itu mengantuk.
Menyadari tidak jauh dihadapannya baru terjadi kecelakaan, motor itu mencoba membanting stir demi menghindari situasi disana. Namun yang terjadi motor itu malah mengalami oleng dan membuat daftar kecelekaan baru disana.
Tak disangka-sangka, mobil yang berada dibelakang motor tersebut nampaknya mengalami hal yang sama. Berusaha menghindari pengendara motor yang tiba-tiba saja terpeleset diarah kiri, mobil itu membanting setir kearah kanan yang otomatis membawanya masuk kedalam lokasi kecelakaan dan menabrak sebuah truk besar dihadapannya.
Kontan setelah mobil yang kehilangan kendali itu menabrak truk, suasana makin diperparah dengan mobil silver itu yang terus berguling beberapa kali dan berhenti berguling dengan posisi mobil yang terbalik.
.
.
.
·•· Flash - Back to Kurosaki's Family Scene ·•·
''Eh? Sepertinya ada kecelakaan disana...'' ujar Ishin.
Kontan Masaki, Ichigo dan Yuzu mencoba mencondongkan tubuh kedepan untuk melihat kecelakaan yang dimaksud Ishin.
''Pelankan mobilnya tou-san, nanti bisa bahaya.'' Ichigo mencoba memperingati.
''Tenang saja Ichigo, tou-san akan mengambil jalan disisi kiri agar aman jadi tidak perlu menurunkan kecepatan.''
Keempat anggota keluarga itu masih menyaksikan kecelakaan lalu lintas itu dari kejauhan, sementara Karin masih tertidur mengistirahatkan tubuhnya.
Sepasang hazel Ichigo menatap seorang anak gadis yang terdiam dilokasi kecelakaan, sembari terus menatap lebar kearah mobil dihadapannya, tak ada gerakan sedikit pun dari anak gadis itu.
''Lihat anak gadis itu, sepertinya yang didalam mobil itu keluarganya. Dan, sepertinya terjebak didalam mobil!'' ujar Masaki dengan segala keterkejutannya.
''Astaga! Kasihan sekali Kakak itu...'' sambung Yuzu yang ikut terbawa simpati.
''Reporter yang disana itu tidak bisa baca situasi apa? Sudah tahu mereka sedang tertimpa musibah, malah mewawancarai anak itu...'' Ichigo nampaknya kelihatan kesal.
''Tuntutan pekerjaan memang seperti itu, Ichigo...'' sambung Ayahnya yang nampaknya mengerti perasaan Ichigo, namun juga tidak menyalahkan profesi si Reporter disana.
''Suamiku, perhatikan kemudimu.'' Masaki mencoba memperingati suaminya, ''Lebih baik turunkan sedikit kecepatannya.''
''Kalau diturunkan kecepatannya kasihan Karin, semakin lama sampai ditempat tujuan. Tenang saja, aku pasti berhati-hati.'' saut Ishin sambil menatap lembut Masaki, mencoba menetralisir kecemasan Istrinya saat itu.
''Otou-chan! Okaa-chan! Gawat! Suhu tubuh Karin semakin menurun!'' teriak Yuzu panik dibaris kursi belakang.
''Apa!'' kontan sepasang Suami-Istri itu saling menghadap kebelakang demi melihat kondisi anaknya yang tiba-tiba memburuk.
''Karin! Apa kau baik-baik saja? Karin, jawab!'' teriak Yuzu sambil mengguncang pelan tubuh Karin.
''Karin sayang, bangunlah! Jawab pertanyaan adikmu!'' sambung Masaki dengan rasa cemas dan panik yang berlebihan.
Karin sama sekali tidak menjawab. Dengan raut wajah yang meringis dan kelihatannya tengah menahan rasa sakit yang semakin parah ia mencoba memeluk dirinya sendiri, berharap pelukannya itu akan memberikan kehangatan bagi tubuhnya yang terasa dingin.
Yuzu yang seolah dapat membaca bahasa tubuh Karin pun ikut memeluk Karin dan mencoba menyalurkan suhu hangat tubuhnya kepada saudari kembarnya itu.
''Karin, bertahanlah!'' ujar sang Ayah.
''Karin...'' bisik Ichigo yang juga mengkhawatirkan kondisi adiknya itu.
Secara tidak sengaja Ichigo membuang muka kearah depan mobil dan melihat sebuah motor didepannya tiba-tiba oleng dan jatuh begitu saja kearah kiri.
''Otou-san, awas!'' teriak Ichigo begitu keras.
Ishin yang sadar tidak memperhatikan jalan dihadapannya itu pun langsung membanting kemudinya kearah sebaliknya.
''Ah! Suamiku, injak remnya!'' teriak Masaki.
''Otou-chan!'' teriak Yuzu yang masih memeluk Karin dengan erat sembari menutup sepasang matanya dengan paksa.
''Argh!'' seketika Ichigo melepas sabuk pengaman miliknya dan mencoba melindungi kedua adik kembarnya dengan mendekap mereka kedalam pelukannya yang lebar.
''Semuanya berpegangan yang kencang! Jaga kepala kalian dari benturan!'' teriak Ishin yang masih mencoba mengendalikan kemudi.
Karena terlalu membantingkan kemudi hingga lost, mobil itu pun terjungkal dan berguling beberapa kali hingga akhirnya menabrak pohon besar disekitar jalan dengan posisi terbalik.
.
.
.
'Ciiitttt!'
'Chrash!'
'Dash!'
Suara decitan ban mobil, pecahan kaca mobil serta benturan mobil yang sempat terguling dan mebrak pohon itu terdengar tidak jauh dari lokasi kecelakaan sebelumnya.
Beberapa reporter yang masih disibukan dengan kecelakaan sebelumnya, kini harus menyibukan extra diri mereka dengan kecelakaan baru yang baru saja terjadi.
Anak gadis yang sempat terdiam dihadapan mobil miliknya itu, melihat kecelakaan tersebut dengan jelas melalui sepasang violetnya yang semakin terlihat sayu. Seluruh anggota tubuhnya terasa lemas dan kontan anak itu jatuh seketika dari posisi semula ditempat.
Pemandangan ini begitu mengerikan dimatanya, belum sempat ia melupakan kecelakaan yang pertama yang terjadi pada dirinya dan hampir merenggut nyawanya, kini gadis itu harus melihat kecelakaan lain yang seolah membuat sekujur badannya terasa ngilu.
Gadis itu tertunduk, namun tak lama kemudian ia kembali melihat tim medis dihadapannya, yang akhirnya berhasil mengeluarkan dua kerabat terdekatnya yang sempat terjebak didalam mobil.
Tak tahu harus senang atau sedih, melihat kerabatnya akhirnya selamat atau harus mengingat kejadian mengerikan yang baru kali ini terjadi sepanjang hidupnya.
''Nona, kau tidak apa-apa? Nona?'' panggil salah satu tim medis yang menyadari kondisi anak gadis itu tidak baik.
Gadis itu hanya menengok kearah suara namun sama sekali tidak menjawab, wajahnya begitu pucat pasi.
Mengerti akan raut wajahnya, sang medis itu mencoba membawa anak gadis itu ke tempat lain untuk menenangkan dirinya terlebih dahulu.
''Kau bisa berdiri? Bisa berjalan?'' tanyanya memastikan.
Namun sekali lagi, tak ada jawaban. Lagi-lagi anak gadis itu menatap kendaraan yang sempat ditumpanginya tadi.
Gadis itu mencium bau sesuatu yang dirasanya bau yang tidak asing. Sepasang matanya pun menangkap sebuah cairan berwarna kuning kecoklatan keluar dari dalam tangki bahan bakar kendaraannya.
Gadis itu melebarkan matanya. Ia ingin berdiri, berlari dan berteriak 'Menjauh dari sini mobilnya akan meledak!' namun entah mengapa tidak bisa.
Perlahan ia mencoba memaksakan diri memutarkan kepala menghadap tim medis disampingnya. Sedangkan tim medis itu hanya terkejut mendapatkan tatapan pucat dari gadis tersebut.
''A-Ada yang ingin kau katakan, Nona?''
''Me-le-dak...'' tutur gadis itu ketakutan.
''A-apa?'' tanya sang medis yang tidak mendengar jelas perkataan sang gadis.
''Mo-bil... Mo-bil...'' gadis itu masih terbata-bata.
''Mobil? Ada apa? Apa masih ada yang lain didalam sana!''
''Ah!'' gadis itu tertunduk lemas, ia mencoba melawan reaksi tubuhnya yang tidak ia inginkan disaat seperti ini.
Gadis itu, mencoba mengepalkan tangannya dengan kuat, dan berhasil...
kemudian ia mencoba menggeleng-gelengkan kepalanya dengan kasar, perlahan dan perlahan, dan lagi berhasil...
''Nona, katakan! Apa ada yang lain!''
''Me-le-dak!''
''Apa?''
''Me-Meledak!''
''Meledak!'' teriak lantang gadis itu dengan kepala tertunduk.
Sang medis itu terkejut setengah mati, seolah mengerti satu kata 'Meledak' dari anak gadis itu. Ia melirik mobil dihadapannya dan benar saja, bahan bakar dari mobil dihadapannya terus saja mengalir dan tercium bau hangus disana.
''Gawat! Semuanya mundur! Mobil akan meledak!'' teriak sang medis itu sembari menggendong anak gadis yang baru ia ketahui dalam keadaan shock, dimana kondisi itu terkadang dapat membuat seseorang hilang kendali dalam memberi perintah kepada tubuhnya sendiri, untuk melakukan apa yang dikehendaki sang pemilik tubuh.
Selang beberapa waktu kemudian, setelah seorang medis itu berhasil menjauh dari lokasi kecelakaan, berikut dengan beberapa orang yang mengitari tempat kejadian perkara menjauh, mobil sedane putih itu pun meledak dan terbakar hangus begitu saja. Dan apinya tentu menjalar kearah kendaraan lain yang ikut menjadi objek kecelakaan disana.
.
.
.
·•· Soul Society Hospital, Soul Society ·•·
''Nona kecil...''
Gadis yang dipanggil 'Nona kecil' itu menengok kearah suara, tanpa mengeluarkan satu patah kata pun gadis itu terus memperhatikan seseorang dihadapannya dengan sendu.
''Nona, kau baik-baik saja?'' suara berat laki-laki yang bertanya kepadanya itu kelihatannya sukar dijawab sang gadis.
''Arigatou...'' katanya pelan.
Laki-laki dihadapan gadis itu terlihat bingung.
Seolah mengerti maksud dari raut wajah laki-laki dihadapannya, gadis itu meneruskan kata-katanya, ''Tuan... Tim medis yang menyelamatkanku tadi kan? Aku berterimakasih karena tuan sudah menyelamatkanku tadi.''
''Oh! Itu sudah tugasku, Nona.'' ujar sang medis itu sembari tersenyum.
''Aku tidak yakin yang lain akan menggendongku seperti tadi, karena tidak sadar bahwa aku sedang dalaam keadaan shock dan tidak bisa menggerakan tubuhku. Aku yakin mereka hanya akan menyelamatkan diri mereka sendiri.'' tutur sang gadis dengan nada datar.
Laki-laki dari tim medis itu awalnya terdiam terpaku mendengar kata-kata sang gadis, namun setelahnya ia kembali tersenyum.
''Kita tidak akan pernah bisa mengetahui apa yang akan terjadi pada kita atau orang lain, sedetik, semenit, sejam, sehari bahkan setahun yang akan datang. Seperti apa yang terjadi hari ini, Nona kecil.''
Gadis itu kembali menatap laki-laki dihadapannya dengan tatapan sendunya, ''Begitu pula dengan apa yang akan terjadi dengan kedua Kakakku disana?'' anak gadis itu mengalihkan pandangannya kearah ruang UGD, tempat orang tersayangnya tengah mendapatkan perawatan.
Nampaknya laki-laki medis itu mulai mengetahui kecemasan yang ditakuti anak gadis berwajah manis tersebut.
''Nona kecil, mereka akan baik-baik saja. Mereka sudah berada ditangan yang ahlinya―''
''Maaf Tuan, aku memang terlihat seperti anak kecil berumur delapan tahun, tapi perlu Tuan ketahui aku berumur lima belas tahun dan bukan anak kecil yang bisa dibohongi dengan apa yang baru saja Tuan katakan padaku.''
Laki-laki itu cukup tesentak dengan perkataan datar dari gadis mungil yang kelihatannya juga berusaha menenangkan dirinya itu.
''Luka-luka parah yang terdapat hampir disekujur tubuh mereka, aku tahu itu bukanlah luka yang bisa dianggap sepele. Dan aku pun tahu Tuan mengetahuinya.''
''...''
''Belum lagi luka dalamnya...''
''Hei! Kyoraku! Cepat kemari bantu kami!'' teriak salah seorang teman dari kesatuan medis disana.
''Aku akan menyusul!'' jawab laki-laki yang diketahui bernama Kyoraku itu.
Kemudian ia beralih lagi kepada anak gadis yang masih bersedih didekatnya, ''Nona...'' panggilnya.
Anak gadis itu kembali menengok wajah laki-laki yang telah menyelamatkan nyawanya beberapa waktu yang lalu.
''Percaya dan berdoalah untuk keselamatan mereka, aku harap mereka baik-baik saja.'' laki-laki itu mengelus puncak kepala sang gadis dengan lembut, ''Dan apapun yang terjadi nantinya, tetaplah jalani hari-harimu dengan senyuman.''
''Kenapa!'' tanya sang gadis yang tiba-tiba perasaannya menjadi campur aduk ketika mendengar laki-laki itu berkata demikian.
Laki-laki itu awalnya terkejut namun kemudian ia kembali tersenyum lembut kearah sang gadis untuk menenangkannya, ''Karena wajahmu itu sangat manis, Nona kecil.''
Gadis itu tidak berkata apa-apa, antara bingung dan marah, perasaanya pun masih bercampur dengan ketakutan dan kesedihan yang teramat sangat.
''Aku permisi dulu, Nona kecil.'' usai berkata demikian, laki-laki bernama Kyoraku itu terus berjalan menuju lift, mencoba menyusul temannya yang masih harus menyelamatkan korban kecelakaan lain.
Tanpa memperhatikan langkah tapak laki-laki itu yang perlahan mulai menjauh, gadis berambut hitam dan sedikit bersiluet ungu itu kembali menundukan kepalanya, ia mencoba mencari ketenangan hatinya sejenak.
''Aku mohon Dokter selamatkan keluargaku!'' suara berat laki-laki paruh baya menggema disekitar koridor ruangan disana.
''Serahkan kepada kami, Tuan.'' jawab Dokter itu sekenanya ketika sudah memasuki ruang operasi.
''Maaf, Tuan tidak boleh masuk. Tuan harus tunggu diluar.'' salah satu suster disana mencoba memperingati.
''Tapi...'' dengan terpaksa laki-laki itu berhenti didepan pintu ruang operasi, kedua matanya terus saja mengalirkan air mata semenjak mendapati keluarganya dalam keadaan penuh luka dan tidak sadarkan diri.
Kemudian laki-laki itu duduk bersebalahan dengan seorang gadis yang bisa dikatakan senasib dengan dirinya, menunggu kabar baik atas orang-orang yang mereka sayangi.
Gadis itu melirik sedih kearah laki-laki disampingnya yang masih saja mengeluarkan bulir-bulir air mata. Seolah gadis itu merasakan kepedihan laki-laki tersebut, hatinya ikut terguncang.
Bila diingat-ingat sejak awal kecelakaan sampai saat ini, gadis itu sama sekali tidak menangis seperti yang dilakukan paman disampingnya. Padahal perasaan takut akan ditinggali oleh orang-orang terkasih, serta perasaan sedih yang dirasakan paman yang duduk bersebelahan dengannya itu sama dengan apa yang ia rasakan saat ini.
''Keluarga... Kuchiki?'' suara tegas seorang Dokter memanggil dari luar ruang UGD.
''Eh? Y-Ya?'' gadis yang sedaritadi duduk terdiam dengan cemas itu tiba-tiba berdiri dari posisi awalnya.
''Kau kerabatnya, Nona?'' tanya Dokter itu.
''A-Aku adik dari korban yang perempuan, Dokter! Ba-Bagaimana dengan keadaan mereka...?'' gadis itu mulai terlihat cemas berlebihan sekarang, setelah sebelumnya berhasil menenangkan dirinya sejenak.
Dokter itu sedikit tersentak, ''Nona, korban laki-laki bernama Byakuya Kuchiki, ia berhasil diselamatkan.''
''Benarkah!'' gadis itu menarik nafas lega tapi... ''Bagaimana dengan nee-chan ku Dokter!''
Perlahan Dokter itu menaruh tangannya dipundak sang gadis, tanpa berkata-kata Dokter itu hanya menggelengkan kepalanya perlahan dengan wajah sendu.
'DEG!'
·•· The Girl's POV ·•·
Ketika aku masih kecil, aku ingat seseorang yang sangat penting dalam hidupku dan merupakan segalanya bagiku pernah berkata, 'wanita akan terlihat lemah jika mereka menangis, jika tidak mau dikatakan lemah maka lakukan sebaliknya.' Maka dari sejak ia berkata begitu aku tidak pernah menangis lagi.
Aku selalu ingin menjadi seperti sosoknya, seorang wanita yang kuat, seorang wanita yang penuh sosok keibuan, seorang wanita yang disayangi orang disekitarnya, seorang wanita yang sempuran dimataku. Aku ingin menjadi seperti dia.
Dia adalah alasan mengapa sampai saat ini aku masih bisa hidup layak, alasan mengapa sampai saat ini aku bisa tersenyum bahagia, alasan mengapa sampai saat ini aku mau berjuang keras, dia adalah segala alasan dalam hidupku. Aku pun ingin menjadi alasan yang dapat menentukan hidup seseorang sama seperti dia.
Rasanya baru kemarin kami tumbuh-kembang bersama. Saat-saat ia menggendong tubuh kecilku yang masih berumur lima tahun dengan kedua tangannya yang kuat, yang ia gunakan juga untuk bekerja membanting tulang untuk menafkahi kami berdua.
Saat-saat ia menggandeng tangan kecilku yang mungil ketika pulang sekolah bersama, menggandeng dengan tangannya yang halus, tangan yang ia gunakan untuk merawatku.
Saat-saat ia menghapus air mataku yang mengalir karena diganggu anak laki-laki dikelasku ketika aku baru memasuki SD, ia menghapusnya dengan kedua tangannya yang lembut, tangan yang ia gunakan untuk menunjukan rasa kasih sayangnya yang nyata kepadaku.
Dan saat itulah aku berhenti menangis, saat dimana dia pernah berlaku dan berpesan demikian...
Tapi, saat ini dunia terasa berputar terbalik, seolah kehidupanku yang ada didalamnya ikut runtuh bersamaan dengan kepergian dirinya yang begitu tiba-tiba.
Hisana... Nee-chan...
Ya, begitulah caraku memanggilnya. Satu-satunya keluargaku yang tersisa setelah kedua Orang Tua ku meninggalkan kami berdua lebih dulu, karena sebuah kecelakaan.
Kini, nee-chan pun meninggalkanku dengan cara yang sama.
Mengetahui nyawa nee-chan tak tertolong, duniaku seolah berhenti berputar, jantungku berdentum keras hingga terasa sangat sakit, sekujur badanku terasa lemas hingga kedua kaki ini tak kuat menahan beban tubuhku sendiri, hembusan nafasku begitu tak beraturan seiring jantungku berdetak cepat, hingga yang terakhir wajahku terasa kaku sampai tak bisa berwajah sedih sebagaimana mestinya.
Wajah dan tatapan mataku begitu datar, dan setelahnya sepasang mataku memerah dan mengeluarkan cairan hangat yang sudah lama tak pernah keluar dari sepasang pelupuk violetku...
Menangis...
Ya, aku menangis...
Air mata ini berjatuhan seiring menerima kenyataan pahit yang sangat aku tolak mentah-mentah...
Air mata ini berjatuhan karena seorang nee-chan yang paling aku cintai dan segalanya bagiku, dalam hidupku...
Air mata ini berjatuhan mengiringi kepergian Hisana... Nee-chan... Menuju tempat peristirahatannya yang terakhir...
·•· 続けて ·•·
duomo arigatou bagi yang sudah menyempatkan diri untuk membaca fic ini.
Jika berkenan mohon di
Review
