Summary: Anak kecil berdiri di depan ranjang ibunya yang terbaring lemah. Ibunya sekarat. Permintaan sang ibu adalah meminta sang anak untuk mencarikan jodoh buat sang kakak, Uzumaki Naruto. Pilihan tersulit bagi adik kecil Naruto, Gaara. Berminggu-minggu akhirnya dia menemukannya dan berharap dia-lah orangnya...
Amorossia
.
.
Disclaimer: Naruto © Kishimoto Masashi
Warning: AU, OOC atau typo (maybe?), alur lamban dan agak lumayan cepat, setting masa sekarang, deskripsi seadanya, agak aneh, tidak jelas(?), cerita panjang 5000 words.
Happy reading!
.o.X.X.o.
Bandara internasional Konoha memberi pengumuman bahwa penerbangan dari Amerika telah tiba sepuluh menit yang lalu. Kondisi ini menguntungkan bagi sang keluarga yang menunggu kepulangan seseorang di penerbangan dari Amerika itu. Dilihat dua orang memandangi pintu keluar. Mereka adalah seorang ibu dan seorang anak laki-laki. Ekspresi ibu itu terlihat senang, sedangkan anak laki-laki memiliki kelopak mata hitam datar menatap pintu masuk.
"Sebentar lagi kakakmu datang," kata ibu tidak sabar. Diketahui nama sang ibu adalah Uzumaki Kushina. Wanita berumur empat puluhan ini sudah lama menunggu anaknya yang belajar di Amerika sana selama sepuluh tahun.
Tidak mau bicara banyak, anak laki-laki berusia tujuh tahun ini bergumam pelan, seperti apa sih wajah kakak yang dibicarakan ibu. Aku jarang lihat kecuali foto yang dipajang di ruang tamu. Wajahnya sangat konyol. Sekarang pasti konyol juga. Cih!
Beberapa detik kemudian, para penumpang beriringan keluar. Mereka ada yang membawa koper, membawa keluarga, keluar untuk memanggil sang keluarga atau kuli angkut. Kushina melirik di antara orang-orang keluar. Saat dirinya menatap bentuk rambut seperti durian, Kushina pun berteriak. "NARUTOO!"
Teriakan sang ibu memancing para pengunjung bandara di sekitar. Sang ibu yang memanggil tadi, menunduk malu. Dan anak kecil berambut merah api menghela napas melihat tingkah ibunya yang sok kekanakan.
Tangan diangkat berarti sosok itu menyadarinya. Dia berdempetan dan berusaha keluar dari kerumunan orang-orang. Dilihat sang ibu merunduk malu, dia juga berteriak. "IBUUU!"
Kushina mendengar teriakan itu, mengangkat kepalanya. Astaga! Sang ibu dan anak sama saja. Itu pemikiran khalayak buat bocah berumur tujuh tahun ini. Kushina memanggil dan loncat-loncat kegirangan. Pemuda itu berlari memeluknya dan Kushina juga membalasnya.
"Ibu, aku merindukanmu!" seru pemuda diketahui memiliki nama Uzumaki Naruto. Dia mengencangkan pelukan hingga sang ibu sesak napas. Mendengar keluh sang ibu, Naruto melepaskannya. "Maafkan aku, ibu."
"Tidak apa-apa, sayangku. Aku juga merindukanmu." Kushina memegang kepalanya dan mengecup kening sang anak. Mereka beradu pandang saling merindukan, melupakan anak kecil terdiam seribu bahasa. Kushina yang lupa pada satu hal, menunduk mencari sesuatu.
Naruto menatap Kushina ke sana kemari dan tidak tahu apa yang ada di pikirannya, ikut-ikut mencari. "Cari apa, ibu?"
"Aku ada di sini, bu."
Suara asing menggelitik telinga Naruto. Suara paling ingin didengarnya. Kushina kaget dan melihat di sebelah bawahnya. Berdirilah anak laki-laki berambut merah api memiliki tato kecil di dahinya. Wajahnya datar tidak ada jiwa, sepertinya. Bola mata hitam di bagian bawah seperti hantu baru keluar dari gua. Kushina tersenyum dan berlutut memperkenalkan siapa anak ini.
"Mungkin kamu ingin sekali bicara dengannya. Tujuh tahun kamu tidak bertemu dengannya. Sebelum dia lahir, kamu pergi ke Amerika untuk sekolah dan juga kuliah. Ibu dan ayah mendapatkan karunia dari Tuhan, memberikan adik untukmu. Perkenalkan ini Gaara, Uzumaki Gaara," Kushina memeluk tubuh kecil laki-laki yang bernama Gaara itu. Sontak bagi Naruto memahami maksud sang ibu. Itu berarti dia mempunyai adik laki-laki yang diimpikannya.
"Kamu adikku?" tanya Naruto membungkukkan tubuhnya. Naruto mengulurkan tangan untuk bersalaman. "Aku Naruto, kakakmu. Panggil aku kak Naruto, ya."
"Bodoh."
Kaget. Naruto kaget mendengar kata 'bodoh' dari mulut Gaara. Kushina menepuk pergelangan tangan Gaara untuk meminta maaf pada Naruto. Naruto mengerutkan dahi. Tapi, kerutan itu menghilang sembari mengusap kepala merah Gaara.
"Kamu ada-ada saja," sahut Naruto tertawa pelan. "Baru kali ini ada yang bilang bodoh selain Sasuke dan Sai. Hahaha!"
Mirip banget ibu! Pemikiran Gaara mengingat Kushina tidak termakan kata-kata kasarnya. Seumur-umur hidup Gaara karena terlalu dididik oleh sang kakek makanya raut wajah dan sifat sama dengannya. Hidupnya aneh dan juga penuh perhatian. Selama ayah mereka telah meninggal, Kushina yang mengurusnya. Gaara sayang ibunya, tapi paling jengkel lihat Kushina selalu terlihat awet muda dan bertindak kekanakkan.
"Mari kita pulang," Kushina bangkit dan mengamit tangan mungil Gaara. Naruto hanya bawa barang seadanya, menyuruh sang ibu untuk jalan duluan. Baru beberapa langkah, langkah Kushina gontai. Dia menekan dadanya. Kemudian jatuh pingsan.
"IBU!" teriak kedua anak Kushina. Naruto menjatuhkan barang bawaannya sedangkan Gaara hanya melihat Kushina tersungkur pingsan di lantai bandara. Tubuhnya menggigil, takut pada kematian. Gaara takut kalau ibunya ini mengikuti sang ayah menuju pintu kematian. Serasa mau pingsan, akhirnya tidak jadi karena Naruto meminta para pengunjung memanggil Ambulans. "Tolong! Bisa tidak kalian memanggil ambulans?!"
Di sinilah Gaara dan Naruto berada, rumah sakit. Bau obat dan cahaya putih temaram bikin sakit mata dan hidung. Sungguh menyakitkan dan melelahkan. Mereka kira akan ada kebahagiaan hari ini, tapi kebahagiaan itu telah sirna karena Kushina terbaring lemah di rumah sakit Konoha ini.
Dokter mengisyaratkan agar Kushina berbaring saja dulu. Kata dokter, jantung Kushina agak lemah. Butuh tiga minggu mengistirahatkan kesehatannya di rumah sakit ini. Jadi, Kushina tidak bisa pulang ke rumah. Seenggaknya ini membutuhkan proses agak lama.
Naruto meminta apakah dirinya boleh bertemu ibunya, dokter Kabuto ini mengizinkannya. Tapi, satu-satu saja yang masuk. Naruto menyuruh Gaara duduk di sini dulu. Setelah Naruto nanti, Gaara boleh masuk mengecek kondisi ibunya.
Memandang Naruto masuk, Gaara duduk di kursi. Diam terus tanpa ada sepatah kata pun. Dia menunduk. Sekali mendengar hanyalah langkah-langkah kecil orang-orang lewat. Tidak mempedulikan sekelilingnya, Gaara memposisikan dirinya duduk agar nyaman. Namun, kegelisahan melandanya.
Tidak lama setelah itu, duduklah seseorang tidak diketahui. Dia adalah seorang gadis berpakaian jas putih selayaknya seorang dokter. Rambutnya diikat satu ke belakang. Dia berkacamata. Wajahnya manis, dan dilihat-lihat dari sudut mata Gaara, gadis ini usianya sama dengan kakaknya.
"Kenapa sendirian di sini, dik?" tanyanya lembut. Suaranya hangat dan menenangkan, mirip dengan Kushina. Senyumnya juga mirip. Seperti ayahnya, Uzumaki Minato. Selalu dipandangi aneh, gadis itu menunduk agar sejajar menatap Gaara. "Apa kamu mendengarku?"
Gaara menoleh tajam. Serius. Mirip ayah dan ibu seperti pinang di belah dua. "Ngg... tidak apa-apa. Aku hanya menunggu kakakku keluar dari ruangan ibuku."
"Apa ibumu sakit?"
"Aku tidak tahu dan aku... takut." Gaara memalingkan wajah. Gaara tidak mau wajahnya terlihat sedih apalagi gadis di samping ini menatapnya. Pasti dibilang aneh. Memang anehlah bagi anak yang baru bertemu kakaknya dan melihat ibunya bergembira.
"Tidak apa-apa kalau mau menangis. Di sini kita tidak sendirian," ucapan gadis ini membuatnya teringat pada Minato. Deja vu. Di sinilah tempat di mana kakeknya terbaring sakit. Umur Gaara pada saat itu baru tiga tahun, tapi mendengar kalimat Minato duduk di sampingnya di rumah sakit ini. "Tidak apa-apa kalau mau menangis. Di sini kita tidak sendirian, Gaara."
Gadis berpakaian dokter ini memeluk tubuh Gaara. Gaara tersentak kaget. Namun, dia tidak berniat melepaskannya karena pelukan gadis itu sungguh hangat. Enak sekali. Membuatnya ngantuk. Sebelum tertidur, bola mata tertuju pada papan nama di dada kirinya. Hyuuga Hinata, huh? Akhirnya Gaara tertidur. Cocok buat kakakku.
Gadis ini heran pada suara aneh. Dilirik apa yang terjadi, dia pun mengetahui kalau anak ini tertidur pulas. "Pasti dia lelah dan menunggu kakaknya."
Pintu ruangan rawat terbuka menampilkan Naruto, pemuda beriris biru. Dia terlihat sedih. Kelopak mata yang sedih membuat gadis itu tidak bisa memalingkan muka. Wajah tampan itu membuatnya jadi gugup. Belakangan gadis yang bernama Hinata gemas memandangi anak kecil duduk sendirian di koridor rumah sakit dan sekarang dia terpana melihat pemuda yang keluar dari ruang rawat.
Pandanga Naruto menatap bingung pada gadis yang memeluk adiknya bertanya-tanya, "kenapa Anda memeluk adik saya?"
"Ah? Ma-maaf. Tadi sa-saya melihat adik kecil ini duduk sendirian di sini. Ma-makanya saya menemaninya. Tahu-tahu dia telah tertidur saat saya memeluknya," sahut Hinata gugup. Rona mukanya memerah mirip kepiting rebus. Takut Gaara jatuh, Hinata mengeratkan pelukan.
"Berikan anak itu kepada saya, dokter. Biar saya yang menjaganya," kata Naruto memohon agar Hinata menyerahkan Gaara. Dengan rasa gugup menderai tubuhnya, Hinata menyerahkan Gaara dengan tangan gemetar. "Jangan takut. Saya tidak akan memakan Anda, dokter."
Gaara telah tertidur di gendongan Naruto. Gaara kecil menggeliat. Sejenak mata hijaunya melirik Hinata tersenyum. Tapi, kemudian Gaara kembali tertidur.
.
Note's: Sebelum saya melanjutkan. Jika ada alur cerita ini mirip, itu tidak sama karena cerita adalah bukti ketikan dari saya bukan dari seseorang. Semoga kalian membacanya dengan hati riang. Hehe...
.
.
Sekaranglah di hari ini, pagi hari, Gaara berdiri di hadapan ranjang Kushina. Menatap tubuh Kushina terbaring lemah dan sekarang. Baru beberapa hari kok bisa sekarat. Padahal kemarin-kemarin sehat-sehat saja dan bercanda ria dengan Naruto. Pikiran ini menghantui Gaara yang sangat cerdik dan pintar, tapi juga merasakan hal yang aneh.
"Kemarilah, anakku," perintah Kushina dituruti Gaara. Suara itu terdengar sehat, tapi di luar kenapa seperti tidak sehat. Gaara melangkah maju mendekati Kushina, masih memasang wajah datar. "Ibu mempunyai satu permohonan kepadamu. Ibu ingin kamu mencarikan jodoh buat kakakmu, Naruto."
Gaara menaikkan sebelah alisnya. Jodoh? Di saat seperti ini? Gaara bingung, heran, kaget, dan bingung lagi mendengar kalimat-kalimat Kushina menyuruhnya mencarikan jodoh buat Uzumaki Naruto. Sungguh tidak percaya.
"Apa ini keinginan ibu sebelum meninggal?" terdengar tenang suara Gaara, tapi di dalam terlihat sakit jika memang benar ini permintaan. Kushina mengusap kepala merah Gaara. Kushina tersenyum saja. "Baiklah, ibu. Ibu tahu kalau aku tidak bisa menolak permintaanmu."
"Terima kasih, anakku." Di dalam batin Kushina, bayangan kegembiraan dan keceriaan menghinggapinya. Di luar kegembiraan itu tidak terpancar, tapi memperlihatkan kesedihan dan kebahagiaan tercampur aduk. Kushina memeluk anaknya. Wajah berubah senang. Mimpinya telah tercapai sudah.
Gaara di luar rumah sakit duduk termangu tidak berdaya. Mencarikan jodoh buat kakak? Dalam waktu tiga hari? Kushina mengatakan itu. Mencarikan jodoh dalam kurung waktu tiga hari. Cari di mana? Dunia ini luas! Mencari sesuatu itu tidak gampang. Butuh usaha. Bikin rumit saja! Batin Gaara dalam hati.
Suasana dingin menyelimutinya. Hari ini berubah jadi musim dingin. Sebentar lagi cuaca mendingin, salju turun dan acara menjelang Natal kembali hadir. Sebelum Natal dan sehatnya Kushina, Gaara memperlancarkan siasat 'mencari jodoh buat kakak tersayang'. Ralat deh buat kakak tersayang.
Iming-iming bersembunyi dari semak-semak, Naruto berbincang dengan gadis waktu itu, Hyuuga Hinata. Mereka telah berkenalan lama. Padahal kemarin mereka baru berkenalan. Entah kenapa baru sekarang ya akrabnya? Mereka akrab ria bukan berencana suka menyukai. Mereka berkenalan karena Hinata termasuk dokter yang merawat ibu Naruto dan Gaara.
"Jadi, bagaimana keadaan ibu saya, dokter?" tanya Naruto duduk di bangku dekat semak-semak. Wajahnya kusut dan berserawut. Hatinya gelisah, takut ibunya kenapa-kenapa. Pandangan mata birunya menoleh kepada Hinata membuat Hinata gugup tiada henti. "Anda kenapa?"
"Ti-tidak apa-apa," sahut Hinata. Berdiam diri sejenak dan menghela napas sekali tanpa menatap mata Naruto langsung. "I-ibu Anda baik-baik saja sekarang ini."
"Benarkah?" girang Naruto. Bahunya terangkat, kemudian turun lagi. "Tapi, kenapa dia bilang sekarat, ya?" Naruto menggaruk kepalanya dan mengerucut bibirnya yang tidak gatal, bingung juga heran. "Mungkin karena kondisi di rumah sakit."
Perbincangan ini terus terasa aneh, itu di dalam hati Naruto. Setiap memandang Hinata, Hinata pula menunduk malu. Setiap memalingkan wajah, Hinata malah menatapnya terpesona. Begitu pun seterusnya. Lama-lama Naruto tidak betah pada ini semua.
"Ng... Bisakah kita berdua tidak berbicara terlalu sopan melihat umurmu sama dengan umurku? Bagaimana?" tanya Naruto senyam senyum. Senyumannya bikin Hinata berdebar-debar. Alih-alih menenangkan hati, Hinata hanya mengangguk. "Hei, aku kan bertanya tentulah harus jawab. Benarkan?"
"I-iya."
"Nah, perkenalkan namaku Naruto. Uzumaki Naruto," sapanya mengulurkan tangan untuk bersalaman dengannya. Naruto melirik Hinata menggerakkan tangan supaya bersalaman dengannya. Alhasil Hinata pun balas uluran tersebut. Mereka menggoyang atas dan bawah. Hinata terguncang dan tiba-tiba pingsan. Dia tersungkur ke depan. "Aduuh... kenapa pingsan? Halo!?"
Di saat Naruto sibuk mengurusi Hinata yang pingsan. Gaara yang mengintip di celah-celah semak menyengir. Ekspresi datarnya memberikan sensasi aneh. Akhirnya Naruto mengangkat tubuh Hinata ala bridal style. Gaara menghela napas pada keadaan ini. Toh, niat untuk mencari jodoh telah dia temukan dan siap menentukannya. Tapi, tiga hari tidak cukup baginya. Dia perlu butuh satu minggu. Ya! Rencananya pasti disetujui oleh ibunya.
Di kamar rawat, Kushina main game konsol. Dia tidak seperti orang sekarat yang pernah dirasakan orang, tapi seorang pasien memang dari dulu baik-baik saja. Heran kenapa semua dokter menyanggupi permintaan nyonya Uzumaki ini. Seenaknya saja menerima agar anak sulungnya mendapatkan jodoh lewat anak bungsu. Kushina terlihat bahagia. Makanya dia meminta suster-suster membawakan barang-barang ini. Tiba-tiba mendengar langkah menuju tempatnya, Kushina buru-buru menyembunyikan semua mainan-mainan, majalah, dan banyak lagi ke lemari pakaian. Dan kembali ke tempat tidur dalam keadaan sakit.
"Aku masuk ya, ibu." Gaara membuka pintu kamar rawat. Saat mengangkat kepala, dia terkejut. Dia terpaku melihat sang ibu menjerit kesakitan. Gaara berlari cepat mendekati Kushina. "Ibu, ada apa denganmu?"
"I-ibu tidak apa-apa... Bi-bisakah kamu me-memanggil kakakmu?" jerit Kushina pelan. Takut pada situasi di mana dirinya harus berpura-pura sakit. Dia tersenyum lemah seakan-akan dirinya dikira sakit nyatanya baik-baik saja. Tahu ibunya tersenyum, Gaara minta pamit untuk mencari kakaknya. Kushina senang anak bungsunya pergi dan dia bisa bermain lagi. Tapi, langkah Gaara terhenti dan berbalik badan. Wajah Kushina kembali lemah seperti orang yang siap-siap mati. "A-ada apa, a-anakku?"
"Ibu, bisakah waktu yang ibu kasih kepadaku itu jadi satu minggu? Aku tidak bisa mendapatkannya dalam waktu tiga hari. Itu sangat tidak mungkin," kata Gaara menjelaskan kerinciannya. Umur tujuh tahun belum tentu mendapatkan apa-apa. Tapi, apa bisa umur tujuh tahun bagi seorang bocah dapat menyelesaikan permintaan Kushina.
"Tentu saja!" teriak Kushina terharu dan gembira. Gaara kaget mendengar suara Kushina yang terlalu kencang. Dia berdiri terpaku seperti patung dan kedua bola mata hijau membulat seakan bola itu ingin keluar dari rongganya dan jatuh. Kushina menelan saliva dan tersenyum kaku, "i-ibu menyetujuinya anakku. Ja-jadi pergilah."
Gaara mengerutkan dahi, berputar badan, memiringkan kepala. Sontak tadi dia lihat dan dengar ibunya berteriak senang, tapi kenapa berubah jadi ibu-ibu sekarat, ya. Orang dewasa memang susah dihadapi dan susah dimengerti buat anak kecil seumuran dengannya. Gaara membuka pintu, lalu menoleh ke Kushina tersenyum sambil melambaikan tangan dengan lemahnya. Gaara hanya menggeleng saja dan pintu pun ditutup dari luar.
Kushina menyibak selimut dan mengambil barang-barang di lemari pakaian, mengambil game console dan memainkannya di tempat tidur. Hatinya riang tidak terkira. Menunggu satu minggu di rumah sakit memang membuatnya nyaman. Hoho...
Stress, frustasi, kesal, ingin sekali menghancurkan segalanya. Saat Gaara mengintip bagian celah tadi. Ternyata selama ini ibunya berpura-pura sakit demi keinginan ayahnya. Pantas saja terasa aneh. Masa orang tidak sakit jantungan tiba-tiba ambruk di bandara. Terserah deh. Kita ikuti permainan ibunya.
Di ruang kerja, Naruto menunggu Hinata. Hinata tertidur di tempat tidur pasien. Naruto tahu siapa Hinata. Dia seorang dokter anak. Usia mereka sama. Tentulah itu dilirik dari catatan profilnya. Dirinya sungguh mengagumi niat dokter ini. Tapi, Naruto hanya bertemu dua kali, tentunya. Belum berarti dia suka, bukan? Mereka Cuma dokter dan anak pasien saja.
"Ng..." Hinata menggeliat. Dia menekan dahinya, menoleh kanan kiri. "Aku di mana?"
"Kamu berada di ruang kerjamu. Tadi aku meminta suster rumah sakit untuk mencarikan tempat istirahat bagimu. Suster itu malah meminta aku datang ke ruang kerjamu saja," sahut Naruto meletakkan dokumen profil itu ke meja gadis bersurai biru. Urat malu kembali keluar di pipi kembung Hinata. Naruto menggaruk kepala bingung karena melihat pemandangan Hinata bersemu merah, "ka-kamu tidak apa-apa."
"Eh? I-iya..." Hinata mengetuk-ngetuk jarinya. Dia menunduk malu-malu.
"Baguslah. Kalau begitu aku pamit. Aku sudah mengantarmu sampai ke sini." Naruto tersenyum kembali membuat rona merah Hinata. Sebelum Naruto berbalik, dia menolehkan senyuman wajahnya. "Aku belum tahu namamu?"
Hinata jantungnya hampir berhenti. Dia menghirup napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya. "Na-namaku Hyuuga Hinata. Se-senang berkenalan denganmu."
"Senang berkenalan denganmu juga, Hinata-chan."
Kembali merona. Naruto tertawa sambil memperlihatkan giginya yang putih. Dia berbalik badan dan menutup pintu. Hinata pingsan dan membayangkan hari-hari di mana semua terlihat indah di matanya. Bertemu Uzumaki Naruto di rumah sakit membuat degup jantung berhenti. Dia menekan dadanya dan mendengar gemuruh detak jantungnya.
"Naruto... Naruto-kun..."
Di kamar rawat inap, pria berbadan tegap menyilangkan tangan sambil memasang wajah serius kepada Uzumaki Kushina. Dia menyipitkan mata dan menghela napas. Tentu dia tahu siapa yang ada di hadapannya, Kushina. Dia menangis karena barang-barangnya di sita oleh kepala rumah sakit sekaligus teman terbaiknya waktu semasa kanak-kanak.
"Kamu pelit sekali, Hiashi! Aku merasa kamu terlalu membuat aku jadi begini. Aku bosaaaan!" teriak Kushina memukul tempat tidur. Dia terlihat kesal karena barang-barang yang kemarin diminta sekarang dikembalikan ke tempat semula. Kushina mengerucutkan bibir kesal pada apa yang terjadi. Tadi adalah awalnya di mana Kushina tidak mendengar suara langkah kaki menuju kamarnya. Dia kira itu suster, tapi itu adalah kepala rumah sakit Konoha, Hyuuga Hiashi sekaligus sahabat sejak kecilnya. "Kembalikan mainaaaanku!"
"Tidak bisa! Seorang pasien tetap saja seorang pasien seharusnya tidak boleh berkutat pada mainan. Kamu itu..." hela napas sesaat melihat keras kepala sahabatnya ini. "Ini demi kepentinganmu sendiri. Kamu tidak mau kan, Naruto dan Gaara melihatmu bermain padahal kamu sedang sekarat. Kalau begini jadinya aku tidak bisa menolongmu lebih banyak lagi, Kushina."
"Yaaah..." Kushina melemaskan badannya. Dia tertunduk malu dan menyerah. Demi Tuhan, Kushina tidak mau pergi sekarang. Saat ini dia lagi mencarikan jodoh buat Naruto. Karena ketentuan demi permintaan Uzumaki Minato.
"Bagaimana dengan perjodohan itu?" tanya Hiashi menolehkan wajahnya kepada suster-suster yang membawa barang-barang berupa mainan. Hiashi menatap Kushina tajam. "Apa kamu menemukan orang terbaik bagi Naruto?"
Kushina memposisikan duduknya dengan nyaman, menopang dagu di sisi tempat tidur. "Aku belum menemukan tipe yang tepat. Seandainya saja kamu memberikan Hinata kepadaku, aku bisa menyelesaikannya."
"Kita tidak bisa menyatukan mereka jika tidak ada rasa cinta. Tapi, kamu malah memberikan siasat itu dan menyuruh anak kecil seperti Gaara. Bisa-bisa anak itu salah memilih calon buat Naruto," tegur Hiashi duduk di ujung sana sambil bersilang tangan. Kushina mengedikkan bahu, tidak mau tahu. "Sifatmu belum berubah, Kushina. Terlihat belum dewasa."
"Permintaanku padamu belum terpenuhi, Hiashi. Istrimu dulu mengatakan padaku bahwa kelak anakku dan anakmu akan menjadi pasangan. Tapi, itu semua sepertinya belum tercapai, ya," sela Kushina membayangkan di mana dulu dia memperkenalkan Naruto kecil dan Hinata sebelum Gaara lahir. Waktu itu usia Naruto tujuh tahun. Berarti telah berlalu sepuluh tahun silam. Usia senja bagi anak-anak yang tidak tahu apa itu pertunangan. "Kenapa kamu tidak menyetujuinya?"
"Mereka belum berkenalan waktu itu, Kushina. Mereka Cuma berkenalan saja, tidak lebih." Hiashi menghela napas. Teringat sesaat waktu itu, perkenalan Hinata dan Naruto berselang sebentar. Akibat istrinya sakit parah dan dilarikan ke rumah sakit. Berkat itulah, Hiashi pindah kota dan tidak ada kabar. Niat mempertunangkan mereka batal gara-gara terlalu frustasi karena ditinggal istri tercinta. "Bagaimana kalau kita kembali menentukannya?"
"Tentukan apa?" tanya balik. Kushina duduk biasa sambil menatap serius Hiashi. Sebelum bertanya lagi, suara pintu terbuka dan memperlihatkan pemuda berambut kuning keemasan masuk memasang wajah senang. "Naruto?"
"Ah, ibu. Ibu sudah sehat sekarang?" Naruto bertanya balik. Dilihat Kushina duduk nyaman tanpa ada raut muka kesakitan. Ini membuat Naruto sangat senang sekali. Dihampiri Kushina dan memeluknya erat. "Jadi, kita bisa pulang dong."
"Eeeh?!" syok Kushina terkejut. Niatnya belum rampung kok malah jadi begini. Inilah bikin dia jadi bete sendiri. Sudah Minato tidak ada, dia pun jadi termakan omongan sendiri. Siapa suruh berpura-pura sakit. Kushina sembari mengingat kata-kata Minato mengingat Naruto baru dulu berusia tujuh tahun. Dia mengingat Naruto ikut kakeknya ke luar negeri untuk mengejar pembelajaran sambil mengelilingi dunia. Umur Naruto menjelang sepuluh tahun. Kushina hamil Gaara dua bulan. Minato meninggal dunia pada waktu Naruto berusia sembilan tahun. Beda waktu singkat saja.
"Kapan kita pulang, dokter?" Naruto melepaskan pelukannya dari sang ibu dan menatap dokter. Lirikan Kushina meminta seminggu kepada Hiashi. Deru napas terlihat di bibirnya. Biar bagaimana pun Hiashi ikut andil dalam masalah ini. "Dokter?"
"Maaf, Naruto. Ibumu masih butuh seminggu di sini," akhirnya terucap sudah perkataan Hiashi. Toh, dia berniat menanggungnya. Seandainya masalah dan permintaan ayah Naruto dan istrinya dikabulkan. "Lebih baik biarkan dia beristirahat sejenak."
"Baiklah." Naruto berbalik menoleh pada ibunya. Diambil kedua tangan Kushina dan mencium punggung tangannya. "Ibu, aku izinkan ibu selama seminggu di sini. Ibu tidak apa-apa, 'kan?"
"Tidak apa-apa, anakku." Kushina juga mencium punggung tangan Naruto. Saling membalas. Tersenyum paksa. "Ibu ingin beristirahat sebentar. Bolehkah kamu meninggalkan ibu sebentar dengan dokter?"
"Baik, ibu."
Naruto membaringkan tubuh Kushina dan menyelimuti tubuhnya sampai ke dada. Dia berputar badan dan tersenyum sedih. Dilirik Hiashi dan mengangguk sekilas. Rasanya Naruto pernah bertemu dengannya, tapi di mana? Pikiran itu ditepis seolah-olah hanya tumbal balik saja. Wajahnya sangat mirip dengan tadi. Apa ini memang sengaja ataukah... ditepis lagi pemikiran itu. Naruto keluar dan tidak berpikir apa-apa lagi.
Hiashi melirik pintu tertutup itu, menolehkan kedua mata peraknya memandang Kushina menghela napas. "Inikah keinginanmu? Membohongi anak-anakmu? Kita lihat seminggu. Seperti apa jodoh pilihan Gaara. Kalau cocok denganku dan dirimu, aku setuju saja. Kalau tidak, aku bersedia menyerahkan Hinata-ku."
"Yeaay!" sorak Kushina berseru. Senang sekali hatinya mengingat itu. Hiashi menggeleng saja mendengar kata kekanakan Kushina. Pertama kalinya Kushina sesenang ini. Kegembiraannya hilang saat Minato dan Naruto pergi. Sekarang dia bisa tersenyum lagi.
"Senang melihatmu gembira, Kushina. Aku senang."
Keduanya tertawa gembira di kamar ruang rawat. Di luar Gaara termenung mencari cara buat besok dan besoknya lagi sampai seminggu. Kalau tidak dapat, apa ibunya bakal meninggal? Padahal dilihatnya tadi dia bermain-main. Sangat parah deh. Begini jadinya bikin perasaan tidak enak. "Oke, besok akan jadi hari pertama dalam pencarianku. Aku akan pergi ke tempat kerja kakak. Menyebalkan."
Hari pertama:
Di rumah keluarga Uzumaki, Naruto mempersiapkan sarapan buat dirinya dan adiknya. Dia juga bersiap-siap berangkat ke tempat kerja. Mumpung hari sedang cerah dan bikin suasana jadi hangat. Diletakkan roti dan susu putih di atas meja. Menunggu datangnya sang adik, Naruto duduk di sebelahnya. Terdengar suara pintu tertutup, Naruto mengatur posisi duduknya. Naruto memandang sang adik telah siap lengkap dengan pakaiannya.
"Selamat pagi, Gaara," sapa Naruto tersenyum. Gaara memasang senyum kecil kemudian berwajah datar lagi. "Ini roti keju kesukaanmu dan susu putih rasa vanilla."
"Terima kasih, kak Naruto."
"Hari ini aku akan mengantarmu ke sekolah, lalu aku ke tempat kerjaku." Naruto menyuap sepotong roti cokelat dan meminum susunya selahap mungkin. "Nah, ayo kita berangkat."
"Hari ini aku tidak ada sekolah." Ajakan Naruto berhenti, ditatap anak laki-laki bersurai merah itu. "Bolehkah aku ikut kakak ke tempat kerja? Aku takut sendirian di rumah."
"Hmm..." Tas Naruto yang digandengnya diturunkan. Memikir ulang. "Boleh saja. Asalkan kamu tidak macam-macam."
Gaara berputar arah, tersenyum senang. "Benarkah? Terima kasih, kak Naruto." Gaara memeluk Naruto, dia juga balas. Gaara sengaja ikut supaya menjaga kakaknya dari serangan para perempuan. Tapi... di sinilah dia sekarang duduk kesal setengah mati karena perempuan-perempuan ini mencubit pipinya seenaknya. Coba tahu dari awal bukan kak Naruto yang diincar, aku tidak ikut dari tadi. Cih!
"Lucu sekali adikmu, Naruto," kata Tenten terus mencubit kedua pipinya. Gaara tidak membantah takut dibilang anak tidak tahu diri. Gadis bercempol dua kagum pada anak yang dibawa Naruto. Mereka kerja berbarengan sebagai penjaga toko di mini market. Berkat Gaara, pengunjung mini market mereka banyak dan hasil yang didapat pun meningkat. "Besok bawa Gaara lagi. Bos sangat senang tuh."
Dipandang orang di sudut sana sedang berbenah mengatur barang-barang yang habis dibeli oleh para pengunjung. Gaara kesal dalam hati. Mulai besok dia tidak akan datang. Tapi, Gaara meneliti gadis di depannya ini beda dengan dirinya suka sama gadis berambut biru panjang kemarin. Gadis ini ceria, tapi juga bodoh. Manis sih manis, hanya... suka banget cubit pipi orang tanpa minta persetujuan. Begini-begini Gaara malas pada semuanya.
"Sepertinya adikku itu kesal denganmu, Tenten." Naruto menarik tangan Tenten dari pipi Gaara. Pipi Gaara berubah merah karena ditindas melulu. Dia memegang pipinya yang merah. Naruto jadi kasihan. Naruto memberikan obat salep di pipi merah Gaara. "Maafkan kak Tenten, Gaara. Dia baru pertama kali lihat anak kecil."
Pertama kali? Apa benar pertama kali? Sepertinya tidak? Lihat saja wajahnya gembira terus ingin sekali mencubit pipiku sekali lagi. Ingin rasanya pulang, batin Gaara menahan amukan di dalam dirinya. Sudah lima jam Gaara duduk di sini tidak melakukan apa-apa. Hanya memandang sekeliling, pengunjung keluar masuk, kakaknya sedang bekerja dan si gadis satu ini terus-terusan mencubit hingga pipinya jadi sakit.
Diintip wajah kakaknya tersenyum memberikan olesan anti sakit ke pipi Gaara. Dirinya harus cepat pulang, dia sudah tidak kuat di dalam neraka seperti ini. Bisa-bisa mati mendadak. Memikirkan cara dan mendapatkan hasil terbaik. Ditutup mata hijaunya dan menatap Naruto. Kelopak mata tadinya datar berubah berkilauan seperti kucing minta susu, "kak Naruto, aku ingin pulang. Aku capek."
Merasakan hatinya ditekan oleh seorang anak kecil, Naruto menyanggupi permintaannya. Seperti sihir seolah-olah menerkam mangsa. Gaara menyeringai licik. Naruto bangkit dan menatap bosnya yang sedang bersih-bersih. "Bos, apa boleh aku pulang?"
"Ah, iya. Pulanglah. Biar Tenten yang urusi semuanya."
"Terima kasih."
"Mau pulang? Kenapa tidak berlama-lama saja di sini sampai malam?" tanya Tenten kecewa. Naruto melepas pakaian dan berubah jadi pakaian biasa. Digamit tangan Gaara menuju pintu keluar. Sebelum pergi, Tenten menangkap tangan Gaara sebelahnya. "Boleh tidak aku cium pipi kamu?"
Dimonyongkan bibirnya, Tenten mencium pipi Gaara. Sebelum hal itu terjadi, Gaara menarik tangan sang kakak keluar dari mini market. Gaara tentu tahu bahwa napas Tenten itu bau ikan. Belum gosok gigi. Amit-amit deh kalau dicium begitu. Mendingan di cium ibu kandung sendiri daripada pegawai toko baru dikenalnya.
"Sedang apa kamu di situ?" Tenten membuka mata dan didepan tidak ada Gaara. Syok berat, tertunduk malu. "Jangan murung di situ. Ganggu orang lewat saja."
"Baik, bos."
Naruto keluar dari mini market bersama Gaara. Saat mau menyebrangi jalan, Naruto terkejut ada sebuah gambar. Terlintas suatu pikiran untuk memberikannya pada seorang gadis. Hatinya senang. Dia melihat Gaara, "Gaara, kakak mau pergi sebentar. Kamu tunggu dulu di sini." Akhirnya Naruto meninggalkan Gaara. Sebentar saja Naruto balik sambil menggenggam sebuah lukisan pajangan. Gaara tidak mau tahu dan tidak peduli. Pemikirannya sekarang adalah PULANG!
Naruto mengirimkan lukisan ini kepada gadis dokter itu lewat para suster resepsionis. Naruto berkata pada mereka, "tolong diserahkan kepada nona Hyuuga Hinata. Jangan bilang dari saya, suster."
"Baik."
Naruto pergi menyusul Gaara di ujung sana. Baru setengah jalan, Hinata terlihat. Dia menyapa para resepsionis, mereka membalasnya.
"Ini dari seseorang, dokter. Sebuah lukisan anak-anak," sergah suster memberikan sebuah lukisan anak-anak sedang bermain. Hinata takjub pada lukisan itu dan berterima kasih. Hinata tidak mempertanyakan nama pengirimnya.
Hari kedua:
Boleh saja pergi ke tempat bagus yaitu taman bermain. Kenapa malah ke tempat kebun binatang? Gaara tahu kenapa Naruto suka berganti dan mencari pekerjaan dari pekerjaan lama ke pekerjaan baru. Itu demi membayar pembayaran rumah sakit Kushina. Bukankah sudah ada uang dari sang kakek di luar negeri? Kenapa masih...
"Gaara, mulai sekarang kamu akrab dengan anak Panda ini. Ya?" Naruto mengusap rambut merah Gaara. Gaara terpaku belum pernah masuk ke tempat seekor Panda. Warna hitam putih itu mirip dengan matanya. Semua teman-temannya menganggap dia mirip Panda karena matanya. Tapi, tidak mungkin dia keturunan Panda, 'kan?
"Halo, Panda," sapa Gaara sambil memberikan makanan kesukaan Panda kecil. "Apa kamu tahu seperti apa tipe kesukaan kak Naruto?" Panda itu sepertinya mengerti arah pembicaraan Gaara, menggeleng saja. "Aku ingin sekali semuanya berakhir."
"Mbiiik?"
"Kamu tidak mengerti, sepertinya."
"Naruto! Kamu sudah pulang, ya?" seru suara perempuan di luar sana sembari memeluk Naruto dan mencium pipi kiri dan pipi kanan. "Aku jadi kangen."
Gaara menoleh memandangi sosok yang berjenis kelamin perempuan tengah memeluk Naruto. Gaara berlari keluar diikuti anak Panda di belakangnya. Dia tidak suka ada perempuan memeluk kakaknya tanpa seizin dirinya. Mumpung di kebun binatang, Gaara mencari sesuatu. Ada kotoran Panda dan itu bisa dimanfaatkan.
"Sudah lama sekali tidak bertemu denganmu, Shion," sahut Naruto bercengkrama dengan gadis berambut pirang. Gadis ini dari dulu menyukai Naruto, tapi karena Naruto keburu pergi ke luar negeri. Shion pupus harapan. Sekarang Naruto balik dan Shion akan menyatakan cinta.
"Naruto, aku ingin..."
"Naruto! Bisakah kamu menolong kami? Kami butuh bantuanmu!" seru teman kerja Naruto. Dia meminta bantuan Naruto membersihkan kandang kambing di seberang sana. Naruto meminta maaf pada Shion dan berlari secepat kilat.
"Aku segera ke sana!"
Shion cemberut, menyilang tangan di depan dada, menendang sesuatu di dekatnya. Dia tidak tahu kalau Gaara melempar bongkahan kotoran Panda ke dirinya. Alhasil, Shion dilumuri kotoran Panda. "Kyaaaa! Apa-apaan ini! Tidaaaak, bajukuuuu!"
Gaara menyeringai licik dan tertawa dalam hati dengan puasnya. Sekarang dia bisa pergi dari tempat itu. Shion menghentangkan kedua kakinya, tapi karena berat berlebih. Badannya berat ke belakang. Bukannya karena berat tubuh, tapi si Panda kecil itu menarik tali tas Shion. Akhirnya Shion tersungkur ke belakang dan pantat yang mendarat pertama kali.
"Aduuuh... sakiitt," ringis Shion menyentuh pantatnya yang sakit. Shion pun bangkit dan oleng ke samping. Dia pun pergi saja dari tempat tersebut. Ini menghasilkan kegembiraan bagi Gaara mengusir gadis yang tidak seharusnya menyukai kakaknya, Naruto.
Gaara melihat panda kecil itu kemudian tersenyum senang. Gaara bertos ria dengan Panda. Sedangkan Naruto yang sedari tadi kembali tidak melihat Shion yang berdiri di sana. Padahal Naruto telah membawakan minuman buat Shion. Jadi, minuman itu diberikan pada Gaara. Gaara tersenyum puas.
Hari ini tidak ada yang membuatnya senang. Gaara berjalan santai di taman rumah sakit. Baru beberapa langkah, Gaara melihat gerobak sebuah bunga manis berwarna putih. Untunglah dia membawa banyak uang dari Naruto. Jadi, dia bisa membelikan buat ibunya dan gadis dokter itu. Bukan memakai namanya, tapi memakai nama sang kakak.
"Bang, aku beli bunga warna putih ini satu dan bunga mawar ini, ya?" Penjaga toko mengambilkan bunga-bunga pilihan Gaara. Dibungkus sangat rapi. Setelah dibungkus, Gaara berikan uang sebagai bayarannya. Diambil bunga itu dan dihirup. Wangi. Kakak itu dan ibu pasti senang. Gaara menuju kamar ibunya, tapi sebelum itu Gaara mampir dulu ke resepsionis.
"Ada yang bisa kami bantu, dek?" tanya suster tersenyum ramah.
"Aku ingin berikan ini pada kakak dokter. Namanya Hyuuga Hinata." Gaara menyerahkan bunga warna putih sebagai tanda perkenalan. Suster menerimanya dengan senang hati. "Bilang padanya, ini dari Uzumaki Naruto."
"Baiklah, adik kecil."
Gaara berterima kasih dan pergi meninggalkan resepsionis tersebut. Kembali menuju kamar rawat ibunya. Sejak Gaara pergi, muncullah Hinata bersama adik kecil di sampingnya.
"Adik kecil, sekarang kakak temani kamu di sini saja. Suster ini yang akan menemanimu masuk kamarmu."
"Terima kasih, kak Hinata."
"Dokter Hyuuga, ada seorang anak laki-laki ini buat Anda." Suster memberikan bunga Lily warna putih kepada Hinata. Wangi harum bunga tersebut menusuk hidungnya, tapi tidak membuat pesona bunga ini hilang. "Katanya dari Uzumaki Naruto."
"Eh? Dari Naruto-kun?" Senyum Hinata menghiasi wajah cantiknya. "Terima kasih, ya."
Di seberang sana, Naruto kecewa lantaran Hinata telah mendapat pemberian dari seorang laki-laki tidak diketahui namanya. Dia membawa bunga, tapi bunga itu malang nasibnya. Bunga putih Lily itu dibuang ke tempat sampah. Seolah-olah itu tidak ada gunanya lagi. Padahal bunga itu sebagai perwujudan rasa terima kasihnya telah merawat ibunya selagi dia tidak ada di sini. Namun, itu bukanlah terbaik baginya. Besok dia Cuma diam saja.
Hari ketiga:
Gaara menemani Naruto ke tempat bacaan. Di sana serba ada. Tidak ada satu pun buku terkeren. Di sini mereka mencari buku-buku pelajaran buat Gaara. Mereka berdua berselisih jalan. Gaara di bagian buku-bukunya sedangkan Naruto di bagian novel untuk mencari jodoh. Baru beberapa menit, Gaara menemukan buku yang menarik perhatiannya. Cara menaklukan hati perempuan.
Hmm... buku ini cocok buat kak Naruto. Sepertinya bagus. Gaara mengambil buku tersebut, tapi tertahan oleh sebuah tangan aneh. Siapa lagi ini?
"Hei, adik kecil. Itu milikku. Aku melihatnya tadi," ucap seorang laki-laki berkulit putih pucat berambut hitam klimis. Senyumannya seperti terpaksa membuat Gaara mengeryit kesal. Gaara menyerah dan memberikan buku itu.
"Gaara, apa bukumu sudah kamu temukan?" tanya Naruto berjalan menghampiri Gaara kecil. Kaget tiba-tiba karena ada seorang pemuda sedang tersenyum ke arahnya. "Sai!? Apa kabar?"
"Baik, Naruto. Berapa lama ya kita tidak bertemu?" tanya laki-laki diketahui bernama Sai. Gaara berjalan mendekati Naruto. Di sadari oleh Sai. "Inikah adikmu yang kamu bilang itu?"
"Iya. Namanya Gaara, Uzumaki Gaara."
"Namaku Sai. Wajahmu mirip sekali dengan kakekmu dan Naruto. Aku jadi pangling," ejek Sai bercanda pada Gaara. Gaara terdiam saja apalagi di sini tempat umum, tidak mungkin dia marah karena ejekkan seseorang. "Bagaimana soal pertunanganmu dengan dia?"
Pertunangan? Tunangan? Siapa yang bertunangan? Apa ini tertuju pada Naruto? Gaara 'kan belum mencari jodoh yang baik buat Naruto. Hari ketiga ini bikin kepala jadi pusing. Seandainya waktu bisa berlalu dan mendapatkan hasilnya, semuanya tidak menjadi seperti ini. Sial!
To be continued...
.o.X.X.o.
A/N: Berniat banget buat 7000 words, tapi tidak jadi. Berniat mau buat one shot, tapi tidak jadi juga. Jadi, two shot saja deh. Karena di dalam cerita ini ada dua atau tiga tokoh termasuk Gaara di dalamnya, saya buat yang menyenangkan saja. Two shot deh. Lusa juga sudah jadi dan update. Saya lagi malas update fic multichapter yang masih bergelantungan di bawah sana. Jadi, mohon maaf. Karena kesibukan saya, saya jarang update. Pertengahan bulan ini, saya benar-benar update sesuai yang diharapkan. Hehe...
Ini fic buat Raldicha Noor Diputra dan Fu-chan NHLKeepstright (apa namanya sudah betul, ya?). Itu saja deh. Mumpung belum waktunya. Maaf, ya... kesibukan bulan ini membuat saya tidak bisa berpikir apa-apa. Tunggu chapter selanjutnya.
From me,
Sunny Blue February
Date: Makassar, 11 April 2013
