Ansatsu Kyoshitsu © Matsui Yuusei

.

Warn : OOC, Typo(s), EyD tidak sempurna, de el el.

.

Happy reading!

.

.

.

Rude

Okano Hinata itu gadis yang kasar.

Sebenarnya tidak. Ia adalah gadis ramah dan ceria, ia juga peduli dengan teman-temannya. Meski paling pendek, tapi ia gadis yang paling lincah.

Hanya saja untuk Maehara gadis itu adalah gadis yang kasar. Khusus hanya untuk pemuda cassanova itu.

"Kau itu sebenarnya gadis atau bukan sih?"

"Apa kau buta Maehara? Jelas sekali aku memakai rok, tentu aku seorang gadis!"

Maehara mendengus. "Tidak ada gadis yang dengan mudahnya mengangkat kaki mereka untuk menendang seseorang dan membuat celana dalamnya kelihatan."

Blush!

Okano memerah mendengarnya. "Ba-baka! Maehara baka!"

Okano berlalu dari sana dengan pipi yang masih bersemu.

Maehara terbelalak dengan mulut yang menganga. Ia cukup terkejut dengan reaksi Okano. Ia tersenyum senang.

"Manis," gumamnya.

.

Adorable

Okano Hinata itu gadis enerjik. Gerakannya sangat lincah dan ia ceroboh.

Maehara sering memergokinya.

"Okano, kancing bajuku lepas satu."

"Eh? Benarkah? Bagian mana?" Ia mengecek sendiri setiap kancing di seragam atasnya.

"Bagian dada," celutuk Maehara. "Biru muda ya?"

Okano langsung menutup dadanya menggunakan dua tangannya. Ia menatap Maehara tajam.

"Hentai!"

"Harusnya kau berterima kasih padaku karena hanya aku yang melihatnya. Ayo, ucapkan terima kasih."

"Tidak ada gadis yang berterima kasih setelah diintip oleh playboy mesum sepertimu."

"Are? Kau bersemu Okano. Wajahmu merah lho... kau malu ya? Atau senang karena kuintip?" goda Maehara. Pemuda itu tersenyum jahil.

"Kau bodoh Maehara! Aku ini marah! Sangat marah karena kau melihat bagian pribadiku! Aku kesal sekali denganmu!" Gadis itu memaki dengan wajah yang semakin merah.

Okano pergi dengan menutupi wajahnya menggunakan kedua tangan. Ia juga berkali-kali menyelipkan anak rambutnya ke belakang atau merapikan poninya.

Maehara tersenyum simpul melihat itu semua.

"Ya ampun, Okano kau menggemaskan sekali. Rasanya aku ingin memelukmu."

.

Nonsense

"Okano, mau jadi kekasihku?"

"Tidak! Tentu saja tidak!"

"Ayolah, kau bisa beruntung lho menjadi pasangan seseorang setampan aku."

Okano menggeleng keras.

"Ayolah, aku kan banyak kelebihannya. Aku tampan, populer, tinggi, baik, romantis, apa kurangnya? Tidak ada kan?"

"Lalu?"

"Mau jadi pacarku Hinata-chan?"

Okano bergidik nama kecilnya dipanggil dengan embel-embel chan.

"Tidak."

"Ayolah... kau hanya perlu bilang iya, maka kau akan berbahagia."

Okano menghela nafas lelah. "Maehara, kau itu meminta seseorang menjadi kekasihmu atau sedang menawarkan barang? Kau itu pemaksaan sekali, melebihi sales."

Okano berniat meninggalkannya, tapi Maehara menahan lengannya.

"Apa lagi?"

"Jika kau menerimaku, aku berjanji akan berubah. Aku akan jadi seperti yang kau inginkan."

Okano tersenyum miring. "Maehara semua yang kau katakan itu mustahil. Hanya omong kosong. Omong kosong."

Okano sangat menekankannya.

"Aku tidak akan menerimamu. Lagian kau tadi hanya bercanda kan?"

Maehara menghela nafas panjang dengan lelah. "Yang omong kosong itu kau Okano. Akan kubuat kau menerimaku. Suatu hari nanti."

Maehara tersenyum dengan percaya diri.

Deep

Maehara memikirkan sikap-sikap Okano padanya. Pemuda itu heran dengan perubahan bermacam-macam sikap gadis itu padanya.

Terkadang Okano perhatian saat ia sedang terluka. Kadang juga gadis itu malu-malu saat ia menggodanya. Dan yang paling sering adalah Okano yang bersikap kasar padanya.

Maehara bingung dengan semua itu. Tapi ia sudah menyimpulkan sesuatu.

Okano memiliki perasaan yang dalam padanya.

Maehara tersenyum sambil memperhatikan gadis yang duduk di sampingnya. Kepala jingganya ia letakkan di atas meja tanpa mengalihkan pandangannya dari Okano.

"Ssst, Okano." Ia berbisik.

Okano menoleh dengan malas. Mereka sedang ada kuis dadakan dari Koro-sensei dan ia sedang kesulitan mengerjakannya tapi Maehara malah mengganggu.

Ia melotot dengan artian ada apa?

"Kau menyukaiku ya?"

Plak!

Okano memukul kepala Maehara menggunakan kotak pensilnya.

"Ada apa Okano-san?" tanya Koro-sensei.

"Ah, maaf. Tadi ada nyamuk di kepala Maehara."

"Jangan membuat keributan lagi."

"Baik sensei," jawabnya.

Maehara tersenyum geli melihatnya. Ia memanggil gadis itu lagi. "Kau menyukaiku kan?"

Kali ini Okano tidak menjawabnya. Ia hanya terus berusaha fokus pada kertas soal di hadapannya.

Maehara mengulas senyum melihat wajah memerah Okano.

Yappari, dia memang memiliki perasaan yang dalam padaku.

.

Opinion

Maehara meletakkan kepalanya di atas meja. Ia menerawang sambil melihat ke papan tulis. Pikirkan pemuda itu sama sekali tidak berada di sana.

Okano Hinata lewat di depannya, cuek. Sama sekali tidak menyala atau memperhatikan Maehara yang lebih kalem dari biasanya.

"Okano."

Sayangnya hal itu hanya bisa dilakukan oleh Okano Hinata seorang. Karena Maehara akan langsung bereaksi setiap melihatnya atau mendengar nama gadis itu disebut.

Okano mendadak berhenti dengan sangat enggan. "Apa?"

"Aku sudah mengerti kenapa kau marah setiap kali aku memanggilmu monyet gunung. Aku sudah memahami alasan kemarahanmu, jadi maafkan aku," ujar Maehara.

Okano mengerutkan kening. "Memangnya apa alasanmu marah padamu?" tanya Okano mengetes apakah Maehara benar-benar sudah mengerti letak kesalahannya.

"Menurut pendapatku, kau marah dipanggil dengan sebutan monyet gunung adalah karena kau tidak menyukainya."

Okano manggut-manggut. "Oh begitu," responsnya datar.

"Tapi tenang saja. Karena kau tidak menyukai panggilan itu aku sudah menemukan panggilan lain untukmu. Mungkin kau akan menyukainya."

"Apa?"

"Honey, sweety, baby, mana yang jauh lebih kau sukai?"

Okano menyesal sudah bertanya. "Silakan berkhayal dengan pendapatmu Maehara. Kau memanggilku Okano saja aku sudah sangat mensyukurinya."

"Begitu ya. Bagaimana dengan Okano honey, Okano sweety, Okano baby."

Untuk kedua kalinya Okano menyesali berbicara pada Maehara. Apalagi memberi saran padanya.

Pendapat Maehara tentang panggilan untuknya itu nyeleneh.

.

Mystery

Maehara mengacak rambutnya frustasi. Sejak pagi hingga jam kosong di jam keenam ini ia habiskan dengan memikirkan hal paling berat yang dialaminya—mengesampingkan fakta lain bahwa ia harus menyelamatkan bumi.

Yaitu tentang perasaan Okano padanya. Itu merupakan misteri terbesar dalam hidupnya.

Maehara bingung.

Sikap Okano kadang membuatnya melambungkan harapan, ia selalu optimis saat melihat gadis itu merespons semua yang diperbuatnya. Entah itu berupa ejekan, pujian, atau hanya basa-basi belaka, Okano pasti membalasnya.

Itu cukup sebagai tanda baginya.

Hanya saja setelah ia mengacaukan rencana Okano memberinya cokelat hari itu, harapannya langsung hangus. Meski Okano sudah tahu perasaannya yang sebenarnya gadis itu tetap bersikap seperti biasanya.

"Aaaah!"

Maehara menoleh ke sampingnya, ke meja Okano. Pemuda itu berharap sang pujaan hati akan memalingkan muka dan bertanya ada apa dengan wajah kusutnya dengan penuh perhatian.

Tapi itu hanya ada di benak seorang Maehara Hiroto.

"Okano."

Tidak ada sahutan.

"Hinata."

Masih sama.

"Monyet gunung."

Maehara hanya mendengar gemelutuk giginya saja, kelihatannya Okano sangat kesal. Tapi gadis itu tetap tidak menoleh. Maehara frustasi, jurus terakhir dari panggilannya tidak juga mempan.

"Okano-san." Kali ini lebih sopan.

Tetap saja Okano tidak bergeming.

Maehara mengambil nafas dalam-dalam. "OKANO HINATA, SEBENARNYA BAGAIMANA PERASAANMU PADAKU?!"

Maehara kalap. Ia berteriak sangat kencang. Teman-teman sekelas menoleh padanya secara serentak.

"Maehara baka!" seru gadis itu membalas. "Apa yang kau lakukan?! Jika ingin menggila jangan bawa-bawa namaku."

Maehara malah nyengir. "Akhirnya kau menyahutiku juga. Senangnya."

"Maehara bodoh! Kau menyebalkan, sangat mengganggu!" Okano keluar kelas dengan dalih pergi ke kamar mandi.

Maehara tidak merasa lebih baik. Ia seperti orang putus asa. Perasan Okano padanya adalah sebuah misteri baginya dan merupakan kasus besar yang harus Maehara selesaikan.

.

.

.

Owari

.

.

.