Disclaimer: All characters belong to Hajime Isayama. But this story purely mine. I don't take any material profit from this work. It's just because I love it.

Warning: headcanon, miss typo(s), and other stuffs.

Note: untuk farlan, isabel; the unforgettable persons.


nanti

.


Di setiap kematian, selalu ada penyesalan.

Farlan mungkin merasakan itu, ketika tubuhnya hampir mati rasa. Ketika telinganya berdengung dan hanya ada bunyi monotonis.

Farlan lalu mengingat mata itu. Mata tajam penuh ekspresif. Penuh humorisme dan uar-uar kompulsif.

Mata milik satu-satunya gadis yang mampu merenggut ruang di dadanya. Isabel.

Kalau saja tahu bagaimana akhirnya, Farlan akan jauh menata setiap kalimat yang ia uar pada Isabel. Kepada setiap kata kasar yang ia ucap, ejekan-ejekan penuh sarkasme berbuah cengiran penyesalan, dan caranya memandang kepada mata penuh gemintang itu.

Ia mengenal Isabel terlampau lama, terlampau akrab, terlampau saru akan perasaan yang selama ini ia lesap. Ia mengenal Isabel sebagaimana ia mengenal kehidupannya, di antara makhluk-makhluk kotor yang tak lebih baik dari mereka. Terlampau paham bahwa Isabel terlalu lemah pada hitungan angka-angka, yang kemudian menjadi bahan ejekan, menjadi materi adu mulut hingga Levi mengetuk dua kepala bebal ini.

Tapi, hanya itu.

Hanya itu yang mampu Farlan lakukan pada Isabel.

Tak ada kata halus dan senyum-senyum penuh gula. Ia bukan Levi yang mampu bertindak sebagai aniki di antara waktu-waktu yang berputar. Ia bukan Levi yang mampu mengontrol Isabel dalam satu dua kata. Farlan hanya partner yang kemudian punya keintiman relasi tanpa rencana-rencana di masa lalu.

Maka, Farlan hanya mampu melesap ujar ini dalam hati. Hingga ia pergi. Hingga mereka pergi.

Hingga di akhir hidupnya, bahkan Farlan tak diberi kesempatan untuk menatap dalam kepada mata itu.

Matamu sehijau daun-daun di masa persemiannya, Isabel. Mereka sebebas hutan tropis. Terlampau alami dan memberi nyaman-nyaman secara tak disadari. Di kala terpejam, mereka bersembunyi bagai matahari di malam hari. Terima kasih sudah menatapku. Terima kasih sudah memandangku begitu lama.

Maka di masa yang akan datang—jikalau reinkarnasi dan sejenisnya benar-benar ada, Farlan memantapkan hati akan berkata pada Isabel tentang matanya. Tentang senyumnya. Tentang rambut merahnya yang dikuncir dua.

Dan tentang hatinya.

Hatinya yang selalu—dan selalu, tertaut padanya.

.

.

(end.)