Akhirnya berani publish juga.
Biasanya buat tapi nggak pernah dipublish. Nggak pede. Jadi, ini mungkin debut fanficku di dunia maya. Mohon bantuannya ya senior-senior :)
Between Fire and Ice
= Satu =
Segalanya selalu berjalan dengan mulus. Tenang. Sempurna dengan senyuman menawan dan tawa ceria.
"Sakura, maaf aku pulang terlambat hari ini. Kau bisa pulang duluan?"
Mata hijau yang tampak lelah itu hanya berkedip kemudian kepalanya mengangguk perlahan.
"Hm. Aku akan pulang bersama Ino dan yang lain. Sasuke-kun tidak perlu kuatir. Kalau begitu aku pulang duluan," gadis berambut merah muda itu menjawabnya dengan ceria.
"Hnn. Hati-hati!" Sasuke menyunggingkan senyuman samar dan dibalas dengan senyuman lebar Sakura yang kemudian melambai dan berbalik meninggalkannya. Sasuke menatap rambut merah muda itu perlahan menghilang di tangga baru ia berbalik.
"Cih! Mesra sekali suami-istri ini!" Sasuke tidak menghiraukan sindiran yang keluar dari sahabat berambut pirangnya yang setengah mengintip dari atas tangga. Ia hanya melengos dan meninggalkannya menuju ruang sekertariat OSIS. Rapat akan segera dimulai dan ia harus hadir tepat waktu atau sekertarisnya yang cerewet akan mengomelinya.
Sejak ia menjabat posisi sebagai ketua OSIS waktunya bersama Sakura semakin berkurang. Ah, sebenarnya ia tidak bisa menyalahkannya sepenuhnya pada posisinya. Hubungan mereka memang semakin merenggang sejak SMU. Sakura semakin sibuk mempersiapkan dirinya masuk ke sekolah kedokteran dan ia selalu menghabiskan waktu senggangnya di rumah sakit. Rumah sakit milik keluarganya.
Semakin lama Sasuke dan Sakura semakin mempertanyakan, apa yang akan membuat mereka berdua bertahan saat mereka menikah nanti?
Orang tua mereka menjodohkan mereka sejak masih kecil. Sasuke dan Sakura sejak dulu selalu bersama, saling menolong dan menjaga. Keberadaan satu dan yang lainnya sudah menjadi kewajaran. Dan keduanya menjadi terbiasa dengan yang lain. Mereka sama sekali tidak bisa membayangkan bagaimana kalau salah satu diantara mereka tidak ada?
Sakura memegang erat tas di bahunya dan berjalan meninggalkan halaman sekolah sendirian. Ia merasa kesepian, tetapi ingin menyendiri.
"Haaah.." Sakura menghela nafas saat menatap anak-anak kecil yang berlari sambil membawa tongkat bisbol melewatinya. Kapan terakhir kali ia berlarian seperti anak-anak itu dengan Sasuke? Saat pertama kali mengenal Sasuke, sepertinya ia tidak ingin satu hari berakhir dan tidak sabar menunggu besok untuk bertemu lagi dengannya. Dulu semuanya sangat sederhana. Sama sekali tidak terpikir suatu saat akan menemui hari-hari seperti ini.
Bosan.
Tentu saja ia menyukai Sasuke. Sangat, sangat suka. Siapapun pasti iri kalau mengetahui ia adalah tunangan Uchiha Sasuke. Sasuke juga bukan tipe laki-laki yang sengaja membuatnya sakit hati. Walaupun kadang ia menggerutu, ia pasti akan melakukan permintaan Sakura. Sakura tidak bisa meminta seseorang yang lebih baik dari Sasuke. Sasuke itu sempurna.
Hanya saja, belakangan ini ia benar-benar merasa kesepian. Dan Sasuke sepertinya semakin menjauh darinya. Bukan karena kesibukan mereka, tetapi entahlah. Mungkin Sasuke juga berpikir ingin bernafas dengan bebas sebentar tanpa Sakura.
Tanpa sadar Sakura berjalan memutar melewati bagian kota yang tidak biasa dilewatinya saat menuju rumah sakit. Deretan kafe dan toko menyibukkannya. Beberapa hari yang lalu, ia melihat ada tumpukan buku berbentuk piramid di etalase toko buku yang baru saja dilewatinya. Sebuah buku yang penulisnya mantan anggota teroris rupanya baru saja meluncurkan buku tentang kehidupannya saat masih menjadi anggota teroris. Sekarang tumpukan itu sudah digantikan oleh tumpukan buku-buku lainnya.
Akhirnya sebuah toko pakaian pria di sudut jalan mengakhiri tour Sakura diantara pertokoan. Sakura berdiri di tepi jalan menunggu lampu lalu lintas berubah warna menjadi merah. Di seberangnya Sakura melihat seorang wanita setengah baya yang memakai blazer hijau juga sedang menunggu lampu berubah warna.
Saat lampunya berubah warna Sakura dengan santai turun ke zebra cross dan menyeberangi jalan. Saat berpapasan dengan wanita itu, wanita itu menatapnya dan tersenyum padanya. Sakura hanya terkejut, dan dengan kaku membalas senyuman wanita itu.
"Siapa ya?" Sakura menginjakkan kaki di trotoar dan berbalik menatap wanita itu berjalan menjauh memunggunginya. Alisnya terangkat kemudian berkerut.
"Siaaaapa?" Sakura masih penasaran. Memangnya ia pernah bertemu di mana?
Tring!
"Ah! Mungkin seseorang dari rumah sakit," gumam Sakura tersenyum puas. Tidak mau pusing lagi mencari wajah wanita itu dari dalam ingatannya. Ia kan memang tidak bisa mengingat semua orang yang ditemuinya satu atau dua kali seumur hidup. Sakura berbalik dan melanjutkan perjalanannya.
"Konohamaru! Tunggu!"
"Ayo cepat! Lampunya sebentar lagi hijau!"
"WAAH!" Sakura dengan gesit berkelit saat tiga anak kecil berlari menerobosnya dengan terburu-buru. Sakura hampir mengeluarkan suara untuk meneriaki mereka tetapi ia merasakan tasnya menghantam sesuatu dengan keras diikuti suara mengaduh. Lalu suara sebuah benda terjatuh.
Sakura dengan cepat berbalik dan melihat seseorang yang tengah memegang dua tumpuk kardus di belakangnya. Orang beserta tumpukan itu goyah dan secara reflek Sakura langsung mengulurkan tangannya menangkap kardus yang tergelincir. Kemudian suara berdebam menggema di trotoar.
"A..aduuh.."
"Eh! Terima kasih! Maaf!"
"Maaf! Aku tidak melihat ada orang!"
Sakura buru-buru berdiri mengangkat kardus di tangannya dan menunduk dalam-dalam meminta maaf pada pria yang memegang satu lagi kardus. Keduanya saling melemparkan kata maaf karena tidak melihat ada yang sedang berdiri dibelakang mereka.
"Ah! Kau berdarah!" seru pria itu meletakkan kardus di atas kap mobil di sisi jalan. Sakura langsung melihat tangannya. Saat pria itu mengambil kardus di tangan Sakura, Sakura baru melihat buku-buku jarinya terluka. Saat melihatnya perlahan rasa perih menyengat tangan kirinya. Ia baru saja menyadari sikunya juga terluka.
"Anoo, kalau kau mau, masuklah dulu, bersihkan dulu lukamu di dalam," pria itu menawarkan. Sakura mengangkat wajahnya dan menatap pria itu. Dia tidak ingin merepotkannya.
Wajah cemas menyambut Sakura. Rambut keperakan yang berdiri melawan gaya gravitasi, alis tipis cekung di atas mata keabu-abuan yang menatap luka-lukanya dengan cemas, dan wajah tampan yang khawatir.
Apakah ia pernah melihat seseorang selain Sasuke yang buatannya begini sempurna?
"Kalau tidak cepat-cepat dibersihkan, lukamu nanti bisa infeksi," pria itu masih membujuk. Sakura masih tertegun. Ia buru-buru menunduk pura-pura memeriksa luka-lukanya. Wajahnya sudah memanas. Pria itu ada benarnya juga. Luka-lukanya memang tampak mengerikan. Kalau ia sampai di rumah sakit dengan penampilan seperti ini, Shizune pasti akan langsung mengadu pada ibunya dan pasti beritanya akan membesar dengan mengerikan saat sampai pada Sasuke nanti.
"Ya. Sepertinya begitu," Sakura nyengir menjawab tawaran pria itu. Pria itu kemudian tersenyum dan berbalik untuk meletakkan kardus di tangannya ke atas kardus di atas kap mobil, dan Sakura baru melihat kalau satu tangan pria itu terbungkus perban.
"AH! Biar kubawakan! Kau sedang terluka kan?" Sakura buru-buru mengambil kardus di atas mobil.
"Tidak usah, tidak apa-apa!" tolak pria itu mencoba mengambil kardus dari tangan Sakura. Sakura ngotot membawakannya dan segera berjalan. "Setidaknya biar kubawa satu!" akhirnya mereka masuk ke dalam sebuah apartemen dengan masing-masing membawa satu kardus.
Setibanya di kamar milik pria itu, ia segera meletakkan kardusnya dan buru-buru mengambil kotak obat. Ia meminta Sakura duduk di sebuah sofa tunggal di tengah ruangan. Sakura hanya menatap kamar apartemen itu dengan kagum.
Kamar itu cukup luas dengan jendela-jendela besar yang menghadap ke jalanan. Dari jendela juga bisa terlihat teluk Tokyo yang agak berkabut. Ruangan itu sendiri berbeda dengan apartemen biasa. Desainnya seperti ruangan-ruangan rumah Eropa yang dilihat Sakura di film-film. Atapnya tinggi dan ada ukiran di sudut-sudutnya, kemudian ada sebuah lampu gantung berwarna putih berbentuk kuncup-kuncup bunga di tengah ruangan.
"Kemarikan tanganmu," Sakura tersentak mendengar suara dalam pria itu terdengar begitu dekat dengannya. Dengan agak ragu Sakura mengulurkan tangannya. Ia tidak lagi peduli dengan wajahnya yang terasa memanas. Tangan berperban pria itu memegang telapak tangan Sakura dan sebelah tangannya yang lain memeras lap dari atas mangkok. Dengan lembut ia mulai membersihkan tangan Sakura, kemudian membalurkan obat dan menempelkan plester.
Pria itu begitu serius melakukannya. Sakura hanya menggigit bibirnya sambil menatap pria itu. Ia sama sekali tidak merasakan perih pada lukanya. Sejak kapan ada yang memegang tangannya dengan begini lembut? Ia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali Sasuke memegang tangannya. Tangan pria itu juga terasa begitu besar dan hangat, berbeda dengan tangan Sasuke.
"Terima kasih," Sakura tersenyum menatap hasil pekerjaan pria itu yang tampak begitu rapi.
"Sama-sama. Kau terluka karena menyelamatkan kardusku," pria itu tersenyum dan membereskan kotak obatnya.
"Ah, tidak ada luka lain kan?" tanya pria itu kembali terlihat cemas. Sakura hanya menggeleng dan tersenyum. "Ah, anoo.. Kau.."
"Namaku Sakura,"
"Oh, Sakura? Kenapa aku tidak terkejut?" pria itu tersenyum menatap rambut Sakura. "Kakashi. Kau mau teh, Sakura?" lanjut pria itu berdiri dari kursi sambil membawa kotak obatnya.
"Tentu," jawab Sakura tersenyum cerah.
Dan jalinan kisah mereka pun dimulai.
ooooooo
Boleh minta REVIEW nggak? REVIEW dong :)
