Yak, kali ini aku berusaha membuat ff Meitantei Conan! Jenjengg! Semoga suka ya! Haibara itu tokoh favoritku. Soalnya dia misterius dan cool abis... nyehehehe. Tanpa berlama-lama lagi, silahkan baca! HAPPY READING!
Disclaimer : Meitantei Conan beserta seluruh karakter hanya milik Aoyama Gosho-sensei seorang.
Meitantei Conan Love Story
Haibara & Kudou
"Karena pada akhirnya, akulah orang yang akan tertinggal sendirian di belakang.." –Ai Haibara
Ai Haibara
Kupaksakan diri membuka kedua kelopak mataku di tengah kegelapan asing yang membuatku terus bergidik. Aku menemukan diriku terbangun sambil duduk di depan komputer. Hanya cahaya yang dibiaskan layar komputer di hadapanku lah yang membuatku masih bisa melihat kondisi ruangan tempat aku berada kini, meski radiusnya begitu minim.
Pukul berapa ini? Kulirik jam digital yang tertera di kanan bawah layar komputer. 07.38 pagi. Saat aku mencoba menggerakkan anggota tubuhku, aku merasakan sakit luar biasa di sekujur punggung dan kaki. Hasil pukulan kawanan jubah hitam itu betul-betul membekas. Di tengah kegelapan begini pun aku yakin seluruh tubuhku memar membiru.
Aku tersentak. Mendadak teringat tidak hanya aku yang akhirnya tertangkap di sini. Aku menoleh ke kanan dan kiri. Sayangnya aku tidak melihat apa pun di tengah kegelapan sialan ini. "Kudou!" Aku tetap berusaha berteriak meski tahu teriakanku juga takkan terdengar olehnya.
Tiba-tiba aku mendengar bunyi klik samar dan seketika seluruh ruangan terang benderang.
Aku mengerjap beberapa kali sampai akhirnya bisa menyesuaikan penglihatanku di lingkungan ini. Ah, rupanya aku digiring ke penjara bawah tanah. Aku ingat sekarang.
"Kau sudah bangun, Sherry?"
DEG.
Sudah lama sekali aku tidak dipanggil dengan nama sandi seperti itu. Rasanya dulu setiap kali aku dipanggil dengan nama itu, tentunya ada hal-hal tidak menyenangkan yang harus kukerjakan demi organisasi rahasia kotor ini. Setelah aku kabur dari sini selama beberapa waktu, tak kusangka aku tertangkap lagi oleh mereka. Kali ini aku tertangkap bersama Kudou, yang omong-omong, di mana dia saat ini?
"Di mana kau sekap Kudou?" tanyaku berang. Pria berambut panjang perak, yang kuketahui selama ini bernama Gin, berdiri di hadapanku dengan tersenyum licik yang langsung membuat seluruh bulu kudukku berdiri. Tapi aku tidak boleh gentar di hadapannya.
"Daripada kau memikirkan bocah itu, sebaiknya kau segera merampungkan hasil penelitian APTX 4869 itu, Sherry."
Ya. Itulah tujuan mereka menculikku dan Kudou ke tempat ini. Mereka menginginkan aku membuat hasil penelitian antidote APTX 4869, yang mampu mengubah kami, aku dan Kudou, kembali ke bentuk semula kami menjadi dewasa. Aku diculik untuk kembali menjadi ilmuwan organisasi, sementara Kudou yang akan menjadi kelinci percobaan. Betul-betul organisasi keji.
"Sudah kukatakan aku tak lagi bekerja untuk kalian, manusia licik dan kotor!" Aku memasang wajah terdingin yang kumiliki sambil melipat tangan di depan dada. Namun anehnya, Gin tidak takut. Ia memang tidak pernah takut apapun. Itulah yang membuatnya tambah menyeramkan. Membuatnya lebih nampak seperti psikopat gila.
"Coba kita lihat apa kau masih mau membangkang setelah melihat ini?" Ia menoleh ke kiri sambil mengeluarkan semacam remote control dan menekannya. Sebuah tirai tersibak dan mata coklatku segera melebar sebisa yang dilakukannya. Aku menyaksikan di balik tirai itu. Ada kaca transparan yang mampu membuatku melihat Kudou yang terluka dan babak belur sejelas-jelasnya.
Sosoknya yang dewasa setelah meminum antidote APTX 4869 itu nampak sedang duduk terikat di kursi, lengkap dengan plesteran di mulut dan cucuran darah di pilipis kiri. Wajahnya lebam. Sekali lihat saja aku tahu ia pasti dipukuli oleh mereka. Namun matanya. Sinar matanya seolah berusaha mengatakan padaku bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Oh kurang ajar. Mataku nyaris berkaca-kaca. Setelah menguasai diri, kukatakan dengan dingin pada Gin, "Lepaskan dia. Kalian hanya butuh aku."
"Sebagai ilmuwan kau ini pintar, Sherry. Tapi sebagai penjahat, kau sangat bodoh." Gin kembali menyunggingkan senyum ala psikopatnya. Asal dia tahu, aku tidak tersinggung sama sekali dibilang bodoh sebagai penjahat.
"Ia dibutuhkan untuk mengujicobakan obatmu. Dan juga untuk membuatmu bekerja." Kalimat terakhir diucapkan berbarengan dengan seringai mengerikan yang ditampakkan pada wajahnya. "Nah, kalau kau tidak mau segera bekerja. Kupastikan lebamnya akan bertambah. Kau ingat saja itu, Sherry."
Seolah kalimat itu sudah pasti akan disetujui olehku, Gin meninggalkanku sendirian di ruangan bawah tanah itu. Aku masih bisa melihat Kudou. Kami tidak bisa berkomunikasi. Kaca pembatas ruangan kami ini kedap suara. Lagipula Kudou diikat dan dibekap. Aku yang tengah frustrasi cukup terkejut mendapati benakku dilintasi oleh sebuah ide cemerlang secara tiba-tiba.
"Gin!" seruku dengan suara bergetar. Ia menoleh. "Aku akan bekerjasama. Asalkan Kudou dilepaskan dan boleh bersama-sama denganku di ruangan ini."
Gin menampakkan wajah tersinggung, tapi lalu ia mulai tertawa. Tawa mengerikan yang membuat siapa saja yang mendengar akan langsung meringkuk ketakutan. Termasuk aku. Kurasakan keringat dingin membasahi kening. "Kau pikir aku bodoh? Hah?!"
Sambil menahan diri untuk tidak berkata bahwa sebagai penjahat ia tidak bodoh, melainkan sangat culas, aku berkata, "Bukankah dia kelinci percobaannya? Tentu saja aku harus memeriksa kondisi tubuhnya selama obat itu bekerja. Asal kau tahu, setiap kali ia meminum antidote, ia pasti demam, berkeringat, dan sebagainya. Aku butuh dia di sini untuk terus memeriksa tanda-tanda vital selama obat bekerja."
Gin mengangkat sebelah alisnya. Sadar bahwa alasanku kali ini sudah mempan, aku cepat-cepat menambahkan, "Lagipula siapa sih orang yang bisa keluar dari penjara bawah tanah ini hidup-hidup? Kau sudah merancangnya dengan sangat baik, bukan?"
Ya. Penjara bawah tanah tempat kami disekap ini adalah hasil buah pemikiran psikopat keji yang berdiri di hadapanku ini. Kini wajahnya tetap datar. Ia membalikkan tubuhnya untuk keluar sambil berkata, "Baiklah kalau begitu."
Tak lama setelahnya Kudou dilepaskan dan diizinkan masuk ke ruanganku. Aku mengempaskan tubuhku ke atas kasur dan menghela napas berat.
"Apa yang kau katakan sampai ia melepaskanku?" Kudou menatapku heran. Tapi di matanya juga ada sorot kekaguman.
"Sudahlah, kau tidak perlu tahu. Sekarang kau bantu saja aku menyusun rencana kabur sementara aku akan pura-pura mengerjakan laporan bodohnya ini."
Tanpa disangka, ia malah memandangiku sambil menyunggingkan senyum khasnya itu seraya berkata, "Terima kasih. Karena menolongku."
Selama sepersekian detik aku tertegun. Aku selalu bereaksi begini acap kali melihatnya menatapku atau tersenyum padaku. Ya, aku memang menyukainya.
Detik selanjutnya aku sudah bisa mengendalikan emosi di wajahku. "Sudahlah." Kupalingkan wajahku ke layar komputer agar ia tidak melihat gejala jatuh cinta lain pada diriku, seperti pipi memerah dan sebagainya. Aku tidak sudi kepergok seperti itu. "Kau juga sudah banyak menolongku. Anggap saja ini pelunasan hutang budi."
"Menurutmu mereka akan menemukan yang lainnya?" tanyanya dengan nada cemas. Tak ada keraguan setitik pun di hatiku tentang siapa 'yang lainnya' yang dimaksud. Tentu saja dia akan mencemaskan Mouri. Gadis itu cinta pertama Kudou. Hingga sekarang.
Tanpa sadar aku tersenyum pedih, menyadari bahwa aku tak mungkin memiliki kesempatan bahwa Kudou akan membalas perasaanku. Tapi aku juga tidak bisa berhenti menyukainya. Aku jatuh cinta padanya sejak..sejak..entah kapan. Dulu aku hanya gadis pendiam di kelas. Aku berusaha bersembunyi dan lari dari musuhku. Tapi dia yang mengajarku bahwa aku harus menghadapinya. Dan tahu-tahu saja aku tergila-gila padanya. Bodoh sekali, bukan?
"Haibara?" Aku menyentakkan tubuhku. Ia kini pasti heran melihatku melamun dari tadi.
"Eh.. Kurasa tidak. Mereka tidak akan tahu tentang yang lain. Karena mereka tidak tahu identitasmu sewaktu menjadi Conan. Jadi kurasa Mouri akan aman-aman saja." Kalimat terakhir kuucapkan dengan nada getir yang tak bisa kukendalikan.
Dan sekarang Kudou menatapku heran. Gawat, apakah nada getirku begitu terlihat?
"Aku juga mencemaskan profesor, Ayumi, dan yang lain, kau tahu. Kenapa kau cuma menyebut Mouri?"
Oh. Sepertinya nada kesedihanku tidak tertangkap olehnya. Dengan segera aku mengenakan topeng ekspresi dingin ala Ai Haibara-ku yang terkenal. "Tapi kau pasti paling mencemaskannya bukan?" Aku mencoba terlihat tidak peduli.
Dan laki-laki ini langsung nampak sedih. Ya Tuhan. Dia betul-betul mencemaskan Mouri. Dia betul-betul mencintai gadis itu.
"Dia akan baik-baik saja, Kudou," ujarku tenang sambil melipat kedua tangan di depan dada. "Sekarang lebih baik kita pikirkan strategi kita untuk kabur dari sini. Cepat hentikan ekspresi wajahmu itu."
"Maaf. Aku tidak bermaksud bersikap lemah di saat-saat begini." Ia tersenyum ragu. "Hanya saja, aku kesal pada diriku yang tidak bisa melakukan apa pun untuknya."
"Apa dia tahu kau menyukainya?" tanyaku sambil mengetik sesuatu di komputer, berusaha menyembunyikan rasa cemburuku yang terasa membakar di dada.
"Aku tidak mungkin mengatakannya." Eh? Apa maksudnya? Aku menoleh padanya.
Seolah bisa membaca pikiranku, laki-laki itu menjawab, "Karena aku tak berdaya melakukan apa pun untuk aku dan dia. Dengan kondisi dikejar-kejar organisasi jubah hitam saat ini, aku tak mungkin membiarkan organisasi tahu kalau aku dan Ran sangat dekat. Aku cuma akan membahayakannya.
"Dan pada akhirnya dia hanya akan menungguku sampai waktu yang tak pernah kuketahui. Akulah laki-laki yang menyakitinya karena membiarkannya terus menungguku."
Aku tak berucap sepatah pun lagi. Dia begitu memikirkan gadis lain dengan sepenuh hati, sementara yang ada dalam benakku adalah dia dan hanya dia. Kesadaran bahwa Shinichi Kudou mencintai Ran Mouri begitu dalam hanya semakin membuat jantungku teriris.
