THE LOONERS

Disclaimer : Masashi Kishimoto

Warning : Mungkin sedikit OOC, cerita amburadul, author amatir

Suara itu masih terus terdengar. Dan kemungkinan besar akan terdengar barangkali sampai akhir zaman sekalipun. Langit yang tak pernah berhenti menangis. Setidaknya di tempat itu. Seolah-olah Kami-sama sengaja membuat tempat itu sebagai semacam wadah penampungan air raksasa di dunia shinobi.

Amegakure. Dari namanya saja sudah bisa diketahui tempat ini diguyur hujan 24 jam nonstop selama 7 hari dalam seminggu, 365 hari dalam setahun. Semua jenis hujan ada disini, mulai dari topan badai dengan angin yang tidak memperbolehkanmu berjalan ke depan sampai gerimis remeh-temeh yang butuh waktu berjam-jam untuk membasahi seluruh kepalamu.

Amegakure hanya negara kecil. Terjepit diantara Konohagakure dan Sunagakure, wilayah ini sering terkena imbas perang yang diadakan oleh negara-negara besar sekitarnya. Mungkin inilah alasan kenapa mereka menamainya Amegakure. Negara yang selalu menangis.

Anak berusia 16 tahun itu tinggal sendirian di sebuah rumah yang berdinding batu dan beratap jerami tebal. Beberapa perabotan rumah tampak berdebu karena jarang dibersihkan. Lantainya tanah padat yang keras. Kusen jendela sudah reyot dimakan rayap. Kalau saja tidak ada hujan di Amegakure, niscaya kaca jendela rumah itu sudah terlihat seperti dinding saking banyaknya debu yang menutupinya.

Nagato Uzumaki. Shinobi laki-laki yang tinggal sebatang kara bersama seekor anjing kecil, yang dinamainya Chibi.

Hanya dengan memetik buah-buah ranum atau mencari ikan atau sekedar kayu bakar-lah ia bisa melanjutkan hidupnya. Kedua orangtuanya telah tiada karena perang. Rumahnya berada terasing dari desa, agak ke tepi hutan. Terasing pula dari keramaian. Orang-orang menjulukinya shinobi penyendiri.

Sampai ketika suatu hari, hidupnya berubah...

SATU:When I see you

"Nagato" panggil sebuah suara serak-serak basah dari dalam toko.

"Ya, Heiji-san" jawab remaja berambut merah sebahu itu.

"Kenapa ini ! Kenapa tomat yang kau bawa tidak ada yang sebagus kemarin ! Aku tidak akan membayar dengan harga biasa untuk yang ini, tapi hanya setengah harga !" Seru Heiji sambil menyerahkan sejumlah uang.

Biar demikian, Nagato menerimanya dengan senang hati.

"Terimakasih, Heiji-san" desisnya.

"Lain kali bawa yang lebih bagus ! Kalau tidak, aku akan berhenti memasok sayuran darimu" ancamnya. Tapi ancaman itu hanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri.

"Ayo, Chibi. Persediaan roti gandum kita kan sudah menipis" ajak Nagato sambil memencet hidung anjing berbulu putih itu, yang melonjak-lonjak kegirangan.

Setelah membeli kebutuhan secukupnya, Nagato bergegas keluar pasar. Mendadak di pintu masuk Pasar Amegakure ia melihat seorang pengemis. Tua renta, usianya lebih dari 60 tahunan, kulitnya kusam dan keriput dimakan usia. Matanya sipit dan terlihat rabun, tubuhnya kurus dan lemah.

Nagato dilema. Ia teringat pengalaman yang pernah ia saksikan dengan mata kepalanya sendiri. Ia pernah memberi uang pada seorang pengemis yang kira-kira sama penampilannya dengan yang ia lihat sekarang. Tapi, ketika melihat pengemis itu, ia merasa ada sesuatu yang asing dalam pengelihatannya. Benar saja, setelah mengamati gerak-geriknya, setelah mendapat uang yang dirasa cukup banyak, pengemis itu menghilang dalam asap dan muncul kembali sebagai seorang shinobi pria yang masih sehat dan segar bugar.

Bukan main geramnya Nagato saat mengetahui bahwa shinobi itu hanya melakukan semacam henge (jutsu perubahan) untuk mendapatkan uang. Seorang shinobi ! Betapa hinanya. Padahal dirinya sendiri selalu bermimpi menjadi shinobi yang hebat. Ia tidak habis pikir kenapa pengemis lama kelamaan menjadi profesi favorit. Mudah, iya. Bahkan terhitung cepat mendapat uang. Sedikit atau tidak ada modal samasekali yang dikeluarkan.

Tapi sungguh tidak bermartabat.

Jika ia tidak memberi, alangkah malangnya pengemis tua ini. Tapi jika ia memberi dan ternyata pengemis ini sama dengan puluhan pengemis aspal (asli tapi palsu) yang lain ?

Nagato meneguk ludah. Ia menatap Chibi, yang juga menatap majikannya dengan pandangan memelas.

Dia menghela nafas. "Hhh..., baiklah" desisnya pasrah lalu melempar beberapa koin.

Kalau itu pengemis betulan, terserahlah, mungkin hitung-hitung sedekah. Kalau bukan? Masa bodoh ia memikirkannya.

Nagato mendadak berbalik.

"Kakek" panggilnya.

"Iya...?" Sang kakek menerawang ke langit. Sepertinya ia masih bisa mendengar dengan baik tapi tidak bisa melihat dengan jelas.

"Saya disini, kek..." Nagato memegang tangan si kakek.

"A...ja...ngan...tangkap...sa..ya..." si kakek memohon. Sepertinya ia mengira di hadapannya adalah petugas ketertiban Amegakure.

Nagato memutar bola mata. "Saya bukan petugas, kek. Kakek tenang saja" katanya lagi.

Si kakek terdiam. "Oh...kamu...yang memberi kakek uang barusan ya..?" Tebaknya.

"Ya, kek" jawab Nagato.

"Apa kakek sudah benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa lagi?" Tanyanya pelan-pelan.

"Apa maksud...kamu...?" Balas si kakek.

"Maaf kek, saya tidak bermaksud menggurui. Tapi banyak yang lebih mulia daripada sekedar meminta-minta seperti ini, kek..." jelas Nagato hati-hati.

"Apa...?"

"Ya...maksud saya kakek tidak harus meminta-minta. Kalau kakek bisa memainkan alat musik atau semacamnya, kakek bisa menghibur orang-orang pasar...tidak minta-minta begitu saja..." lanjut Nagato.

Si kakek terdiam. Nagato menepuk bahu si kakek. "Saya pergi dulu ya, kek" pamitnya lalu berjalan pulang diikuti Chibi yang terus melompat-lompat.

Sampai di rumah, Nagato bergegas menyalakan tungku, memasak air, dan membersihkan beberapa perabotan yang terbengkalai olehnya dengan kemonceng seadanya.

Malam pun tiba. Shinobi berambut merah menyala itu beringsut ke tempat tidur ditemani Chibi. Bertahun-tahun sudah Nagato tidur hanya ditemani oleh anjing setianya dan... hujan di luar. Sesekali beberapa cicak atau sekedar laba-laba di sudut rumah juga ikut mengawal tidurnya.

(-The Looners-)

Setegar-tegarnya seorang manusia hidup sendiri, suatu hari dia pasti ingin ada yang menemani. Benar bukan ?

Hal itu terjadi pada Nagato keesokan harinya. Fajar menyingsing dan ia terbangun oleh suara guntur yang amat keras. Hujan lebat luar biasa menderu keras dari luar. Petir menyambar-nyambar. Kali ini ia takkan bisa memanen buah atau sayur apapun.

Nagato duduk dalam diam di ruang makannya yang berisi sebuah meja kayu jati tua dan tiga kursi. Satu kursi untuknya, satu lagi untuk Chibi. Masih ada satu kursi yang tersisa.

Dan akan segera terisi hari ini...

Tok

.

.

.

Tok...

"Chibi, kau dengar sesuatu?" Selidik Nagato. Anjingnya celingak-celinguk ke kanan-kiri lalu kembali meringkuk berbantalkan ekornya. Artinya tidak.

Tok

Suara ketukan itu benar-benar samar diantara guruh dan suara hujan yang deras itu. Namun telinga Nagato tidak berbohong, ia mendengar suara ketukan di pintu rumahnya.

Segera, ia bergegas mengambil kunci dan berlari ke pintu. Chibi mengikutinya malas-malasan.

Anak kunci diputarnya dengan tergesa-gesa. Semoga nyawa di depan pintu rumahnya itu tidak keburu beku atau melayang.

CKLEK

KRRIIIEEEETTT...

Nagato terkejut bukan main. Tampak seorang perempuan terbaring lemah tepat di depan pintu rumahnya. Matanya terpejam dan seluruh tubuhnya basah. Pastilah ia kedinginan. Nagato buru-buru menggendong perempuan itu, menutup pintu dengan sebelah kaki lalu tertatih-tatih menuju kamarnya. Ia membaringkan perempuan itu perlahan, takut mengejutkannya.

Chibi menggonggong pelan dan naik ke ranjang, mengendusi tubuh perempuan yang masih basah seluruhnya itu.

"Ssshhtt ! Jangan, Chibi, jangan !" Seru Nagato tertahan.

Ia bergegas pergi ke dapur dan membuat secangkir teh hangat dan beberapa iris roti gandum kemarin untuk gadis itu.

Nagato mendekatkan jari telunjuk kanannya ke lubang hidung perempuan itu. Masih bernafas, gumamnya. Mungkin dia hanya pingsan karena kedinginan.

Ia akan menunggu sampai perempuan itu bangun.

Tidak peduli berapa lama...

Ditemani Chibi...

...dan hujan...

TO BE CONTINUED

Sorry readers, kalau belum banyak percakapannya. Baru prolog, hehehe

Minat? Review please... ! ;)