OWNER : MASASHI KISHIMOTO
STORY BY : LLYCHU
PAIR : GAARA X HINATA
Rated : M
Requested by : RahilsanXD
.
.
.
Flashback
"Apa yang kau lihat?"
Gadis manis itu menggeleng kuat. Poni ratanya bergoyang seiring kepalanya ke kanan dan ke kiri. Matanya bergetar takut saat melawan tatapan tajam pemuda yang sekarang menyudutkannya. Kalau saja ia tak berpegangan erat pada pembatas di atap sekolah itu, pasti tubuh mungilnya sudah meringsuk ke bawah. Kaki-kakinya lemas hanya karena nada tajam sang pemuda yang menyudutkannya.
"Ku tekankan padamu," suara dinginnya kembali terdengar sesaat keheningan yang mencekam. "Lupakan apa yang kau lihat dan jangan pernah lagi muncul di hadapanku."
Pemuda itu menggebrak sebentar kepalan tangannya pada pembatas yang tingginya hanya sampai pinggang gadis itu. Benar-benar memberi penekanan bahwa kata-katanya mengandung maksud tertentu walaupun tak dijelaskan secara terperinci. Dan gadis itu mengerti dari nada yang digunakan senpai-nya itu. Ia harus lupa apa yang barusan dilihat. Dan ia tak boleh bilang pada siapapun bahwa senpai-nya itu baru saja melakukan…. Seks.
Ini berawal saat gadis berambut indigo itu datang ke atap sekolah. Memang tempat itu tak pernah terjamah. Mungkin hanya gadis sepertinya yang tak punya kerjaan saat jam istirahat makan siang ini mau ke sana. Sekedar merenung tentang murid laki-laki yang ia sukai. Tapi sialnya, ia tak sendiri.
Telinganya mendengar suara asing perempuan yang menggeram. Diikuti lenguhan berat laki-laki. Tentu saja gadis itu menghargai privasi orang lain dengan tak mengganggu. Apalagi pikirannya sudah tak sepolos sebelumnya karena teman-teman perempuannya yang lain membuat gadis itu tahu perihal dewasa yang sebenarnya belum terlalu ia mengerti. Dan dari suara-suara aneh yang gadis itu dengar, sepertinya otak naïfnya bekerja cepat.
Dengan cepat ia berbalik saat matanya menangkap pemandangan yang tak senonoh. Tapi karena terlalu terburu, kakinya tak sengaja menendang kaleng kosong yang tergeletak tak tahu tempat. Jelas saja bunyinya nyaring. Dan detik itu juga tubuhnya membeku kaku. Bahkan saat suara sepasang sepatu mendekat, gadis itu hanya bisa diam dan menunduk.
Matanya samar-samar bisa melihat pupil hijau yang menatapnya tajam. Lirikan amethyst-nya juga menangkap sosok perempuan dengan rambut coklat acak-acakan. Setelah itu tak ada lagi suara yang fokus masuk ke telinganya. Gadis itu hanya mengangguk atau menggeleng seadanya, berharap kedua orang itu segera pergi dan tak berbuat macam-macam padanya.
Pada akhirnya, kedua senpai itu pergi. Menyisakan dirinya yang masih mencerna semuanya secara beruntut. Tapi yang jadi fokusnya sekarang, ia harus bisa melupakan apa yang tadi ia dengar dan lihat.
.
.
.
Itu kejadian tujuh tahun lalu. Saat umurnya masih tujuhbelas tahun. Dan sekarang, ia sudah menjadi perempuan yang baru saja menyelesaikan skripsi akhirnya. Berniat melamar kerja di tempat yang sesuai dengan jurusannya terdahulu. Yang pada akhirnya membawa kenangan yang sempat terlupakan, tapi kembali mengapung ke permukaan.
Hinata, gadis itu mengerjap saat matanya menangkap bayangan familiar bertahun lalu lewat refleksi cermin besar yang ada di kantor itu. Kantor yang menjadi tujuan kesepuluhnya karena sembilan terdahulu menolaknya. Namanya juga lulusan segar yang belum ada pengalaman. Maklum saja jika susah mencari kerja di kerasnya kota Tokyo sekarang ini.
Rambut merah bata itu sudah lebih panjang dari yang Hinata ingat. Bahkan sekarang lebih rapi karena disisir ke sebelah kanan dan sedikit kaku. Mungkin memakai gel rambut. Lingkaran mata yang masih tebal berwarna hitam membuat Hinata yakin itu senpai-nya waktu sekolah menengah atas. Apalagi tattoo Ai di dahi kirinya tak berubah sama sekali. Tapi dari keseluruhan, pemuda itu lebih dewasa ketimbang saat memakai seragam kusutnya dulu.
Tubuh mungilnya ia geser berlawanan arah datang pemuda yang sekarang menjadi pria itu. Untung saja pria itu lebih fokus pada pembicaraan serius dengan pria yang mempunyai pola aneh di wajahnya, yang berjalan di sebelahnya. Hingga menghiraukan orang lain di sekelilingnya, termasuk Hinata.
"Yokatta," desah Hinata pelan saat senpai-nya itu sudah menghilang di telan pintu lift.
"Hinata?"
Sedikit tersentak saat suara asing memanggil namanya. Apalagi suara itu suara pria.
"Kami-sama," reflek Hinata. Matanya menelisik pria yang tadi mengejutkannya. "Oh— Nara-san?"
Hinata tersenyum lebar. Ia kira siapa yang mengejutkannya dan membuat dirinya parno seketika. Ternyata pria itu Nara, Nara Shikamaru yang merupakan teman akrab Neji, kakak laki-laki Hinata.
"Sedang apa kau di sini?" Shikamaru bertanya.
"Melamar kerja. Nara-san sendiri?"
Shikamaru mengerutkan dahinya sedikit dalam. Memperhatikan adik dari saingannya –Neji- yang sekarang berubah banyak. Dulu gadis itu sering gagap jika berbicara dengan orang lain di luar keluarganya. Wajahnya juga sering memerah tak jelas. Tapi sekarang gadis itu menjadi sosok perempuan dewasa yang terlihat lembut.
"Aku hanya mengantar anakku menemui ibunya."
Hinata ingat jika Shikamaru sudah menikah sekitar empat tahun lalu. Satu tahun lebih awal dari Neji. Dan sekarang Hinata baru sadar ada bocah laki-laki yang menggerutu pelan di belakang Shikamaru. Tingginya tak seberapa, hanya sampai setengah paha pria Nara itu.
"Oh— kau yang namanya Shikadai, ya?" ujar Hinata lembut. Membuat gerutuan karena menunggu itu berhenti. Mata hijau pekatnya menatap Hinata sembarang. "Aku Hinata. Ba-san nya Haruka dan Hikaru."
Mendengar nama si kembar disebut, Shikadai yang tadinya tanpa minat langsung berbinar senang. Ia dulu sering bermain dengan si kembar, anak Neji yang kebetulan tinggal satu gedung apartemen dengannya. Tapi tiga bulan lalu keluarga Neji pindah ke rumah besar Hyuuga karena kondisi ayah mereka yang menurun.
"Hinata-basan, sekarang dimana si kembar?" nada khas anak kecil yang terdengar dewasa di telinga Hinata membuat gadis manis itu terkekeh geli. Shikadai tak berbeda dengan anak kecil kebanyakan. Walaupun awalnya terlihat sedikit murung.
"Mereka ada di rumah keluarga Hyuuga. Kapan-kapan Shikadai main ya?" tangan Hinata terjulur ke puncak kepala Shikadai, mengelusnya lembut.
Shikadai mengangguk semangat. "Aku ingin melihat si kembar!"
"Shikadai!"
Mereka bertiga kompak menoleh saat suara nyaring wanita terdengar. Di sana ada Temari, istri dai Shikamaru sekaligus ibu dari Shikadai. Bocah laki-laki itu langsung saja berlari menuju Temari, meninggalkan Shikamaru dan Hinata yang masih diam menunggu wanita pirang itu sampai ke tempat mereka.
"Kaa-san! Ada ba-san si kembar! Namanya Hinata ba-san." Jelas Shikadai semangat. Temari berjalan mengikuti arah Shikadai yang terlihat antusias. Wanita tigapuluh tahun itu tersenyum lembut membalas bungkukan ringan dari Hinata.
"Aku Temari." Ujar Temari ringan.
"Hinata Hyuuga. Salam kenal, Temari-san."
Mata hijau Temari melirik sebentar ke arah Shikamaru. Memberi kode bahwa waktu mereka menipis karena harus segera pergi. Dan Hinata mengerti lirikan tidak enak itu.
"Hinata, maaf kami tidak bisa menemanimu terlalu lama. Shikadai harus datang ke pesta ulang tahun temannya. Jadi,"
"Tidak apa-apa, Nara-san. Terimakasih sudah menyapa." Hinata kembali tersenyum.
Keluarga kecil Nara itu pamit dan berjalan menjauh dari Hinata. Tapi baru beberapa langkah, Temari berhenti sejenak dan berbalik ke arah Hinata.
"Kau melamar kerja di sini?" Temari melirik sebenar pada map merah yang ada di tangan kanan Hinata.
Kepala Hinata mengangguk sedangkan wajahnya sedikit terlihat bingung.
"Temui resepsionis di lobby dan taruh lamaranmu di sana. Nanti aku lihat."
Setelah itu mereka benar-benar pergi. Meninggalkan Hinata yang masih sedikit mencerna ucapan ambigu Temari. Dan detik berikutnya, ia mengerti tawaran ringan Temari padanya.
.
.
.
"Kalau kau terus membuat masalah, ayah akan marah besar, Gaara."
Kankuro menahan marah yang sudah mencapai ubun-ubun kepalanya. Adik satu-satunya yang dulu sangat penurut sekarang berubah menyebalkan. Sebagai kakak yang sesama lelaki, tentu Kankuro mengerti masalah hormon kelakian yang kadang sulit dibendung. Tapi tetap saja, adiknya itu sudah kelewatan.
Dari Gaara sendiri hanya diam dan tak menyahut. Malas juga meladeni Kankuro yang selalu membahas nasihat yang sama saat Gaara membawa wanita berbeda ke apartemennya. Dan Gaara tahu darimana Kankuro bisa mengetahui itu. Pasti Matsuri, fans yang cinta mati padanya itu yang melapor.
"Seminggu wanita pirang. Besoknya model Negara tetangga. Lusa anak perdana mentri yang terkenal itu. Tidak bisa memilih satu saja apa?" dibalik suaranya yang menggebu kesal, ada nada iri yang terselip di sana. Tentu saja Kankuro merasa tak adil jika tujupuluh lima persen ketampanan sang ayah menurun pada Gaara. Sedangkan kecantikan sang ibu menurun ke Temari, kakak perempuan mereka. Lalu dirinya? Entahlah.
Hey, Kankuro tak sejelek itu kok. Tapi juga tak setampan Gaara.
"Gaara!"
Akhirnya Gaara menaruh perhatian pada aniki-nya itu. Mata jade-nya melirik malas pada Kankuro. Menandakan ia sama sekali tak berminat pada pembicaraan membosankan yang laki-laki itu tawarkan.
"Bukan urusanmu."
Kankuro menggeram sejenak sebelum mengatur pernafasannya yang sempat terasa berat.
"Baik. Itu bukan urusanku." Pria ber make up itu menatap tajam sang adik. Memberi penjelasan lewat mata bahwa ia sudah menyerah mengurusi segala masalah yang ditimbulkan Gaara. "Kalau ayah bertindak, jangan pernah menghubungiku."
Dan Kankuro berbalik lalu keluar dari ruangan Gaara. Membanting sedikit pintu megah itu dan menimbulkan suara berdebum yang cukup keras. Bukan tanpa alasan Kankuro terus-terusan memberi nasihat yang sama pada Gaara. Ia perduli. Dan tak mau sang adik mengalami suatu hal yang tak menyenangkan.
Gaara memang tampan. Kedudukan sebagai wakil direktur di perusahaan keluarga mereka membuat Gaara banyak uang. Sebenarnya itu posisi untuk Kankuro kalau saja pria pecinta boneka itu tak membuka usaha sendiri dengan mendirikan toko mainan yang penuh dengan boneka. Kankuro mandiri. Dan itu salah satu hal yang bisa ia sombongkan. Tapi sialnya, Gaara punya lebih banyak hal yang bisa dirinya sombongkan.
Selain tampan dan mapan, kharisma sang adik memang tak perlu dipertanyakan. Gaara memiliki semua hal yang wanita idam-idamkan. Wajah, tubuh dan otaknya seimbang dalam garis penuh kekaguman. Ia nyaris sempurna, hanya saja sifat yang suka memainkan wanita itu yang membuatnya kurang.
Gaara selalu bosan dengan satu wanita. Dua-tiga… dalam seminggu ia bisa mengecani empat wanita sekaligus. Dan setelah bosan, Gaara akan langsung bilang dan meninggalkannya. Tanpa pernah berpikir hal apa yang akan terjadi pada mereka.
"Menyebalkan!" keluh Kankuro dan segera melesak pergi dari perusahaan keluarganya.
Ia tak akan lagi membela Gaara jika ada wanita yang meraung-raung meminta pertanggung jawaban padanya. Atau melindungi Gaara dari wantia gila yang terobsesi pada tubuh adiknya itu. Atau… cukup. Kankuro bahkan lelah untuk mengingat-ngingat hal apa saja yang sudah ia lakukan untuk Gaara. Yang tak pernah mendapat perhatian apapun dari adiknya.
Dan Kankuro kali ini benar-benar akan mendiami segala hal yang menyangkut adiknya itu. Biar Gaara tahu jika wanita kadang sulit untuk dikendalikan. Dalam hati Kankuro berdoa agar ada satu saja wanita yang membuat adiknya itu terlihat seperti orang gila. Bukan seperti sekarang yang tanpa perasaan apapun melekat pada hatinya.
.
.
.
Keluarga Hyuuga memang tak sekaya yang lain. Hal itu membuat para keturunannya menghargai arti kesederhanaan. Sama seperti Neji, Hyuuga jenius yang selalu memberikan arti sederhana pada keluarganya dan juga keluarga kecilnya. Dulu ia sempat tak terima ini dan itu terlalu direncanakan sang ayah. Merasa dunianya tak bebas untuk sekedar berekspresi. Tapi semenjak memiliki anak sendiri, Neji mengerti peran penting seorang ayah. Ayah itu tidak mengatur, hanya menunjukan alur yang pantas bagi anak-anaknya.
"Haruka, jangan main-main dengan catnya, nak." Suara tegas Neji terdengar lembut. Memberi arahan pada putri kecilnya yang suka sekali mencoret-coret sesuatu. Mungkin darah seni sang ibu mengalir padanya. "Hikaru, tolong ambilkan tou-san tisu."
Putra yang sangat mirip dengannya itu mengangguk. Berjalan tertatih menuju meja tempat tisu berada. Sedangkan Neji sendiri sedang membereskan beberapa cat air yang berantakan di halaman belakang rumah mereka.
"Haruka! Hikaru!"
Panggilan dengan nada tinggi itu membuat ketiganya berhenti beraktifvitas sejenak. Menoleh bersamaan ke arah pintu utama yang terbuka lebar. Di sana sudah ada Hanabi dengan Tentengan plastik yang terlihat penuh dari luar.
"Hanabi-bachan!" yang paling dekat dengan Hanabi memang Hikaru. Hanabi lebih keras dibandingkan dengan Hinata. Jadi, mereka cocok karena sama-sama suka menonton kartun tentang ninja yang mengusung kekuatan bela diri.
"Hikaru! Kemari! Lihat ba-chan bawa sesuatu!" langkah kaki Hanabi terdengar menggema di koridor rumah. Neji hanya menggeleng jika putranya itu sudah berduaan dengan Hanabi. Bahkan perintahnya mengambil tisu sudah di lupakan.
Tangan besar Neji mengelap sisa-sisa cat berwarna-warni di pipi gembil milik Haruka. Ia memperhatikan baik-baik wajah putri sulungnya itu. Jika saja warna rambut madu itu menjadi indigo, Haruka mirip sekali dengan Hinata. Bahkan Tenten –istrinya- sedikit menggerutu karena kemiripan si kembar hanya sampai rambut mereka yang coklat. Selebihnya, darah Hyuuga lebih mendominasi.
"Tou-chan… kaa-chan?" kata Haruka lugu.
"Kaa-chan disini!" tiba-tiba Tenten sudah ada di samping mereka. Masih menggunakan celemek hijau. Ibu dua anak itu tersenyum senang saat putri tunggalnya segera berlari ke arahnya dengan pipi penuh warna. Ia melirik Neji yang tersenyum singkat. "Dimana Hikaru?"
"Hanabi." Jawab pria tampan itu singkat. "Masaknya sudah selesai?"
Tenten mengangguk. "Tolong panggilkan ayah dan Hanabi juga Hikaru. Kita makan malam bersama."
"Tidak menunggu Hinata?" Neji mengikuti Tenten yang berjalan menuju kamar mereka. Sekarang waktunya memandikan si kembar.
"Hinata makan di luar. Tadi dia menelponku."
.
.
.
"Wah! Jadi ini anaknya Neji-nii?"
Sakura berseru senang mendapat kiriman foto anak kembar dari Hinata. Dua bocah perempuan dan laki-laki yang tersenyum lebar ke arah kamera dengan baju khas jepang yang lucu.
"Iya. Mereka akan ulang tahun yang ketiga bulan ini." Jawab Hinata dan tersenyum lebar saat mengingat kedua ponakan lucunya. "Kau bisa datang? Kata Neji-nii bawa juga Yumi."
"Tentu! Kau kirim saja tanggal dan tempatnya. Aku akan mengajak Naruto kalau ia tak sibuk." Mata emerald Sakura kembali ke layar ponsel pintarnya. Menggumam kata 'lucu' berkali-kali.
Sedangkan Hinata sendiri menghela nafasnya dan kembali menyantap nasi kare di depannya. Ia mengingat kembali bagaimana kisah cinta monyetnya berakhir tak bahagia. Seperti drama kebanyakan, ia kalah. Mencintai laki-laki yang mencintai sahabatmu sendiri. Klasik, kan? Dan kisah klasik tak jauh-jauh dari cinta segitiga, dua bahagia dan satu patah hati. Begitu, dan Hinata pernah merasakannya.
Pria beruntung yang dicintai wanita sepertinya dan juga Sakura bernama Naruto. Pria teledor yang sering sekali lupa mengerjakan tugas rumahnya. Suka tidur saat pelajaran sejarah, jago dalam bidang olahraga terutama basket, dan selalu tersenyum apapun masalah yang ada. Ironis, bahkan Hinata masih ingat semua kebiasaan Naruto yang sekarang sudah menjadi suami dari Sakura. Sahabatnya.
Tapi Hinata enggan menjadi karakter antagonis karena cinta dan menjadi buta. Ia menghargai bagaimana keduanya saling melengkapi walau kadang Sakura masih suka mengeluh tentang mantan pacarnya yang meninggalkannya keluar kota. Tapi sekarang, wanita pinky itu sudah menetapkan Naruto menjadi pemimpin dalam hidupnya. Dan sebagai sahabat yang baik, Hinata hanya bisa berdoa untuk kebahagian keduanya. Tentu juga kebahagian dirinya.
"Jadi," Sakura menyudahi acara imut-imutnya dengan si kembar. Menaruh ponselnya di sebelah piring makanannya yang tinggal setengah. Bibir tipisnya menyungging miring dengan jahil. "Kapan kau akan menyusul? Aku saja sudah ada Yumi. Masa kau pacar saja belum ada, sih?"
Hinata tersedak nasi kare yang tadi ia kunyah pelan.
"S-Sakura,"
Oh— Hinata kita yang gagap kembali lagi. Memang semakin banyak usia, Hinata semakin terlihat dewasa. Tapi mengenalnya untuk waktu tahunan, Sakura tahu sekali gadis Hyuuga itu bagaimana. Ia akan tersendat dan gagap sendiri saat sedang malu. Pipi bulatnya juga akan memerah pudar. Satu-dua sifat manis Hinata yang tidak berubah banyak.
"Aku punya banyak kenalan, loh." Kali ini Sakura serius. Ia memang ingin membantu temannya itu untuk segera mendapat pendamping. "Ada Kiba, yang kelasnya di sebelah kelas kita dulu. Walaupun cerewet dan bandel, tapi terakhir aku dengar dari Naruto ia sudah menjadi dokter hewan yang handal!"
Hinata meringis pelan. Ia mengangguk-angguk pasrah saat mulut Sakura terus mengenalkannya pada nama-nama pria.
"Ah! Pain-senpai yang dulu naksir padamu juga! Sekarang dia jadi manajer klub basket nasional jepang!"
Nama pria yang dulu sempat dekat dengannya membuat ringisan Hinata makin kentara. Pain memang tampan, tapi hobi menindik tubuhnya itu yang membuat Hinata ketakutan.
"Lalu ada… "
Bla…bla…bla…
Sepertinya acara temu kangen dirinya dan Sakura berujung jadi acara mencari jodoh. Dan sudah menjadi kebiasaan Hinata untuk mendengar setiap kata yang keluar dari mulut berisik sahabatnya itu.
TBC….
Ini nih, RahilsanXD, fict pesenan kamu. Maaf ya, gak sesuai ekspetasi. Aku akan berusaha membuat ini menjadi multichap yang gak gaje dan menjadi –ekhem- rate M yang bagus. Hihihi
Dan bagi yang bingung bahasa aku menggunakan ibu/ayah dan kaasan/tousan atau bibi/paman dan basan/jisan, jadi aku pake jepang kalau manggil langsung ke orangnya. Tapi kalau jadi orang kedua atau jadi objek (bener ga?) aku pake bahasa. Ngerti gak? Kalau enggak, aku bakal ubah style-nya. So… di tunggu kritik dan saran. hehehe
