Gomen ne, gomennasai minna...

Jangan marahi author yang dengan teganya menelantarkan fic yang lain dan membuat fic baru dan kayaknya multy chap lagi =="

Ini fic jadi dalam waktu 2 X 24 jam, karena pikiran author yang psikopat lagi muncul.

Author lagi stress dan dalam otak hanya terngiang kata, bunuh bunuh bunuh!

Jadilah mau nulis romance sasunaru malah jadi nulis fic baru.

Gomen sekali lagi,, author akan berusaha untuk mengerjakan fic yang lain secepatnya #jangan percaya!

Sebenarnya juga um, author lagi ketagian liat anime yaoi. Bolak-balik you tube tanpa mengetik satu kata pun untuk lanjutan fic, jangan marah minna-san hiks..

So please~!

Enjoyed this! #puppy eyes!

Disclaimer : Masashi Kishimoto sama

Genre : Hurt/Comfort, Tragedy(?)

Tidak bisa dipastikan genrenya

Rate : M

Pairing : Sasuke x ...

Warning : Yaoi, Sho Ai, Gore scene, Psikopat, aneh, gaje, Typo dan kawan-kawan sebangsanya.

!DON'T LIKE DON'T READ!

But,

You can try to read and don't flame!

This is Prolog?

Hei, bisa katakan padaku bagaimana rasanya menjadi seorang pembunuh?

Melihat korbanmu yang kau jadikan mainanmu,

setiap alunan kesakitan yang menjadi musik kesukaanmu disaat kau memulai permainan itu. Menatap goresan-goresan hasil karyamu yang berada ditubuhnya , betapa banyaknya cairan kotor berwarna merah yang keluar dari luka yang kau berikan pada korbanmu,

.

Bagaimana seringaimu yang semakin melebar saat korbanmu memohon untuk hidupnya.

Bagian bawah perutmu yang terasa panas karena begitu senangnya kau,

darahmu yang berdesir, mengalir dengan cepat keseluruh bagian tubuhmu.

.

Permainan yang akan semakin menarik jika korbanmu mulai berontak, lari darimu.

Mengajakmu bermain kucing-kucingan di wilayah yang jelas adalah milikmu,

dan

.

.

.

Saat kau menemukannya, kau melihat ketakutan yang terukir manis diwajah korbanmu, membuat seringaianmu makin melebar hingga rasanya kedua sisi bibirmu ingin robek karena saking lebarnya seringai itu.

.

.

.

Serigala telah menemukan persembunyian sang kelinci.

.

.

.

Semakin kau melangkah maju, maka ia akan melangkah mundur.

.

Semakin kau menunjukan senyuman manismu, maka ia akan semakin takut.

.

.

Kelinci itu akan gemetaran, menunjukan wajah memelasnya padamu.

Apakah ia berharap kau akan luluh?

Tentu tidak,

Kau akan semakin beringas jika mangsanya telah menunjukan kelemahan. Membuatnya semakin menarik dengan sedikit bumbu kebohongan dibalik kata-kata manismu padanya.

"Kemarilah, aku tidak akan menyakitimu."

Haha,

Kau bisa berbohong sesukamu dengan senyuman itu, dengan manisnya kata-kata yang keluar dari kedua bibir tipismu.

"Maafkan aku, biarkan aku mengobati lukamu."

.

Gotcha! Kau bersorak riang dalam hatimu saat tangan gemetaran itu menyambut uluran tanganmu dengan keraguan. Wajah ketakutannya berubah menjadi secercah harapan. Mungkin ia pikir, ia akan selamat.

No no no, you wrong my litle lady

.

.

Oh, dan kau jatuhkan begitu saja harapan itu dengan menikam perutnya dengan pisau yang kau sembunyikan dibalik bajumu.

Teriakan yang menggema dikesunyian malam, bagai musik yang selalu kau tunggu-tunggu saat acara puncak akan dimulai.

Dengan sumringah kau menatap pisau berlumuran darah ditanganmu, lalu iris indah itu beralih kembali pada sang kelinci yang tengah meringkuk kesakitan.

.

.

Bersiul, betapa menyenangkannya ini bagimu. Sangat kontras dengan mangsamu yang berwajah pucat saking takutnya padamu.

.

.

"Gomen, apa sakit?"

Rasanya ingin tertawa saja saat kau bertanya dengan nada polos seperti itu, tapi yah~

Itulah yang kau lakukan, tertawa sekeras yang kau bisa saat mangsamu tak lagi percaya akan kata-katamu.

Semakin beringsut menjauhkan dirinya dari jangkauanmu.

Tapi, hey!

Apa yang bisa dilakukan mangsa yang terluka parah jika bukan merangkak perlahan, bahkan kau rasa siput saja bisa lebih cepat darinya.

"GYYAAAA!"

Nyanyian indah itu terdengar lagi, kaki yang kau tusuk hingga pisaumu menembus menancap pada lantai membuatnya tak lagi bisa bergerak. Oh! Bukan, maksudku membuat dia tak bisa lagi lari darimu.

"Apa yang ini sudah lebih baik dari yang tadi?"

Wajah polosmu menambah ketakutannya kau tahu, itu membuatmu seperti psikopat yang haus akan jeritan dan sakit yang dirasakan mangsamu.

Tanpa permisi, pisau itu sudah kau cabut. Lagi, membuat sang lady mengalunkan suara indahnya.

Bukan lagi wajah memelas, tidak lagi memohon atau lagi kabur. Sekarang mangsamu menampakan wajah pasrahnya.

Itu tidak menarik.

.

.

.

.

"Hey, little lady. Kau tahu, aku tidak suka air mata."

Tentu saja kau tidak suka, kau hanya menyukai air berwarna merah itu.

"Dari pada mata indah itu kau gunakan untuk menangis,"

Cengiran secerah matahari itu kau tunjukan pada mangsa yang tengah ketakutan dihadapanmu. Bukan hal baik untuk korbanmu bukan?

"Lebih bagus jika mengalirkan darah untukku!"

Dengan secepat gerakan tanganmu, kau arahkan pisau itu kembali padanya. Mencungkil bola mata kanan sang little lady.

.

.

.

Menjilat bola putih yang berlumuran darah itu bagai ice cream strawberry untukmu.

"Hmm, manis!"

Suara riangmu menggema di ruangan lima kali enam meter itu, tak mempedulikan mangsamu yang memandang penuh horor dengan sisa matanya.

"Ne? Kenapa kau memandangku begitu?"

Memiringkan kepalamu tanda kau tidak mengerti, tentu saja kau hanya berpura-pura. Kau menatap kecewa saat tak ada jawaban darinya, hingga kau remas bola mata ditanganmu dengan kencang. Membuat bola putih itu pecah, seperti halnya bola air.

"Ah, lihat. Kau membuatnya pecah!"

Tuduhan tak mengenakan terhadap mangsanya.

Lalu seringai itu kembali, meninggalkan wajah polosmu. Menampakan deretan gigi-gigi putih rapi milikmu.

"Kau harus menggantinya dengan yang baru, my lady."

Kau memajukan tubuhmu, menjambak helaian pirang mangsamu dan mengarahkan pisau berlumuran darah itu, menyusuri setiap lekuk wajahnya. Menggoreskan luka panjang disepanjang perjalanan dari ujung pisaumu.

Tertawa bersamaan dengan jeritan yang keluar dari kerongkongan mangsamu, mengalun indah beriringan.

Wajah itu terasa puas, melihat betapa menyedihkannya seseorang di depannya kini,

.

.

.

Sang kelinci telah buta, meskipun berlari ia hanya akan menabrak pepohonan didepannya dan tersungkur di padang rumput.

.

.

.

"Cukup ah main-mainnya. Aku bosan."

Sang predator itu berjongkok di depan mangsanya, memasang wajah datar tanpa ekspresi di paras 'cantik'nya. Memperhatikan setiap perubahan pada raut wajah mangsanya, rasa takut, bingung, kecewa dan apalagi itu.

Sepertinya mangsa yang akan mati ini butuh penjelasan atas apa yang sebenarnya menyebabkan predator ini menyerangnya.

"Akh!"

Jambakan keras pada rambutnya membuat mangsanya terpaksa mendongak, menatap-oh sepertinya ia tidak bisa karena kini ia tak punya lagi mata untuknya melihat.

"Little lady, kau tahu kenapa aku melakukan ini padamu?"

Bibir berhias gincu merah muda itu bergetar, mengatup rapat. Ketakutan telah membuat mangsanya bungkam, dan ia tidak suka itu.

"Jawab!"

Gertakan kecil pun mampu membuat mangsamu tersentak dan kembali menangis, namun tangisan itu bukan lagi air bening melainkan kucuran darah yang terus mengalir dari lubang matanya.

Dengan cepat sang mangsa menggeleng, mungkin ia memang tidak tahu mengapa ia harus bernasib seperti ini.

"Khukhukhu, hahahaHAHAHA!"

Tawa mengerikan itu bagai suara kematian yang semakin mendekat, hatinya semakin mencelos.

Tidak ada lagi harapan untuk sang kelinci kabur. Bersamaan dengan tawa keras yang perlahan menjadi isakan kecil dari sosok di depannya yang telah menjelma sebagai iblis yang membawanya pada ambang kematian.

"Haha hiks, hiks. Kau tidak adil,"

Sang pemangsa berucap di tengah isakannya.

"Kenapa dia baik padamu, kenapa dia tersenyum saat bersamamu, kenapa ia bicara banyak denganmu, kenapa harus kau! Kenapa! KENAPA?!"

Menggeram kesal, sepertinya ia harus mengakhiri acara main-mainnya ini karena mulai membosankan. Dengusan remeh mengawali tindakannya, ia menatap wajah cantik yang kini telah ia rusak dengan indahnya. Tak ada rasa kasihan yang harus ia beri pada mangsanya ini.

.

.

.

Sang kelinci harus merasakan betapa rasa lapar sang serigala bisa membuatnya amat kejam.

.

.

.

"Well, Ino-chan. Aku berdo'a untukmu agar kau, MEMBUSUK DI NERAKA!"

CRASSH!

CRASSH!

.

.

.

dan

Malam sunyi nan dingin itu telah menjadi satu-satunya saksi dari kegilaan sang predator yang tengah menancapkan kuku-kuku tajamnya pada tubuh mangsanya. Mencabik dan menguliti tubuh itu tanpa ampun, menyisakan cipratan-cipratan darah yang menempel pada dinding, lantai serta pakaian sang pemangsa.

Menjadikannya bak' lukisan berdarah mengerikan, menggambarkan betapa menyenangkannya membunuh itu, betapa indahnya saat kau melihat hasil 'karya'mu pada tubuh terkulai di bawahmu.

.

.

Tubuh yang tinggal raga tanpa jiwa, tempat kosong yang telah ditinggal sang tuan.

.

.

.

Menyisakan pemangsa yang masih setia menghias setiap lekukan ditubuhmu.

Memperbanyak tinta merah yang ia tumpahkan disekujur tubuhmu, menarik lurus pisau miliknya sampai keperut. Menusuknya jauh ke dalam sana dan memutar-mutar gagang pisau ditangannya hingga luka itu menjadi sebuah lubang yang menembus kedalam perutmu.

.

Menariknya keluar bersamaan dengan ikut tertariknya talian usus dari perutnya,

"Ah, Ino-chan. Kau terlalu cepat mati, padahal aku ingin menunjukan padamu bagaimana cara membuat sate usus."

Meletakan gumpalan usus besar itu di lantai dingin, sang pemangsa mulai memotong-motong lilitan usus itu hingga kecil.

Mendendangkan senandung irama di tengah kegiatannya, matanya menatap lapar pada potongan-potongan kecil daging di lantai itu.

"Ne, bagaimana rasa ususmu ya Ino-chan?"

Ia mengambil satu potongan daging itu dengan jemari tangannya, menatapnya dengan antusias sebelum memasukan potongan daging itu kemulutnya.

"Hmm, agak kenyal."

Mengunyah daging itu dengan giginya, menikmati betapa sangat nikmatnya daging mangsanya.

.

.

.

"Cuih! Dagingmu tidak enak."

Pemangsa itu menatap kesal pada tubuh korbannya, sudah mati namun tetap membuatnya kesal.

Ingin sekali pemangsa itu membunuhnya dua kali, tiga kali dan bahkan lebih agar ia bisa menghilangkan rasa kesalnya.

"Bagaimana dengan yang lainnya ya?"

Tangan itu mengaduk-aduk isi perut korbannya, memecahkan lambung, mengoyak ginjal dan dinding perut itu dengan riang.

Senyumnya melebar dikala menemukan apa yang ia cari, hati mangsanya.

"Ne, Ino-chan. Kau bilang jika kau mencintainya dari hatimu yang paling dalamkan?"

Dengan sekali tarikan, hati itu terpisah dari organ lainnya. Beralih digenggaman tangan sosok di depannya.

"Heh! Mana, aku tidak melihat cintamu untuknya. Padahal aku sedang menggenggam hatimu."

Pemangsa itu berdiri, menjulang tinggi di hadapan korbannya, menamppakan tatapan dinginnya saat melihat tubuh yang hampir tak berbentuk lagi itu.

"Hati busukmu tidak pantas untuknya."

Gumpalan hati itu terjatuh begitu saja dari tanganmu, jatuh ke lantai dingin dekat kakimu.

Parasmu mengeras melihat gumpalan menjijikan itu, dengan sekali injak hati itu hancur di bawah kakimu. Menyisakan sisa-sisa daging yang menempel disepatu bertali milikmu,

.

.

.

Memuakan,

Sekarang sekujur tubuhmu penuh dengan dirinya, penuh dengan hal-hal yang menjijikan.

"Sudah ah, aku lelah."

Pemangsa itu mengambil sesuatu dalam celana jeans yang dikenakannya, sebuah korek api.

Menyalakan korek api itu, ia berjalan ke ruangan lain di sana. Meninggalkan mangsanya yang terbujur kaku, dan kembali dengan sebuah botol air mineral.

Membuka botol itu dan menumpahkan semua isinya pada tubuh di hadapannya, seketika penciumannya menangkap bau khas dari bensin ditangannya, menyebar keseluruh ruangan.

"Well, ada kata-kata terakhir Ino-chan?"

Mangsamu sudah mati, ingat?

Bagaimana ia bisa menjawabmu, sedangkan ia sudah mati.

"Ah, tidak ada ya?"

Clek!

Korek api yang sedari tadi ditanganmu kau nyalakan kembali, menatap nyala api orange merah ditanganmu lalu melemparkannya pada gundukan daging itu.

.

.

Kobaran api itu berkobar dengan indahnya, membakar sang mangsa. Memberikan warna lain yang nampak serasi dengan merahnya tinta, cantik.

Keindahan yang takkan pernah terlihat oleh seseorang yang bukan pembunuh.

.

.

.

Saatnya pulang bagi si pemangsa, meninggalkan kobaran api yang masih setia menyala melahap sisa buruannya.

.

.

.

#############*###########*##############*###############*###############*############

O. Kagari Hate The Real World.O

.

Tetesan-tetesan air jatuh membasahi luasnya hamparan bumi, memberikannya sebagai penyegar penghilang dahaga. Membuat tumbuhan menari-nari girang dengan senangnya, menyerap literan air dalam tanah. Tidak mengindahkan gerutuan dari makhluk hidup lain yang merasa kesal atas datangnya sang dewi hujan, berlarian menghindari air yang turun. Harusnya mereka berterima kasih karena telah diturunkannya hujan, tidakkah mereka tahu jika 70% tubuh mereka berupa air?

Sudahlah,

.

.

.

Pemuda bersurai kuning cerah berjalan dengan santainya, ditangan kirinya ia memegangi gagang payung dengan kain berwarna biru cerah yang melindunginya dari air yang bisa membuat tubuhnya basah. Langkahnya terhenti, ia mendongak ke atas menatap mendungnya langit yang masih meneteskan ribuan liter air ke permukaan tanah.

'Cantik.' Pikirnya, tersenyum melihat langit kelabu di atasnya.

Pandangannya kembali ia arahkan ke depan, menatap gerbang sekolahnya yang sudah terlihat dan mulai melangkahkan kakinya. Berjalan menuju sekolahnya.

"Minggir!"

Brugh!

Payung itu terlepas dari genggamannya, melayang keatas sebelum jatuh didekat tangannya. Ia meringis saat merasakan sakit pada lututnya.

"Sudah kubilang minggirkan, dasar kutu buku!"

Tak mempedulikan keadaan pemuda yang tersungkur dengan pakaian yang sudah kuyup di depannya, gadis berparas cantik yang telah menabraknya itu melenggang pergi meninggalkan pemuda itu.

Pemuda itu hanya meringis perih merasakan lututnya yang mulai mengeluarkan darah, ia mencoba untuk berdiri. Meraih payung biru miliknya yang tergeletak tak jauh darinya memegangi payung itu dan menjadikannya sebagai tumpuan beban tubuhnya.

"Kau tidak apa-apa?"

Ia mendongak saat sebuah tangan membantunya berdiri, memegangi bahunya yang sedikit gemetar karena dinginnya hujan. Pemuda bersurai panjang tersenyum lembut padanya, membuat semburat merah menjalar dipipi tannya.

"Hyuuga- se senpai."

Pemuda itu memalingkan wajahnya, menyembunyikan semburat merah yang muncul. Dengan dibantu, ia pun mampu berdiri tegak meski sedikit tertatih saat rasa perih menyerang lututnya.

"Kau baik-baik saja?"

Pemuda bersurai coklat tua panjang itu bertanya lagi, memastikan orang di depannya memang baik-baik saja.

"Y ya, aku baik-baik saja. Terima kasih,"

"Pakaianmu basah kuyup," Pemuda itu melepaskan jaket yang ia kenakan, "Ini pakailah." Ucapnya seraya menyerahkan jaket itu pada pemuda di depannya. Namun tak ada respon dari pemuda di depannya membuat ia mengernyit heran, ia melihat pemuda itu hanya menatap jaket ditangannya tanpa berkedip.

Puk!

"Eh?"

Jaket itu mendarat dengan halus dipundaknya, menyelimutinya dengan sisa-sisa kehangatan yang masih terasa.

"Kenapa diam saja, kau akan kedinginan bila terus memakai baju basah ditubuhmu itu."

Pemuda bersurai panjang itu tersenyum ke arahnya, membuatnya lagi-lagi harus memalingkan wajah darinya.

Tin! Tin! Tin!

"Neji, apa yang kau lakukan baka!"

Kedua pemuda itu menoleh ke asal suara, seorang pemuda bersurai raven tengah menatap kesal dari dalam sebuah mobil sport birunya. Ia menggeram kesal saat temannya itu hanya membalas ucapannya dengan lambaian tangan.

"Sepertinya aku harus pergi,"

Ucap pemuda bersurai panjang itu, ia menatap pemuda di depannya dengan senyuman.

"Kalau begitu, sampai jumpa Naruto." Pemuda itu melangkahkan kakinya cepat menuju mobil sport biru yang terparkir tak jauh di sana. Melambaikan tangannya sebelum memasuki mobil itu dan melaju cepat memasuki gerbang sekolah.

"Dia tahu namaku," Pemuda itu bergumam, ia mengeratkan jaket yang tersampai dibahunya dan berjalan kembali. Melupakan rasa perih pada lututnya.

.

.

.

Skip Time

.

.

.

"Sasuke-kun, mau makan siang sama-sama?" Gadis dengan paras cantik di depannya bertanya dengan penuh antusias. Tak mengindahkan jika ia telah diacuhkan oleh sang raven.

"Ayolah, aku sudah membuatkanmu bekal." Ucap sang gadis itu lagi, tak mau menyerah meski sudah jelas pemuda di depannya tak tertarik.

Pemuda itu mengalihkan pandangannya pada bangku kosong berjarak tiga bangku di depannya, ia sangat penasaran kenapa pemilik bangku itu tidak masuk hari ini padahal biasanya dia lah yang selalu membuatkannya bekal.

"Ino-"

"Berita buruk!"

Baru saja ia akan menanyakan tentang kemanakah gerangan pemilik bangku itu, kata-katanya terpotong oleh seorang gadis yang tengah mengatur napasnya di depan pintu, sepertinya ia habis berlari.

"Tenten? Ada apa?" Tanya gadis bersurai pink panjang pada gadis di ambang pintu itu.

"Be berita hiks buruk." Dengan tiba-tiba lelehan air asin mulai mengalir dari mata sang gadis, menyebabkan berpasang-pasang mata di kelas itu menatapnya bingung.

"Ada apa? Kenapa kau menangis Tenten?" Gadis bersurai pink itu tampak khawatir melihat temannya yang sudah menangi sesenggukan.

"I..Ino, hiks Ino.." Gadis itu tak mampu melanjutkan kata-katanya.

Brak!

Tap tap tap

Grep!

"Ino kenapa?"

Pemuda bersurai raven mencengkram erat kedua bahunya, menatapnya dengan tajam. Meminta penjelasan penuh akan semua kata-kata terputusnya.

"Sa Sasuke-kun, sakit.." Gadis itu meringis merasakan bahunya yang dicengkram, perlahan rasa sakit itu hilang saat cengkraman itu mulai mengendur.

"Apa yang terjadi pada Ino?" Pemuda raven itu terlihat lebih tenang meski hatinya tak bisa setenang itu. Ia takut, sangat takut jika kejadian itu terulang lagi untuk ketiga kalinya.

"I Ino, aku mendengar hiks da dari pembicaraan kepala se hiks sekolah jika Ino di ditemukan hiks hiks me meninggal." Setelah ucapan itu selesai tangisan yang sedari tadi ditahan sang gadis pun pecah, bersamaan dengan ekspresi terkejut dari orang-orang yang mendengar menuturannya.

Sang raven, ia berdiri mematung setelah mendengar ucapan gadis itu.

'Tidak mungkin.'

Wajahnya mengeras menahan emosinya, tangannya terkepal erat dikedua sisi tubuhnya.

'Ini tidak mungkin, tidak mungkin.'

Terus merapalkan kalimat yang sama dalam pikirannya, bagai mantra yang dapat membawanya kembali pada dunia nyata. Ia harus memastikannya dengan mata kepalanya sendiri.

Dengan itu, sang raven berlari keluar kelas. Melangkahkan kakinya lebar-lebar meninggalkan sekolahnya. Tanpa mempedulikan Neji yang berteriak memanggil-mangil namanya, ia tak peduli. Sekarang ia harus memastikan hal ini sendiri.

.

.

.

"Hah..hah..hah.."

Kakinya terus berlari, menjejaki jalanan yang ramai oleh kerumunan orang. Membawa kakinya berlari menuju puluhan orang yang tengah berkumpul di depan sebuah gedung tak terpakai. Dengan tidak sabaran, ia menyelip di celah kerumunan orang itu. Bergerak dengan sulit menuju barisan paling depan.

Ia ingin memastikan sesuatu.

.

.

.

Deg!

Ia melihat petugas ambulan yang tengah mendorong sebuah jenazah keluar dari gedung itu, kain putih menutupi seluruh bagian dari tubuh jenazah. Membuatnya tak bisa melihat untuk memastikan kebenarannya.

Wuush!

Tiupan angin kencang datang dengan tiba-tiba, memberikan kesempatan baginya untuk melihat jenazah itu karena petugas yang tak siap mempertahankan kain putih yang menutupi mayat itu.

Mencelos, ia melihatnya. Tapi ia tak bisa mengenalinya sama sekali, mayat itu hangus terbakar tubuh wajah dan seluruhnya berwarna hitam. Ia jatuh terduduk di tanah, perutnya serasa diaduk, rasa mual mulai menyerang perutnya saat menyaksikan sesosok mayat di depannya.

Ini terjadi lagi padanya, ia tak perlu lagi memastikan kebenaran dari berita yang ia dengar. Bukan karena ia telah melihat dengan mata kepalanya sendiri, ia bahkan tidak bisa mengenali mayat itu. Tapi ia tahu mayat itu Ino, gadis yang sampai kemarin dekat dengannya. Masih tersenyum dan bersendau gurau bersamanya.

Ia tahu itu, karena...

.

.

Ia tahu siapa pembunuh gadis malang itu.

.

.

.

Dari caranya membunuh, caranya menghilangkan jejak dengan membakar tubuh korbannya. Ia tahu jika pembunuh ini sama dengan orang yang telah membunuh Hinata dan Shion.

Seseorang yang telah memberikan terror padanya, dengan sekumpulan pembunuhan berantai pada setiap orang yang mulai dekat dengannya. Takut, kini ia semakin takut untuk melangkah. Kenapa pembunuh itu bisa tahu keberadaannya. Kenapa pembunuh itu terus mengikutinya.

"Sasuke!"

Pemuda bersurai coklat panjang berlari menghampiri sang raven yang tengah terduduk lemas. Ia menyentuh bahu temannya itu dengan lembut, sungguh ia sangat merasa iba akan apa terus menimpa sahabatnya ini.

Seluruh pembunahan yang terjadi di sekitar, terpusat pada Unzaki Sasuke..

.

Nama yang sekarang disandangnya, melupakan nama aslinya sendiri. Mengubur dalam-dalam setiap memori yang berhubungan dengan nama aslinya.

.

.

Uchiha Sasuke

.

.

"Neji..."

Pemuda bersurai coklat tua itu menatap sahabatnya.

"..kenapa ini..terjadi pada..ku."

Pertanyaan yang meluncur dari sahabatnya itu ia sungguh tidak tahu harus menjawab dengan apa, jika sang pemeran utama saja tidak tahu. Bagaimana dengannya yang hanya seorang pemain pendukung.

"Sasuke..."

.

.

.

To be Continue or end?

Terserah pada para readers saja, author hanya mengikutinya..

Review?

Or

May be flame?