Green Like The Land, Blue Like The Sky
Main Character: Machina Kunagiri; Ace
Genre : Romance, Drama, Fluff
Warning :
Boys Love;
Random time (tidak sesuai dengan timeline di game aslinya, latar waktunya di alternate ending tapi juga dimodifikasi dengan timeline dari waktu selama game berlangsung, tidak ada kristal-kristal, l'cie, maupun Arecia (tapi kemungkinan ada hanya saja dalam penyebutan saja di tengah-tengah cerita entah kapan), meskipun pertempuran tetap ada namun tidak ada pertempuran dengan Milites, Lorican, maupun Concordia karena tanpa kristal Milites bukanlah musuh Suzaku tapi monster-monster macam Flan, Behemoth, Cactuar, Marlboro, dll yang bukan manusia. Intinya kehidupan mereka normal nyaris tak dipengaruhi kristal, tapi tetap akan ada dead character tapi bukan karena medan tempur tapi sebab lain yang umum di masyarakat modern. Semacam operasi bedah waktu untuk FF ini untuk akhir yang bahagia alias Happy Ending); Semacam Final Fantasy Agito (maybe yes maybe not)
Fokus pada hubungan antar-mata (?),
Pendeskripsian tentang mata, siap-siap mabuk kepayang (maybe),
Don't like don't read, but at least leave the review after read this story.
Disclaimer : Final Fantasy Type 0's characters are owned by Square Enix; this story is mine
Hi readers, maaf banget ya kalo Epha vakum beberapa bulan setelah dengan gila-gilanya ngerayu readers buat review fanfiction yang sebelumnya dengan Can I See Your Eyes?, kali ini epha bawain ff tapi dari Final Fantasy Type 0, bukan Shingeki no Kyojin maupun Hetalia (padahal aku nggak pernah main gamenya, tapi nonton cutscenes nya dari youtube dan juga baca spoiler dari wikia). Tapi para karakternya baik yang playable maupun yang non-playable diisi voice actors yang sudah sangat terkenal di dunia anime, dan yang pastinya seiyuunya Levi (Hiroshi Kamiya) dan Eren (Yuki Kaji) juga ngisi karakter di game ini. Dan saya tahu bagi yang udah tahu game ini dan juga ceritanya pasti udah tahu siapa karakternya.
Sebenarnya Epha mau nge-publish fanfiction fari FF Type 0 yang lain yang udah lama aku buat pas kisaran bulan Oktober-November kalo nggak salah, tapi sampai sekarang masih belum selesai dan masih writterblock dengan itu (abis males sih, nggak ada mood). Makanya sekarang aku mau nulis fanfiction ini buat selingan aja.
Saran:
Biar kalian tahu seperti apa karakter-karakternya dan jalan cerita sesungguhnya, bagi yang belum tahu final fantasy type 0 tapi nggak punya game nya maupun nggak pernah main game nya sama sekali bisa iseng-iseng nonton gameplay nya di youtube atau baca cerita hingga spoiler-spoiler di di wikianya FF Type 0. Aku sama sekali nggak pernah main game nya karena emang nggak punya sama sekali, apalagi saya kurang begitu suka game action seperti itu. Tapi karena sering baca-baca tentang karakter-karakter baik di wikia maupun di blog-blog sama nonton di youtube. Aku lebih senang nonton dan ngedengerin yang versi Jepang karena aku ingin dengar suaranya seiyuu favoritku Hiroshi Kamiya dan Yuki Kaji (Levi dan Eren 3, Yato dan Yukine 3). Kalau aku nggak ngerti maksud dari cerita itu aku bisa cari tahu di wikia maupun di tumblr-tumblr yang bahas tentang FF Type 0.
Tapi itu cuma saran sih, nggak harus dipenuhi. Ada banyak cara bagi kalian untuk memahami cerita dan karakter-karakternya. Karena jujur saja fandom ini bisa dibilang kurang populer jika dibandingin dengan FF 7, FF 13, bahkan FF 15 yang belum keluar aja pada booming banget (sekali lagi aku nggak pernah main Final Fantasy seri manapun). Tapi karakter-karakter mereka unik dan temanya sekolahan gitu.
Overall, Happy Reading :)
Ace POV
Orang-orang bilang, orang jatuh cinta itu biasanya melalui mata, istilah kerennya (kata teman-temanku yang perempuan) "jatuh cinta pada pandangan pertama". Bahkan ada istilah dari mata turun ke hati. Kedua kalimat istilah itu memang benarnya adanya. Karena... aku mengalaminya sendiri.
-epha-
Pertama kali aku menatap matanya ketika pertama kali dia memasuki kelas kami, kelas 0, atau sebut saja bahasa kerennya Class Zero, sebagai murid baru di kelas kami saat itu, tentunya bersama seorang gadis yang ternyata merupakan teman masa kecilnya.
"Namaku Machina Kunagiri, salam kenal." Begitulah perkenalannya.
Pertama kali aku menatap matanya ketika dia memperkenalkan diri pada kami sambil memandangi ruangan kelas kami yang bisa dibilang luas namun sepi ini. Tanpa sengaja kedua mata itu bertemu pandang denganku.
Perasaanku...biasa saja sih... karena saat itu tempat dudukku sedikit jauh dari tempat dia dan teman perempuannya berdiri.
Maksudku, ayolah... mana mungkin aku bisa jatuh cinta padanya melalui kedua matanya kalau jarak tempat kami sejauh itu? Jujur saja, aku menyukainya bukan karena wajahnya yang tampan. Aku juga tampan. Teman-teman sekelasku laki-laki yang lain juga tampan. Kami di sini tampan semua. Buktinya kami terkadang sering dikeributi banyak gadis, baik dari teman kami sekelas maupun beda kelas, yah meskipun lebih banyak aku yang dikeributi sih, maaf bukan bermaksud sombong. Aku mencoba berbicara jujur, tapi terserah kalian mau menganggapnya sebagai apa.
Mengapa aku bicara begitu? Karena percuma saja aku mencintainya hanya karena wajahnya. Kalau hanya karena itu memang kelihatannya menarik, tapi lama-kelamaan itu hanya membuatmu bosan dengannya.
Wajah maupun fisik lainnya yang menarik hanya berumur sementara hingga berusia tua sudah tak semenarik apa yang kita lihat. Lagipula soal ketampanan, mau dibilang siapa yang dibilang paling tampan jika dibandingkan olehnya, tentu saja kujawab akulah yang paling tampan. Terserah aku mau jawab bagaimana. Karena aku laki-laki, dia juga laki-laki. Dia mungkin juga menjawab dirinyalah yang paling tampan. Ketampanan maupun kecantikan itu relatif.
-epha-
Baiklah cukup sudah tentang masalah tersebut. Itu bukan inti ceritanya. Baiklah baru aku ingat-ingat dulu di mana dan kapan aku mulai jatuh cinta pada pandangan (mungkin) pertama padanya.
.
.
.
Ah, aku ingat sekarang...
Ehm, baiklah langsung saja kuceritakan tempat dan waktu di mana aku pertama kali bertemu dengannya secara solo.
.
.
.
Sehari setelah pertemuan murid baru tersebut, di Crystarium, nama untuk perpustakaan di akademia, kami bertemu lagi di situ. Aku tidak tahu apakah saat itu beneran takdir atau cuma suatu kebetulan.
Saat itu aku sedang mencari buku-buku yang memang bisa kubaca. Saat aku sedang melihat di rak paling atas, tiba-tiba aku menemukan buku yang sepertinya sangat menarik untuk dibaca.
Saat aku mencoba mengambilnya...
Ugh...
Sial...
Ternyata tinggi badanku sama sekali tidak mendukung untuk mencapai buku tersebut.
Meskipun aku masih lebih tinggi daripada Eight yang tinggi badan semampai dengan wanita, bukti ada pada Queen yang tingginya sama dengan Eight. Kasihan Eight...
... tapi dengan tinggi badanku yang di bawah 170 cm rasanya sangat miris bagi seorang anak laki-laki sepertiku, apalagi tinggi badanku kalah dengan Seven yang notabene perempuan. Miris, bukan?
Belum lagi aku (dan Eight juga tentunya) sangat iri dengan Jack yang seusia (bahkan tanggal lahirnya belakangan denganku) dengan kami tapi memiliki tinggi badan hampir sama dengan teman-teman laki-laki sekelas kami yang berusia 1 tahun lebih tua dari kami mencapai di atas 180 cm (sebut saja Trey, Nine, dan King). Rasanya benar-benar malu sekali. Kalau seperti ini, apa kata dunia padaku?
Baiklah, rasanya aku sudah cukup melenceng dari cerita sesungguhnya dan malah curhat colongan seperti ini. Lebih baik sekarang kulanjutkan saja ceritaku di Crystarium barusan.
Saat aku sedang berusaha menjijitkan kakiku yang tetap saja tidak mampu membuatku mengambil buku yang ingin kuambil itu bahkan dengan meloncat sekalipun (Sial, memangnya sampai berapa sih tinggi rak buku itu? Menyiksa orang-orang pendek saja? Apa tidak disediakan tangga buat mengambil buku itu?), tiba-tiba ada seseorang yang mengambil buku tersebut. Saat kutoleh kepalaku...
Ternyata yang mengambil buku itu adalah Machina Kunagiri.
Syukurlah dia mau mengambil buku itu. meskipun dilihat dari tinggi badannya tidak tinggi-tinggi amat, bahkan aku sempat melihatnya berjinjit untuk mengambil buku itu tapi dia mampu mengambilnya dengan mudah. Bahkan saat aku sempat melihat data siswa yang dimilikinya, tinggi badannya hanya 175 cm meskipun usianya 17 tahun, sebaya dengan Trey, Nine, dan King kan? Bisa dibilang cukup miris untuk anak seusianya tapi tidak apa-apa, yang penting tinggi badannya dibilang cukup menarik untuk kaum hawa. Tidak sepertiku (dan sekali lagi *ehem* Eight. Maafkan aku, Eight).
"Machina...err... terima kasih kau mau mengambilkan buku itu."
"Err, maaf. Aku mengambil buku itu untuk diriku sendiri."
Bagaikan palu yang menghantam kepalaku atas kebodohan yang kulakukan karena Ge-eR nya aku mengira dia mau mengambilkan buku itu untukku. Bodoh sekali, rasanya aku seperti seorang cewek yang berharap ingin diambilkan sesuatu oleh seseorang. Banci benar aku ini. Rasanya aku ingin mematikan syaraf emosi di otakku karena saking malunya.
Sepertinya dia mau menyindir dan mengolok-olokku karena ke-Ge-eR-an tingkat langit itu.
"Ah, kamu mau ambil buku yang kuambil ini?"
Entahlah aku harus jawab bagaimana? Aku merasa sungkan padanya. Dia masih anak baru di class zero. Kalau aku minta dia ambil buku takutnya dia malah nggak suka padaku karena dia yang duluan ambil, padahal aku yang duluan berinisiatif untuk mengambilnya. Damn, badan pendek.
"I-iya, tapi kau sudah mengambilnya. Jadi ambil saja buku itu. Kau yang berhak kok. Aku cari buku yang lain saja."
Namun suara orang tertawa merupakan balasan dari perkataanku. OK, dia sudah menertawaiku karena fisikku yang pendek hingga aku gagal mencapai buku di rak tertinggi tersebut. Pipiku memerah karena malu.
Atau mungkin...
"Kau imut sekali..."
OK, mungkin ini sudah keterlaluan. Bisakah kau tidak menyindirku dengan kalimat laknat seperti itu, dalam hatiku. Rasanya aku ingin langsung keluar dari sini sekarang juga.
"Ehem, daripada kau repot-repot cari buku lain, bagaimana kalau kita baca buku ini bareng-bareng?" tawarnya
Eh... serius?
-epha-
Akhirnya kami membaca buku itu bersama-sama di meja yang tersedia. Mungkin aku sedikit awkward padanya karena ini pertama kalinya aku membaca buku bersama dengan orang lain, orang baru pula. Karena jujur saja untuk membaca buku saja aku lebih membutuhkan waktu sendiri daripada bersama-sama. Semoga saja kami bisa menikmati buku itu bersama-sama.
"Ngomong-ngomong aku belum tahu namamu. Kita belum kerkenalan lebih dekat, bukan?" kata Machina to the point. Ah iya, aku belum berkenalan dengannya sebelumnya, karena di kelas tadi dia tidak duduk di dekatku melainkan duduk di sekitar Jack, Seven, dan juga gadis yang bersama Machina itu yang kuketahui bernama Rem Tokimiya.
"Namaku Ace."
"Oh, Ace. Salam kenal juga, Ace. Nama belakangmu siapa?"
"Aku tidak punya nama belakang." Jawabku to-the-point.
"Hah, kenapa begitu?" tanyanya sekali lagi
"Karena itu bukan namaku sebenarnya." Jawabku jujur. yah, sudah waktunya aku bilang begitu karena dia bagian dari Class Zero, bukan?
"Ngomong-ngomong kau sudah berkenalan dengan siapa saja di kelasku, maksudku kelas kita?" tanya Ace mencoba untuk mengalihkan pembicaraan barusan, ya setidaknya agar dia tahu sendiri tentang nama-nama kami.
"Ah, di kelas... karena aku duduk di sekitar Jack dan Seven, aku mulai berkenalan dengan mereka terlebih dahulu. Setelah itu aku berkenalan dengan gadis berkacamata yang namanya Queen dan gadis berambut kepang tapi bagian depan rambutnya dibiarkan bergelantungan seperti untaian bunga gitu. Kalau tidak salah namanya Cinque." Cerita Machina.
"Anehnya Cinque justru salah memanggil nama kami. Maksudku, namaku Machina, tapi dia memanggil namaku 'Machinan'. Begitu juga dengan Rem yang justru dipanggil 'Remucchi'. Jauh banget kan?" curhat Machina
"Hahaha... itu bukan karena dia salah memanggilmu. Kebiasaannya memang untuk memberi nama julukan pada hampir setiap orang. Terkadang dia juga memanggilku 'Acey'."
"Oh, begitu..."
"Bahkan kau tahu Moogle kami di Class Zero?"
"Iya, aku tahu. Memangnya kenapa?"
"Cinque dengan kekeuh menamainya Moglin karena nama aslinya Moogle kami kepanjangan baginya. Kalau kami hanya perlu memanggilnya 'Mog'."
"Hahaha, gadis itu lucu juga ya, hahaha..."
"Tapi jangan bicara seperti itu kalau sudah tahu aslinya dia."
"Ha? Memangnya kenapa? Apa dia sebenarnya introvert?"
"Bukan, bukan begitu. Kau mau tahu senjatanya apa?"
"Ha? Apa senjatanya?" tanya Machina penasaran.
"Gada" jawabku sambil berbisik.
"Serius?" jawabnya hampir mau teriak kalau tak sadar ini masih di Crystarium.
"Iya, gada. Senjata paling berat di antara senjata lainnya. Teman sekelas kita yang bisa dibilang paling besar yaitu King saja sudah ngos-ngosan mencoba membawa gada itu karena merasa keberatan. Apalagi tipe pemberontak macam Nine."
"Bahkan kau sendiri?"
"Jangan tanyakan itu. Aku ditantang seperti itu mending kutolak saja. aku tak mau kena resiko keseleo di sekujur badan deh."
Kami berdua pun tertawa lepas, tapi tetap melihat keadaan sih karena sekali lagi. Ini masih di Crystarium.
Ya sepanjang obrolan kami yang hampir membuat kami lupa tujuan awal yaitu baca buku, kami sempat bercerita tentang teman-teman baru bagi Machina dan aku menanyakan apa saja yang ia ketahui dan dia menceritakan semuanya yang ia ketahui, terutama kesan pertamanya terhadap Class Zero. Mulai dari Nine tipe anak bengal, Deuce tipe gadis baik-baik dan lugu, Queen tipe siswi teladan, King yang bagi Machina terlihat seperti anak punk karena gaya rambutnya yang tidak biasa, Eight yang *ehem* pendek *ehem* tapi kuat, katanya dia kaget baru tahu kalau Eight bisa melawan musuh hanya dengan tangan kosong.
"Dan Eight menyambutku sangat ramah sekali. Dia mengaku senang akhirnya aku masuk di kelas ini."
"Oh ya, tumben sekali anak itu menyambut orang lain seperti itu. Alasannya apa?"
"Katanya sih karena dia sudah ada temannya yang nggak berambut pirang selain dia yaitu aku, gitu."
"Hahaha...ada-ada saja dia." Aku begitu geli dengan cerita Machina tentang Eight.
Meskipun memang kusadari bahwa memang di antara kami sebagai bocah laki-laki di kelas kami (bocah laki-laki saja ya, nggak bahas tentang gadis-gadis), selain paling *ehem* pendek *ehem*, dia satu-satunya murid laki-laki di kelas kami yang tidak berambut pirang karena rambutnya merah. Untuk itulah kenapa aku menanggapinya fine-fine saja. Aku bisa memakluminya dan membayangkan rasanya jadi yang berbeda dari yang lainnya, toh Eight menurutku termasuk bocah kalem dan penyabar dan aku sebagai teman senasib *ehem* kurasa kalian sudah tahu itu *ehem* tetap bisa berhubungan baik dengannya, tidak seperti Nine yang satu kata menyinggung saja bisa bentrok sana-sini, hehehe...
Yah selain itu, kami juga menceritakan tentang kelas kami masing-masing, dia menceritakan dirinya saat dia masih di kelas 2 atau Class Second di mana siswa-siswi memakai indigo. Dan senjata-senjata yang kami gunakan selama latihan maupun saat diterjunkan dalam medan tempur. Pokoknya banyak sekali yang kami bicarakan.
"Oh ya, ngomong-ngomong teman gadismu ke mana ya? Kok tidak bersamamu." Tanyaku setelah selesai berbincang-bincang yang membuat kami benar-benar sudah lupa tujuan awal kami sebelum pertemuan ini. Sebelumnya apa ya?
"Siapa? Rem?"
"Iya. Bukankah dia sering bersamamu setiap saat?"
"Hmm, mungkin lebih tepatnya aku yang sering bersamanya setiap saat."
"Hah, kok gitu?"
"Karena aku sangat overprotektif padanya, takut kalau dia terjadi apa-apa padanya. Lagipula dia satu-satunya sahabat yang kupunya mulai dari kecil hingga saat ini."
"Tapi bukannya Rem dari kelas 7 atau Class Seventh?"
"Memang, karena sejak tujuh tahun kami tidak ketemu saat pertama kali kami terdaftar sebagai Cadet di Suzaku Peristylium. Lucu sekali aku jarang melihatnya tujuh tahun, padahal jelas-jelas dia bersekolah di tempat yang sama hanya beda kelas. Mungkin kesibukan kami karena tugas dan latihan membuat kami jarang ketemu." Jelasnya sedikit lirih
"Bagaimana kalian ketemunya selama ini?" tanyaku penasaran
"Iya, setelah tahu dia dari Class Seventh aku sering menghampirinya setiap saat cuma memastikan Rem baik-baik saja. Toh dia sama sekali tidak pernah komplain padaku tentang sikapku dan kami jadi semakin dekat satu sama lain dan sering berbagi cerita tentang kesibukan kami di kelas masing-masing sekaligus belajar bersama jika ada mata pelajaran yang sama begitu." Cerita Machina panjang lebar tentang hubungannya dengan Rem.
"Hmm, begitu..."
"Tapi sekarang dia sedang sibuk jadi pusat perhatian dan kerubutan anak-anak perempuan Class Zero itu di beranda Peristylium. Aku merasa dicuekin, tapi aku juga sungkan karena di beranda itu cuma anak-anak perempuan aja, hanya aku saja yang laki-laki. Jadi..."
"Jadi karena itu kau di sini?"
"Bingo!"
"Ok, aku mengerti sekarang. Tapi apa dia tahu kau di sini?"
"Aku sudah memberitahunya sebelum aku meninggalkannya. Kuharap dia tahu itu." aku hanya menanggapinya dengan gumaman. Sesaat kami diam seketika. Bingung mau membahas topik apalagi ya?
"Eh, aku baru nyadar ada yang ingin kutanyakan padamu."
"Eh, apa itu?"
Setelah menolehkan kepalanya padaku, dia dengan jari-jarinya yang dikaitkan untuk dijadikan tumpuan dagunya hendak berpikir sesuatu sebelum berbicara.
"Kenapa jika kuperhatikan, kusadari nama-nama teman-temanmu itu tidak seperti nama orang pada umumnya?" Akhirnya apa yang kutunggu-tunggu tiba juga. Dia menanyakan tentang dibalik nama kami yang tidak biasa ini. Itulah alasannya kenapa aku sempat mengalihkan pertanyaan sebelum dia tanya tentang namaku yang tanpa nama belakang. Alasannya biar aku tidak menjelaskannya dua kali. Langsung saja kujelaskan tentang nama-nama teman-temanku.
"Maksudmu?" Aku mencoba pura-pura tidak tahu pertanyaannya.
"Nama-nama temanmu terdengar seperti nama-nama angka, seperti Seven, Eight, dan Nine. Apa mereka itu saudara? Tapi mereka tidak mirip? Oh ya, dan juga nama King dan Queen, itu memang nama asli mereka atau hanya nama julukan mereka sih? Apa jangan-jangan Cinque yang menjuluki mereka King dan Queen?" begitulah pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya padaku.
Sepertinya dia melupakan beberapa temanku yang lainnya seperti Deuce, Trey, Cater, dan lainnya. Mungkin karena nama-nama mereka masih terdengar umum untuk dijadikan nama orang. Apalagi nama Jack yang jelas-jelas menurutku udah jadi nama pasaran karena seringnya aku mendengar nama Jack di sekitar Peristylium.
Inilah saatnya kujawab semua pertanyaannya.
"Seven, Eight, dan Nine bukan saudara, mereka teman biasa, apalagi tentang King dan Queen itu bukan nama asli mereka, tapi juga bukan nama julukan." Jawabku tenang.
"Lalu, sebenarnya mereka siapa?"
Aku memutar badanku untuk menghadap kepadanya, dia menolehkan kepalanya padaku untuk mendengarkan penjelasanku.
FYI, selama aku berbincang-bincang dengannya mulai dari awal pertemuan kami hingga saat ini, aku tidak melakukan kontak mata dengannya. Meskipun aku memandangnya, yang kupandang hanya gerak-gerik mulutnya. Karena melakukan kontak mata dengan orang yang baru dikenal justru membuatku awkward. Meskipun aku selama beberapa tahun bersama teman-teman Class Zero ku, tapi aku hanya melakukan kontak mata dengan beberapa orang aja yang menurutku nyaman, tidak semua temanku. Kontak mata hanya akan membuat diriku tampak gugup dan terkadang aku jadi lupa tujuan awalku menghampirinya. Aku tidak tahu kenapa, padahal aku belum pernah mencobanya. Tapi aku takut.
Baiklah, sampai di mana tadi? Oh ya, aku saat itu menjawab pertanyaan dari Machina tentang nama-nama kami.
"Sebenarnya nama kami, sebagai murid-murid Class Zero, bukanlah nama asli semua, tapi nama kode." Jawabku jujur.
"Code name?" tanyanya bingung
"Berarti Jack, Deuce, dan yang lainnya, juga kamu, itu juga..."
"Nama kode."
"Tapi...bagaimana bisa kalian pakai nama kode? Nama asli kalian?"
"Selama kami masih Class Zero, kami tak bisa memakai atau memberitahu nama asli kami. Karena Class Zero lebih sering diturunkan dalam medan tempur daripada mengikuti pelajaran di kelas. Jadi, semacam kami lebih ditekankan praktek daripada teori."
"Kalau memang gitu...aku tak bisa memanggilmu dengan nama aslimu dong."
"Tentu saja tidak bisa. Toh aku dan teman-teman juga saling tidak tahu nama asli masing-masing. Kami tidak diperbolehkan menyebut nama asli kami selama kami masih bagian dari Class Zero baik di luar maupun di depan teman-teman sendiri."
"Oh, begitu..." sejenak dia berpikir.
Entah kenapa aku melihat posenya saat berpikir aku jadi merasa geli. Dia terlihat imut sekali. Hihihi... Aku sedang menunggu dia bertanya tentang nama-nama kami yang masih perlu dia telusuri. Dia perlu menganalisanya sendiri. Kenapa aku jadi geli membayangkannya untuk menyuruhnya menjadi detektif dadakan ya?
"Ngomong-ngomong tentang namamu dan yang lainnya di Class Zero..."
"Iya..."
"Mulai dari beberapa teman di Class Zero yang namanya berupa angka sampai nama King dan Queen, jika aku sedikit perhatikan emm...Seven, Eight, Nine,...King, Queen. Oh tunggu-tunggu...Queen, King...Jack..." dia sedang bergumam sendiri untuk berpikir menemukan rahasia kami sementara aku menikmati tontonan mengasyikkan ini.
Kenapa mengasyikkan? Karena akhirnya aku punya teman yang bisa kuajak untuk berbincang-bincang dan berbasa-basi bersama secara menyenangkan, untuk pertama kalinya.
Aneh memang.
Padahal aku tidak pernah melakukan hal seperti ini terhadap teman-teman Class Zero ku sendiri. Aku lebih menanggapi mereka to-the-point daripada basa-basi.
Tapi...
Bersamanya... Machina... entah kenapa aku bisa bersikap ramah 180 derajat seperti ini daripada yang lainnya?
Bagaimana aku bisa mengobrol dengannya begitu nyaman sekali? Padahal aku tidak terlalu suka mengobrol lama-lama dengan yang lainnya?
Ada apa denganku ya?
"Ah, aku tahu sekarang..."
Seketika lamunanku buyar dari pikiranku sendiri.
"Nama-nama kode kalian diambil dari permainan kartu remi kan?"
"Bingo!" jawabku menirukan gaya saat dia mengatakan 'Bingo' sebelumnya.
"Berarti kau, Ace, namamu diambil dari kartu As kan?"
"Yap, benar sekali."
"Akhirnya..." bagaikan seseorang yang menang karena menjawab kuis, dia tampak bahagia sekali. Aku tersenyum melihatnya.
"Tapi tentang nama Deuce, Trey, Cater, Cinque, dan Sice kok tidak seperti nama angka ya?"
"Karena mereka memakai nama adaptasi dari bahasa latin angka-angka mereka, aku tidak tahu kenapa? Mungkin biar lebih berbeda saja ya." Dia hanya menjawab 'Ooo' saja setelah itu.
"Tapi, mana angka 10 nya? Kok dari jumlah siswanya sebelum kami masuk cuma 12? Kalau nggak salah di permainan kartu remi ada Jokernya juga? Apa di sini ada orang dengann code name Joker?"
"Di Class Zero kita memang punya Joker dan yang mewakili angka 10 code name nya Tiz."
"Benarkah? Lalu di mana mereka?"
"Mereka sudah keluar sejak setahun yang lalu."
"Eh, anggota Class Zero bisa keluar juga? Kenapa memangnya?"
"Aku juga tidak tahu. Itu alasan pribadi mereka dan hanya mereka yang tahu mengapa mereka memutuskan keluar. Mungkin saja mereka sudah tak tahan di sini."
"Oh, begitu... sungguh disayangkan jika ada murid Class Zero yang keluar. Kan jadi nggak lengkap kan 'kartu remi' nya." Candanya sambil memeragakan wajah cemberutnya.
"Siapa bilang udah nggak lengkap. Sudah ada pengganti mereka kok, yaitu kau dan Rem tentunya." Jawabku.
"Benarkah? Berarti kami di Class Zero bakal punya code name dong. Berarti namaku bukan lagi Machina, melainkan Joker atau Tiz. Tunggu, nama Tiz terkesan feminin. Mungkin Rem yang lebih pantas memakai code name Tiz dan aku sebagai Joker. Hm... cocok juga. Berarti namaku sekarang Joker." Tukasnya dengan gaya jari jempol dan telunjuk ditaruh di dagu seperti orang narsis.
Entah kenapa mendengar kata-katanya dan melihatnya bergaya seperti itu membuatku tertawa terbahak-bahak, hingga aku sempat ditegur oleh beberapa pengunjung Crystarium karena berisik. Ups...
Baiklah, kembali ke situasi semula. Aku harus menjelaskannya pada Machina. Oh Machina, kau benar-benar membuatku merasa seperti orang bodoh sekali pada hari ini karena terlalu banyak senyum dan tertawa.
"Ehem... OK. Hihihi...aku mengerti apa yang kau maksudkan dan aku juga berpikir seperti itu. Sayangnya kau dan Rem tidak akan memakai nama Joker dan Tiz."
"Lho kenapa?" Raut mukanya yang konyol barusan mendadak serius dan penasaran.
"Karena meskipun mereka keluar, code name mereka akan tetap menjadi milik mereka meskipun mereka akhirnya bisa menggunakan nama asli mereka."
"Kenapa bisa begitu? Apa mereka bisa memakai code name mereka sekaligus?
"Yap. Mereka tetap bisa memakai code name dan nama asli mereka sekaligus. Tapi mereka tidak akan ikut dalam kegiatan Class Zero."
"Lagipula Joker dan Tiz sudah bersama kami sejak kami kecil, ditambahnya Class Zero ke bagian kelas-kelas akademia hingga mereka keluar. Jadi tak ada yang bisa menggantikan code name mereka meskipun murid baru masuk sekalipun."
"Kalau boleh tahu, siapa sih yang memberikan kalian code name seperti itu?"
Sejenak aku berpikir terlebih dahulu, bagaimana menjawabnya. Karena aku sendiri tidak tahu siapa yang memberikan nama kami, lebih tepatnya aku sudah lupa siapa dia.
"Aku...tidak tahu... yang pasti seseorang yang sudah lama tak bersama kami." jawabku sejujurnya, memang benar aku tidak mengenalnya.
"Eh, kok bisa lupa sih?"
"Aku juga tidak tahu. Dia selalu bersama kami dan membesarkan kami sejak kami masih kecil. Dia jugalah yang membangun kelas 0 di Suzaku Peristylium. Tapi setelah itu, dia menghilang begitu saja, dan... kami sudah lupa tentangnya begitu saja. Tapi kami masih mengingatnya tentang jasa-jasa yang dia berikan padaku. Pada kami." Jelasku panjang lebar sambil mengerlingkan mataku ke arah lain.
"Apakah kalian dulu tinggal di panti asuhan bersama-sama dengannya?" tanyanya
"Tidak. Tempat kami bukan di panti asuhan. Di panti asuhan pasti akan ada anak yang pergi karena sudah diadopsi orang tua lain. Tapi saat dengannya, kami benar-benar keluarga besar. Tidak ada yang pergi sama sekali. Mereka semua adalah saudara-saudaraku meskipun tak sedarah. Begitu."
"Oh, maaf kalau aku menyinggung soal panti asuhan." Sesalnya
"Ah, tidak masalah. Aku mengerti kok." Jawabku berusaha menghiburnya dari sesalnya.
"Berarti aku dan Rem, untuk saat tidak punya code name? Padahal kami sduah masuk Class Zero."
"Iya, untuk saat ini kalian tetap pakai nama asli kalian saja meskipun kalian juga ditugaskan untuk ikut bertempur bersama kami." tukasku
"Lagipula, nama asli kalian saja sudah terdengar tidak umum sekali. Terutama kau. Machina. Namamu seperti mesin saja. Orang-orang pasti mengira kau itu robot karena nama seperti itu." ejekku yang ditanggapi oleh tawa darinya.
"Ya ya ya, aku tahu itu. Salahkan orang tuaku yang memberikanku nama seperti itu. Teman-teman kampungku saat masih kecil pernah mengejekku karena nama aneh ini." Cetusnya dengan nada sebal.
"Hihihi...tapi dengan namamu yang antimainstream dari nama orang umumnya, kau bisa dikenal banyak orang karena tak ada orang yang mengembari namamu. Kurasa orang tuamu cukup kreatif dalam memberikan nama anaknya."
"Hehehe... kau bisa saja..." jawabnya sedikit tersipu.
"Tapi kalau boleh tahu, nama Machina itu diambil dari istilah 'Deus Ex Machina' yang artinya Dewa dari Mesin. Iya nggak sih?"
"Yah, begitulah. Lagipula kata ibuku, dengan namaku berdasarkan pengertian dari istilah seperti itu diharapkan agar aku bisa menjadi pemberi solusi yang baik dan handal dalam segala masalah."
"Hmm... terdengar seperti harapan untuk menjadi seorang pemimpin." terka ku
"Yah, kedengarannya seperti itu. Hah, Sayangnya apa yang diharapkan orang tuaku tidak sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya karena selama ini aku lebih seperti seorang pecundang." Kata-katanya yang merendahkan dirinya sendiri membuatku sedikit terenyuh mendengarnya. Ini bukan seperti Machina yang ceria tadi.
"Kok, kamu bicara kayak begitu? kau pasti bercanda, kan?"
"Tidak, aku tidak bercanda." Seketika raut wajah Machina yang tadinya berseri-seri kini sedikit muram. Matanya menghadap ke arah meja.
"Meskipun namaku diambil dari 'Deus Ex Machina', tapi pada kenyataannya aku seperti pecundang. Meskipun aku saat itu ditempatkan di Class Second dah kerap kali kemampuan dan prestasiku diperhitungkan di sana hingga aku ditempatkan di Class Zero, tapi aku selalu merasa kurang dan makin hari aku merasa makin kurang. Aku merasa masih takut. Takut jika aku gagal. Takut jika aku tak dapat meraih impianku. Takut akan apa yang terjadi. Entahlah aku takut apa saja, tapi yang pasti... aku takut segalanya... termasuk diriku sendiri... Aku tak pantas menjadi seorang pemimpin, meskipun semua orang mengharapkanku, termasuk keluargaku sendiri..." ceritanya terdengar makin lirih. Entah kenapa hatiku jadi sakit mendengarnya. Seketika suasana hangat yang kami rasakan tadi mendadak jadi suram. Bagaimana aku menghiburnya? Kami masih baru kenal.
Akhirnya kucoba untuk memegang bahunya sekedar untuk memberinya sedikit kekuatan. Kucoba untuk memberikan kata-kata yang setidaknya bisa menghiburnya, atau membesarkan hatinya. Setidaknya dia perlu berjuang untuk membuktikan pada dirinya, bahwa dia bukan pecundang dan aku yakin dia bisa jadi pemimpin untuk ke depannya. Siapa yang tahu suatu saat nanti Dewi Fortuna bisa berpihak kepadanya.
"Ehm, Machina... aku tahu aku masih orang baru bagimu. Tapi jika boleh... aku hanya ingin bilang padamu kalau..." kucoba untuk mencari kata-kata yang pas untuknya.
"Setiap orang pasti punya kekurangan. Lagipula dari waktu ke waktu setiap orang pasti akan terus punya kekurangan maupun melakukan kesalahan, baik sedikit maupun banyak. Manusia tak ada yang sempurna, termasuk juga pemimpin." Seketika Machina menolehkan kepalanya padaku. Aku tidak boleh menatap matanya dulu. Belum saatnya. Nanti aku bisa gugup. Kucoba melihat jembatan alis di atas hidung. Tapi sekilas sempat kulihat kalau warna matanya biru keabuan, atau mungkin abu-abu.
"Menurutku, pemimpin yang sejati bukanlah pemimpin yang punya sedikit atau tidak ada sama sekali kekurangan dan kesalahan, tapi pemimpin yang sejati justru merupakan pemimpin yang punya banyak kekurangan dan kesalahan tapi menjadikan kekurangan dan kesalahan sebagai pelajaran untuk menjadi seorang yang lebih baik dari waktu ke waktu.
Jika kau merasa kau punya rasa takut, gunakanlah rasa ketakutan itu untuk bisa menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya. Jadikan segala kekuranganmu dan kesalahan yang kau lakukan sebagai sesuatu yang bisa membuatmu menjadi seseorang yang berarti bagi semua orang. Takut gagal itu wajar. Tapi jangan sampai ketakutan akan kegagalan membuatmu berhenti mencapai sesuatu yang kauinginkan. Jadikan ketakutan akan kegagalan sebagai kekuatan untuk terus, terus, dan terus berjuang untuk mencapai sesuatu hingga kau tidak takut lagi akan kegagalan, sehingga kau bisa tahu apa yang bisa kau lakukan untuk mencapai sesuatu yang kau harapkan.
Tidak semua sesuatu bisa kau dapatkan, tapi setidaknya kau sudah bisa mencapai paling tidak satu atau dua tujuanmu. Dan untuk seterusnya kau bisa berjuang untuk menjadi sesuatu yang berarti tanpa rasa takut lagi. Karena kau sudah punya rasa optimis bahwa kau pasti bisa apapun rintangannya. Itulah seorang pemimpin sejati menurut opiniku. Jadi bagaimana menurutmu?" segala kata-kata penyemangat sudah kukeluarkan. Apa kepanjangan yah? Semoga saja Machina bisa menangkap kata-kataku barusan.
Sejenak dia menundukkan kepalanya. Ada apa dengannya? Apa dia tidak tersinggung dengan kata-kataku? Kenapa aku khawatir sendiri?
"Aku tahu sampai sekarang aku masih belum yakin akan diriku sendiri apa aku bisa melakukannya apa tidak... Tapi, terima kasih banyak atas nasihatmu barusan. Setidaknya aku sudah merasa jauh lebih baik. Tak kusangka kau sungguh perhatian padaku." aku hanya membalasnya dengan senyuman. Sudah menjadi kewajiban sebagai teman. Ya kan?
"Ace..." dia mengambil kedua tanganku untuk dipegangnya. Eh, apa ini?
"Terima kasih kau sudah menemaniku saat ini. Terima kasih untuk waktu yang kau berikan padaku. Terima kasih banyak, Ace..." ucapnya penuh arti, dan saat itu juga...
Untuk pertama kali...
Aku menatap matanya... secara intens (itupun secara tak sengaja. Bodohnya aku.)
Ternyata warna matanya bukan biru keabuan, tapi...hijau...
Warna hijau itu, terasa menyejukkan di mataku, secara langsung.
Mata hijau itu tersenyum seiring dengan tersenyumnya Machina padaku. Berkilau... dan indah sekali...
Warna hijau itu seakan ingin menarik mataku untuk masuk ke mata pemiliknya... lebih dalam...
Seketika jantungku berdegup kencang.
Anehnya... mataku tak henti-hentinya memandang bola mata itu.
Padahal biasanya jika aku tak sengaja melakukan kontak mata dengan orang lain selain teman-temanku, aku langsung mengalihkan pandanganku ke arah lain dan langsung gugup. Setelah itu tidak mau menatap mata lagi.
Tapi ini... tidak sama sekali...
Menatap mata hijau itu justru membuatku menjadi patung dalam waktu sekejap. Tetap dalam posisi menatap matanya.
Warna hijau di matanya seakan mengandung sejumlah klorofil yang terkumpul dalam lingkaran pelangi atau bahasa biologisnya iris mata, seakan iris mata itu berperan sebagai pengganti daun.
Seketika...bibirku mengulum senyuman. Membalas senyumannya.
Sepertinya setelah kejadian ini, aku tak dapat melupakan mata hijau itu. Untuk seterusnya.
Tiap kali aku membayangkan mata hijau itu memandangku, jantungku tak henti-hentinya berdetak kencang, hingga wajahku bersemu merah dan hatiku berbunga-bunga.
Mungkinkah aku sudah jatuh cinta padanya? Jatuh cinta pada pandangan pertama?
.
.
.
TBC
NB:
Bayangkan jika FF ini dijadikan film beneran atau manga, akan lebih banyak zoom in dan close up pada bagian mata. Aku tahu ini terkesan seperti seeing eye, tapi di anime biasanya zoom ini dan close up mata itu menarik bagiku. Aku ada kecenderungan fetish terhadap mata orang. Tapi yang di zoom in dan di close up matanya cuma Ace dan Machina karena fokus cerita ini lebih ke mata dua tokoh utama ini.
Hi readers, saya tahu kalau fandom untuk fanfic ini bisa dibilang kurang populer seperti yang sudah saya jelaskan. Saya menyukai FF Type 0 itu justru karena ada Hiroshi Kamiya dan Kaji Yuki, apalagi saya ngeship Kamiya x Kaji (efek Ereri). But saya mulai jatuh cinta pada Machina-Ace melebihi Ereri (ups, keceplosan...) Gila ya, padahal itu udah dirilis di PSP tahun 2011, tapi kenapa baru suka pada tahun 2015 ya?
Berawal dari nonton video lagu duetnya Kamiya-Kaji yang Magical Moments buat OST nya Disney di Youtube. Pas baca komen-komen tentang video itu, di mana mereka komen tentang Eren-Levi, Yato-Yukine, dan karakter-karakter mereka di anime, tanpa sengaja aku nemu nama karakter Machina-Ace di komen yang ternyata merupakan karakter Final Fantasy. Aku baru tahu kalau Kamiya dan Kaji ngisi suara di Final Fantasy. Pas nyoba nyari nama mereka di youtube untuk FF Type 0 versi Jepang, ternyata menarik juga.
Terus aku juga berburu gambar-gambar baik official maupun fanart di tumblr, pixiv, dll, aku mulai nge-ship Machina-Ace karena selain suara Levi-Eren, aku merasa mereka juga punya relationship yang cukup kuat serta kompleks, ada hubungan baik dan buruk juga, tapi hubungan mereka tetap menarik lho. Sayang pair ini kurang sepopuler Levi-Eren (mungkin zaman itu Levi-Eren masih belum ada, makanya tokohnya Kamiya dan Kaji masih belum populer. Ya iyalah, tahun 2011 secara. Sedangkan Shingeki no Kyojin tahun 2013), malah lebih terkenal Machina-Rem karena mereka emang canon dan official serta Ace-Deuce (belum resmi sih, cuma emang terkenal banget pair ini. Mungkin sama-sama kawaii ya. Saya juga lumayan suka pair ini kok untuk ukuran straight). Tapi emang logis sih secara jumlah tokoh playable antara cowok dan cewek jumlahnya sama. Jadi pair straight lebih populer dibandingin yang pair slash. Jadi masing-masing laki-laki dan perempuan saling berpasangan, tinggal sesuai selera kita masing-masing saja.
Tapi momen MachiAce tetap seru kok untuk dilihat, apalagi pas Alternate Ending, wuih... udah keliatan banget nih kalau bau-bau 'romance' mereka kerasa bingit.
But overall, FF Type 0 ini cukup menarik untuk diikuti dan dibuat fanfik. Untuk itulah aku bikin fanfik seperti ini. Selain itu fanfik Machina x Ace juga masih sedikit, itu kalo banyak itu dalam bahasa lain. Makanya aku tulis dalam bahasa Indonesia biar bagi orang Indo yang masih kurang bisa baca fanfik dengan bahasa Inggris atau yang malas baca bahasa Inggris n pengin nyari yang berbahasa Indo, di sini rujukannya.
Cukup sampai di sini curcolnya. Terima kasih buat perhatiannya, dah mohon maaf jika FF ini masih kurang bagus untuk disebut romance karena lebih kebanyakan curcolnya. Maunya sih dibikin one shoot, tapi apa daya, aku masih belum bisa bikin FF sesingkat mungkin dan malah jadinya banyak cerita yang masih harus ditulis. Tapi tetap saya merasa excited sekali bisa menulis fanfik seperti ini, dan semoga saja fanfik ini tetap bisa aku lanjutin sampai chapternya selesai.
So, arigatou gozaimasu
Curcol lagi dot com
By the way, penampilan Machina dan Ace mirip sekali dengan dua tokoh utama Owari no Seraph, yaitu Yuuichiro dan Mikaela.
Machina dan Yuuichiro sama-sama punya rambut hitam, mata hijau, dan tipe agresif dan pemberontak hingga bisa berubah wujud jadi sosok yang tak mereka inginkan.
Sedangkan Ace dan Mikaela sama-sama punya rambut pirang, mata biru, dan sifatnya tenang namun bisa agresif di saat-saat tertentu, serta powerful.
Sepertinya aku bakal suka banget pair black-haired/green-eyed boy x blond-hair/blue-eyed boy.
(NB: seiyuunya Yuuichiro juga ngisi suaranya Eight. Jadi Yuuichiro itu penampilan Machina, suara Eight)
