.

.

.

Hinata—gadis itu selalu mengikat rendah rambut sebahunya dengan menyisahkan anak-an rambutnya, tentunya. Beserta poni rata didepan keningnya. Membuatnya semakin terlihat keren dimata siapapun, menurutku…

….

..

.

Gadis bersurai indigo itu menarik napas sedalam yang ia bisa, berusaha untuk menenangkan hatinya yang bergemuruh hebat. Memikirkan kalimat berupa penenang yang sedikit ampuh, misalnya sedikit pujian atau 'Semua baik-baik saja, Hinata. Kau tidak seburuk itu kok.' dan lain sebagainya yang menyerupai seperti itu. Jika hal itu juga tidak bisa, maka cara terakhir yang dapat ia lakukan adalah berusaha melupakan 'perkataan' pemuda bersurai coklat itu. 'Perkataan' yang sampai matipun sangat ia benci, walau pada dasarnya hal itu ada benarnya juga, malah 'iya'.

'Hinata gendut.'

Ouch!... Andai saja pemuda itu tidak pindah ke sekolah yang sama tempat ia mengenyam pendidikan, pasti saat ini hari-harinya masih seperti biasa—seperti hari sebelumnya, tepatnya. Tenang, damai, tidak ada gangguan, tidak ada kicauan yang berupa ejekan dari teman-temannya yang tentunya membuat hatinya ciut bukan main. Kata lainnya minder.

Kembali gadis itu lesuh. Gadis bernama Hinata Hyuuga. Yang sudah lama bertekad untuk menurunkan berat badannya, bahkan ia rela untuk melewatkan makanan enak yang tersaji didepan matanya hanya karena ia ingin terlihat seperti gadis kebanyakan. Bertubuh kurus, langsing, cantik dan lain sebagainya yang menurutnya enak dipandang(?). Tidak—ia bukanlah gadis yang abnormal, ia hanya terkadang iri melihat mereka yang dengan mudah dapat memakai baju dengan ukuran apapun—terkecuali ukuran anak bayi dan anak kecil. Dan yang membuatnya paling suntuk mendekati depresi adalah mereka terlihat pas dengan pakaian yang mereka kenakan. Bahkan terlihat—sexy?

Hinata menjambak anak rambut disamping kanan dan kiri telinganya guna mengenyah pikiran-pikiran aneh yang mulai melayang dikepalanya.

Bukan itu. Bukan karena ia ingin terlihat ehem…sexy. Hanya saja ia tidak ingin menjadi seseorang yang berbeda diantara yang lainnya. Sebut saja si cantik seperti Barbie—tontonan kesayangan Hinata dulu—yakni tuan putri Yamanaka. Ino. Dengan segala kemolekan dan keindahan tubuhnya membuat para lelaki takluk kepadanya, bahkan mereka mau bersujud. Oke, kata terakhir itu sedikit berlebihan, tapi pada kenyataannya seperti itu. Semakin miris Hinata membayangkannya, terbukti dengan ia yang menggigit bibir bawahnya dan kedua tangannya yang meremas kuat kerah kemejanya.

Oh tidak!

Belum lagi si gadis musim semi yang kecantikannya—sungguh tidak bisa Hinata sebutkan. Ia terlalu iri dan minder terhadap gadis yang satu ini. Mengingat ia sungguh-sangat-jauh-berbeda-dengan gadis ini. Mari kita hitung berapa banyak perbedaannya: gadis itu cantik, sedangkan ia tidak; gadis itu memiliki tubuh yang sangaaaaat bagus dan indah, sedangkan ia tiiiidaaakk; gadis itu pintar—apalagi dalam pelajaran biologi, fisika, kimia—, sedangkan ia tidak, bahkan ia membenci tiga pelajaran itu; gadis itu mudah bergaul dengan siapapun, sedangkan ia tidak bahkan cenderung payah—menurutnya, namun ntah kenapa kebanyakan teman-temannya merasa nyaman bila berada dekat dengannya ataupun ia terhindar dari segala perbincangan yang tidak mengenakkan baginya. Nah inilah nilai plus-nya…

Mengingat masalah nilai plus, Hinata melupakan banding-membanding dirinya dengan si gadis musim semi, yakni Sakura Haruno. Bahkan wajahnya kini sudah berubah menjadi ceria kembali. Tak apa baginya jika ia tidak sesempurna seperti gadis yang lainnya, asalkan teman-temannya nyaman ketika bersama dengannya atau tidak menjauhinya itu sudah suatu kehormatan yang sangat besar baginya. Karena faktanya jika menjadi orang cantik,

"Lihat si Barbie yang satu itu, benar-benar menyebalkan. Cantik bolehlah, tapi sikapnya itu sangat tidak kusukai."

Menjadi bahan pembicaraan orang. Mending yang baik-baik, lah ini yang buruk-buruk. Kalau itu Hinata angkat tangan dan mengundurkan diri(?). Serius—ia lebih memilih menjadi yang biasa-biasa saja, mengingat…

"Mungkin jika si Barbie itu berada diatas ranjangku akan lebih tambah kecantikannya."

Menjadi korban pikiran mesum kaum lelaki. Itu hal yang sangaaaaat tidak ia suka dan memilih untuk menjadi orang yang biasa-biasa saja. Bahkan pakaian yang ia kenakan biasa-biasa saja—kenapa lari ke pakaian?!—mengingat bentuk tubuhnya yang sangat aduhai tidak enak dipandang, makanya ia memilih baju ukuran jumbo yang dapat menutupi tubuh berisinya.

Namun satu hal yang terlewatkan darinya yang membuatnya dengan mudah menghentikan langkah riangnya menuju kelasnya berada—

.

..

Crazy Love? © Chubby-Ndut

Naruto © Masashi Kishimoto

Rated : T (Kemungkinan ada perubahan menjadi T+)

Genre : Comedy Romance, Friendly

Hinata H.

..

.

..

.

If You Don't Like, Just to Click 'Back'.

.

..

Naruto.

Pemuda pirang jabrik dengan segala tingkahnya yang membuat siapapun akan tertawa senang bila melihatnya dan menyanjungkan namanya bila mereka melihatnya sedang berolahraga, khususnya bola sepak dan basket—yang menurut mereka pemuda yang satu ini sangat keren bila melakukan aktifitas tersebut, dan hal itu disetujui oleh Hinata dalam hati. Dengan manggut-manggut tentunya, sendirian, tanpa ada yang menyadarinya. Belum lagi senyum sejuta watt-nya yang mampu membuat hati Hinata meleleh bukan main dan berirama kencang dengan indahnya yang mampu membuat Hinata senyam-senyum sendiri kala mengingat maupun melihatnya.

Namun, satu hal yang membuat hati Hinata kecewa kala memikirkannya—

Yakni pemuda itu pernah menyukai si gadis musim semi yang menghadirkan perasaan iri dan minder selama setahun belakangan ini pada hatinya, yang membuatnya musti menjambak anak-an rambutnya berkali-kali guna menetralkan pikirannya beserta hatinya. Mengingatkannya bahwa itu semua bukanlah masalah. Bahwa itu semua akan baik-baik saja. Bahwa itu semua…

Benar-benar mengganggu pikiran dan hatinya!

Apalagi tadi, ketika mereka berada di kantin sekolah—yang penghuninya aduhai bukan sedikit. Telinganya yang pada dasarnya cepat menangkap (mendengar) sesuatu yang bersangkutan dengan pemuda dambaannya segera merapatkan dirinya pada sekumpulan manusia yang duduk berkumpul pada bangku dan meja yang sudah tersediakan. Masih dengan memegang nampannya untuk menunggu antrian panjang dalam mengambil makanan yang sudah tersediakan juga pada tempatnya masing-masing, Hinata berusaha bersikap sebiasa mungkin dan melirik-lirik sedikit pada pemuda dambaannya, tak lupa untuk mendengar obrolan mereka juga. Tapi, sayang sangat disayang hal itu justru menjadi petir hati dalam siang bolong yang menemaninya, kala ia mendengar mereka kembali menjodoh-jodohkan pemuda dambaannya dengan gadis musim semi itu yang tentunya hanya dibalas senyuman gadis itu. Yang lagi-lagi membuat Hinata harus patah hati untuk yang kesekian kalinya.

Menggigit bibir bawahnya kembali ia lakukan tatkala jambak-menjambak anak-an rambutnya lelah ia lakukan, dan masalah menjambak—itu cukup menyakitkan baginya. Maka setelahnya ia tertunduk lesuh dan menghentikan aksinya itu sebelum semakin banyak orang yang memandangnya aneh dan membicarakan tentang dirinya. Mengambil langkah pelan menuju kelasnya adalah satu-satunya yang terbaik baginya untuk saat ini dan mendudukkan tubuhnya pada kursinya serta membaringkan kepalanya pada mejanya untuk memasuki alam mimpinya. Yang kebetulan ia cukup mengantuk dan lelah setelah peperangan hati, jiwa—tidak termasuk raga—tadi.

Berharap setelah ini, ia terbangun dengan melupakan semua hal yang tidak mengenakkan dihatinya. Terutama kenyataan bahwa pemuda itu entah memiliki perasaan yang sama terhadapnya atau tidak? Apakah pemuda itu masih menyukai Sakura? Atau…

Entahlah…ia lelah dan malas memikirkan hal yang seperti itu.

Mending tidur dan memasuki mimpi yang indah. Apalagi jika didalam mimpi tersebut terdapat Naruto. Akan semakin bertambah indahlah mimpinya. Yang sukses membuat gadis itu tersenyum senang kala membayangkannya.

'Ah…Naruto…'

.

..

Warning : AU, OOC, typo (kemungkinan 'ada' yang mendekati pasti), gaje bin aneh + membingungkan, alur yang kemungkinan sangaaaaaat lambat seperti dalam dorama, dan lain sebagainya yang terdapat dalam fic gaje ini…

..

.

"Tenten."

Panggil Hinata kesal pada gadis didepannya yang kini tengah lahap menikmati makanan siangnya, tak lupa tangan kanannya yang meremas kuat sumpit yang ia pegang. Bukan—Hinata bukan kesal pada gadis bercepol dua itu, ia hanya sebal pada pemandangan nyata yang terpampang jelas didepannya. Yakni pemuda bersurai pirang jabrik dan si gadis musim semi primadona sekolah itu, yang jarak tempat duduknya dengan mereka tidak cukup jauh—dua bangku yang memisahkan keduanya. Dimana sang pemuda mengucapkan sepatah kata yang tak dapat didengar Hinata namun dapat didengar oleh gadis itu yang mampu membuat gadis itu tertawa lepas dengan indahnya bagi kaum lelaki manapun. Namun, neraka bagi Hinata dimanapun.

'Ouch!'

"Ada apa, Hinata?" tanya Tenten kala ia tidak mendengar suara Hinata kembali. Padahal tadi gadis itu memanggilnya.

"Tidak ada." Jawab Hinata pelan seraya mengalihkan pandangannya pada ramen yang terpampang nyata dihadapannya.

Mending ia makan dan melupakan perasaan cemburu tadi yang menghinggap dihatinya. Kemudian tidak menyia-nyiakan kinerja otaknya hanya untuk memikirkan hal yang membuat hatinya panas dingin.

'Yah, lebih baik begitu.'

Tenten yang merasa ganjil dengan jawaban Hinata segera menolehkan wajahnya kebelakang—mencari sekiranya apa yang membuat gadis didepannya ini bertingkah aneh, menurutnya. Dan ia manggut-manggut mengerti kala mendapatkan dua objek diujung sana yang sedang mengobrol mesra bagi sebagian banyak orang, namun bagi Tenten itu hanyalah obrolan biasa seputar teman dekat. Mengingat Tenten cukup kenal dengan pemuda pirang jabrik itu.

"Ah…" Tenten berusaha mengalihkan perhatian Hinata dari makanannya dan tentunya sedikit menggodanya tidak ada salahnya bukan.

"Jangan terlalu dipikirkan. Tapi kalau masih terpikirkan lebih baik memanggilnya kesini bukan? Agar perasaan kesal itu hilang."

Hinata mengernyit sedangkan Tenten tersenyum penuh arti. Jujur, gadis bersurai indigo itu benar-benar tidak mengerti kemana arah pembicaraan Tenten, dengan mulutnya yang masih mengunyah ramennya, tentunya. Melihat hal itu membuat gadis bercepol dua itu tertawa terbahak, kemudian memanggil pemuda bersurai pirang itu untuk menghampirinya. Beberapa dari mereka yang berada di kantin sekolah melirik pada gadis bercepol dua itu dan membicarakannya, yang tentunya tidak diambil pusing oleh gadis itu. Pemuda itu menurut dengan penuh pertanyaan diraut wajahnya yang semakin membuat mereka memandang tidak suka pada gadis itu.

Hinata sendiri bersikap seolah tidak terjadi apa-apa dan tidak peduli dengan keadaan sekitarnya. Padahal dalam hati ia menjerit kegirangan mengingat pemuda itu menghampiri tempatnya, walau sebenarnya pemuda itu hanya menghampiri Tenten seorang. Tapi biarlah, yang penting kini pemuda itu berada dekat dengannya, tepatnya duduk didepannya dan disebelah Tenten.

Tunggu!

Hinata terdiam untuk sementara sembari berpikir tentang kejadian sebelumnya—lebih tepatnya pada perkataan Tenten.

"Jangan lupa, jam 8. Kau harus tepat waktu, mereka akan memarahimu jika kau telat lagi." Ucap Tenten sebelum Naruto pergi dari tempat gadis itu.

"Akan aku usahakan."

Sebenarnya yang mereka perbincangkan hanyalah seputar tentang kegiatan ekstrakulikuler yang diemban oleh pemuda jabrik itu, yakni basket. Dimana Tenten juga turut andil dalam hal itu, namun menjadi sekretaris organisasi mereka. Maka, segala sesuatunya yang bersangkutan dengan basket disekolahnya, gadis bercepol dua itu yang akan menanganinya. Apalagi tentang kebiasaan Naruto yang sering datang terlambat dengan waktu yang dijanjikan. Pemuda itu akan mendapatkan ceramahan gratis dari gadis itu.

"Jadi—" Hinata menggantungkan kalimatnya, menatap Tenten dengan kedua matanya yang memicing. "Itu hanya alasanmu saja kan tentang basket agar dia datang kemari?"

Tertawa terbahak tidak dapat gadis itu hindari. Mengerjai ataupun menggodai gadis didepannya ini benar-benar kegiatan yang menyenangkan, apalagi jika didalamnya terdapat Naruto Uzumaki. Benar-benar…

Tenten mengangguk sembari tersenyum dan Hinata menatap kesal padanya. Namun hanya untuk sesaat, yang setelahnya ia bertanya kepada Tenten dengan aksen ragu-ragu tentang perihal kedekatannya dengan pemuda Uzumaki itu.

"Bagaimana kalian dapat berteman begitu akrab? Aku yakin, bukan hanya karena organisasi."

Tenten mengangguk lagi dan mengundang seribu pertanyaan bagi Hinata. Terlihat jelas dari raut wajahnya serta gerakan tubuhnya yang mencondong kedepan untuk benar-benar mendengar jawaban berupa cerita singkat mengenai kedekatannya bersama Naruto.

"Ibunya Naruto dengan ibuku berteman dekat. Dulunya kami bertetangga, namun entah karena apa, aku juga tidak tahu alasannya dan mereka tidak memberi tahu alasannya juga padaku maupun ibuku, mereka sekeluarga pindah ke perumahan Konoha City, tempat mereka berhuni sekarang ini."

Hinata manggut-manggut mengerti sembari meminum minumannya dengan sedikit memain-mainkan ujung pipetnya dengan gigi-giginya, dan menerawang jauh untuk membayangkan cerita Tenten.

'Enak juga bisa bertetanggaan dengan Naruto. Setiap hari mandang wajahnya sampai bosan.' Pikir Hinata dengan bibirnya yang melengkung keatas membentuk senyuman aneh yang tak enak dipandang, apalagi bagi Tenten.

Pikiran itu segera terhapus kala pemuda bersurai coklat menepuk pundak Hinata dengan kuat yang mengakibatkan kaget mendadak menyerang Hinata, belum lagi suara pemuda itu yang cukup kuat dan tidak enak didengar ditelinga Hinata.

Kiba.

Inuzuka. Pemuda menyebalkan yang membuat Hinata setengah mati membencinya akibat kelakuannya yang seenak jidatnya. Dan perkataannya yang bagaikan halilintar ditelinga Hinata. Maka lengkaplah sudah, ia tidak menyukai pemuda disampingnya kini—samping kanan, tepatnya.

"Kau dari mana? Kenapa baru kesini? Sebentar lagi bel masuk akan berbunyi." Tanya Tenten sembari melihat arloji pada pergelangan tangan kirinya. Dengan wajah sedikit cemas, tentunya.

Kiba yang ditanya hanya nyengir lebar dan mengipas-ngipaskan dirinya dengan kedua tangannya. Tak ada niatannya untuk menjawab pertanyaan Tenten. Sedangkan Tenten hanya memutarkan bola matanya bosan karena kesal melihat pemuda didepannya.

"Apa itu, Hinata?" tanya Kiba dengan wajahnya yang mencondong kearah Hinata.

"Hau isa iathh hendi-ihh..(kau bisa lihat sendiri.)" jawab Hinata dengan masih memakan ramennya. Entah kenapa ia memiliki firasat buruk dengan pertanyaan Kiba barusan. Dan itu terbukti ketika kiba merampas mangkuk ramennya paksa serta mengambil kedua sumpitnya yang berada pada genggaman tangan kanannya, membuat Hinata mendelik marah melihat perlakuan pemuda disampingnya itu.

Memukul bahu kiri pemuda itu dengan kuat Hinata lakukan karena mengambil paksa makanannya, namun ia tidak mengambil kembali makanannya. Biarlah pemuda itu makan makanannya sekarang, mengingat mereka mempunyai sedikit waktu untuk pemuda itu memilah dan mengambil makanan pada tempat yang sudah disediakan, dan melihat wajah pemuda itu yang sedikit kelelahan membuat Hinata sedikit tidak tega.

Semenjak pemuda itu pindah ke sekolahan mereka, pemuda itu lebih sering merapatkan dirinya pada Hinata dan Tenten, yang kebetulan pada awal penerimaan siswa baru Hinata dan Tenten sudah saling sapa-menyapa dan mengenalkan diri masing-masing. Merasa cocok satu sama lain, mereka sepakat untuk berdua bersama-sama jika berpergian mengelilingi sekolah atau kemanapun itu, yang pastinya masih dalam ruang lingkup sekolah. Jika diluar sekolah, hanya sesekali keduanya akan pergi jalan-jalan bersama, yang misalnya pergi nonton bioskop dan lain-lain. Kiba yang kebetulan hanya mengenal Hinata disekolah barunya pada awal semester 3—tepatnya kelas 2 senior high school—lebih memilih mengekori Hinata kemanapun gadis itu pergi, hingga pemuda itu dan Tenten saling berkenalan satu sama lain.

Namun setelah pemuda itu sudah mendapatkan teman-teman barunya—khususnya laki-laki—pemuda itu lebih memilih meluangkan banyak waktunya pada teman-teman barunya. Pada Hinata dan Tenten juga, tapi sesekali, yang tentunya untuk menjahili atau mengatai Hinata didepan teman-teman sekolahnya, yang menghasilkan wajah Hinata yang merah padam akibat menahan amarah.

"Apa yang kau lakukan sedari tadi, hn?" tanya Hinata, mencoba mendapatkan alasan yang tepat dari pemuda itu setelah mereka lama terdiam karena memperhatikan cara pemuda itu memakan ramen miliknya.

Suapan terakhir pemuda itu lakukan yang dengan sedikit meminum kuah ramen tersebut. Dan setelahnya mengambil paksa kembali minuman yang berada pada tangan Hinata untuk diminumnya hingga habis, yang menghasilkan gadis itu hanya mengunyah pipetnya saja.

"Kau—" Hinata hendak protes namun tidak jadi. Ia cukup lelah berhadapan dengan pemuda disebelahnya.

Brakk!

Pemuda itu memukul pelan meja makan yang mereka tempati sekarang dengan memasang wajah seolah apa yang akan dikatakannya benar-benar serius. Membuat Hinata tertawa malas melihatnya, dengan meletakkan pipet bekas gigitannya pada meja didepannya.

"Kau tahu gadis Yamanaka?" tanya Kiba.

"Si Barbie maksudmu?" timpal Tenten

"Yap! Hari ini aku mulai mengajaknya jalan." Lanjut Kiba.

"Kencan?" tanya Hinata dengan alisnya yang hampir menyatu satu sama lain.

"Bukan. Hanya jalan." Jawab Kiba disertai gelengan kepalanya. "Ia akan marah jika itu dianggap sebagai kencan, karena katanya itu memuakkan."

"Wow. Si Barbie ternyata memiliki selerah yang tinggi juga." Ucap Tenten dengan memasang wajah seolah-olah terkejut.

"Jadi, apa yang akan kau lakukan selanjutnya?" tanya Hinata.

"Seminggu lagi aku akan menembaknya." Jawab Kiba.

"Berarti dia akan mati dong." Ucap Hinata.

Kiba gemes sendiri melihat gadis disampingnya dengan mengusap wajahnya kasar. Ingin sekali ia meremas kepala gadis itu jika saja hal itu tidak mengandung unsur dosa dan petaka. Dengan memasang senyum aneh, Kiba menjawab 'tidak', dan melaratkan kata-katanya—

"Aku akan mengajaknya berpacaran."

"Jika ditolak bagaimana?" tanya Tenten yang langsung disetujui oleh anggukan Hinata.

"Tidak mungkin. Belum pernah Kiba Inuzuka ditolak oleh wanita manapun, sekalipun ia Barbie kesayangan sekolah." Jawab Kiba dengan penuh kebanggaannya.

"Baiklah, mari kita taruhan. Jika kau diterima oleh si Barbie, maka kami akan mentraktirmu dengan sepuas yang kau mau. Tapi jika kau ditolak, kau harus mentraktrir kami berdua." Ucap Tenten dengan menunjukkan dirinya dan Hinata berulang kali dengan menggunakan ibu jarinya.

Kiba sepakat dengan mantapnya, yang mengundang seringai lebar pada kedua gadis disamping dan depannya.

.

..

Chapter 1—

..

.

"Gendut."

Hinata menatap lesu pada cermin didepannya yang memantulkan gambaran akan dirinya. Niatnya hanya berkaca sebentar dan merapikan rambutnya yang berantakan, namun melihat pantulan dirinya yang berada di cermin membuatnya mau tak mau berdiam diri lama disitu. Perutnya pun ia tepuk-tepuk pelan sembari bergumam dengan kata-kata yang sama seperti sebelumnya.

Padahal ia sudah berusaha keras dengan melakukan segala macam cara apapun untuk program pendietannya, namun hasilnya nihil. Malah ia takut untuk menimbang dirinya ketika ia pergi ke apotek terdekat untuk membeli obat ibunya beberapa hari yang lalu, mengingat acap kali ia menimbang dirinya pasti bertambah 1 kg, yang membuat hatinya semakin miris melihatnya. Karena itu ia sedikit horor atau rada tersinggung ketika melihat timbangan ataupun mendengar teman-teman disekolahnya membicarakan tentang timbang-menimbang berat badan mereka.

'Ukh! Menyebalkan.'

"Hinata! Cepat keluar!" panggilan dari ibunya membuat Hinata segera menyudahi kegiatannya semula dengan melangkahkan kakinya keluar dari kamarnya dan menghampiri dimana ibunya berada.

Gadis itu sudah mengetahuinya, tujuan ibunya memanggilnya adalah menyuruhnya untuk membeli bahan makanan yang berada dipasar. Tanpa ada kata-kata bantahan atau sejurus alasan yang ia lontarkan agar dirinya gagal disuruh ibunya seperti sebelum-sebelumnya, karena ia takut dan tahu bahwa surga berada ditelapak kaki ibunya. Jika ia melawan ataupun membantah, yang ada surga menjauhinya dan neraka yang dengan suka citanya mendekatinya.

Membayangkannya aja membuat Hinata bergidik ngeri.

"Jangan lupa, beli tomatnya yang banyak."

Hinata mengernyit mendengarnya, 'Tumben ibu doyan tomat?'.

"Ya."

"Dan ingat—" ibunya menggantungkan kalimatnya yang membuat Hinata menghentikan langkahnya dan melihat ibunya kembali. "Jangan berhenti dimanapun, walaupun itu rumah Shino, terkecuali pasar. Mengerti?"

Gadis itu memutarkan bola matanya bosan dan menjawab ucapan ibunya dengan seadanya. Entah kenapa, hari ini ibunya sedikit sensitif mengenai dirinya yang sering berkunjung ke rumah Shino. Padahal sejak ia Junior High School ibunya adem-adem aja tuh dan mengijinkannya mengunjungi rumah pemuda itu, walau setiap hari, sampai ibu pemuda itu sudah kenal betul dengan dirinya.

Ketika Hinata bertanya alasannya 'mengapa' dan 'kenapa', ibunya hanya akan menjawab 'bukan apa-apa'. Aneh kan? Katanya bukan apa-apa tapi sekarang kok menjadi apa-apa bagi Hinata?

Makanya Hinata paling tidak suka hari minggu, yang berarti libur, yang berarti jatahnya Hinata disuruh ini dan itu serta diomeli dengan segala permasalahan yang ada, yang Hinata sendiri tidak tahu akarnya dimana.

"Dan lagi, Hinata!" panggil ibunya kembali ketika melihat putrinya sudah diambang batas pintu masuk dan keluar rumah mereka.

'Apa lagi sekarang?!'

"Kurusi badanmu. Nggak enak juga kan dilihat orang jika putri ibu yang satu ini memiliki badan gendut. Hanabi aja bisa kurus."

'Ouch!'

Sumpah, hari ini Hinata merasa kesal terhadap ibunya, dari mulai masalah ia berkunjung ke rumah Shino sampai tahap entah kemana—Hinata tidak terlalu mendengarnya—, apalagi sekarang ibunya menyinggung tentang kegendutannya dan membandingkannya dengan Hanabi—adik semata wayangnya. Membuatnya semakin gemes-gemes sendiri memikirkannya.

Memikirkan tentang Hanabi, jujur, ia sedikit iri dan kepingin punya badan seperti adiknya. Namun apa daya, Tuhan belum mengijinkannya untuk memiliki badan yang bagus seperti adiknya.

.

.

.

.

Hinata mengerjap beberapa kali dengan keterkejutan yang masih menguasai dirinya. Belum lagi ibunya yang tampak akrab dengan wanita yang sebaya dengan ibunya ini dan pemuda yang sebaya dengannya yang berada didepannya kini.

"Jangan diam disitu saja, Hinata. Bantu ibu menyiapkan makanan."

Gadis itu yang tidak mau berlama-lama berada diruang tamunya segera menuju dapur rumahnya, dan memotong-memotong sayur-sayuran atau apapun itu yang menurutnya masih bisa dikerjakannya, mengingat dirinya paling lemah dalam hal masak-memasak.

"Setelah ini jangan langsung pergi ke kamarmu. Temani mereka. Setidaknya, anaknya kau ajak jalan-jalan atau kemanapun itu agar kalian semakin dekat."

Nah, Hinata disini mulai mengerti kenapa ibunya satu harian ini sangat sensitif tentangnya. Ternyata karena kehadiran mereka yang sekarang masih mengundang banyak tanya bagi Hinata. Untuk apa sekelas Uchiha berada dirumahnya yang sederhana dan tidak dapat menyamai tingkatan mereka? Belum lagi, bukankah Uchiha sangat tidak ramah dan sombong menurut pandangan Hinata. Tapi yang terlihat dimata Hinata sekarang, perempuan Uchiha satu itu, yakni ibu pemuda bernama Sasuke, benar-benar berbeda daripada yang lainnya. Apalagi anaknya! Amit-amit Hinata melihat tingkah anaknya yang menurut Hinata memuakkan. Tampan sih, tapi untuk sikap, Hinata angkat tangan deh…

'Mending juga abang Naruto.'

Memikirkan Naruto, membuat gadis itu senyam-senyum sendiri. Benar-benar—obat yang ampuh baginya, terutama hatinya. Jika sudah mengingat Naruto, maka segala sesuatunya akan menjadi lebih baik bagi Hinata, dan suasana buruk atau pikiran-pikiran buruk, segera hilang dari atmosfernya.

.

.

.

.

Sepertinya benar bagi Hinata bahwa hari minggu yakni libur benar-benar hari yang sangat tidak disukainya yang mengakibatkannya dihadapkan pada suatu persoalan-persoalan aneh, menurutnya. Apalagi hari ini. Entah setan mana yang merasuki ibunya hingga ibunya mengatakan kalimat tabu baginya dengan gamblangnya.

"Benar. Aku juga setuju jika Sasuke dengan Hinata kelak menikah." Itu suara wanita didepan ibunya, Mikoto.

'Oh No!'

"Aku menolak." Nah yang ini suara pemuda didepannya, Sasuke.

Hinata manggut-manggut setuju dengan ucapan pemuda didepannya dengan gaya khasnya, yakni mengelus-ngelus dagunya dengan tangan kanannya dimana tangan kanannya ditopang dengan tangan kirinya yang kini tangan kirinya tidak memeluk perut buncitnya melainkan mengepal.

Ucapan pemuda itu tentunya mengundang banyak tanya bagi kedua wanita paruh baya disekitar mereka. Ibu Hinata yang melihat dan mendengarnya sedikit tersinggung, sedangkan Mikoto dengan lembut berusaha menanyakan alasannya pada anak bungsunya. Yakni seperti anak kecil, menurut pandangan Hinata.

'Sifatnya tidak hanya jelek, tapi juga kekanakan.'

"Karena dia gendut."

JGLEEERRR!

Jelas Hinata dengar petir dimalam hari yang memasuki hati serta pikirannya yang kini mendadak kosong, membuatnya mau tak mau merasakan denyutan sakit yang berada didadanya. Bukan karena ia memiliki perasaan atau berharap kepada pemuda itu, hanya saja, lagi dan lagi kalimat tabu itu keluar, hampir satu harian malah. Yang semakin membuatnya pundung dan miris. Dan lagi, pemuda menyebalkan didepannya ini pula yang mengatakannya.

Nyesal ia mengatakan kepada teman-temannya bahwa ia menyukai pemuda ini. Sebagai pengalihan sih… agar teman-temannya tidak mengetahui bahwa ia menyukai pemuda bersurai pirang yang jauh darinya kini, yakni Naruto. Tahu kalau pemuda ini benar-benar dan sangaaaaat menyebalkan dan memuakkan, ia akan memikirkan dua kali untuk mengatakan bahwa ia menyukainya dan memilih pemuda lainnya yang sekiranya juga dekat dengan Naruto.

Nah, kenapa Hinata mengatakan bahwa ia suka sama Sasuke didepan teman-temannya. Karena yang paling dekat dengan Naruto adalah Sasuke, mengingat kemanapun Naruto berada pasti ada Sasuke. Hitung-hitung biar dapat curi pandang sepuasnya tanpa ada yang mengetahui bahwa yang ia lihat selama ini adalah Naruto.

Nah, ada juga beberapa kali pemuda itu tidak bersama dengan pemuda bersurai raven didepannya kini, jika pemuda bersurai pirang itu bersama gadis musim seminya. Yang lagi-lagi dan lagi kini membuat Hinata makin minder hati dan miris hati.

Sepertinya, perjalanan cintanya cukup rumit dan persentase gagalnya mendekati 99,99999%.

Lalu? Dimanakah 0,00001%-nya lagi?

Apakah ia boleh berharap? Walau sangat sedikit dan minim persentase keberhasilannya?

.

.

.

.

TBC

.

.

.

.

1 Mei 2014.

Publish : 2 Mei 2014

_Chubby-Ndut_