NOT TODAY

.

.

By Elixir Edlar

PAIRING:

KINDLY GUESS BY YOURSELF

Jimin centric

Disclaimer:

All cast belong to God, their parents and Bighit. Ent. I do not own the characters.

This story is originally from my own mind.

Warning :

Boys Love, Typos, EYD-failed, Unbeta-ed, AU, OOC

Read on Your Own Consent! Thank You~

.

.

Pukul 02.35 AM

Seorang pemuda manis tengah berbaring di atas tempat tidur king size-nya. Kedua manik sebening berliannya menerawang ke awang-awang. Tubuh polosnya hanya terbalut selimut tebal ia bagi dengan lelaki tampan di sebelahnya.

Mengembuskan napas dari hidung mungil dengan bibir sedikit menggigil akibat udara dingin yang menguar dari sepasang air conditioner di sudut kamar. Keudian menilik dengan seulas lirik ke arah pemuda yang tengah berkutat khidmat dalam dunia mimpinya.

Tampak damai.

Tampak permai.

Sepermai paras yang selama bertahun-tahun telah menghiasi hari-harinya. Mengisinya dengan percikan cinta dan butiran kasih sayang. Mewarnai hatinya yang kelabu dengan pelangi kebahagiaan. Serta mencerahkan jiwanya yang keruh akibat corengan nestapa yang mencederai kedamaian hidupnya.

Ia pun sangat bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan yang telah mengirimkan sesosok malaikat penjaga yang kini berbaring dengan nyaman di sampingnya. Tidur dalam satu ranjang yang sama. Berbagi suka duka bersama. Dan saling menemani satu sama lain ketika salah satunya merasa kesepian.

Pemuda manis itu menyunggingkan seulas senyum. Jemari mungilnya ia bawa untuk menyusuri rahang tajam lelaki di sebelahnya dengan penuh kelembutan. Menekuri cetakan sempurna wajah tampan yang masih sibuk dalam lelap tidurnya sembari menelusuri jejak-jejak merah keunguan yang ia klaim sebagai mahakaryanya.

Ya, mahakarya yang ia tinggalkan di permukaan kulit kanvas hidupnya beberapa waktu yang lalu.

Grep!

Tiba-tiba jari-jari mungilnya digenggam erat oleh sebuah tangan yang jauh lebih besar dari segi bentuk dan ukurannya. Membuat lelaki manis itu sedikit tersentak akibat kejutan mendadak dari yang lebih besar. Ditambah dengan remasan-remasan lembut yang terasa begitu hangat dari lelaki yang berbaring di sampingnya

"Jimin.. tidak tidur.. hmm?"

Suara beratnya terdengar serak di tengah serangan kantuk yang berusaha ia taklukkan dengan susah payah, sementara jemari panjangnya masih membelai punggung tangan lelaki yang ia panggil dengan nama Jimin tersebut.

Alih-alih menjawab, Jimin malah menghamburkan tubuh polosnya kepada lelaki di sebelahnya. Memeluk torsonya sembari mengusakkan wajah beserta pucuk hidungnya yang terasa sedingin es ke dada bidang yang terhidang di hadapannya saat ini.

"Hmm.. hidungmu dingin, sayang.." katanya seraya merengkuh tubuh lelaki yang lebih kecil ke dalam dekapannya. Menguncinya dengan kedua lengan kukuhnya lalu mengecupi pucuk kepala bersurai merah muda itu dengan penuh kasih sayang.

Beberapa saat kemudian, dengkuran halus mulai terdengar saling bersahutan. Menciptakan melodi siul yang rupanya bersinergi satu sama lain dalam resonansi yang menghasilkan variasi bunyi.

.

.

.

Sempurna, mungkin adalah kata yang paling tepat dalam menggambarkan hidup dari pemuda berparas cantik bernama Park Jimin. Bagaimana tidak?

Ia tinggal di sebuah kompleks gedung condominium mewah di pusat kota lengkap dengan berbagai fasilitas penunjang sarana yang tersedia setiap saat. Ditambah lagi dua unit supercar miliknya dengan jenis convertible dan sport car.

Setiap bulannya ia akan mendapati digit saldo di rekening tabungannya bertambah dalam jumlah yang fantastis tanpa perlu repot-repot ia periksa. Apalagi dengan adanya black card yang membuat ia semestinya bebas keluar masuk pusat perbelanjaan dan memindahkan apa saja yang ia inginkan ke condominium miliknya.

Namun, semua itu tampaknya tidak pernah cukup bagi Jimin.

Jimin menginginkan lebih.

Jimin menginginkan kepastian.

Ya, kepastian.

Bukan sekadar janji manis dan angan semu yang selama ini terucap gratis dari bibir tipis lelaki yang selalu menghadiahinya dengan barang-barang mewah bombastis.

Selama cincin belum melingkari jari manisnya, selama itu pula Jimin tidak akan pernah lelah untuk menjerat lelakinya dengan seluruh pesona indah yang dimiliknya.

Secara halus, secara lembut, secara diam-diam. Agar lelakinya jatuh semakin dalam dan terjebak ke dalam pusaran cintanya—selamanya.

"Jimin? Kau sedang melamunkan apa, sayang?"

Tersentak halus ketika sepasang lengan tiba-tiba melingkar di sekitar perut Jimin yang tengah sibuk menata meja makan untuk menyiapkan sarapan sembari memikirkan sesuatu.

Menggelengkan kepalanya sambil tersenyum manis sebagai respon sementara kedua tangannya masih sibuk berkutat dengan satu kardus sereal, buah berry, sekotak susu cair, cokelat bubuk, lalu meraciknya ke dalam satu mangkuk dengan cekatan.

"Hmm, begitu ya..." seolah paham, lelaki itu hanya menggumam pelan sebagai jawabannya. Mengecupi leher putih yang dipenuhi bercak-bercak keunguan milik lelaki mungil dalam dekapannya sampai empunya menggelinjang kegelian karena aksinya.

Cup!

Lelaki tampan itu mengecup pipi selembut mochi milik Jimin dan menempelkan kedua belah bibirnya cukup lama. Memberikan jilatan basah yang perlahan-lahan naik menuju telinga kanan sang lelaki manis lalu mengembuskan napasnya yang terasa panas dan bergairah di saat yang bersamaan.

"Aku menginginkanmu, Jim..."

"Aku milikmu..."

.

.

.

Secara teknis, Jimin dan lelaki tampan itu telah terikat dalam periode yang cukup lama dalam menjalani sebuah hubungan. Sepuluh tahun sudah mereka menjalani kehidupan sebagai suami-istri meskipun tidak/belum tercatat secara resmi dalam register negara.

Berputar-putar dalam turbulen tiada akhir hingga pada akhirnya kepalang menikmati keterombang-ambingan hubungan yang seolah tidak memiliki titik terang sama sekali. Namun bukan berarti tiada secercah harapan maupun segenggam masa depan bagi keduanya.

Karena pada dasarnya, egolah yang menelan semua cinta mereka dalam keterasingan yang berusaha mereka balut dalam kedekatan ragawi. Yang sejatinya hanya manifestasi dari sebuah prosesi yang selaiknya dilakukan oleh pasangan yang katanya saling mencintai.

Lalu bagaimana kalau kenyataannya salah satu dari mereka hanya menginginkan kenikmatan duniawi tanpa sungguh-sungguh melibatkan luapan emosi merah jambu yang beratasnamakan cinta?

Semua ini tidak lebih dari sebuah bom waktu dengan dua sumbu pendek yang siap meledak kapan saja ketika salah satu dari mereka memercikkan api di salah satu ujungnya.

Tetapi sampai sepuluh tahun berlalu pun keduanya tetap enggan untuk membakar sumbunya sendiri. Membuat ledakan dramatis yang mungkin bisa mengantarkan kepada tunas baru yang bisa mereka mekarkan dan besarkan dengan sepenuh jiwa dan raga.

Bukannya terjebak dalam hamparan kering padang pasir dengan sebatang pohon kaktus kurus berduri yang tidak pernah berbunga lagi setelah kemarau panjang melanda. Membuat keadaan sekitarnya menjadi semakin kerontang pun gersang meskipun tetes harap akan sebutir percik hujan kerapkali dipanjatkan.

Jimin merasa mual. Ia jijik dengan dirinya sendiri. Tubuhnya lagi-lagi luput dari rajutan helaian benang dalam sebentuk kain yang semestinya melingkupi tubuh indahnya saat ini. Lelakinya telah pergi meninggalkan dirinya untuk pulang.

Ya, pulang ke peraduannya yang seharusnya.

Pulang ke sarangnya yang sebenarnya.

Pulang ke kandangnya.

Pulang ke rumahnya.

Di mana lelaki cantik yang berstatus sebagai istri resminya bersama putra adopsi semata wayangnya hidup dengan nyaman dan bahagia dalam kurun waktu lima tahun terakhir.

Tanpa sedikit pun memiliki gagasan tentang hubungan terlarang suami tercintanya dengan sang kekasih gelap yang telah terjalin selama satu dasawarsa penuh.

Percaya begitu saja ketika sang suami seringkali menambah digit absen atas kehadirannya di rumah dengan berjuta alasan dengan kedok perjalanan bisnis dan urusan pekerjaan yang begitu padat.

Sama sekali tidak curiga maupun keberatan ketika suaminya membatalkan janjinya secara tiba-tiba, dan tanpa adanya pemberitahuan sebelumnya. Yang ia tahu, suaminya hanya bekerja sangat keras demi kebahagiaan dan kehidupan yang baik untuk keluarga kecil mereka.

"Hai jagoan ayah!" katanya ketika anak lelaki berusia sekitar empat tahunan berlari antusias menuju sang ayah untuk menyambut kepulangannya. Sekaligus menyambut berbagai macam kotak mainan yang dibawa serta sang ayah dari perjalanan bisnisnya selama sepuluh hari terakhir.

"Yay! Ayah bawa banyak cekali mainan! Aku cayang ayah!" serunya si bocah kecil. Meloncat-loncat kegirangan sambil memeluk tubuh ayahnya yang kini berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan sang putra tersayang.

"Kau tahu jagoan? Ayah sangaaaat merindukanmu!" ujarnya tanpa melepaskan rengkuhan lembutnya pada tubuh kecil beraroma bayi yang sangat ia sukai. Aroma yang mengingatkannya pada seseorang. Ya, seseorang yang ia tinggalkan di negeri sakura beberapa waktu yang lalu.

"Jadi, kau hanya merindukan putra kita? Lalu bagaimana denganku?" lelaki berparas manis dengan kulit berkilauan tampak menggoda suaminya yang masih asyik terlarut dalam dunianya sendiri. Berdua saja dengan sang putra yang masih betah ia kecupi puncak kepalanya yang menguarkan aroma bayi yang begitu menyenangkan baginya.

"Mm, bagaimana ya?" membopong putra kecilnya seraya bangkit untuk berdiri menghadap sang istri yang tengah menyuguhkan pandangan memuja pada lelaki tampan yang berstatus sebagai suaminya tersebut.

"Sepuluh hari tak pernah kulewatkan tanpa sedikit pun luput akan angan tentangmu. Karena kau tahu? Bayangmu selalu hadir dalam pandanganku, menghantuiku, dan mengikutiku sepanjang waktu, wahai sayangku.." berucap panjang lebar dengan hazel tajam yang menusuk tepat menuju obsidian kelam lelaki manis di hadapannya. Merasuk menjalari setiap sel-sel tubuhnya seraya menghantarkan aliran elektron yang terasa bagai lelehan listrik yang berakumulasi pada sepuluh ujung jemari kakinya.

"Gombal..." balasnya dengan warna merah yang mulai menyapu kedua belah pipi putihnya. Membuatnya merona sempurna ditambah senyum malu-malu akibat tersipu oleh mulut semanis madu milik suaminya.

"Tapi sayang kan?" Tanpa aba-aba sebelumnya, lelaki tampan itu sekonyong-konyong menarik dagu lelaki manisnya untuk mempertemukan bibir mereka ke dalam sebuah ciuman yang sarat akan kelembutan. Namun buru-buru melepaskannya mengigat keberadaan putra kecilnya yang masih terapit di antara tubuh keduanya.

"Of course i do, gentleman.." jawabnya sambil mencubit gemas hidung bangir suaminya.

"Well, bersiap-siaplah. Malam ini aku ingin memakanmu. Tapi sebelumnya aku ingin menemani jagoan kecilku bermain sore ini," katanya sambil mengusak surai kelam sang putra yang selembut sutra.

"Um, kau tidak lelah?" masih dengan pipi yang terasa panas ia bertanya pada sang suami.

Menggeleng pelan sebelum menjawab, "Lelahku sirna sejak pertama kuinjakkan kakiku di rumah ini, sayangku. Tidak perlu khawatir," senyuman meyakinkan terukir di paras tampan lelaki jangkung itu. Membuat lelaki manis di hadapannya semakin salah tingkah dibuatnya.

"B-baiklah, a-aku akan menyiapkan air hangat untukmu.."

Sang suami hanya mengangguk dan berlalu menuju kamar bermain milik putra kecilnya yang sedari tadi merengek, mengajak sang ayah yang ia rindukan selama sepuluh hari terakhir untuk bermain bersamanya. Berdua saja.

.

.

.

Hidup Jimin itu berantakan. Secara harfiah maupun figuratif.

Ketika lelakinya tidak berada di sekitarnya, ia akan menghabiskan waktu dengan mabuk di sangkar emasnya sampai tak mampu untuk sekadar mengangkat kepalanya sendiri. Seolah beban seberat ribuan ton ditimpakan ke atas kepalanya tanpa ampun.

Ditambah lagi dengan kebiasaannya memuntahkan makanan yang masuk ke dalam lambungnya—yang katanya perlu dilakukan demi menjaga berat badan idealnya. Yang pada kenyataannya telah berada jauh di bawah angka terendah dari indeks massa tubuh normalnya.

Jimin selalu memiliki ketakutan tersendiri apabila lelakinya kelak akan meninggalkannya jika ia tidak menarik lagi. Sehingga kenaikan berat badan sebanyak setengah kilogram pun akan menjadi pencetus depresi berkepanjangan, yang hanya sembuh ketika dirinya mendapat kabar bahwa lelakinya akan mampir untuk sekadar berkunjung atau menemaninya selama beberapa hari ke depan.

Jimin mengerti bahwa ia hanyalah si pandir yang mau tak mau terpaksa hadir di tengah sebuah keluarga yang tak sepantasnya ia usik kebahagiaannya. Namun di sisi lain ia telah telanjurmasuk dan menggerogoti keutuhan rumah tangga orang lain bagaikan rayap yang melapukkan sebatang kayu hingga akhirnya lebur seluruhnya.

Jimin lelah menjadi pihak ketiga. Meskipun pada awalnya, lelaki itulah yang lebih dulu menerobos tanpa permisi dan menjadi pihak ketiga di antara hubungan cintanya yang nyaris sempurna dengan lelakinya.

Jika mau egois, seharusnya dia boleh merasa bangga dan boleh merasa menang. Namun tetap saja, ia menjadi pihak yang salah dan dipersalahkan di dalam segitiga hubungan mereka.

Memangnya siapa itu Park Jimin?

Bisa apa dirinya tanpa lelakinya?

Bagaimana keberlangsungan hidupnya tanpa campur tangan lelakinya?

Bukan siapa-siapa.

Tidak bisa apa-apa.

Tidak bisa dibayangkan seperti apa.

.

.

.

Jimin menyukai udara malam.

Tepatnya embusan angin yang membelai lembut kedua belah pipi tirusnya yang merona alamimkemerahan. Menikmati sensasi menggigit dari dinginnya hawa yang dibawa oleh sang malam. Menemani jiwanya yang kelam pun hatinya yang terasa begitu suram.

Sebatang Marlboro menthol tersemat lemah di apitan telunjuk dan jari tengahnya. Sesekali ia isap perlahan, menyesapi asap nikotin yang pelan-pelan menyeruak ke dalam rongga parunya. Membuatnya dadanya sesak namun nikmat di saat yang bersamaan.

Sensasi yang sama ketika dirinya tengah memadu cinta, bergelung di bawah satu selimut yang sama dengan lelakinya, cinta dalam hidupnya.

Malam ini, di balkon condominiumnya hanya berlapis kemeja putih kebesaran milik lelakinya yang kebetulan tertinggal beserta trunk khas Harley Quinn yang membalut tubuh bagian bawahnya.

Seratus hari sudah...

Seratus hari sudah Jimin melewatkan tiap detik waktu yang dimilikinya dalam kesepian tak bertepi, dalam kesendirian tak terperi.

Tanpa lelakinya.

Tanpa pujaan hatinya.

Tanpa belahan jiwanya.

Tanpa kabar darinya.

Tanpa berani bertanya-tanya.

Bagaimana gerangan dirinya?

Pletak!

Sebuah benda berbentuk segitiga berwarna merah dengan bintik hitam di permukaan kulitnya menyapa kening Jimin. Sebutir strawberry super khas Jepang berukuran jumbo.

Jimin tidak perlu ambil pusing untuk mencari tahu siapa pelakunya karena ia paham betul bahwa makhluk usil yang berstatus sebagai tetangga sebelahnya itulah yang barusan berbuat jahil kepadanya.

Pletak!

Kali ini ganti sebutir blueberry mendarat manis di atas salah satu pahanya. Seperti biasa, sudah bisa diduga olehnya sebelumnya.

Untuk itu Jimin hanya perlu mengabaikannya. Mengisap batang nikotin miliknya yang tinggal separuh dalam-dalam untuk diembuskan kembali melalui celah dua belah bibir penuhnya dalam durasi yang sengaja ia buat sepelan mungkin.

Fuuuuuuuh~

Kedua kakinya sengaja ia angkat ke atas pagar balkon kamarnya, memamerkan paha mulus nan putih beserta betisnya yang padat dan seksi. Tiga kancing paling atas kemejanya yang tidak dikaitkan sengaja ia kibaskan sampai merosot sehingga bahu kanan dan sebagian dadanya yang mulus terekspos jelas di bawah pantulan cahaya lampu.

Omong-omong Jimin tengah berada di atas kursi malas yang terletak di balkon kamarnya. Duduk setengah berbaring atau berbaring setengah duduk bak tengah berjemur di bawah terik sang mentari di pinggiran pantai disertai angin sepoi-sepoi sembari berpose seksi.

Batang rokoknya yang tinggal setengah ia mainkan di antara kedua jemari mungilnya. Sementara tangannya yang lain ia gunakan untuk menyapu helaian poni merah mudanya ke belakang dengan penuh penghayatan.

Menanti reaksi dari lelaki usil yang kerapkali membuatnya keki setengah mati.

Mungkinkah dia akan terpesona?

Mungkinkah dia akan tergoda?

Mungkinkah dia akan terpikat?

Karena jujur saja, Jimin sedang dalam mode jalang. Setidaknya pantat si jahil perlu ia tendang hingga jatuh terjengkang agar dirinya merasa menang. Dan jika Jimin menang maka ia akan merasa senang.

Jadi, mari kita tunggu reaksi lelaki yang tengah menatap Jimin dari balkon sebelah.

Tiga puluh detik..

Satu menit..

Satu setengah menit..

Tiga seperempat menit..

Dan lima menit..

Ya, lima menit telah berlalu tanpa ada pergerakan berarti dari si usil. Jimin menoleh sekilas dan mendapati balkon condo di sebelahnya kosong melompong seperti gigi depan kakek Kaminari yang sudah kopong. Lelaki menyebalkan itu lenyap bagaikan habis dimakan rayap.

Fiuuuhh

Mendesah lega pada akhirnya karena ia yakin tetangga sebelahnya itu baru saja terkena serangan ketegangan dan tengah berkutat di kamar mandi untuk bermain solo akibat tak kuasa menahan hasrat setelah mendapati suguhan makan malam yang menggairahkan dari lelaki cantik bernama Park Jimin tersebut.

Membayangkan hal tersebut Jimin pun tersenyum seraya mengisap rokoknya yang hampir habis batang tembakaunya. Mengatupkan kedua obsidian kelamnya yang berkilauan di bawah sinar rembulan sementara mulutnya sedikit menganga guna mengembuskan kepulan asap yang sejenak ia telan untuk dibuangnya.

Jimin merasa menang. Setidaknya sekarang dirinya bisa tenang.

Namun sepertinya Jimin salah perhitungan karena...

Crot! Crot! Crot! Crot! Crot!

Crooot! Crooot! Crooot!

Croooooot!

Seketika wajahnya dipenuhi oleh cairan putih agak sedikit kental yang melumuri muka dan dadanya yang terbuka. Membuatnya seolah terlihat baru saja mendapatkan cipratan cairan kelelakian di seluruh bagian wajahnya. Beberapa tetesnya bahkan mengalir perlahan di sudut bibirnya yang merekah. Menambah kesan erotis nan sensual pada parasnya yang pada dasarnya memang seksi.

"Hahahahaha!" lelaki di balkon sebelah hanya menggemakan tawa membahana yang bagi Jimin terdengar sebagai sebuah bencana.

Bagaimana tidak, sebuah water softgun jumbo tergenggam nyaman di tangan kanannya sambil memecahkan keheningan malam dengan terbahak seperti cicak yang tengah melawak terhadap sang biawak. Seakan sang biawak baru saja kalah telak oleh si cicak.

"Ahhh! Kusoooo!" umpat Jimin tak terima. Hidungnya kembang kempis bak hidung naga. Ia baru sadar jika cairan kental berwarna putih yang melumuri wajahnya terasa lengket dengan aroma susu yang tidak terlalu sedap.

Biar Jimin tebak, itu pasti yogurt basi!

"Sialan," batin Jimin murka.

"Balas aku kalau bisa, wueeek!" lelaki yang menurut Jimin, posisi otak di kepalanya telah bergeser atau sebut saja sinting itu malah menantang dirinya. Mengajaknya berperang di bawah gelapnya langit malam dengan taburan beribu bintang. Jangan lupakan lidahnya yang sengaja ia julurkan dan kedua hazel kemilaunya yang sengaja ia buat juling sesaat.

Untuk itu Jimin gerak cepat. Di sebelah kursinya masih tersedia sebotol sampanye yang tutupnya masih terbalut rapi oleh segelnya yang berwarna emas mengkilat. Diraihnya botol sampanye berukuran sedang tersebut lalu ia kocok dengan brutal. Dicabutnya gabus penutup botol menggunakan alat seperti sekrup berulir untuk melepaskannya dari mulut botol.

Diarahkannya mulut botol pada sosok lelaki sinting yang masih asyik berdiri di balkon sebelah sambil menyajikan wajah tampan namun begitu menyebalkan tersebut.

Kemudian Jimin menarik gabus penyumbat botolnya cepat-cepat. Dan dalam tempo singkat, lelaki berkaus putih, yang tampak kebesaran di tubuhnya, itu pun basah akibat semburan dahsyat yang bersumber dari sampanye lelaki mungil berparas manis yang kini terkekeh-kekeh. Persis seperti alunan gemerincing receh.

Malam ini mereka berperang dalam pertempuran sengit, saling membumihanguskan lawan menggunakan senjatanya masing-masing hingga tubuh keduanya sama-sama basah dan lengket. Dan mau tidak mau keduanya harus rela mengakhiri perhelatan akbar mereka dengan melakukan gencatan senjata. Tepat ketika malam semakin larut dengan hawa dingin yang semakin terasa menusuk kulit.

.

.

.

Hari berikutnya, Jimin yang baru saja kembali dari acara mencari udara segar di seputaran lingkungan condominium dikejutkan oleh sekumpulan lelaki berseragam polisi yang tengah bergerombol di depan pintu rumahnya. Mereka bahkan telah memasang pita kuning bertuliskan police line di sepanjang tembok apartemennya.

Ada apa ini?

Apa telah terjadi perampokan?

Jimin tidak mau repot bertanya dan terus menerobos masuk untuk membelah kerumunan massa yang menghalangi jalannya menuju ke dalam condominium miliknya.

Heran bercampur bingung berpadu menjadi satu begitu mendapati ruang tamu, ruang santai, dan kamarnya masih utuh seperti sejak sebelum ditinggalkan oleh pemiliknya. Namun beberapa polisi yang sepertinya memiliki jabatan lebih tinggi tampak merapat di depan pintu kamar mandi yang berada di dalam kamarnya.

Rasa penasaran semakin menelan Jimin dalam-dalam. Apa gerangan yang telah terjadi di dalam sana? Karena Jimin berani sumpah bahwa dirinya tidak pernah menyelundupkan sejumlah uang hasil rampokan di balik bilik toiletnya ataupun menyembunyikan salah satu anak manis yang berhasil ia culik dari panti asuhan.

Apa yang sebenarnya terjadi ketika Jimin berada di luar beberapa saat yang lalu?

Sesosok mayat lelaki berusia sekitar dua puluh lima tahun tampak tergolek tak berdaya di atas bath-up. Kulit putihnya tampak semakin memucat akibat ditinggal sang nyawa. Tanpa busana yang membalut tubuh kurusnya. Cipratan darah berlumuran di atas torso sang jasad—yang sejatinya sangatlah indah paras maupun tubuhnya.

Tepat di bawah jajaran rusuk kirinya, sebuah lubang sebesar kepalan tangan seorang pria dewasa tampak menganga dengan begitu lebarnya. Seakan baru diubrak-abrik dan dirogoh keluar isi perutnya. Dan benar saja, Jimin mendengar polisi di sebelahnya berucap kata yang membuat persendiannya mendadak paralisis seolah semua tulang yang meyangga tubuhnya dipangkas habis.

"Jantungnya hilang, agaknya dibawa serta oleh si pelaku..."

Seketika Jimin memerosotkan tubuhnya, menatapi tubuh lelaki malang di hadapannya sambil sesekali meremas dada kirinya yang mulai mati rasa.

END

12 Februari 2017

.

.

NOTE:

Tebak dan silakan berimaji sesuka hati~