Sering mengalami kegagalan dalam bercinta bersama banyak perempuan, seorang pria berambut pirang bernama Frau nekat melampiaskan kemarahannya dengan cara mencium paksa gadis yang tak sengaja menabraknya, tetapi sangat tidak disangka, bukan bibir seorang gadis yang dirasakannya, melainkan...
.
.
.
Disclaimers :: 07-Ghost by Yuki Amemiya & Yukino Ichihara ~
Warning :: OOC, Typo(s), Gaje, abal, Frau Pov, dll~
FrauTei
Rate M for safe ~
Dirty Little Secret
Chapter 1
.
.
.
Brugh!
"Ma-maaf, aku-"
Tubuh kecil, kulit yang halus dan suara lembut. Perempuan! Ya, aku yakin, dia perempuan. Perempuan, perempuan, perempuan, cih, aku sudah tidak peduli lagi dengan peringatan 'perlakukan perempuan dengan lembut', toh mereka tidak pernah sadar akan perasaanku ini. Yang mereka lihat hanya harta, bukan cinta dan ketulusan yang kuberikan. Sial, masa bodoh jika nantinya perempuan ini menangis! Tanpa aku ketahui wajahnya, kutarik lengannya, mataku terpejam dan kemudian bibirku menangkap bibirnya yang semula wajah kami berdekatan akibat tarikanku barusan. Kulumat pelan bibir mungil ranumnya, dan... ah, ia memulai perlawanannya. Tangannya bergerak ingin kulepas dari cengkraman, mulutnya mengeluarkan suara-suara erangan sekaligus desahan. Bodohnya, mulut yang ia gunakan untuk mendesah memberi celah lidahku memasuki rongga mulutnya.
Bagaimana rasanya, perempuan? Kau tersakiti? Ya, aku bisa mendengar deru nafasmu yang semakin cepat seiring dengan lidahku yang menelusuri mulut manismu, menghisap salivamu, mengemut lidah kecilmu. Kau merasa rendah bukan diperlakukan seperti ini oleh pria yang tak kau kenal? Maaf saja, mulai hari ini aku tak kenal kasihan pada perempuan. Salah satu dari kalianlah yang membuatku gila seperti ini.
Beberapa menit berlalu, setelah kurasa cukup, aku menarik diri. Terasa sekali tanpa sadar saat ini wajahku pasti menyeringai senang setelah merebut paksa ciuman dari seorang gadis. Tetapi... yang kudapatkan malah sebuah kejutan. Pandanganku tepat tertuju pada korban ciumanku itu yang memiliki tubuh pendek. Sangat manis, mata emerald serta kedua pipinya bersemu merah, itu pertama kali yang kulihat darinya. Kukira gadis ini tomboi karena potongan rambutnya seperti bocah lelaki, tapi ketika pandanganku menurun, aku tidak menemukan dua gundukan khas wanita. Dan... pakaian apa itu? Dia memakai celana panjang bergaya laki-laki? Bukannya rok ya? ... mungkinkah dia tomboinya keterlaluan? Ataukah...
"A-ano..." aku terlalu kaget sampai tak bisa berkata-kata hingga akhirnya bocah itu berteriak kencang dengan tangan yang menyeka bibir basahnya akibat ciuman kami barusan.
"APA YANG KAU LAKUKAN, DASAR CABUL!"
"S-sst! J-jangan kencang-kencang!" peringatku menaruh telunjuk di depan bibirku sebagai isyarat. Memang bocah itu diam, akan tetapi wajahnya masih memperlihatkan kekesalannya. Untung saja tempat gang menuju apartemenku sepi, jadi tidak ada yang mendengar teriakannya tadi, apalagi ini sudah malam, tidak enak kalau membuat keributan.
"Sigh, maaf, aku-" belum selesai aku bicara, bocah pendek di hadapanku ini menyela, "C-ciumanku barusan itu tidak gratis! Kau harus membayarnya atau aku akan berteriak!" ujarnya bernada memaksa dan aku dibuatnya mematung di tempat.
"Eh? T-tapi, uangku... ah, oke, kau minta berapa, bocah!?"
"Aku tidak butuh uangmu! Bayar aku dengan..."
.
.
.
"Uwaaah! Frau, tumben sekali kau membawa saudaramu ke apartemen!"
"Bayar aku dengan mengijinkanku tinggal bersamamu!"
Kalimat di atas itulah yang bocah bermata emerald ini katakan kepadaku. Alhasil, beginilah, aku membawanya pulang ke apartemen tempatku tinggal. Keberadaannya membuat ibu pemilik apartemen sampai salah paham mengira ia adalah adikku.
"Ahaha, tidak, dia ini-"
"Aku adik kandung kak Frau. Kami ini kakak-adik yang terpisah selama 6 tahun,"
APA!? BICARA APA DIA INI!?
"Oh, begitukah!? Kalau begitu kalian harus diberi waktu untuk melepas rindu! Frau, cepat bawa dia ke kamarmu, pasti ada banyak yang ingin dia ceritakan padamu! Jadilah kakak yang baik!" ibu pemilik apartemen mudah terhasut oleh perkataan bocah aneh ini.
Sejenak kulirik dia, dan dia balas menatapku lalu tersenyum licik.
"A-apa!?" gumamku jengkel melihat wajah meledeknya itu.
"Kakak, bawa aku ke kamar sekarang. Aku lelah!"
"Nah, Frau, kau dengar sendiri kan? Adikmu butuh istirahat, cepat antar dia ke kamarmu!"
Si-sialan, dia sengaja...
.
.
.
"Lalu, sebenarnya kau ini siapa?"
Sesampainya di kamarku, aku dan bocah mata hijau ini duduk berhadapan empat mata bicara dengannya. Bocah dengan muka cuek ini diam, ia memandangi begitu sengit seolah menantangku.
"Aku Teito Klein, aku tidak punya rumah dan aku miskin! Makanya, sebagai bayaran atas tindakan tidak senonohmu barusan, aku ingin tinggal bersamamu, gratis!"
BOHONG! Dia punya pakaian bagus layaknya bangsawan, tubuhnya juga bersih, tidak ada tanda-tanda kemiskinan sekalipun!
"K-kau, jangan bohong! Begini-begini aku bisa membedakan mana miskin mana kaya!" geramku tetapi bocah Klein ini malah makin menantangku.
"Kau diam dan turuti saja kemauanku, maka kau tidak akan kulaporkan polisi karena tindakan pelecehanmu,"
"UAPA!? Kau, kau ini tidak diajari tata krama oleh orang tuamu ya!?"
Tampaknya omonganku sedikit menyinggungnya. Begitu aku bicara barusan, mata Teito terbelalak kaget, dia lalu memalingkan wajahnya yang mendadak gelisah.
"Eh? Apa... aku salah bicara?" tanyaku. Teito menggeleng.
"Kumohon, jangan singgung soal orang tuaku..."
Ya, rupanya aku memang salah bicara barusan. Begitu menyangkut soal orang tuanya, Teito bermuka muram. Uhh... aku jadi merasa tidak enak. Teito Klein. T-tunggu, Teito? Teito... Tei-to? Klein? Memang ada unsur nama wanitanya dalam nama itu? Teito Klein, itu terdengar seperti nama lelaki, sangat! Dan... kulirik kembali daerah dadanya. Dengan kenekatan luar biasa yang mempertaruhkan harga diriku(?), kujulurkan tanganku untuk menyentuh daerah dadanya! Yap, ingin kubuktikan sendiri apakah ia ini punya payudara walau kecil sekali atau... tidak. Tidak punya, dia rata? Berulang kali kuusap-usap dadanya, mencari gundukan indah seorang perempuan, tapi aku tidak merasakannya!
"K-kau ini gila atau apa sih!?" Teito menyingkirkan tanganku, mukanya memerah malu akibat perlakuanku barusan. Manisnya-
Eh!? Tunggu, yang penting bukan itu!
"Teito Klein, k-kau ini perempuan atau..."
"Kau buta! Jelas aku ini laki-laki, bodoh!"
CTAR!
Geledek serasa menyambarku! Untuk pertama kalinya aku buta gender! D-dia punya wajah manis, amat manis seperti gadis kecil yang polos, tapi... SEMUA ITU TIPUAN! J-jadi aku mencium bocah lelaki ini!? Aku mencium laki-laki! Sesama jenis!
"Huwaaaaa! Kami-sama! Dosa apakah hambamu ini sampai merelakan ciuman pertama hamba bersama sesama jenis!"
"A-apa!? Tunggu, paman blonde! Kau kira ciumanku tadi bukan yang pertama!? Dasar paman mesum!"
"Jangan panggil aku paman, panggil aku kakak! Aku masih muda, tahu!"
Baru pertama saja kami sudah tidak akur, bagaimana untuk selanjutnya? Oh, Kami-sama, aku benar-benar... argh, aku tidak dapat mengungkapkan perasaanku ini dengan kata-kata. Bagaimana bisa aku mencium seorang lelaki! Dan, dan apa ini? Kenapa aku sebegitu bodohnya menerima dia tinggal satu kamar apartemen bersamaku?
"... Frau, itu namamu kan?"
Aku menoleh ke belakang, menaikkan sebelah alisku, respon pada panggilan Teito. "Ya, kenapa?"
Teito menunduk. Terlihat semburat merah mewarnai pipinya walau aku tidak begitu jelas melihatnya, tapi aku yakin begitu keadaannya saat ini.
"T-terima kasih,"
Lagi, aku dibuatnya heran. "Terima kasih untuk ap-"
"Oyasuminasai!" bukannya menjawab, bocah sialan ini malah berbaring membelakangiku, parahnya lagi dia seenak makan saja menggunakan tempat tidurku sebagai peristirahatannya.
"Tunggu, bocah sial! Kalau kau tidur di kasurku, aku tidur di mana!"
.
.
.
Normal POV
Sementara di suatu rumah bergaya istana bangsawan berletak di Raggs, di mana suasananya kini sangat ramai oleh kepanikan serta tangis seorang wanita memenuhi bangunan luas tersebut, orang-orang berjas hitam tampak mondar-mandir mencari sesuatu di sana sambil berteriak, "Pangeran! Pangeran!"
Tangis sang wanita cantik mengundang kepala keluarga pemilik rumah bak istana untuk menghampirinya. Diusapnya punggung sang wanita, sang raja dari rumah tersebut yang masih muda itu mencoba menenangkan isterinya.
"Sudahlah, Millea, Teito pasti akan kita temukan,"
Tangisan sang isteri mereda setelah mendengar suara lembut dari sang suami. Sesaat ia menoleh kepada pria di sampingnya lalu kembali ekspresi cemas luar biasa dengan berlinang air mata terlukis dalam wajah cantiknya. "Tapi, Krom-sama... Teito... bagaimana kalau terjadi hal buruk padanya!? Kenapa, kenapa kau tidak mencegahnya!"
Lelaki yang dipanggilnya Krom menggeleng pelan. "Dia mengetahuinya, Millea. Aku pun tidak habis pikir Teito akan pergi dari rumah setelah mendengar kenyataan yang tidak seharusnya ia ketahui,"
"Krom-sama, kenapa!? Kenapa bisa-"
Perbincangan kedua suami-isteri Klein terputus oleh laporan seorang kepala pelayan keluarga Klein yang mendatangi mereka.
"Tuan Krom, Teito Klein benar-benar tidak berada di rumah. Saya yakin, Teito Klein benar-benar telah pergi dari rumah," ujar pria berambut perak dengan mata berwarna violet tajam tersebut.
Krom menghela nafas. Terlalu lama berpikir untuk mengambil tindakan pun tidak baik, karena Millea pasti akan terus gelisah dan bersedih memikirkan anak kesayangan satu-satunya keluarga Klein. Dengan menaruh kepercayaan penuh pada sang kepala pelayan keluarga Klein yang telah mengabdi selama cukup lama, Krom memberikan perintah. "Ayanami, sebisa mungkin, cepat temukan Teito! Aku tidak peduli cara apapun yang kau pakai asal Teito dapat ditemukan! Kupercayakan semuanya padamu!"
Dan seulas senyum pun terlihat di wajah sang kepala pelayan kediaman Klein, Ayanami.
"Siap, tuan."
To Be Continued...
Hay! Salam kenal! Saya orang baru di fandom ini XD
Hehe, gr2 aku udah lama gak bikin fanfic, serasa kaku banget ya fic ini? Yosh, maaf kalau ada salah2, ficnya pendek ato ceritany nggak jelas (di chapter 2 semoga bisa lebih jelas), maklum, author abal :D
Minta repiunya ya? ^^
