-Prolog

Tidaklah jelas berapa lama waktu telah berlalu semenjak pasukan dari desa Konoha menerobos markas utama, yang dia tahu adalah rasa sakit mengerikan yang menyebar keseluruh tubuhnya dan penglihatan samar dari tumpukan mayat kawan-kawannya dengan darah kental dibawahnya.

—aku masih hidup, aku masih hidup.

—Semua baik baik saja.. Ini tidaklah sesakit itu.

Dia mengatakan itu pada dirinya sendiri, itu agar dia bisa bertahan. Bahkan jika dia harus berpegangan dan menancapkan kuku-kukunya pada daun pintu neraka yang mencoba menghisapnya, dia lebih dari yakin bahwa dia mampu melakukannya bahkan sampai kuku-kukunya lepas sekalipun.

Musuh terakhirnya hanyalah rasa sakit yang menyerang tubuhnya.

Dan dia harus bisa mengalahkan rasa sakit itu.

Karena jika tidak, semua pengorbanan teman-temannya akan sia sia.

Tubuhnya terlihat mengerikan dengan semua tebasan dan darah itu.

Pada wajahnya yang pandai menyimpan emosinya yang sesungguhnya, untuk pertama kalinya dia menjadi orang yang lebih jujur. Dia menangis.

Sebuah tangisan sunyi. Tanpa isakan ataupun suara segukan. Hanya air mata yang turun pada pipi-pipinya sambil dia berbaring miring menatap wajah dari salah satu mayat dalam diam.

Sebuah tangisan bisu untuk penyelamatnya. Seorang pria yang pada akhirnya tewas untuknya. Dan untuk kawan-kawannya yang selalu menjaganya.

Luka disekujur tubuhnya memang sangat sakit, tapi rasa sakit yang tidak mampu dia atasi adalah hal yang jauh berbeda. Itu adalah rasa kehilangan.

Pada akhirnya dia dipaksa untuk menerima kenyataan pahit bahwa dirinya sendirian.

Dia dan kawan-kawannya mengalami kekalahan yang telak, tapi musuh kehilangan banyak Jonin berharga mereka. Setidaknya pihaknya masih memiliki dirinya yang masih bertahan hidup, dan itu hanya soal waktu sampai nyawa terakhir dari kelompok yang menamai diri mereka Akatsuki ini untuk datang dengan sebuah teror.