BINDING THE UNDYING
AUTHOR: AUSTINE SOPHIE
DISCLAIMER: BLEACH AND ALL OF ITS CHARACTERS ARE THE PROPERTY OF TITE KUBO
WARNING: OOC (MAYBE), TYPO(S), PLOT ANEH DAN MEMBINGUNGKAN, DSB.
Summary: Mengekang Sang Abadi. Ketika keabadian yang mengambil alih waktu untuk menyatukan dan memisahkan.../Meskipun ribuan tahun harus berlalu dan roda takdirnya harus berhenti, gadis itu ingin bertemu dengan orang yang dikasihinya itu sekali lagi... AU.
.
.
.
~HAPPY READING~
PROLOGUE
Malam yang sunyi. Hanya semilir angin yang berhembus sambil membawa udara yang sangat dingin. Mengiringi sang angin, butiran salju turun dari langit. Sebutir demi sebutir, hingga melapisi seluruh permukaan bumi tanpa terkecuali.
Di tengah cuaca yang dingin bak menusuk sampai ke tulang, terlihatlah sosok seorang perempuan tengah duduk di atas hamparan salju yang luas. Kepalanya tertunduk ke bawah, rambut hitam sebahunya menutupi seluruh wajahnya.
Selang beberapa saat kemudian, gadis itu mulai mengangkat wajahnya. Pelan-pelan, kedua mata iris violetnya terbuka. Ia memandangi keadaan di sekelilingnya dan alangkah terkejutnya ia, ketika kedua matanya melihat pemandangan yang berada di depannya.
Di sekelilingnya, sisa reruntuhan tembok dan benteng yang disertai dengan ribuan senjata tombak dan panah tergeletak dimana-mana. Sisa-sisa bangunan yang telah terbakar, tembok menara yang telah hancur, dan istana yang telah rubuh dan kini hanya tinggal puing-puing.
Kerajaannya telah hancur...
Namun, bukan itu saja yang membuat gadis itu terkejut. Diedarkan pandangannya, menatap onggokkan-onggokkan tubuh manusia yang sudah tak bernyawa. Tombak dan pedang menikam tubuh para mayat tersebut. Ada yang terkena luka bakar, ada yang terkena puluhan panah. Darah bercipratan dimana-mana, menodai lapisan salju putih di bawahnya.
Gadis itu memalingkan wajahnya, tak kuasa menahan sesak di dadanya melihat pemandangan yang mengerikan tersebut. Namun kedua matanya menangkap suatu sosok, sosok yang sudah sangat familiar bagi dirinya.
Rambut putih bagaikan salju, tubuh yang maskulin, dan kulit hitam tan yang selaras dengan warna rambutnya. Orang itu...
Tidak, tidak mungkin!
Ia bangkit berdiri, berlari menghampiri sosok yang terbaring di atas tanah tak jauh beberapa meter dari dirinya. Dinginnya salju yang terasa di bawah kakinya yang tak beralaskan apapun dihiraukannya.
'Kumohon, jangan biarkan itu terjadi seperti yang kubayangkan,' bisik gadis itu di dalam hatinya.
Namun, apa boleh dikata? Sesampainya ia di sana, hanyalah rasa pilu di hati yang bertambah, ketika kedua mata emerald hijau sosok tersebut terlihat tak menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Kosong, tak bernyawa.
Sosok itu terbaring kaku layaknya mayat–mayat yang berada di sekitarnya. Terlihat darah yang telah mengering di sudut kanan bibir pemuda itu. Sebuah pedang menikam perutnya, hingga darahnya merembes menodai baju yang dikenakannya.
Tidak! Ini tidak mungkin terjadi...
Kedua mata gadis itu pun menumpahkan air mata yang sejak tadi ditahannya. Kedua bahunya bergetar hebat. Suara isak tangis pun mulai terdengar, disertai dengan desiran angin yang meredam suara itu.
Ingin rasanya ia berteriak, menumpahkan semua rasa kesedihan dan penderitaan yang telah penat di dada.
Mengapa?
Mengapa hanya ia yang selamat? Mengapa ia tidak mati saja seperti yang lain? Bukankah itu jauh lebih baik, daripada sendirian di bawah hujan salju ini?
Sebuah pikiran aneh pun melesat ke dalam otaknya. Bagaimana kalau ia membunuh dirinya sendiri saja? Bukankah ia tidak akan sendirian lagi? Tapi pikiran hanyalah sebatas rencana yang tak bisa ia lakukan. Karena mustahil bagi dirinya, yang kini telah 'abadi,' untuk mati.
Angin berhembus semakin kencang. Gadis pemilik rambut hitam itu pun tetap terpaku di tempatnya, sampai sesuatu menangkap indera penglihatannya.
Salju yang turun membentuk sebuah pusaran, bagaikan aliran udara yang mengelilinginya. Seakan-akan, pusaran itu mengajaknya untuk mengikuti dirinya ke suatu tempat. Si pemilik mata ungu menatap sang pusaran dengan tatapan sendu. Harapan apa yang ingin diberikan sang pusaran salju ini kepada dirinya?
Namun, dengan menggunakan seluruh kekuatannya yang tersisa, ia mulai melangkahkan kakinya sesuai dengan arah yang ditunjukkan oleh si pusaran salju tersebut. Sedikit berharap tidak apa-apa, kan? Bagaikan sebuah mantra, gadis itu mengulangi kalimatnya itu di dalam hati. Secercah harapan merekah di dalam hatinya, bahwa mungkin saja keajaiban terjadi. Walaupun, ya, dirinya sendiri memang tidak terlalu yakin.
Dan ketika ia telah sampai di tempat yang ditujukan oleh pusaran salju tersebut, sebuah kuil tua pun menyapa kedua iris violetnya. Ia ingat, kuil ini adalah kuil yang sudah lama menjadi tempat pemujaan bagi para leluhurnya. Bahkan keluarganya sering datang kemari, berdoa kepada roh leluhur untuk diberikan keselamatan dan kemakmuran. Ia pun mulai melangkahkan kakinya ke dalam, menulusuri lorong kuil tua tersebut. Hingga sampai ke dalam pusatnya, sebuah altar yang bergitu besar.
Tidak ragu-ragu lagi, ia segera mensujudkan tubuhnya. Melipat tangannya sambil berdoa dengan mengeluarkan suara.
"Wahai para roh leluhur, dengan tuntunan para roh salju, hamba datang bersujud di atas altar ini. Tidak kuasa, hamba melihat keluarga dan bangsa hamba habis lenyap oleh pertempuran darah oleh peperangan. Hamba memohon, hanya satu keinginan di hati ini. Biarlah dapat dipertemukan kembali hamba dengan semua orang yang hamba sayangi."
Secercah sinar tiba-tiba muncul di hadapan gadis itu. Suara bak lonceng yang bergemerincing pun mulai membahana ke seluruh ruangan. "Adalah sesuatu yang mustahil, wahai sang putri pewaris tahta kerajaan, Kuchiki Rukia, bagiku ini untuk membangkitkan mereka yang telah mati. Roh yang sudah tak terikat di bumi, waktu mereka di dunia telah berakhir. Bukankah kau, dari semua orang, sudah mengetahuinya?"
Gadis yang bernama Rukia itu tidak berani memalingkan wajahnya dari atas lantai altar. Tetapi, dengan suara lantang ia menjawab, "Meskipun begitu, saya tetap percaya bahwa saya dapat dipertemukan kembali dengan mereka."
"Kau adalah seorang yang abadi. Mereka yang telah abadi akan selamanya terikat di bumi. Sanggupkah kau menunggu berabad-abad, bahkan ribuan tahun, untuk melihat mereka yang kau kasihi bereinkarnasi kembali?"
Sanggupkah ia menunggu ribuan tahun untuk melihat mereka bereinkarnasi kembali?
Ia hanyalah seorang putri yang tak bisa berbuat apa-apa. Dalam kesendirian, apa yang bisa diperbuatnya?
Kedua mata Rukia terpejam.
Tidak! Ia bukanlahlah seseorang yang lemah! Ia juga bisa melakukan segala sesuatu tanpa perlu bantuan dari orang lain!
"Dan meskipun kau setuju, relakah kau mengorbankan segala yang kau punya sebagai harga yang harus kau bayar untuk berjumpa lagi dengan keluarga dan bangsamu?"
Ya, sanggupkah dia?
Dia telah menganggap mereka semua itu lebih berharga daripada segala harta apapun di dunia. Karena itu...
Demi melihat para sahabatnya kembali, tidak ragu-ragu ia akan mengorbankan semua harta dan kekayaan yang ada pada dirinya.
Demi bertemu lagi dengan keluarganya, apapun ia relakan, meski tubuhnya sendiri harus ia korbankan.
Demi orang itu... Orang yang sangat dikasihinya. Demi melihat kedua iris hijau itu kembali memancarkan kehidupan dan bibir membiru itu melatunkan namanya dengan halus sekali lagi, apapun ia relakan. Meski itu tubuh, roh, bahkan jiwanya sendiri. Karena itu...
Rukia kini memberanikan diri mengangkat wajahnya, memandang rupa sang cahaya yang berada di depannya. Tidak ada keraguan di mata indahnya. Hanya keteguhan yang tertera di sana.
"Segala sesuatu yang ada pada hamba, apapun itu, tidak akan ragu-ragu lagi akan hamba relakan. Meskipun keabadian ini adalah harganya."
Karena baginya, keabadian itu bukanlah sebuah berkah. Melainkan, hanyalah sebuah kutukan yang menjadi dinding penghalang antara waktu dirinya. Jadi, meskipun ribuan tahun harus berlalu dan roda takdirnya harus berhenti, ia ingin bertemu lagi dengan mereka. Bertemu dengan orang yang dicintainya itu sekali lagi.
Membiarkan matanya tertutup dan merasakan semilir cahaya membungkus dirinya, sebuah senyum tulus mulai mengembang di wajahnya. Ya, karena ia sangat mencintai mereka, terlebih lagi pemuda itu...
Dan setetes air mata pun mengalir dari sudut matanya sebelum semuanya menjadi gelap.
.
"Tears, blood, and the cold snowy night,
is the world that I knew after that unforgiving night.
For the sake of meeting with them again,
this curse, called eternal slumbers,
is best to be left behind."
.
.
.
.
.
-End of The Prologue-
. . . Saya baru merasa waktu publish fic ini, kenapa prolognya angst banget ya?
Hmm, ya sudahlah, demi kelangsungan cerita ini, prolog angst pun gpp, hohoho~~
Apa? Prolognya gaje?
Saya tahu, memang rada gak jelas, sih…^^
Btw, saya mau curhat sedikit. Untuk para readers yang sudah membaca dan mereview 'Beyond The Snow and Ice,' saya minta maaf atas keterlambatan saya dalam mengupdate fic itu. Tapi, saya akan mengusahakan untuk mengupdate chapter 2 secepat mungkin untuk bulan ini. Sekali lagi, saya minta maaf untuk keterlambatan dalam mengupdate cerita fic saya.
Kembali ke cerita ini, saya buat fic ini waktu saya lagi bosan dua hari belumnya. Ngebet gitu, pengen bikin cerita kayak gini. Eh, waktu mau di publish, data di s-note saya hilang semua. Ampun, deh! Akhirnya, ya, saya ketik ulang lagi. -_-
So, bagaimana prolog di cerita ini, readers?
Apa ada kritikan, saran, pendapat, komentar, dan sebagainya?
Silahkan masukan saran Anda dalam kotak review di bawah ini!
Tapi ingat, NO FLAMING!
Oke, cukup segitu saja. Terima kasih untuk yang telah membaca, kalau bisa tolong tinggalkan review, ya. Thanks^^
SEE YOU AGAIN IN THE NEXT CHAPTER!
Sincerely,
Austine Sophie
BINDING THE UNDYING
