Because you are the medicine
.
.
.
.
.
.
Author: PuppyBee04
Cast: Chanbaek, Hunhan, Kaisoo.
Other cast: Member Exo, Blackpink, Bts, dll.
RATE: M
Genre: Romance, hurt/comfort.
Desclaimer: Semua tokoh adalah milik emaknya masing-masing, saia hanya meminjam tokoh-tokohnya tanpa ijin. Muehehe.
Warning: BoyXBoy, Typo bertebaran, OOC, cerita abal, gaje, dan blah blah blah.
Summary: Dia datang, dengan puluhan luka dipunggungnya. Namun tidak menangis dan tidak bersedih. Segalanya tertutupi wajah tebal tanpa senyum, datar. Tak satupun ekspresi tergambar dalam garis tegas wajah tampannya.Dan Ia bertemu, seorang Lelaki mungil yang berprofesi sebagai psikolog itu bertugas menangani dirinya. Mereka saling menatap dan luka itu jelas terpancar. Bukan dari salah satu, tetapi keduanya.
.
.
.
.
.
.
.
Gemerlap suasana malam yang tampak ramai, terlihat puluhan orang berjalan tergesa menuju tempat-tempat yang berbeda. Mereka dikejar waktu, karena malam telah mencapai puncaknya. Namun tidak dengan pria mungil berparas manis melebihi seorang gadis itu, ia terduduk disebuah bangku tua yang telah rapuh seorang diri. Matanya enggan untuk berkedip, entah apa yang ia tatap namun tatapan itu tampak kosong. Matanya yang awalnya jernih kini mulai memburam, tangan mungilnya ia cengkramkan didepan dadanya secara mendadak. Setetes air mata terjatuh keluar dari kedua maniknya, ia menggigit bibir bawahnya keras. Tak peduli jika kini rasa asin menusuk lidahnya, karena darah yang keluar dari bibirnya sendiri.
Pria itu
Byun Baekhyun, Pria berwajah manis ini mampu membuat sebagian besar orang tertipu dengan usianya, hanya tinggal menghitung hari dan angka kehidupannya bertambah, haruskah ia merayakannya? seorang diri-
lagi.
Inilah kebiasaanya setiap selesai bekerja, duduk dibangku tua yang ia rasa hanya dirinya yang sudi menempatinya. Iris beningnya memandangi bagaimana lingkungannya menciptakan sebuah suasana yang damai. Memandangi orang-orang yang tengah melakukan kegiatan. Kemudian tangis itu kembali datang disetiap ia melihat orang lain tengah berbahagia bersama keluarganya. Tak seharusnya ia merasa iri, lebih tepatnya ia tak pantas merasa iri.
Ia ingin melupakan hari itu, meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia baik-baik saja. Bukankah selama ini hidupnya damai, untuk apa memikirkan sesuatu yang hanya akan memperparah lukanya. Ya, dia selalu berkata seperti itu pada dirinya sendiri. Seolah tengah memantrai pikirannya agar berhenti tersakiti. Jika ditanya apakah ia menyesal? demi apapun juga ia sangat menyesal, ia tahu apa kesalahannya. Namun ia telat memperbaikinya.
Menghela nafas kasar, Baekhyun menegakkan tubuhnya. Ia mengusap kasar wajah lelahnya kemudian berjalan menuju apartemen mungil yang merupakan istana kecilnya. Tempat ternyaman dihidupnya.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
ಠ_ಠ
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Cahaya hangat mentari kembali menyapa alam, membangunkan setiap manusia untuk segera menjalankan kegiatannya masing-masing. Dan disinilah ia, duduk diruangan kerjanya dengan sebuah seragam putih khas kedokteran menempel ditubuh rampingnya, ia menunggu pasien yang memiliki masalah dalam jiwanya. Membantu mereka keluar dari masalahnya dan melihat sinar cerah dari mata para pasien yang berhasil ia tangani. Meski terkadang ia begitu kewalahan karena masalah mereka begitu berat, tetapi ia tak pernah menyerah. Ia tahu, terkadang ia gagal dan melihat berita kematian mereka keesokan harinya, tapi itu tak akan membuat tekadnya surut. Inilah profesinya yang telah ia tekuni selama tiga tahun, menjadi seorang psikolog dan ia menyukainya.
Tok tok
Seseorang mengetuk pintu ruangannya, sepertinya ia memiliki pasien baru. "masuk" perintahnya. Kemudian seorang pria berseragam putih yang tak jauh beda dengan dirinya memasuki ruangan, ia tampak tergesa.
"Baek, aku butuh bantuanmu" ucapnya.
"Apa?" balas baekhyun.
"Aku memiliki pasien baru hari ini, tetapi tiba-tiba jongin menelfon dan berkata ibunya masuk rumah sakit. Aku tidak memiliki pilihan lain selain meminta bantuanmu, ibu mertua sangat baik padaku dan aku tidak mungkin mengabaikannya disaat seperti ini. Kumohon, hanya kau harapanku" Ia memohon dengan kedua maniknya memburam.
"Hm, baiklah kyung. Bawa dia kesini" Ucap Baekhyun kepada rekan terdekatnya selama tiga tahun, Kyungsoo.
"Terimakasih baek, aku akan membalas kebaikanmu minggu depan" Kyungsoo tersenyum cerah, ia beruntung bertemu Baekhyun. "Em, mungkin pasienmu kali ini sedikit berbeda" Kyungsoo tersenyum canggung.
"Apa maksudmu?" Alis baekhyun mengerut.
"Kau akan tahu nanti, hwaiting!" Kyungsoo mengangkat sebelah tangannya yang menggenggam, tanda memberi semangat.
"Hei-"
"Selamat tinggal baekki" Kyungsoo memotong ucapan Baekhyun, ia kemudian melangkah keluar.
Baekhyun berdecak kesal.
Selang waktu beberapa menit, pintu ruangannya kembali diketuk. Ia yakin, itu adalah pasien barunya.
"Masuk" Sahut Baekhyun, matanya sibuk dengan berkas-berkas ditangannya.
Kemudian pintu itu terbuka, seorang pria bertubuh tinggi dengan pakaian kasualnya memasuki ruangan, ia memandang lurus kebawah. Wajahnya datar tanpa ekspresi.
Baekhyun mendongakkan kepalanya, ia terkejut melihat lelaki dihadapannya. Jelas diingatannya tentang lelaki ini, membuat sisi pribadinya keluar. Ia masih sangat kesal, bahkan hingga saat ini. Entah siapa pria itu, tetapi mereka pernah bertemu satu bulan yang lalu. Pria itu dengan motor besarnya hampir menabrak seorang pejalan kaki, memang tidak sampai menabrak tetapi pejalan kaki itu terluka dibagian lengan kirinya cukup parah. Baekhyun yang kebetulan lewat tentu terkejut melihat bagaimana pria itu menyerempet pejalan kaki tersebut, dengan cekatan. Ia melempar tas kerjanya menuju wajah pengendara tersebut sehingga ia kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Baekhyun segera mengejarnya dan marah-marah seperti ibu-ibu pms. Ia bahkan tidak berhenti sebelum pria didepannya bertanggung jawab atas perbuatannya. Dengan terpaksa pria itu melakukan apa yang Baekhyun minta meski saat itu pergelangan kakinya tengah terluka karena terjatuh beberapa saat lalu tetapi tertutupi oleh celana jinsnya. Ia hanya menyerahkan beberapa lembar uang kepada pejalan kaki itu dan meminta maaf. Lalu pergi begitu saja dengan motornya, Baekhyun kembali berteriak namun diabaikan oleh pria itu. Dengan satu helaan nafas, ia mencoba tersenyum.
"Duduklah" Perintah Baekhyun, dengan senyum yang masih setia menghiasi wajah manisnya.
Pria itu duduk dikursi depan meja kerja Baekhyun. Tatapannya tak pernah berubah, kosong.
"Hai, perkenalkan. Aku adalah dokter yang akan menanganimu. Byun Baekhyun imnida" Sapanya dengan nada ceria yang selalu ia berikan pada setiap pasien, agar mereka tidak merasa canggung saat bersamanya.
"Hn" balas pria didepannya. Begitu singkat dan bermakna ambigu.
Baekhyun mencoba melihat bagaimana cara pria dihadapannya menatap sesuatu. Ia melihat dengan begitu jelas jika pria dihadapannya sedang sangat terluka, matanya memang kosong tetapi ribuan makna terpancar dibaliknya. Dan ia melihatnya.
"Bisakah aku mengetahui namamu?" Tanya Baekhyun, ia berharap mampu mengambil perhatian pria itu agar menatapnya.
"Kurasa sudah tercatat, Park Chanyeol" Balas chanyeol, tatapannya tak pernah berpaling dari satu titik. Entah bagaimana pikirannya mengontrol gerak geriknya.
Chanyeol benar dan Baekhyun merasa bodoh. "Hm, salam kenal Chanyeol. Kuharap kita bisa berteman baik" Ia tersenyum canggung. "Chanyeol-ssi, bisakah kau menatap mataku saat bicara denganku? aku merasa berbicara sendiri saat ini" Ia tertawa canggung. Demi apapun juga, ia tak pernah secanggung ini selama menangani pasien.
"Aku tidak pernah diajarkan untuk melakukan itu" ia tersenyum miring, namun begitu tipis hampir tak terlihat.
Tetapi Baekhyun melihatnya, senyum itu menjelaskan segalanya dan Baekhyun menyimpulkan. Ini berkaitan dengan masalah keluarga atau apapun yang berkaitan dengan lingkungan tempatnya tumbuh.
"Kenapa?" Baekhyun kembali mengorek informasi dari ekspresi spontan pria dihadapanya.
"Karena aku tidak punya orang tua" balasnya, ia seperti sebuah robot. Yang bertugas menjawab tanpa ia bereskpresi.
"Hm, apakah mereka sudah meninggal waktu kau kecil?"
Chanyeol menggeleng.
"Apa kau tidak pernah bertemu dengan mereka?"
lagi-lagi Chanyeol menggeleng.
"Lalu apa?" Baekhyun menyerah.
"Mereka ada, tetapi bukan untukku"
"Kuharap kau mau menjelaskan"
"Hn, kami tinggal bersama. Hidup dan melakukan kegiatan didalam satu atap yang sama" Chanyeol merasakan dadanya tiba-tiba sesak, namun semua tertutupi dibalik wajah arogannya "Tetapi bukan sebagai orang tuaku, mereka tak pernah ada untukku" Ia mengganti titik fokusnya menuju lantai.
"Karena itu dan kau berfikir mereka bukan orang tuamu?" Baekhyun merasakan kesal yang tertahan didadanya. Chanyeol dan ia memang memiliki masalah yang sama, yaitu kekeluargaan. Tapi tentu Chanyeol masih beruntung karena merasakan keberadaan orang tuanya, berbeda dengan dirinya yang sejak remaja tidak lagi mendapat sentuhan hangat dari yang namanya orang tua. Tetapi kenapa pria ini dengan mudah mengatakan hal sekeji itu?
Chanyeol terdiam.
Lagi-lagi Baekhyun menghela nafas, ia alihkan tatapannya menuju jendela yang menampakkan pepohonan rindang dihalaman belakang rumah sakit.
"Apa kau sering berbuat ulah?" Tatapannya tak lepas dari pohon dibalik jendela.
"Kurasa" Chanyeol menunduk, topengnya tak boleh terbuka didepan Baekhyun. Ia harus tetap terlihat kuat karena ia bukan orang lemah. Meski sakit dihatinya menjalar hingga membuat kedua matanya memburam. Ia menahannya, sebisa mungkin.
"Aku mengerti" Baekhyun menegakkan tubuhnya dan melangkah menuju jendela yang sedari tadi mencuri perhatiannya.
"Kau melakukan itu karena ingin mencuri perhatian kedua orang tuamu bukan?" Ia tersenyum sendu, tubuhnya membelakangi Chanyeol.
"Aku hanya ingin hidup" Tangan Chanyeol menggenggam erat, ia masih terus menahan rasa sakitnya.
"Jangan ditahan, karena rasa itu akan semakin sakit. Kau bisa melepasnya disini. Percaya padaku, aku akan membuatmu menjadi lebih baik dan merasakan hidup yang sebenarnya" Baekhyun paham, pria itu masih menyembunyikan banyak cerita dihidupnya. Ia tak akan memaksa pasiennya untuk bercerita, ia akan membiarkan hingga mereka bercerita sendiri.
"Apa selama ini kau hidup bahagia?" Entah kenapa Chanyeol bertanya seperti itu, ia sendiri merupakan orang yang peka terhadap lingkungan sekitar. Dan ia merasakan sesuatu yang aneh, membuatnya penasaran.
Mata Baekhyun membulat dengan spontan, untung saja Chanyeol tidak melihatnya. Jantungnya berdetak kencang secara tiba-tiba. Rasa sakit itu kembali menjalar membuat tubuhnya kaku untuk sesaat. Kenapa Chanyeol bertanya seperti itu? apa ia tahu? ia menggeleng pelan. Ia mencoba menstabilkan perasaanya.
"Aku akan bahagia ketika melihat pasienku bahagia, itulah sistem kebahagiaanku" Ia tertawa samar.
"Hn" Chanyeol berdiri, ia menatap punggung tegap Baekhyun.
"Apa kau pernah punya sahabat? yang mungkin menjadi alasanmu tersenyum atau tertawa?" Baekhyun berbalik, otomatis tetapan mereka bertemu. Mereka saling menatap dan keduanya menemukan sesuatu yang sama. Mata keduanya menjelaskan segalanya. Bahwa mereka sama-sama rapuh dan menyembunyikan sakit itu dibalik topeng tebal mereka.
Bedanya, Baekhyun menyembunyikan itu dengan senyum sementara Chanyeol dengan raut datarnya.
"Aku tidak butuh teman atau sahabat, mereka hanya akan memanfaatkan kemudian meninggalkan" Chanyeol membuang mukanya kearah lain.
"Kau salah, tidak semua sahabat seperti itu. Kau butuh sahabat, karena dengan hidupmu yang berat kau perlu sebuah sandaran. Setidaknya mereka akan mendukungmu disaat kau jatuh" Baekhyun tersenyum meyakinkan "Aku akan menjadi sahabatmu mulai saat ini, kapanpun kau butuh. Aku akan siap" Ia tersenyum semakin lebar. Entah kenapa ia sangat semangat. "Bolehkan aku meminta nomor ponselmu?" Tanyanya lembut.
Chanyeol merogoh ponselnya disaku celananya, ia menyerahkan ponselnya kepada Baekhyun. Baekhyun menerimanya dan mulai menyalin nomor ponsel pria jakung tersebut. Ia kembali menyerahkan ponsel Chanyeol. Jemari lentiknya memencet tombol panggil kemudian Ponsel Chanyeol berbunyi.
"Simpan nomorku" Ucap Baekhyun. "Kau akan menjalani penyembuhan dalam dua kali seminggu, aku tidak bisa memastikan harinya. Jadi aku akan menghubungimu hari pengobatannya" Baekhyun melangkah menuju tempat duduknya dan mendudukkan diri disana.
Chanyeol mengangguk paham "Terimakasih" sembari berojigi, kemudian ia melangkah menuju pintu "sampai jumpa" Dan tubuhnya hilang dibalik pintu.
Senyum Baekhyun lenyap, tubuhnya bergetar dan air mata yang sedari tadi ia tahan berlomba-lomba jatuh. Ia kembali menyengkram dadanya yang sesak. Topengnya terlepas sudah. Kenapa ia melihatnya? sosok dirinya yang lain. Dalam mata kelam pria yang beberapa menit lalu pergi.
"Jangan pernah kembali, kami tidak sudi memiliki anak seperti dirimu. Memalukan!"
Ia membungkam mulutnya dengan kedua tangannya agar suara tangisnya teredam. karena kini tangisnya semakin pecah kala suara sang ayah masuk dalam ingatannya dan menusuk dadanya dengan brutal. Sangat sakit.
"Kau mengecewakan kami"
Suara itu terus terngiang dan ia tak sanggup. Bodoh, ia sangat bodoh. Ia seorang psikolog tetapi menyembuhkan lukanya sendiri ia tak sanggup.
Tidak tidak, ia tidak boleh menangis dan membuatnya terlihat rapuh. Diruang kerjanya, ini akan membuat reputasinya hancur. Ia terdiam, kedua tangannya menyatu dan menggenggamnya sangat erat hingga memutih. Ia mencoba menghentikan tangisnya.
'tenang baek, banyak orang bahagia karenamu. Kau bukan orang yang buruk' Batinnya terus berkata untuk menetralkam perasaanya.
'kau hanya perlu tenang'
dan ia berhasil, tangisnya telah reda. Segara ia mengusap air matanya dengan tisu, sampai tak terlihat sedikitpun bercak air mata.
Ia melirik jam tangan yang melingkar dilengan kanannya. Pukul empat sore, ia harus segera kembali menuju apartemen mungilnya.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
ಥಥ
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Chanyeol tertunduk lesu, dijok motor besarnya. Matanya menatap lelah kearah sungai Han, hembusan angin sore menerbangkan helaian lembut surai coklatnya.
Ia mendengarnya, bagaimana pria berjas kedokteran itu menangis. Dan hal itu terus terbayang hingga saat ini. Ia sudah menduganya, jika Baekhyun menyembunyikan sesuatu dibalik wajah tegarnya. Ia juga terluka, sama seperti dirinya.
Chanyeol ingin tahu, mengapa Baekhyun menangis? Apa yang ia tahan? Bagaimana bisa ia menyembunyikannya dengan baik? ia sungguh ingin tahu.
Oh du du du~
Ponselnya bergetar, ia merogohnya dan melihat nama yang tertera dilayar ponsel.
Ayah
Sial. Chanyeol segera menekan tombol hijau dan mengangkatnya.
"Aku membutuhkanmu" ucap suara diseberang sana dengan nada tegas tanpa kelembutan.
Tut
Dan panggilan diputus secara sepihak.
Ia mengusap kasar wajahnya dan menghela nafas seberat-beratnya. Dengan enggan ia menaiki motor besarnya dan mulai melaju meninggalkan keindahan sore hari disungai Han.
--Tbc--
Anyong yorobuuunn...
Gomawooo~ telah membaca cerita saia, ini cerita perdana saia jadi harap maklum atas segala kekurangannya.
Saia harap jangan jadi sider, heuuuT_T
Kalo Ripiunya banyak, saia bakal cepet apdet.
Bisa setiap hari, kalo saia semangat. weka :V
RnR, favs, Foll.. jebal '3
see you next chap.. muwah
