Galerians, in.

Bisakah kalian memaafkan hamba? Tolong katakan dulu, berikan dulu maaf kalian, barulah hamba memberitahu apa yang menyebabkan hamba berkata seperti ini.

Sudah? Jangan bohong. Nih, hamba sudah nyembah-nyembah mohon ampun, masa nggak mau ngasih maaf juga? Iya, iya, hamba kasih tahu...

Dengan ini, hamba umumkan bahwa fic Among the Fireflies tak akan diteruskan! Entah kenapa idenya sudah hilang sempat hamba selesaikan! Tapi karena itulah, hamba menulis fic ini sebagai gantinya, masih dengan setting AU tapi temanya agak berbeda. Lebih ke romance daripada angst... cerita ini punya fungsi ganda sih, karena juga sebagai tempat hamba menyalurkan ide-ide hamba yang tak bisa dimasukkan ke fic-fic lain. Bagus buat ngehancurin writer's block lho!

Disclaimer: Hamba tak punya Naruto! Dah, gitu aja!

Silahkan membaca, dan kalau bersedia, review ya!

•••

Bathed in the Crimson Dusk

Dia selalu duduk di sudut kelas, sendirian, tanpa teman.

Itu bukanlah yang dia inginkan, ataupun apa yang dia minta, namun sesuatu yang harus dia terima. Jumlah kursi di kelas yang lebih banyak dari jumlah siswa membuat barisan belakang itu tak diisi oleh siapapun melainkan dia. Hanya satu orang, satu pemuda yang kesepian... atau yang kupikir begitu.

Apakah pemikiranku itu benar atau tidak, aku sendiripun tak tahu benar. Namun, jika kau tak pernah dihampiri oleh seorangpun dari teman sekelasmu, dan tak ada satupun siswa di sekolah yang mau mendekatimu, sehingga membuatmu selalu sendirian. Apa lagi namanya itu kalau bukan kesepian?

Tentu saja, hal itu bukannya tak beralasan. Pemuda itu memang bukan tipe anak yang mau kau jadikan sebagai teman, dari sudut pandang manapun. Dari penampilannya saja sudah bisa menunjukkan bagaimana sifatnya, baju seragamnya tak pernah dimasukkan ke dalam celana, dan sebuah gelang besi menghiasi pergelangan tangan kanannya. Wajahnya selalu cemberut dan dingin, bahkan jikalau dia pernah tersenyum, maka tak ada seorangpun yang pernah melihatnya. Ditambah dengan rambut pirang berwarna keemasan yang sangat mencolok, malah menambah kesan seakan dia adalah seorang preman.

Namun itu bukanlah sekedar kesan atau impresi yang dipasang padanya, dia memang benar-benar preman. Namanya pun cukup legendaris, karena kabarnya dia pernah dikeroyok oleh 20 puluh berandalan bermotor dan bersenjata, namun semuanya berhasil dia kirim ke rumah sakit dengan luka minimal patah tulang. Bukan hanya berandalan sekolah yang dia hadapi, pemuda itu juga pernah berseteru dengan gang penyebar narkoba, yang pada akhirnya dia hajar habis-habisan lalu semuanya dia serahkan ke kantor polisi.

Walaupun pada sesungguhnya dia banyak berjasa dalam membebaskan lingkungan dari jeratan para sampah masyarakat, perbuatannya itu juga malah membuatnya dicap sebagai seorang anak berbahaya, walau dia tak pernah sekalipun berbuat kenakalan yang disengaja dan murni berasal dari dirinya. Dia sering ditantang berkelahi, namun tak ada satupun yang dia mulai sendiri. Bahkan satu kali, sekelompok remaja nakal yang ingin balas dendam datang ke sekolahnya dan hampir saja memukuli sekelompok anak kelas satu, tapi dia datang dan kembali membereskan masalah itu seorang diri. Dalam banyak arti, dia telah berjasa. Namun dari sudut pandang masyarakat, dia tetap berupa seorang tukang berkelahi yang bisanya hanya membuat kekacauan.

...Tapi itu semua berasal dari orang lain, bukan dari sudut pandangku. Karena bagiku, pemuda berambut keemasan itu bukanlah seorang preman, apalagi sampah masyarakat. Dia hanyalah seorang remaja yang baik dan suka menolong, namun tak pandai menyampaikan isi hatinya. Dia adalah seorang lelaki berhati hangat, hanya tak bisa menyalurkannya lewat senyum ataupun ekspresi wajah. Dia adalah pria yang penyayang dan ramah, tapi tak pernah satu kalipun menunjukkannya dengan kata-kata... hanya dengan perbuatan. Walaupun selalu disalah artikan oleh semua orang.

Bagaimana aku bisa tahu, kau bertanya?

Karena dia sendiri yang telah menunjukkannya padaku. Bahwa di balik topeng wajahnya yang dingin dan tanpa perasaan, tersimpan sebuah hati yang bercahaya menyilaukan.

•••

"Hinata, kau belum pulang?" seorang gadis berambut pink menyapa temannya yang sibuk membaca buku di salah satu kursi perpustakaan.

"Ah, maaf, Sakura-san..." gadis berambut biru panjang itu menoleh sambil mengucapkan permintaan maafnya, tangannya bergerak ke bingkai kacamata yang nangkring di batang hidung lalu melepasnya. "Aku ingin menyelesaikan pr ini dulu..."

"Kalau begitu aku pulang duluan ya," ucap cewek bernama Sakura itu sambil berjalan ke arah pintu ganda yang terbuka lebar. "Jika kau keluar, ingat untuk mengunci tempat ini ya!"

"Baik...!"

Gadis dengan dua mata berwarna biru abu-abu itu mengembalikan perhatiannya pada buku tulis dan beberapa kertas yang terhampar di atas meja di hadapannya, jari-jarinya yang lancip dan putih mulus meraih pensil yang sempat terlantar sebelum membuatnya menari di atas kertas sekali lagi, melanjutkan pekerjaan yang belum selesai. Setelah sejenak menulis, gadis itu mengambil sebuah buku teks dari tasnya dan kembali memasang kacamata untuk membaca informasi di buku itu.

Gadis itu bernama Hinata Hyuuga, seorang gadis teladan yang sejak kelas 1 SD selalu menjadi ranking satu di kelasnya. Namun walau nilainya mencukupi untuk pergi ke sekolah elit khusus gadis di luar negeri, gadis dengan rambut panjang berwarna biru tua itu memilih untuk tetap tinggal di tempat kelahirannya, Jepang, untuk tetap bersama keluarganya dan menerima pelajaran bersama teman-temannya. Tak peduli dia sekolah di SMA biasa, gadis itu tetap menjadi sebuah fenomena, nilainya yang selalu sempurna bagaikan sebuah keajaiban bahkan di antara pelajar tingkat internasional. Dalam berbagai ajang bergengsi, Hinata telah membuktikan kalibernya sebagai siswa yang berwawasan luas, membuatnya dicap sebagai jenius terhebat milenium ini.

Meskipun IQ yang luar biasa dan otak yang encer bukan main, pesona Hinata sebagai seorang gadis juga bukanlah sesuatu yang bisa diungkapkan dengan kata selain: sangat mengagumkan. Tubuhnya yang ramping dan cukup mungil dihiasi oleh dada besar sehingga terlihat kontras, membuatnya sering mendapat pandangan iri dari puluhan gadis kemanapun langkah membawanya serta nafsu oleh lawan jenisnya. Wajahnya adalah lambang dewi malam, sebuah kecantikan yang hampir bisa dianggap sebagai dosa, karena dengannya Hinata bisa memikat siapa saja yang dia inginkan. Satu-satunya kelemahan yang dimiliki oleh gadis dengan julukan anak dewa ini hanyalah satu... dia tak berbakat dalam olahraga, sedikitpun.

•••

Matahari tinggal berjarak beberapa jari dari cakrawala ketika Hinata meletakkan pensilnya dan meregangkan tubuhnya untuk melonggarkan jalinan otot yang kaku karena terlalu lama duduk. Warna merah yang menyerupai darah sudah memandikan ruangan di mana gadis itu duduk, dan bayangan-bayangan yang sudah panjang memastikan kalau waktu sudah mencapai petang. Hinata membereskan setiap buku ataupun kertas, lalu memasukkan ke tasnya yang berwarna hitam. Gadis itu merapikan baju dan roknya sambil berjalan ke luar perpustakaan, berhenti hanya untuk menutup pintu dan menggemboknya.

Sekolah sudah sepi, adalah hal pertama yang dia sadari saat berjalan melewati koridor sekolah. Suasana yang lengang memberitahu gadis itu kalau semua kegiatan klub sudah selesai minimal belasan menit yang lalu, meninggalkan gadis itu hanya sendirian di sekolah. Koridor yang lengang bukan main berubah menjadi menakutkan ketika gadis itu menyadari kalau setiap langkahnya menimbulkan suara yang bergema, dan itu memaksa Hinata untuk mempercepat jalannya sampai setengah berlari. Dan dia baru bisa menghela napas lega ketika mencapai pintu keluar gedung sekolah... tanpa tahu apa yang menunggunya di sana.

"Hei~, bukannya Hinata Hyuuga, ini idola sekolah kita?"

Gadis itu tersentak ketika melihat 3 pemuda sudah berdiri di hadapannya, dengan penampilan menyerupai preman yang bisa dilihat dari kalung besi dengan model berbeda yang mereka pakai. Hinata menyadari kalau dia dalam masalah ketika 3 pria urakan itu menatapnya tajam dari atas ke bawah, menghentikan tatapan mereka di beberapa bagian tubuh dengan tak sopan yang membuat wajah Hinata merona merah. Tapi gadis itu berusaha tenang, lalu memasang sebuah senyum walau dipaksakan.

"Ah, bisakah aku permisi? Sudah telat, aku mesti pulang..." kata Hinata sambil berusaha berjalan melewati 3 anak dengan seragam yang dia kenali sebagai murid sekolahnya juga, namun dua tangan segera bergerak memegang bahunya untuk menghalangi kepergian gadis itu.

"Ayolah, kenapa buru-buru? Sebenarnya kami ini punya masalah dalam pelajaran lho, bolehkah kami bertanya padamu?"

"Anu, b-besok saja ya? Aku benar-benar tak punya waktu sekarang..."

"Kalau begitu luangkanlah, kasihan kami-kami ini..." kata pria yang memegangi pundak Hinata, tanpa peduli gadis itu mulai mengernyit kesakitan karena tangannya terlalu kuat mencengkeram bahu Hinata.

"Maaf, a-aku benar tak bisa..."

"Dasar pelit...!" pemuda itu tiba-tiba marah dan mendorong Hinata dengan kuat, sampai gadis itu terpental dan jatuh ke lantai dengan sebuah pekikan halus.

Namun posisi jatuh itu kurang baik, karena kakinya yang terkangkang mengakibatkan roknya tersibak dan celana dalamnya yang berwarna biru tua terpampang jelas bagi ketiga pemuda itu. Hinata segera sadar dengan keadaannya yang memalukan, lalu langsung menggunakan tangannya untuk menutupi bagian itu sambil menyatukan kakinya, wajahnya merona merah dan tanpa sadar setetes air mata jatuh ke pipinya.

"Hei hei hei, setelah kulihat baik-baik, gadis ini sangat seksi..." ucap pemuda yang di tengah, diikuti oleh anggukan dari kedua temannya. Ketiga pemuda itu menatap Hinata dengan sorot mata lapar seperti serigala ketemu mangsa, membuat gadis itu bergidik dan berusaha beringsut mundur, mencoba kabur. "Wah, aku jadi tak tahan..."

"Lakukan saja! Tak ada siapapun lagi kok di sekolah!"

"Benar! Kita bisa melakukannya bertiga sekaligus, bergiliran pun aku bersedia!"

Percakapan mereka membuat Hinata benar-benar ketakutan, namun kedua kakinya tiba-tiba terasa lemah sehingga berdiri pun gadis itu tak mampu. Air mata kini sudah mengalir dari dua matanya yang berwarna biru abu-abu, tubuhnya tak berhenti beringsut untuk kabur walaupun dia tahu sia-sia.

"Nah, ayo kemari gadis cantikku. Kami janji, kau pasti akan merasa sangat bahagia!"

Hinata membuka mulutnya untuk menjerit, namun tak ada bunyi apapun yang bisa keluar dari mulutnya, seakan-akan gadis itu tiba-tiba kehilangan lidah juga suaranya. Matanya melebar ngeri ketika ketiga berandalan di hadapannya mulai melangkah maju pelan-pelan, dengan tangan terulur ke arahnya dan jari-jari yang menggeliat-geliat tak sopan, seakan sudah tak sabar untuk menggerayangi tubuh montok Hinata. Gadis itu menutup matanya erat-erat, menjeritkan kata 'tolong' sekuat tenaga dalam hatinya.

"HEI!!"

Teriakan yang nyaring bukan main itu membuat Hinata membuka matanya yang basah dan melihat ke belakang, lalu mendongak sedikit sehingga tatapannya tertuju pada jendela lantai dua yang entah kenapa terbuka lebar. Jendela itu tepat berada di depan pintu masuk, dan Hinata mengenalinya sebagai jendela dari kelasnya sendiri. Yang tidak biasa dari pemandangan itu, adalah fakta bahwa seseorang kini berdiri dengan tangan bersidekap di ambang jendela tersebut. Seorang pemuda, dengan rambut pirang keemasan dan mata sebiru langit di hari yang cerah.

Pemuda itu melompat tanpa tedeng aling-aling, lalu mendarat dengan suara keras tepat di depan Hinata meringkuk ketakutan. Dia berdiri dengan mudah seakan lompatan yang sangat tinggi tadi tak berpengaruh pada kakinya, lalu memberi ketiga preman di hadapannya dengan tatapan setajam pedang.

"Tinggalkan dia," kata pemuda itu, suaranya dingin dan tak menyimpan ruang untuk argumen apapun. Nadanya juga datar, seakan-akan pemuda itu tak menyimpan emosi apapun dalam dirinya. "Pilihlah lawan yang setingkat kalian."

"D-dia Naruto Uzumaki!!" teriak pemuda yang di kiri, menunjuk Naruto seakan-akan pemuda itu adalah hantu. "Oh Tuhan, ini buruk!"

"Sial, padahal kita sudah dapat rejeki nomplok!!"

"K-kita coba lawan saja!! Dia sendirian, dan kita bertiga!"

"Kalian pikir jumlah punya arti di sini?" tanya pemuda pirang bernama Naruto itu, dengan suaranya yang masih sebeku es. "Kuberi peringatan, pergi sekarang. Atau bersiap menemui ajal kalian."

Ketiga berandalan itu tiba-tiba gemetaran, dan langsung balik arah serta lari terbirit-birit secepat kaki bisa membawa mereka. Setelah pengganggu-pengganggu itu hilang dari pandangan, Naruto berbalik dan menatap Hinata yang masih menangis, walaupun kini tatapan gadis itu terpaku pada pemuda yang menjadi penyelamatnya itu.

"Kau tak apa-apa?" Naruto bertanya singkat, dan akhirnya Hinata bisa menemukan secercah emosi dalam nada suaranya kali ini. Kekhawatiran. "Apa mereka melukaimu?"

"A-ah, tidak..." gadis itu menjawab dengan suara pelan, tidak menyadari kalau kini di wajahnya terdapat rona semerah matahari senja. "A-aku... tidak apa-apa..."

"Bisa berdiri...?" Naruto mengulurkan tangannya yang tanpa ragu langsung diterima oleh Hinata, sebelum membantu gadis itu berdiri dengan kelembutan yang mengejutkan, datang dari seorang preman macam dirinya.

"Ah...!" Hinata tiba-tiba kehilangan keseimbangan, andai saja tak ada tangan kuat Naruto yang menyangga pinggangnya. "M-maaf, aku..."

"Kau masih shock..." pemuda itu berpikir sebentar. Hal berikutnya yang terjadi adalah Hinata yang sangat terkejut karena Naruto tiba-tiba mengangkat gadis itu dengan lengannya yang kekar, menggendong Hinata dalam lingkup tangannya, membungkamkan gadis itu secara menyeluruh. "Akan kuantar kau pulang."

Gadis itu hanya mengangguk dalam diam, entah kenapa dia tak bisa menemukan alasan atau keinginan untuk menolak pemuda yang baru menolongnya itu. Bahkan, setelah beberapa waktu, Hinata mulai merasa nyaman berada dalam gendongan Naruto bahkan tanpa takut menyandarkan kepalanya di dada sang pemuda yang bidang dan keras oleh otot.

Tanpa alasan yang bisa dia jelaskan, dekapan pemuda itu membuatnya merasa aman, merasa terlindungi. Dia juga tak bisa menjelaskan perasaan apa yang membuat dadanya terasa hangat, dan jantungnya yang berdetak lebih cepat. Semua pengetahuan dan informasi yang tersimpan dalam otak Hinata yang jenius menjadi tak berguna, karena tak ada satupun yang bisa menjelaskan dengan runtut apa yang membuat wajah gadis itu tak bisa berhenti merona merah... atau menjelaskan mengapa Hinata tak ingin momen berakhir.

Semua pelajaran yang pernah Hinata terima, tak bisa menerangkan kenapa dia ingin tak pernah lepas dan selalu berada di dalam kungkungan lengan pemuda itu.

•••

Aku sendiri tak yakin apa aku bisa menguraikannya, namun aku tahu pasti bahwa saat itu sesuatu yang aneh dan asing sedang terjadi pada diriku. Dan perasaan itu masih ada sampai sekarang, setiap kali aku menatap wajah yang selalu dingin dan tanpa ekspresi itu.

Karena aku tahu, di sana tersimpan sebuah senyuman sehangat matahari... hanya tersembunyi.

Karena aku yakin, di balik mata biru langit yang menyembunyikan gejolak emosinya, terdapat kelembutan yang hanya bisa ditandingi oleh sutera atau satin terbaik di dunia.

Karena aku mengerti, walaupun tertutupi oleh wajah yang senantiasa datar dan kosong, Naruto tetaplah seorang manusia, yang butuh perhatian... yang butuh cinta.

Karena aku menyadari, bahwa di hari itu, di bawah siraman cahaya merah mentari senja yang memandikan kami berdua, di dalam dekapannya yang senantiasa hangat dan memberiku rasa tenang...

Aku telah jatuh hati.

Okelah, rasanya cukup segitu dulu untuk chapter 1. Hamba janji chapter dua akan segera datang, karena itu hamba mohon reviewnya ya! Supaya hamba semangat nulis gitu, kalau-kalau kalian ingin cepat-cepat membaca kelanjutan cerita ini...

Oh ya, bagi yang bingung, yang di atas itu dua-duanya POV Hinata.

Terima kasih sudah membaca!

Galerians, out.