Hi From Me, Your Leader.

CHAPTER 1/2

Warning! Boys Love, Friend, Relation, Canon.

Pair! Mark x Jaemin

NCT adalah punya Sment, saya cuma pinjem nama dan gejolak cinta yang mereka rasakan satu sama lain (?)

.

Happy Reading

.

Masih gelap saat alarm di kamar kecil itu berbunyi nyaring. Seorang yang lebih muda segera meraih benda laknat itu untuk menghentikan bunyi menyebalkan yang berasal darinya. Hening menyelimuti. Dia menatap kakaknya yang tidur di ranjang sebelah. Masih setia menggulung diri dalam selimut tebal tanpa merasa terganggu. Sebuah pemandangan langka tentu saja, seorang Mark yang sensitif bahkan tak menggeliat setelah alarm berbunyi. Donghyuck ingin membiarkannya istirahat lebih lama. Mengingat kerja keras Mark yang tak main-main sejak debut. Namun, mereka punya jadwal. Dan Mark adalah seorang leader yang seharusnya memimpin grup mereka. Jadi Donghyuck mendekati namja yang lebih tua. Lalu membangunkannya.

"It's the time, hyung. Wake up."

"Yea. Sure... You shower first. Please... Im exhausted."

Donghyuck melakukan apa yang diperintahkan Mark. Dia pergi keluar kamar untuk mandi setelahnya.

Mark tak benar-benar tidur. Dia meraih ponsel di dalam tas untuk setelah itu menghubungi satu persatu member dream. Dia akan pastikan semua berjalan lancar hari ini tanpa adanya keterlambatan. Sampai sebuah kontak nyaris disentuhnya. Tahu ia hampir saja melakukan kesalahan, Mark menghela napas.

"Hyung, aku selesai."

"Oke."

.

Seperti sebuah mobil yang penuh dengan anak remaja bersemangat tinggi lainnya, van NCT DREAM tak berbeda jauh. Mereka meributkan game terbaru yang mereka incar setelah promosi ini selesai. Seperti menjadi sebuah ritual, setelah menyelesaikan jadwal padat, mereka bertujuh selalu menenggelamkan diri pada hal-hal yang menyenangkan. Game adalah salah satunya. Meski bahasa masih menjadi sebuah dinding tinggi antara member China dan Korea, penghalang itu tak terlihat lagi jika sudah berhubungan dengan hal yang mereka sukai.

Sebuah mal besar di pusat kota Seoul menjadi tujuan mereka. Fansign akan dimulai satu jam lagi. Keenam remaja disana sibuk dengan make up masing-masing tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Membiarkan sang penata rias menyelesaikan pekerjaannya.

Saat mereka naik ke atas panggung, para fans telah menunggu. Jumlahnya lebih banyak ketimbang saat mereka promosi chewing gum. Karena hal itu, mereka tersenyum puas. Sangat bahagia dengan apa yang ada di hadapan mereka seakan tak ada hal yang bisa merusak kebahagiaan itu.

Mark duduk di tengah. Bersebelahan dengan Renjun dan Jeno. Ia menyapa satu persatu fans yang datang dengan senyum cerah khas miliknya. Mengabaikan fakta bahwa beberapa diantara mereka adalah ssasaeng yang membuat hidupnya tak tenang. Namun, mau bagaimana lagi, peran mereka untuk membesarkan namanya tak kalah besar. Mark ingin menghargai fans yang sudah memberikannya banyak cinta. Tanpa terkecuali.

Ada seseorang yang pernah bilang, dia terlalu baik pada semua orang. Ah! Seluruh member NCT juga mengatakannya. Orang yang spesifik itu lebih tepat dikatakan sebagai marah-marah ketimbang hanya sekedar bicara.

Mata Mark menatap perempuan pendek yang berdiri di hadapan Jeno. Wajahnya tak mencerminkan kebahagiaan seperti yang lainnya. Ia bicara ala kadarnya pada Jeno hingga sang idola sedikit canggung. Setelah mendapatkan tanda tangan Jeno, perempuan itu langsung bergeser pada Mark. Mata mereka bertemu untuk beberapa saat karena Mark memperhatikan perempuan itu tanpa henti.

"Matamu sedikit sembab noona." Ucap Mark sambil menerima album dari sang fans. "Jangan bersedih, kami akan membawa kebahagiaan untukmu."

"Terima kasih. Aku hanya merasa bersalah karena tidak melihat Jaemin diantara kalian."

Mark menghentikan laju spidolnya dalam membuat tanda tangan. Ia meninggalkan sebuah titik hitam di antara tanda tangannya karena hal itu. Pikiran mulai terbang kemana-mana. Ia baru menyadari keabsenan namja yang disebut sang perempuan dalam hidupnya. Selama ini dia lupa. Sesungguhnya dia benar-benar lupa.

"Jangan khawatir. Jaemin baik-baik saja dan akan segera kembali bersama kami."

"Mark,"

"Ne noona..."

"Aku tahu kau sedang berbohong. Kau tidak benar-benar tahu kondisi Jaemin kan? Kau tidak bicara dengannya kan?"

Tanpa mereka sadari, fans lain mulai menggerutu karena perempuan itu tak segera neranjak mendekati Renjun. Manager di belangan mereka juga mulai gusar. Disamping itu, Mark tak bisa berkata-kata. Bualan yang dipelajarinya untuk membuat fans senang seakan tertelan bulat bulat seketika.

"Noona tidak menyalahkanmu Mark. Kami tahu kau sangat sibuk dan kau tidak ingin membuat fans khawatir tentang Jaemin dulu. Noona mengerti kenapa kau melakukannya. Tapi, bagaimana perasaan Jaemin setelah mendengar statmen darimu tentangnya tanpa kau tahu apa yang terjadi padanya? Dia pasti sedih."

Butuh waktu sampai manager nct dream mendekati mereka untuk menegur perempuan itu. Namun keduanya mengabaikan.

"Jangan menganggapnya sebagai rekan kerja Mark. Dia temanmu. Kau bukan leadernya, kau kakaknya. Kau kakak dari semua adikmu disini. Noona harap kau bisa merangkul semuanya dan melindungi mereka."

Perempuan itu akhirnya bergeser. Menemui Renjun yang sedari tadi mendengar percakapan mereka. Dia melempar senyum manisnya tanpa berkata apapun tentang yang baru saja dia dengar.

.

Donghyuck tidur dengan berisik seperti malam-malam lainnya. Dengkurannya bukan lagi gangguan untuk Mark sang roomate. Telinganya sudah kebal. Maka dari itu, saat matanya terbuka di tengah malam padahal jadwal padat baru saja dia lewati, Mark merasa heran.

Sebelum ini dia tidak benar-benar tidur. Ia sangat lelah sampai rasanya seluruh tulangnya nyaris copot karena itulah dia tak juga terlelap. Paling tidak, itu yang Mark pikir. Sebenarnya itu hanyalah denial dari pikirannya yang kalut. Kalimat seorang fans sore tadi masih terngiang di telinganya.

Mark keluar dari kamarnya dengan membawa ponsel. Ruang tengah dorm yang sepi menjadi pilihannya untuk berdiam diri sesaat.

"Ahh..." ketika punggungnya menyentuh sandaran sofa, Mark mendesah lega.

Laki-laki berambut pirang itu lantas mengotak-atik ponselnya. Tanpa pikir panjang dia mendial sebuah nomor yang ada di kontak cepatnya.

Suara sambungan telepon terdengar beberapa saat. Mata Mark bergerak liar bersamaan dengannya. Menyisir setiap sudut ruangan tempatnya berdiam. Sampai suatu titik mendapatkan fokus netranya.

02.17

Dia menghubungi seseorang yang butuh banyak istirahat di tengah malam tanpa pikir panjang. Sontak ia mengcancel panggilan itu.

"Stupid!" Mark mengutuk dirinya atas kecerobohan yang dia lakukan.

"Apa yang kau lakukan disana Minhyung?"

Suara sang member tertua membuat Mark menoleh.

"Tidak bisa tidur, hyung."

"Jangan begitu. Kau harus istirahat. Tidur sana."

Mark adalah orang yang baik. Dia tidak pernah berpikiran buruk tentang orang lain, ya selama dia masih dalam keadaan sadar. Namun dia juga tidak bisa menghentikan harapan kalau yang memergokinya sekarang bukanlah Taeil hyung yang acuh. Dia menginginkan Taeyong hyung, atau Doyoung hyung yang menemukannya. Mereka akan mendengarkan ceritanya, kegelisahannya tentang betapa buruk ia sebagai teman untuk Jaemin. Mark membutuhkan orang untuk mendengarnya.

"Ya hyung."

Tapi akhirnya dia menurut. Masalah itu tak terselesaikan.

.

Dalam gelap, Jaemin menatap ponselnya. Beberapa saat yang lalu Mark menghubunginya. Jaemin tak sempat menerima telepon itu karena baru saja terbangun.

Ada keinginan untuknya menelepon balik. Namun dia merasa sekarang bukan saat yang tepat. Mungkin Mark baru saja mengurungkan niatnya untuk menghubungi Jaemin karena terlalu lelah, mungkin juga karena manajer hyung memergokinya.

Jadi saat pagi datang, dia mengirimkan pesan singkat pada sang leader. Atau lebih tepatnya mantan leadernya.

[Hyung ada apa?]

Butuh waktu cukup lama sampai pesan itu dijawab. Sekitar tiga jam yang Jaemin asumsikan sebagai gambaran kesibukan Mark.

[Hai Jaemin! How are you?]

[Sangat baik hyung. Kau sendiri?]

[Aku juga baik. Punggungmu bagaimana?]

[Sudah mendingan. Aku merasa sudah bisa handstand di atas hoverboard lagi.]

Setelah itu tak ada jawaban.

Mungkin NCT DREAM tengah melakukan jadwalnya.

Benar saja. Beberapa saat kemudian Chenle mengirim fotonya yang ada di backstage. Adik dari Chinanya itu adalah salah satu orang yang selalu menghubunginya tiap hari. Meski dengan keterbatasan bahasa, Jaemin merasa Chenle sangat peduli terhadapnya. Dibelakang Chenle, pasti ada Renjun yang membantunya mentranslate semua percakapan mereka.

Saat ia selesai mengirimkan komentar atas foto Chenle, panggilan Jeno masuk ke ponselnya.

[Yeoboseo, Nana.]

"Seperti yang diharapkan. Kau tidak menyenangkan sama sekali, Jeno."

[Aku memang tidak sedang berusaha melucu. Hei, setelah ini aku kosong. Main ya.]

"Boleh. Bawa PSP-mu."

[Oke. Sampai jumpa nanti.]

"Tunggu. Mark hyung disana?"

[Tidak. Dia pergi dengan manajer. Entah kemana.]

"Mark hyung bekerja dengan keras."

[Yaps. Beri semangat sana.]

"Aku memang akan melakukannya. Sampai jumpa nanti ya."

Jeno, laki-laki paling tampan yang pernah dia temui. Abaikan Taeyong, atau Jaehyun. Menurut Jaemin, Jeno adalah yang paling tampan. He is gay after all. Jaemin menyukai bagaimana Jeno memperlalukannya seperti seorang sahabat sekaligus sebagai kekasih di saat yang bersamaan. Mereka bukan hanya rekan kerja. Hubungan mereka jauh lebih dari pada itu.

Sampai akhirnya Jeno datang ke rumah di malam hari seperti biasanya, ponsel Jaemin tak berbunyi lagi.

Kedua laki-laki itu menghabiskan waktu di kamar Jaemin sambil bermain PSP. Sementara Jeno duduk di lantai, Jaemin yang masih sakit duduk bersandar di kepala ranjangnya.

"Aku suka lagu dan koreonya. Berapa lama kalian latihan?" tanya Jaemin. Dia meletakkan PSP di sampingnya dan memusatkan pandangan pada Jeno.

Namja yang lain mengikuti. Jeno meletakkan PSP di meja belajar Jaemin lalu menyamankan diri di samping sang sahabat. Tangannya menepuk bahunya sendiri untuk memberikan sinyal pada Jaemin agar bersandar.

"Sekitar, satu setengah bulan. Karena kami kehilanganmu, koreo-nya terpaksa diganti. Tapi tetap saja kami memberikan space untukmu jika kau sudah siap kembali bersama kami."

"Ah... aku tidak yakin."

Jeno langsung memberikan deathglare pada Jaemin karena kepesimisannya. Siapa yang tidak marah jika teman satu bandmu tiba-tiba berkata demikian. Padahal mereka baru saja memulai semua ini. Lalu, apa arti waktu trainee panjang mereka? Apa arti kalimat penyemangat yang setiap saat mereka lempar untuk satu sama lain?

"Maaf. Aku hanya bercanda."

"Jangan bicara begitu lagi. Kalau Mark hyung dengar, dia bisa semakin gila."

Jaemin tersenyum simpul. Nama orang itu lagi. Seandainya Mark ada di sana sekarang. Jaemin pasti akan memeluknya seerat mungkin.

"Aku serius, Jaem."

"Hm?"

"Tentang Mark hyung."

"Something wrong with him?"

Intensitas ketegangan diantara mereka meningkat drastis saat Jeno memilih memandang dalam Jaemin. Seperti ada sesuatu yang sedang namja itu siapkan untuk diucapkan.

"Mark hyung terkena anxiety ringan. Tapi karena dia tidak punya waktu untuk konsultasi, psikiater sudah memberikannya obat dosis rendah."

Tubuh Jaemin menegang. Dia mencoba memproses informasi yang baru didapatkannya.

"Kenapa bisa begitu? Apa karena kelelahan? Atau, karena ssasaeng itu?"

"Mungkin keduanya. Tapi kita tahu hal yang lebih dikhawatirkan Mark hyung 'kan? Pandangan orang terhadapnya. Kupikir dia ingin memuaskan semua orang dengan bekerja keras sampai takut mengecewakan mereka."

"Dari siapa kau tahu semua itu?"

"Dia membicarakan masalah itu denganku dan Renjun. Sekitar, dua atau tiga bulan yang lalu."

"Dan selama ini kau menutupinya dariku? Kenapa? Apa kau pikir aku tidak berhak untuk tahu?"

Jaemin tersulut amarahnya. Dia mempercayai Jeno lebih dari orang lain dalam grup. Sekarang Jaemin sangat kecewa karena sahabatnya menyembunyikan fakta sang leader darinya.

"Aku tidak ingin kau semakin sakit. Lagi pula hanya beberapa orang yang tahu. Taeyong hyung dan Taeil hyung lalu aku dan Renjun. Hanya kami. Masalah ini, jika semua orang tahu, menurutmu apakah Mark hyung akan menyukainya?"

Ego Jaemin membuatnya tak bicara. Fakta bahwa Jeno menyembunyikan masalah Mark membuat dia marah, namun ia juga tak bisa menyalahkan maksud baik sahabatnya.

"Sekarang, fokus dulu untuk penyembuhanmu. Kalau kau kembali, Mark hyung pasti akan segera membaik." Jeno menuruni ranjang Jaemin. Sudah terlalu malam. Ia bahkan melanggar janjinya pada manager hyung untuk pulang sebelum tengah malam. "Aku pulang dulu."

"Hati-hati."

"Hm..."

Seperginya Jeno, Jaemin mengambil ponselnya. Tak ada pesan masuk yang sedari tadi dia tunggu. Maka, ia mengambil keputusan untuk mengiriminya pesan lain.

[Hyung pasti sangat sibuk, 'kan? Semangatlah hyung!]

.

Ditengah padatnya jadwal dengan NCT Dream, Mark dan Donghyuck memiliki jadwal bersama NCT 127 untuk pemotretan sebuah majalan fashion. Mereka berangkat pagi-pagi untuk melakukan make up.

Sebuah padang rumput ilalang menjadi background pemotretan mereka kali ini. Baju serba putih dipadu dengan pemandangan sekitar, membuat member NCT terlihat layaknya malaikat.

Kesembilan laki-laki berpose di tengah ruang terbuka dengan ilalang yang menggelitik tubuh mereka. Dengan profesionalitas yang tinggi, rasa geli tak mengganggu konsentrasi mereka dari pemotretan.

Sampai akhirnya grup itu dipecah menjadi tiga kelompok yang berbeda untuk sesi selanjutnya.

Mark duduk di bawah tenda yang staff sengaja sediakan untuk mereka. Tangannya meraih ransel merah di atas meja yang memang miliknya. Sebotol obat diraihnya dari dalam sana.

Botol berwarna cokelat itu tidak pernah Mark bayangkan akan ada di genggamannya. Kelainan itu juga tidak pernah dia sangka akan bersemayam di tubuhnya. Selama ini Mark merasa sangat sehat, sangat bersemangat dan bahagia. Saat tiba-tiba psikiater yang menangani masalah insomnianya membuat diagnosis tentang masalah ini, Mark ingin tidak percaya.

Laki-laki tua itu bilang tidak ada masalah serius dalam tubuhnya. Hanya ada sedikit gejala kecemasan yang akan hilang jika dia bisa menemukan alasan dari kecemasan itu. Tapi, dia tidak punya banyak waktu untuk konsultasi tentang masalahnya pada psikiater itu atau psikolog. Sebagai hasilnya, obat itu ada di tangannya.

"Hei," Botol obat itu tiba-tiba menghilang. Kakak tertua, Taeil, yang mengambilnya. "Berniat minum obat lagi?"

"Jantungku berdetak cepat sekali. Pikiranku juga berantakan. Hyung, kembalikan obatnya."

"Kenapa kau tidak cerita padaku saja tentang masalahmu dari pada minum obat ini?"

Mark ingin melakukan itu. Tapi, sekali lagi Taeil hyung-nya bukan orang yang tepat. Dia tidak berpikir Taeil adalah orang yang tidak bisa dipercaya, hanya saja dia ragu sang kakak tertua dapat membantunya.

"Kau tidak mau bicara padaku juga tidak apa-apa. Akan kupanggilkan Taeyong."

Laki-laki yang lebih tua seakan mengerti penolakan dari adiknya. Dia juga tidak punya keinginan untuk memaksa. Semua yang dilakukannya murni untuk membantu Mark, bukan untuk memuaskan rasa penasarannya sendiri. Jadi penolakan itu dia maklumi.

"Terima kasih hyung." Hanya itu yang Mark ucapkan. Mendengarnya saja sudah membuat Taeil lebih baik.

"Iya."

.

Sebelum sesi pemotretan itu benar-benar selesai dan mengharuskan semua orang untuk pulang, Taeyong menyempatkan waktu luangnya dan Mark untuk menarik yang lebih muda keluar dari lingkaran keramaian. Dia memilih sebuah pohon besar di pinggir padang rumput itu untuk menjadikannya tempat bicara.

Taeil menemuinya setelah sesi pemotretan solonya selesai. Dia mendengar semuanya dan langsung bergerak cepat seperti saat ini.

Taeyong mendudukkan dirinya di bawah pohon, diikuti Mark.

"Kau harus menikmati pemandangan ini sekarang sampai puas. Bisa saja kau tidak bisa melihatnya lagi lain waktu."

"Mataku sampai sakit melihat rumput-rumput itu bergoyang. Hyung terlalu drama untuk melihat tanah lapang yang panas ini indah."

"Ah, kenapa tiba-tiba sarkasme-mu keluar? Mana Mark yang baik dan sopan itu heeeh?"

Taeyong mencubit pipi Mark gemas. Sikap Mark sekarang sangat disukainya. Saat-saat seperti inilah yang membuat Taeyong tersadar Mark masih cukup kecil untuk melihat betapa luasnya dunia –terlepas dari usianya yang juga tidak bisa dibilang tua-. Dia bisa dengan mudah mengajarkan Mark arti kehidupan menurut versinya. Hal itu membuatnya tak ingin salah langkah, terkadang.

"Ada yang mengganggumu ya?"

"Aku tidak tahu hyung. Rasanya tubuhku semakin tidak nyaman."

"Kau terlalu memaksakan diri. Lakukan jadwalmu dengan santai Mark. Jangan serius terus."

"Tidak bisa. Bagaimana caranya bekerja tanpa keseriusan hyung? Kau bicara sesuatu yang aneh."

Seperti seekor bayi singa yang kehilangan harapan untuk menjadi raja, Mark kehilangan semangat yang terlihat selalu membara di depan kamera. Itu yang baru saja Taeyong pikirkan.

"Sepertinya pekerjaan bukanlah masalahnya. Tapi, aku tidak tahu apa." Ucap Mark lagi. Frustasi tentu saja semakin membebaninya.

"Mungkin ada baiknya kau lebih banyak beristirahat. Malam ini, kenapa kau dan Donghyuck tidak menginap di dorm Dream? Kalian bisa bicara sepanjang malam, mungkin itu yang kau butuhkan."

"Ya. Mungkin saja."

.

Malam harinya, Mark benar-benar mengajak Donghyuck pergi ke dorm Dream untuk menginap. Donghyuck tentu tak menolak karena dia merindukan saudara-saudara seumurannya yang lain.

Ruang tengah dorm diubah jadi ruang tidur bersama. Manager hyung mereka usih dengan paksa malam ini. Rumah itu sepenuhnya milik mereka.

"Oh my god! Ini rumah punya kitaaa!" Chenle berteriak riang begitu manager hyung keluar dari rumah itu.

"Iya-iya. Punya kita." Renjun menepuk kepala Chenle agar dia sedikit tenang. Tapi tetap saja laki-laki Shanghai itu terlalu gembira. Apalagi mereka dalam formasi hampir lengkap dengan kedatangan Mark dan Donghyuck.

"Pokoknya malam ini kita senang-senang!" seru Donghyuck. Dia bersorak gembira bersama Chenle.

"Main apa enaknya?" tanya si magnae. "Aku bosan main game."

"Catur saja." Usul Jeno.

"Jangan. Yang main cuma bisa dua. Ular tangga saja." Mark menimpali.

"Tidak ada tantangan. Go Stop saja lah."

"Jisung! Kartu go stop kita disita manager hyung karena waktu itu kita main sambil taruhan."

"Ah, kau benar Renjun hyung..."

Keenam laki-laki yang duduk melingkar itu tenggelam dalam keheningan sambil menatap satu sama lain. Beberapa saat kemudian helaan napas terdengar serempak keluar dari bibir mereka. Ternyata malam ini tidak akan terlalu menyenangkan juga.

"Monopoli lagi nih?"

Permainan itu sudah ribuan kali mereka lakukan.

"Truth or Truth yuuuk... biar Chenle tahu tentang hyungdeul dan Jisung."

Mereka semua sepakat tanpa protes dengan usul Chenle. Apapun asal bukan monopoli.

Sebuah botol bekas air mineral tergeletak di tengah lingkaran. Mark yang pertama kali mendapat giliran memutar, memutar benda itu. Lalu, permainan mereka dimulai begitu saja.

Banyak hal yang anak seusia mereka seharusnya lakukan. Pergi bersekolah dengan normal, bermain dengan riang, sibuk memikirkan ujian, dan mengenal cinta. Namun, pilihan mereka membuat semua kenormalan masa remaja itu nyaris hilang. Hidup mereka bukan sepenuhnya milik mereka lagi. Namun juga milik fans, milik perusahaan, dan milik media. Semuanya harus tertata rapi, sekan tanpa celah. Membuat jiwa kekanakan yang seharusnya masih mereka punya ditelan bulat-bulan secara paksa.

Dengan kedok permainan inilah, mereka mengutarakan perasaan mereka yang sebenarnya. Tentang betapa sulitnya kehidupan mereka sekarang.

Setengah jam berlalu. Mereka nyaris tenggelam dalam permainan jika bukan suara pintu mengintrupsi keasikannya. Jisung sebagai yang terkecil berdiri untuk memastikan siapa yang datang. Matanya membulat melihat tiga orang yang tak asing ada di depan pintu, sedang melepas sepatu mereka.

"JAEMIN HYUNG!"

Jisung nyaris berlari menubruk Jaemin yang terkejut dengan ke-eksited-annya. Yuta segera menahan magnae bongsor itu.

"Heh! Jaemin ini sakit punggung, kalau kau memeluknya dengan cara begitu, dia bisa mati."

"Hahaha... Tidak apa-apa hyung." Jaemin segera memeluk Jisung yang awalnya sedikit sedih dan menyesal. "Aigoo aku rindu kamu Jisung."

"Aku juga hyung..."

Yuta menghela napas pendek. Melihat keduanya berpelukan membuatnya geli.

"Jaemin-ah!" Donghyuck muncul setelahnya. Semuanya muncul satu persatu dari ruang tengah.

Sekali lagi ada seorang yang nyaris membuat punggung Jaemin patah, namun Yuta kembali menghentikannya. Chenle.

Dalam waktu sekejap, terbentuk sebuah gerombolan anak laki-laki yang saling berpelukan. Dua orang dewasa yang terjebak diantara mereka hanya tersenyum maklum.

Jaemin merasakan kembali kehangatan teman-teman yang dirindukannya. Ia benar-benar senang. Sampai matanya tertuju pada Mark yang terdiam di tempat yang sama seperti sebelumnya. Sang leader terlihat sedang menatapnya dengan mata yang teduh. Jaemin tak bisa menahan bibirnya untuk membuat senyuman karena kerinduannya terbayarkan oleh wajah tenang itu.

Mark tersentak karena Jaemin tiba-tiba tersenyum padanya. Ia segera mengalihkan pandangan. Tidak ingin ketahuan mencuri pandang.

"Hey guys, hyung kemari membawa cemilan. Kutaruh... astaga... apa yang kalian lakukan pada rumah ini?"

Suara Hansol seakan menjadi sirine tanda bahaya. Malam khusus remaja mereka akan rusak.

"Yuta hyung dan Hansol hyung pergi saja sana!"

.

Jaemin bergabung dalam lingkaran di atas matras-matras di ruang tengah. Ia menatap botol yang tergeletak di tengah mereka. Namja itu bisa mengira-ira apa yang baru saja terjadi sebelum dia datang.

"So, kita mulai dari awal?" Tanya Mark yang sekedar basa-basi. Dia mengambil botol minum di tengah lingkaran lalu memberikannya pada Jaemin. "Karena kau sudah jauh-jauh datang kesini. Putarlah."

Jaemin menerima benda itu. Dia memutarnya tanpa ragu.

"Ah!" terdengar sorakan saat ujung botol mengarah ke Jisung. Si magnae hanya senyum-senyum.

"Apa kau makan dengan baik?" tanya Jaemin. Sorakan kecewa langsung memenuhi rumah itu karena pertanyaan yang tidak bermutu. Minus Chenle yang bersorak sendiri setelah Renjun mentranslate perkataan Jaemin.

"Sudah pasti. Hehehe... tapi manager hyung mengurangi jatah ayam goreng mingguan kami. Dia jahat sekali." Jawab Jisung.

"Benaar! Ah jahatnya. Padahal aku suka ayam madu, ayam pedas dan soda tapi laki-laki itu mengambil semuanya! Tidak adil! Aku ingin makan ayam."

"Chenle, ini bukan saatnya kau bicara."

"Tapi Renjun-ge! Aku suka ayam!"

"Arraseo." Renjun menarik Chenle ke pelukannya agar laki-laki itu diam. "Jisung, lanjutkan."

Yang termuda memutar botolnya. Dan berhenti mengarah pada Chenle yang berontak di pelukan Renjun.

"Yeah! It's my time! Oke Jisungie... aku siap."

"Chenle hyung, kenapa kau suka foto-foto kita semua dan mengirimkannya pada Jaemin hyung tanpa izin? Kalau saat itu wajah kami sedang jelek bagaimana?"

"Wajah Jisungie selalu lucu kok. Oke giliranku!"

Botolnya mengarah pada Jeno dalam sekali putar karena terantuk kaki Donghyuck. Tapi Chenle berteriak senang karenanya.

"Jeno hyung! Pergi ke rumah Jaemin hyung sering kan? Kenapa tidak ajak aku? Kenapa? Kenapa?"

"Aku pergi saat malam. Kau tidak boleh keluar malam tanpa manager hyung." Bela Jeno.

"Itu bukan alasan hyung! Pokoknya lain kali aku harus diajak. Jaemin hyung juga senang kan kalau ramai-ramai?"

Seorang yang menjadi objek perdebatan mereka hanya tersenyum tipis menanggapi sang adik. Meski dia tahu sampai kapanpun Jeno tidak akan menuruti permintaan Chenle itu. Dia masih sayang kepalanya untuk tidak dipenggal manager hyung.

Matanya bergulir ke samping Chenle dimana seorang berambut pirang terlihat bingung. Dia menyenggol Donghyuck disampingnya lalu sebuah percakapan lirih terjadi diantara mereka.

Tubuh Jaemin tiba-tiba terasa panas. Pemandangan itu membuatnya kehilangan selera untuk main lagi ataupun sekedar duduk disana. Dia mengalihkan pandangannya kembali ke Jeno dan laki-laki itu memergokinya. Senyuman nakal terpatri di wajah tampannya.

"Mark hyung pasti kaget sekarang. Hyung, kau tidak tahu kan kalau aku sangat sering mengunjungi Jaemin?"

Laki-laki yang tiba-tiba disebut namanya tampak terkejut. Dia memutuskan percakapannya dengan Donghyuck lalu melihat ke Jeno. Tentu saja dia bingung karena tahu-tahu dilibatkan dalam pembicaraan ini.

Mark tidak tahu harus berkata apa. Tatapan Jaemin padanya membuat pria itu merasa buruk. Meski ia tidak terlalu mengerti arti dari tatapan mata itu, namun Mark tetap merasa bersalah. Bersalah karena dia tidak memperhatikan membernya dengan baik, terlebih Jaemin yang sedang vakum.

"Kau kan memang tidak pernah bilang padaku." Bela Mark. Dia punya harga diri sebagai leader disamping kerendahan hatinya. Harga diri itu tidak bisa diletakannya begitu saja. Pandangan member akan berubah terhadapnya jika dia dengan polos mengatakan 'iya'.

"Benar juga. Tapi hyung juga tidak pernah bertanya."

"Heh! Kalian bicara seperti tidak ada aku disini! Cepat lanjutkan. Omong kosong kalian tidak berfaedah."

Jaemin segera menghentikan pembicaraan mereka. Rasanya sangat janggal mendengar dirinya sendiri menjadi bahan perdebatan.

Jeno mengambil alih botolnya. Dan orang selanjutnya adalah Jaemin. Kebetulan yang menyeramkan.

"Katakan hal yang paliiing kau ingin dapatkan dalam waktu dekat." Ucap Jeno.

"Boleh lebih dari satu?"

"Tidak bisa! Harus satu!" pekik Jisung. Padahal Jeno bahkan belum mempertimbangkan hal itu.

Jaemin berpikir keras. Hal yang paling diinginkannya. Dia ingin sembuh, dia ingin bergabung kembali bersama NCT DREAM, dia ingin kembali menari, dia tidak ingin menghawatirkan orang tuanya lagi. Terlalu banyak hal yang dia inginkan.

Mark disisi lain seakan tak ingin mendengar jawaban Jaemin. Dia memainkan selimut yang dia duduki.

"Dikunjungi Mark hyung." Sorakan yang heboh langsung terdengar. Seorang yang namanya dipanggil mengangkat kepala tak percaya. Jaemin melihat kearahnya malu-malu. Demi Tuhan, Mark ingin berteriak sekarang juga. "Karena Mark hyung punya aura semangat yang kuat, kalau Mark hyung mengunjungiku, aku harap aku juga akan dapat sedikit semangatnya untuk sembuh."

"Ahhh... So sweet. Sini Haechan peluk dulu."

"Jaemin hyung pasti sembuh. Kita disini akan menunggu!" Jisung yang duduk di sebelah Jaemin langsung memeluknya.

Setelah menyetabilkan detak jantungnya yang berlomba, Mark buka suara. "Gurae. Tunggu saja. Aku akan membawakan seluruh semangatku untukmu."

Adegan 'keju' itu membuat ruang tengah kembali digoncang teriakan eksited.

.

Pukul satu pagi, ketujuh remaja itu telah terlelap dengan posisi yang acak-acakan. Renjun adalah yang pertama tertidur di pangkuan Chenle. Lalu satu persatu dari mereka ikut tumbang.

Jaemin terbangun dari tidur ringannya saat suara notifikasi terdengar cukup nyaring. Dia cepat-cepat membuka ponselnya dan membaca pesan dari Hansol hyung yang siap menjemputnya.

Dengan hati-hati, Jaemin keluar dari keacak-acakan posisi tidur teman-temannya. Tak ingin membuat mereka bangun, laki-laki itu berniat pergi diam-diam. Jaket yang dia letakkan di sofa telah dipakainya kembali.

Jaemin hendak langsung pergi namun kakinya tanpa sengaja menendang perut seseorang. Suasana ruangan yang gelap membuatnya tak bisa mengenali orang yang baru saja kena tendangannya. Jadi dia refleks berlutut di lantai untuk melihat siapa orang itu dan meminta maaf.

Orang itu Mark. Tapi dia hanya menggeliat kecil tanpa ada tanda-tanda lebih lanjut jika dia akan bangun. Menyadarinya, Jaemin mendesah lega.

"Hyung, mianhae."

Selanjutnya Jaemin tak juga bangkit. Dia memperhatikan setiap detail dari wajah Mark yang dia rindukan. Selama tiga bulan penuh mereka tidak bertemu. Selama itu pula mereka nyaris kehilangan hubungan. Jaemin hampir gila setiap memikirkannya. Kerinduan itu membuatnya semakin menderita disamping sakit punggungnya yang tak kunjung sembuh.

Tangannya menyentuh hidung bangir Mark. Lalu turun ke bibirnya yang bertekstur kasar. Make up itu menghancurkan bibir kakak kesayangannya. Namun, Jaemin tidak menemukannya sebagai nilai minus. Sebaliknya, dia berpikir jika ia mendapatkan satu saja ciuman dari bibir itu, sensasinya pasti luar biasa. Seksi, penuh gesekan, hampir meledak.

Mark membuka matanya tanpa menggeliat, tanpa tanda yang bisa diantisipasi Jaemin.

Jaemin terkejut saat mata Mark seketika menatapnya tajam. Dalam gelap ia berusaha untuk tidak ketahuan sedang merona. Secepat kilat dia menarik tangannya kembali.

"Hyung, aku mau pulang." Ucap Jaemin. Mark sudah terlanjur bangun, kalau dia tiba-tiba lari pasti akan terlihat aneh.

"Pulang dengan siapa?" Mark mendudukan dirinya.

"Hansol hyung dan Yuta hyung. Mereka sepertinya sudah di luar."

"Baiklah. Ayo kuantar."

Jaemin ingin bilang tidak. Tapi namja itu sudah lebih dulu menggulung selimut kesekitar tubuhnya sebagai pengganti jaket. Dia membukakan pintu untuk mereka berdua berdua.

Sampai di luar, tak ada satupun orang yang Jaemin kira akan menjemputnya.

"Kemana mereka?"

"Aku tidak tahu. Katanya mereka akan segera menjemputku."

Lalu tak ada percakapan berarti diantara mereka.

Mark sibuk menjaga suhu badannya tetap hangat di dalam selimut sementara Jaemin tak hentinya berharap Hansol hyung dan Yuta hyung segera datang.

"Apa kau lihat fanacc beberapa beberapa minggu lalu?" tanya Mark yang memecah keheningan.

"Iya. Begitulah."

"Maaf aku berkata begitu padahal tidak tahu yang sebenarnya."

"Ah hyung! Itu kan tuntutan pekerjaan. Aku mengerti kok. Kau melakukannya dengan baik." Jaemin menepuk pundak Mark. "Aku juga kan sudah bilang baik-baik saja. Kau tidak salah."

"..."

"Hyung, lebih baik kau masuk saja. Disini dingin."

Sebenarnya Jaemin hanya tidak ingin terjebak dalam suasana canggung seperti ini.

"Sampai kedua hyungmu datang." Mark berjalan ke belakang punggung Jaemin setelah itu berbagi selimut dengannya seraya memeluknya. "Kau juga tidak boleh kedinginan."

Sementara Mark mengistirahatkan kepalanya di bahu Jaemin, sang empunya membeku. Dia ingin keluar dari pelukan itu karena takut Mark mendengar detak jantungnya yang menggila. Tapi, jika sekarang dia tidak bisa memanfaatkan kesempatan, kapan lagi hal yang sama akan terulang?

Jaemin memutuskan untuk merilekskan otot tubuhnya dan menerima pelukan Mark. Sampai dia merasakan tubuh mereka menempel dengan sangat sempurna.

Beberapa saat kemudian Yuta dan Hansol datang memergoki mereka yang sedang dalam posisi mencurigakan. Keduanya sempat berteriak heboh tapi akhirnya diam juga karena tidak ingin membuat Jaemin diluar telalu lama. Mereka harus mengantar sang adik pulang kembali ke rumah dengan selamat berkat wejangan leader Lee Taeyong. Ya, laki-laki itu yang mengirimkan Jaemin ke dorm NCT DREAM.

"Mark hyung, Annyeong!"

"Annyeong!"

.

.

TBC

.

A/N Aku janji ini hanya akan jadi Twoshoot dan gak gantung. Bakal aku lanjut cepat, semoga.

Aku tuh... berantakan gitu lho NCT Dream tanpa Jaemin. Ambayar kek nasi kucing kehilangan karet. Belum lagi member lainnya. Aku tahu kalau itu tuntutan pekerjaan. Tapi hati tetep gak bisa bohong untuk bilang gak papa waktu liat mereka seakan gak kehilangan apapun. Mereka gak pernah nyangkutin nama Jaemin lagi seakan dia beneran pergi. Gue tuh marah. Marah sama semua orang.

Aku tahu cerita ini gak rasional. Maksa banget.

Dek Jaem, mbok ceper balik to. Aku kangen. Fansmu tuh kangen sama kamu.

Hope You Like It ^^