DISCLAIMER :
I don't own Naruto!
-
-
Dinikahkan secara paksa..? Oh! Mimpi buruk! Namun hal itulah yang dialami oleh Ino, yang harus menikah dengan pria –yang ia anggap- menyebalkan bernama Naruto, hingga pernikahan mereka pun diwarnai dengan berbagai kekonyolan.
-
-
-
"Karena aku suamimu, sayaang…."
"Huh! Aku tidak pernah bermimpi punya suami sepertimu!"
-
-
An Extraordinary Marriage
Directed by Dheeant (Haaalah!)
-
-
Starring :
Uzumaki Naruto
Yamanaka Ino
-
-
AU, OOCness, and the bla bla bla crot!
Enjoy
-
-
-
Suatu malam di Yamanaka Mansion…
"Ino…" panggil Inoichi pada anak gadisnya, saat makan malam.
Gadis berambut pirang yang sedang menikmati makanannya itu berhenti sejenak, "Hmm??"
"Emm….." pria setengah baya itu terlihat sedang mengulum bibirnya sambil menatap kosong piring dihadapannya. Ia terlihat gugup.
Gadis itu mengangkat satu alisnya dengan heran, "Ada apa, ayah?" tanyanya lagi.
"Emmm…" Inoichi tidak tau harus memulai darimana. Bola matanya bergerak-gerak kesana kemari mencari pertolongan. Sang Istri yang sedang duduk disampingnya, hanya mengangkat bahu sambil tersenyum tipis. Putra keduanya, Deidara, sedari tadi asyik menikmati hidangan, seakan kedua telinganya hilang diterpa angin.
"Ayah ingin bicara.. bisa tidak?" lanjutnya lagi.
"Ha? Bukankah ayah sedang berbicara sekarang….?" jawab putri semata wayangnya itu dengan cuek. Ia melahap sesuap nasi lagi. Inoichi hanya menggeleng, sementara istrinya mengurut dada.
"Hei, Inoichi… tidak ada yang perlu disesali… memang semua turunanmu seperti itu kan.. ayolah akui saja…", sisi lain Inoichi angkat bicara.
"Jadi begini…." Inoichi berhenti sejenak untuk mengatur nafas, "kau sudah dua puluh tahun kan sekarang…?"
Ino memutar bola matanya, "Iya ayah…. lalu?? Apa masalahnya?"
Inoichi menarik nafas dalam-dalam,
Satu…
Dua…
Tiga…
"Dua hari lagi…."
Sementara di tempat lain…
-
-
"Kau akan menikah"
"Blurp!! Ohok ohok ohok oohok!!"
Naruto yang sedang asyik menikmati limunnya tersedak dan terbatuk parah setelah mendengar pernyataan singkat dari sang ayah.
"A..Apa??" tanyanya sembari mengelus leher.
Minato dan Kushina saling berpandangan sesaat, kemudian beralih pada putra semata wayang mereka.
"Iya.. Naruto… ME-NI-KAH…"
"Dengan anak teman ayah…" jawab Inoichi singkat, padat, dan jelas.
Gadis itu terdiam dengan mulut menganga disana, lupa untuk mengunyah makanannya. Gumpalan nasi basah di mulutnya seakan ingin melompat keluar dan berteriak 'kunyah aku, bodoh!' kemudian menempelkan diri pada wajahnya.
Suasana seketika menjadi hening
Inoichi mencoba tenang dengan meminum segelas air putih. Natsume mengulum makanannya perlahan-lahan. Dei menelan suapan terakhirnya diiringi dengan sendawa.
Suasana kembali hening.
"Ma… maksudnya??" Ino buka suara dengan wajah pucat.
Bola mata Inoichi membesar, "Masih kurang jelas???"
Tuhan, apa kebodohannnya berasal dari darahku??
"Ok… dua hari lagi…."
"Kau akan menikah"
"Dengan anak teman ayah…."
"Jelas??" Minato mendesis horor pada putranya. Nyali Kushina seketika menciut. Ingin sekali ia mengingatkan pada suaminya untuk tidak menggenggam 'lagi' gelas kaca itu erat-erat. Atau.. mungkin, ia harus membeli selusin lagi?
Naruto menaikkan satu alis dan kembali meneguk limunnya. Pandangan tidak lepas dari mata elang sang ayah.
"Ayah bercanda ya….. ha~ha~ha~ha~", Naruto menyelipkan tawa garing, sukses membuat bola mata Minato membesar. Genggaman semakin erat. Suara retakan kecil yang menyayat hati terdengar. Kushina menyipit ngeri. Gelas kaca itu seakan meronta-ronta putus asa.
Ya, mungkin selusin lagi. Batin Kushina dengan mata tertuju pada benda malang di dalam tangan suaminya itu.
"Ayah serius…." lagi-lagi Inoichi menjawab singkat.
"APA!!!", Ino menggeleng tidak terima, rasanya ia seperti ditendang dengan nista oleh ratusan ekor sapi perah di peternakan kakeknya , "Tapi KENAPA???"
"Bukan urusanmu", jawab Minato tegas.
Naruto menghela nafas, berusaha mengubur dalam-dalam ledakan amarahnya saat ini.
Calm..calm.. calm down.. down.. down…
"Tapi aku sudah DUA PULUH TIGA tahun, Ay--"
"Dan aku sudah LIMA PULUH SATU TAHUN!" potong Minato tak mau kalah. Tidak ada yang mendengar teriakan terakhir sang-gelas-kaca-dalam-genggaman itu sebelum menemui ajalnya.
Bibir Naruto terkunci otomatis. Rasanya ia kembali merasakan betapa pahitnya menjadi seorang balita.. (?)
"Dengar Naruto… ini semua… urusan pria LIMA PULUH TAHUN keatas! PAHAM!!" suara Minato meninggi. Baik Kushina maupun Naruto, sama-sama tidak berani membalas.
Berlebihan sekali… batin Naruto malas.
"Kamu sebaiknya bersiap… besok kamu akan sedikit lebih sibuk..", tanpa basa-basi, Minato meninggalkan meja makan. Sementara Kushina dan Naruto masih terpaku di sana.
"Aduuh!" tiba-tiba Minato mengaduh pilu, Kushina buru-buru mengejarnya.
"Minato, a-apa semua baik-baik saja??" tanya Kushina panik saat melihat suaminya yang meringis kesakitan dengan mata berkaca-kaca.
"Se-sepertinya, ada kaca di jemariku…", ujarnya berusaha menahan tangis.
Selusin lagi. Kushina membatin.
"brak brak brak brak brak…. JDAR!!"
Suara pintu dibanting. Inoichi dan anggota keluarga yang lain hanya mampu mengurut dada.
"Hei! Bisa lebih lembut tidak!!" teriak Dei yang sebal dengan kelakuan buruk adiknya.
"Hei.. Ichi.. bagaimana ini…? rasanya tidak akan berhasil…." Natsume terlihat cemas.
Inoichi mengambil sepuntung rokok dari saku bajunya, kemudian beranjak meninggalkan meja makan, "Tenanglah Natsume… kau tidak usah ke atas…. biarkan dia sendiri dulu…"
Uzumaki Mansion
Naruto sedang duduk manis di beranda kamarnya, di lantai dua. Ia sedang menikmati kerlipan bintang-bintang yang terlihat indah malam ini. Lagu instrumental manis milik Bethoveen mengalun pelan di telinganya. Paduan yang pas untuk menenangkan perasaannya yang mengambang. Tidak jelas. Naruto menghela nafas sekali lagi. Mencoba santai dan berusaha tidak ambil pusing dengan keputusan ayahnya.
Santai adalah motto hidup pria cerdas yang satu ini. Tapi, dengan hadirnya statement 'pernikahan-paksa-mendadak', apa bisa dibawa santai? Dia tidak tau seperti apa pengantin wanitanya. Belum lagi, dia sama sekali tidak tau mengenai tujuan utama dari "pernikahan-yang-akan-dilaksanakan-dua-hari-lagi" itu.
Caaaaalm… doooown….
"tok tok tok.."
Naruto melepas headset-nya, dan melihat ke arah pintu kamar, "Tidak dikunci, Bu.."
Pintu dibuka. Kepala Kushina –Ibu- melongok masuk. "Apa ibu boleh masuk??" tanyanya dengan suara.. aduhai~~
"Tentu saja…", Naruto mengangguk dengan senyum manisnya. Kushina melangkah masuk, kemudian duduk di kursi panjang, dimana Naruto sedang duduk.
"Jadi..?" Naruto buka suara.
Kushina tersenyum tipis, "Jadii…. kau tau Inoichi-san kan, Naruto?"
Naruto mengangkat satu alisnya, "Oooh… ya ya.. rekan bisnis ayah itu kan??"
Kushina mengangguk, "Kau tau kan…. kalau Inoichi-san itu sudah terlalu banyak membantu ayah.. yah, bisa dibilang… kita sekeluarga…"
"Dan ayah merasa berhutang budi….??" sambung Naruto, mata birunya tertuju pada langit.
"Yah.. itu sudah pasti…", mata biru Kushina menerawang pada pemandangan malam di bawah beranda, dimana terlihat perpaduan warna-warni lampu dari berbagai rumah yang berbeda.
"Bu, sebenarnya ada masalah apa? Apa ayah terancam bangkrut atau.. apa??" Naruto mulai penasaran campur panik campur curiga.
Mendengar itu, senyum indah Kushina mengembang -layaknya bunga di tengah salju, danau di padang pasir, surga di tengah Neraka, dan emas di ladang jagung- ia mengacak-acak rambut putranya dengan gemas, "Bukan seperti itu, sayang…. Semuanya baik-baik saja.. hanya saja…"
"Hanya saja??"
"Yah… jadi begini ceritanya…"
Back to : Yamanaka Mansion..
Deidara sedang asyik bermain playstation di ruang keluarga, sementara Ayah –Inoichi- dan Ibu -Natsume- sedang membaca buku di ruang baca yang dihubungkan dengan ruang keluarga oleh doorway.
"DING… DOOOOOONG… ADA TAMUUUUUU…." Suara Bel kediaman Yamanaka berbunyi.
"Dei…. tolong buka pintunya.." perintah Inoichi yang sedang serius membaca buku berjudul kamasutra. Oh?
Dei mendengus, "Haaah… lalu apa gunanya mempunyai tiga belas pembantu, kalau tuan rumahnya sendiri yang membuka pintu…" gerutu Dei.
"Ayah mendengarnya lhooo~~~" terdengar kretakan jemari disana.
"I.. Iya aku buka!"
Sementara di sebuah ruangan…. Yang terlihat seperti kapal pecah..
"Aarrgh!! Sial!!" teriaknya kesal seraya menghujam belasan tinju pada sebuah bantal tanpa selimut. "Berani sekali dia menikahkanku dengan cara seperti ini!!! Huuh!! Dasar tua bangka!! durhaka!! Apa dia berniat menjualku?? Bayangkan aku harus menikah dua hari lagi!! Tuhan! Orang tua macam apa dia!! Huuh!!" ia marah entah pada siapa. Namun setidaknya, ia cukup lega dengan melakukan hal itu.
Seiring berjalannya waktu, suasana ruangan itu perlahan-lahan menjadi hening. Ia mencoba menenangkan dirinya sendiri, walaupun wajahnya masih terlihat sangat masam.
"Hei.. Shiro.. bagaimana menurutmu??"
Mata aqua-nya kini tertuju pada seekor hamster putih yang berada di dalam kandang kecil. ia sedang asyik duduk sambil menggerogoti sebuah biji bunga matahari. Si putih itu berhenti dan balik menatap tuannya sambil mengeluarkan decitan khas para hamster.
Ino membelalak, "Apa??? JADI KAMU SETUJU DENGANNYA???"
Double door itu dibuka. Namun, belum sempat Dei melihat jelas siapa tamu yang datang, sebuah tangan besar tiba-tiba menutup seluruh wajahnya dengan cepat.
"Argh! Pein! Sial kau!", ia mengelak tangan kekar itu dan disambut dengan senyum lebar dari seorang pria tampan –walaupun wajah itu ditaburi piercing- berambut oranye yang acak-acakan, mengenakan kaus oblong dan jeans belel. Ia menggandeng bocah berumur 6 tahun, dan membawa kantong belanja dari departement store.
"Haloooo, beruk… apa semua baik-baik saja…?" sapanya dengan nada seramah mungkin.
Dei merasa tangannya gatal, gatal ingin menampar wajah 'manis' kakak semata wayangnya itu dengan sepenuh hati, "Halo juga.. kau.. wajah bintilan… semua lebih baik tanpamu.."
"Hei paman!" sapa bocah ceria yang memiliki wajah identik dengan ayahnya. Hanya saja tanpa sekumpulan 'piercing laknat' itu. Namanya Zerou.
"Hei kau… liliput ghaib…" Dei menyeringai sambil mengacak-acak rambut oranye-nya.
"Sudahlah… dimana ayah dan ibu?" Lelaki bernama Pein itu beranjak masuk diikuti si kecil.
"Mereka sedang berada di ruang baca… hei.. apa kau sudah tau berita terbaru??" tanya Dei sembari kembali menutup pintu. Senyum jahilnya mengembang.
Pein menyerahkan kantung belanja-nya kepada Zerou --yang kemudian berlari ke ruang baca-- ia lalu berbalik pada adiknya dengan alis bertaut, "Ha? ada apa??"
"Namanya…. Ino??", Naruto tertawa kecil.
Kushina hanya tersenyum, "Iya.. Ino…"
"Ino kan.. artinya…" Naruto tertawa -lagi.
"Apa??" Pein tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Itu benar, nak… adikmu itu akan menikah dua hari lagi…." Natsume menjawab.
"Dan sumber masalahnya hanya 'itu'??" tanya Pein lagi.
Inoichi menghembuskan asap rokoknya, "Ayah lelah melihat dia seperti itu terus-menerus… ayah rasa ini jalan yang terbaik untuknya… ayah harap dia bisa berubah…", jawabnya menerawang.
Pein menggeleng pelan dan mencoba menelaah maksud ayahnya, "Tapi kasihan dia…"
Inoichi mengangkat satu alisnya sembari merontokkan abu rokok di asbaknya, "Hei… dia itu tidak perlu dikasihani… justru ayah memberikannya yang terbaik… kau tau itu, Pein.. mungkin sekarang ini dia menganggapku jahat…." Ia menghisap rokoknya dalam-dalam, kemudian menghembuskannya kembali, "tapi… semua ini demi kebaikannya.." Inoichi memandang kosong lampu gantung diatasnya, "apa aku benar??"
Pein sejenak menatap ayahnya, kemudian mengangguk, "Ya… Hmm… aku rasa ayah benar… ah, sebaiknya aku menemuinya sekarang…", ia beranjak dari kursinya, dan berlari menuju tangga dengan membawa kotak kecil. Ia berhenti sejenak sebelum menaiki tangga.
"Oi, ayah…."
"Hmm??"
"Ngomong-ngomong, aku sudah punya edisi yang terbaru…", katanya sembari menunjuk buku yang ada di pangkuan ayahnya.
"Oh ya??" mata Inoichi berbinar-binar, terlihat antusias.
Natsume hanya bisa menggeleng.
"Mereka mempercayakan gadis ini padamu, nak…" ujar Kushina sambil mengelus punggung putranya.
"Ok, dan aku tidak akan menyia-nyiakannya.…" Naruto mengedipkan satu matanya. Meyakinkan pada ibunya bahwa ia bersedia untuk mengemban tugas barunya. Padahal jauh di dalam hatinya, ia sendiri tidak yakin.
"Baiklah… kalau begitu.. ibu harus kembali menemani ayahmu…", bisik Kushina sembari mencium kening putranya.
"Hmm…. apa dia terluka parah??", Naruto terkekeh jika teringat tingkah laku ayahnya yang 'spesial' itu.
Kushina tertawa kecil, "Akan lebih parah jika tidak ada yang menemaninya tidur…", keduanya tertawa.
Mata Naruto mengikuti langkah ibunya sampai ia berada di dekat pintu. Sebelum menutup pintu, Kushina melihat putranya sekali lagi.
"Hei Naruto…"
"Hmm??"
"Apa sebaiknya kita menggunakan gelas plastik saja??"
"tok tok tok.." suara pintu diketuk.
"Siapa???" Ino bertanya ketus pada pintu kamarnya.
"Hei cantik.. ini aku…." jawab seseorang diluar sana.
Ino menyipit, "Tidak boleh masuk!!" teriaknya kesal.
"Wha? Yang benar? Waah, Sayang sekali… padahal aku membawa takoyaki…" jawab Pein sambil terkekeh.
Mendengar kata 'takoyaki' disebut-sebut, gadis lemah iman itu akhirnya membuka pintu dan menyuruhnya masuk. Pein cukup terkejut ketika ia melihat engsel pintu yang tersisa dua buah. Semakin perkasa saja dia.. batinnya takjub.
"Oke.. Aku kesini ingin me--", Pein belum sempat menyelesaikan kalimatnya ketika kotak kecil itu raib dari tangannya. Tuhan, bisakah dia meminta izin sebelumnya?
"Ingin apa?? Menyetujui hal itu??" tanya Ino yang sedang duduk di tepi tempat tidur. Mulutnya penuh dengan takoyaki.
Pein menghela nafas, "Ya.. memang…" ia menjawab singkat dan mengangguk yakin, membuat Ino kehilangan semangat untuk mengunyah takoyaki-nya. Pein bisa menemukan raut kecewa di wajahnya.
"Jadi… Kau sama sekali tidak mendukungku…" Ino menunduk lesu, takoyaki nyaris dimuntahkan.
Pein menggeleng sembari duduk di samping adik bungsunya. Ia merangkul bahunya dengan erat, "Bodoh, justru aku mendukungmu…" bisiknya.
Gadis pirang itu mengangkat wajahnya, dan menatap Pein dalam-dalam, "Maksudmu?? Kau akan membawaku kabur dari sini??", tanyanya polos.
Pein tertawa kecil, "Dasar bodoh…. aku mendukung pernikahanmu, tau…" jawabnya sambil mencubit gemas pipi adiknya. Belum sempat Ino membalas, Pein menambahkan, "Hei.. dengar ya, anak kecil… semua orang tua pasti akan memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya.. tidak terkecuali orang tua kita…"
Ino mencebil, dan mengelakkan tangan Pein dari bahunya, "Hei.. aku sudah dua puluh tahun, pak tuaaa… aku tidak perlu nasehatmu…."
Pein terkekeh, "kalau sudah tau.. lalu kenapa harus merusak satu engsel lagi….", ledeknya sambil menunjuk ke arah pintu kamar –yang sedikit miring karena kehilangan dua engsel di bagian bawah.
"Argh! Kau tidak mengerti, nii-chan..", gerutu Ino yang tiba-tiba melayangkan bantal tepat di wajah Pein.
"Buh!" Pein kehilangan pertahanan, ia melempar kembali bantal itu ke arah Ino. Sayang, pergerakan adiknya lebih lihai. Ino menjulurkan lidah, meledek, membuat Pein gemas untuk mengejarnya.
"Sini kau, anak nakal!!" Pein menggerak-gerakkan jemarinya, membuat Ino bergidik ngeri melihatnya. Diruangan yang cukup luas itu mereka bermain kejar-kejaran, sampai akhirnya Pein berhasil menangkapnya, dan menahannya ditempat tidur. Ino terbahak dengan tubuhnya yang menggeliat tidak nyaman, ia paling tidak bisa dikelitik.
"Ahaha! Ampun! Ahaha! Nii-chan! Ampun!! Ahahaha!"
Ino berusaha lepas, namun Pein terlalu kuat untuknya. Sesaat kemudian mereka berhenti, dan mengatur nafas mereka yang ngos-ngosan.
"Hei… aku ingatkan padamu…", Pein mengarahkan telunjuknya pada Ino.
"Apa yang telah ayah berikan padamu.. selalu yang terbaik…."
Naruto menutup glass sliding door yang menghubungkan kamarnya dengan beranda. Sejenak, ia menerawang pada pemandangan malam diluar sana. Pikirannya melayang-layang pada sosok misterius yang akan dinikahinya dua hari mendatang. Penjelasan panjang lebar dari ibunya tadi, membuatnya semakin penasaran dengan gadis itu. Seperti apa rupanya?? Tingkah lakunya?? Apa semua yang ibu jelaskan tadi benar adanya?? Pertanyaan itu terus terulang-ulang di benaknya. Tentu ia tidak akan tau sampai pernikahan itu tiba.
Ino..
Ia tersenyum tipis sambil menggeleng pelan.
It will be an extraordinary marriage, I guess…
Keesokan Harinya
Ino sedang berjalan pelan diatas treadmill. Hari ini dia terlihat kurang bersemangat dibandingkan hari-hari sebelumnya. Saat ini, pikirannya tenggelam dalam berita mendadak yang disampaikan oleh ayahnya semalam. Itu dia. Mimpi buruk bagi semua gadis di dunia. Ibarat dijodohkan dengan bayangan. Bayangan yang belum tentu membawa kabar baik. Ia berandai-andai, bagaimana kalau pria itu jauh dari kriteria seorang 'pria'? pertanyaan yang selalu berhasil membuatnya bergidik.
Terlebih lagi, semalam ia sempat bermimpi menikah dengan pria tanpa gigi, berbobot 220 kg dengan tinggi sekitar 155 cm, yang gemar dengan babi panggang. Terang saja mimpi terburuk itu membuatnya tidak berselera untuk mengunyah sarapannya tadi pagi. Dan Dei juga tak menyantap sarapannya karena tak bisa berhenti tertawa.
Ingin sekali ia menelan seribu buah pil tidur sekaligus agar terhindar dari bayang-bayang 'pernikahan paksa-mendadak' tersebut.
"Oi.. semalam aku menerima pesanmu.. apa yang ingin kau bicarakan??" tanya Sakura yang juga berada di atas treadmill, tepat di samping kanan Ino. Ia mulai menambah kecepatan treadmill-nya.
Ino menoleh pada gadis berambut pink itu sejenak, kemudian kembali. Sakura menatap sobatnya itu dengan heran.
"H-hei.. apa semua baik-baik saja??" tanyanya lagi sembari menyesuaikan kecepatan langkahnya pada kecepatan treadmill. Ia mulai berlari kecil sekarang. Sementara Ino masih berjalan dengan wajah tak bergairah.
"Kau mau tau tidak…?", Ino buka suara. Pandangan kosong, lurus kedepan. Suram.
"Iya.. apa?"
"Lusa aku menikah…", jawaban singkat Ino itu langsung disambut oleh kerasnya suara tubuh Sakura yang jatuh menghantam treadmill dengan posisi tengkurap. Semua mata spontan tertuju kearahnya yang mengaduh pilu memegangi hidungnya yang berdarah dengan wajah merah. Kawan mereka yang lain buru-buru mengerubungi gadis malang itu, dan memberikan pertolongan pertama.
"Hidungkuuu!!!!!" jeritnya pilu.
"Ja-jadi….?" Hinata ragu-ragu untuk menyimpulkan. Saat ini mereka sedang berada di sebuah cafeteria yang terletak dekat dengan tempat gym, dimana sempat terjadi kekacauan yang cukup memalukan.
"Jadi yaaaaa…. Lusa aku akan menikah, Hinataaa…", jawab Ino tidak sabaran. Ia menyeruput orange juice-nya dengan cepat.
"Apa kau sudah mengetahui pengantin pria-nya?", tanya TenTen yang masih mengaduk moccacino-nya.
Ino mengangkat bahunya sambil mencibir, "Aku tidak taaau… ayah hanya mengatakan kalau dia adalah anak dari rekannya…"
"Ayolaah.. paling tidak kau tau namanya…", goda Sakura yang hidungnya kini terlihat merah. Syukurlah pendarahannya bisa dihentikan, dan tidak ditemukan tulang yang retak ataupun patah. Sekarang, ia sedang sibuk menutupi hidungnya dari pandangan aneh para pengunjung lain.
"Ayolaaah, aku sama sekali tidak tau…", Ino menggeleng malas.
"Menikah??", Gaara mengernyitkan dahi pada Naruto, yang sedang membayar milkshake mereka di sebuah stand, di depan pertokoan yang sangat ramai dengan pejalan kaki. Tentu saja, karena hari ini adalah hari minggu.
Mereka baru saja selesai bermain tennis, yang tempatnya hanya beberapa blok dari posisi mereka sekarang. Tidak heran kalau mereka mengenakan polo shirt dan shorts saat ini, Gaara bahkan belum melepas topinya.
Naruto beralih menatap Gaara, "Yah.. menikah… memangnya aku berkata apa.." respon Naruto. Ia sudah mengira bagaimana reaksi sobat -sekaligus sepupu-nya mengenai pernikahannya yang mendadak itu.
Gaara tersenyum tipis. Tanpa ia sadari, beberapa gadis yang melewati mereka tiba-tiba terjerembab ke dalam selokan terdekat dengan tragis.
"Lalu.. Apa kau sudah tau pengantin wanitamu??" tanyanya lagi sembari mengikuti Naruto yang sudah berjalan lebih dulu menuju car park. Dalam hitungan detik, mereka sudah menjadi center of interest dalam kerumunan para pejalan kaki.
"Belum…. Tapi aku tau namanya…", Naruto memutar kunci mobilnya.
"Siapa?", Gaara menyeruput milkshake-nya.
"Namanya……. Ino…"
"Ha??", Gaara menahan tawa, "ooh… nama yang lucu…", komentarnya sambil tersenyum geli.
Naruto tersenyum, "Yaa.. menurutku juga begitu…"
"Aku sudah bertanya tentang hal itu pada ibuku…. Tapi dia tidak memberitahuku sama sekali! Haah! Syukur syukur aku menerima pernikahan ini!" ujar Ino kesal, nyaris melempar gelasnya keluar jendela. Seorang waiter mengawasi tingkahnya dari kejauhan.
"Hmmm…. Rasanya kau penasaran sekali…", goda TenTen sambil mengerling nakal.
"Tentu saja aku penasaran!! Kau pikir bagaimana perasaanku sekarang, hah??" Ino bertambah kesal. TenTen menghela nafas.
"La-lalu.. Ia ti-tidak berkata apa-apa lagi??", tanya Hinata.
Ino memandang Hinata sejenak, kemudian beralih ke luar jendela, jalan di luar sana ramai dengan pejalan kaki, "Katanya, semua ini kejutan untukku…. fuh.. Kita lihat saja…. Apa aku akan benar-benar terkejut….", ungkapnya datar.
Hinata, TenTen, dan Sakura hanya bisa diam dan saling memandang satu sama lain dengan penuh tanda tanya.
Piip…piip…piip..piip…. suara cellphone Ino.
Buru-buru ia merogoh tas fitness-nya, dan menjawab panggilan.
"Halo bu.. ada apa??"
Yang lain mengamati Ino dengan seksama.
"Apa?? Mengapa ibu tidak memberitahukanku sebelumnya?? Huuh.. baiklah.. aku kesana…" sambungan diputus.
"Ada apa?" tanya mereka bertiga serempak.
"Aku harus mencoba gaunku sekarang…", jawabnya malas sambil berlalu meninggalkan mereka bertiga.
"Hei.. Tunggu!! Kami ikut!!"
"Hei, Gaara.. aku punya tawaran untukmu…" Naruto dengan cepat membalikkan badannya hingga berhadapan dengan Gaara. Ia mulai berjalan mundur sekarang, tidak peduli dengan apa yang ada di belakangnya.
Gaara tersenyum sinis, "Rasanyaaa… aku bisa membacanya..", jawabnya santai sembari melepas topi, sekedar untuk menyisir rambut merah marunnya dengan jemari, kemudian mengibaskannya di udara. Seorang gadis mendadak terserang epilepsi.
"Oh, haruskah aku mengatakannya??", goda Naruto dengan nada yang dibuat-buat.
Gaara menyeringai, "Gaya bicaramu sudah seperti seorang gay, bodoh….."
Naruto terbahak, ia terus berjalan mundur hingga menyenggol beberapa orang yang berjalan di belakangnya, "Ayolah, Gaara…. Aku ingin kau menja—"
"Naruto! Awas!" potong Gaara tiba-tiba, setengah berteriak sambil menunjuk ke arah depan.
Naruto baru saja membalikkan badannya kembali, saat seseorang menabraknya dengan keras dari arah yang berlawanan.
Bugh!!
Naruto terjatuh dengan posisi terlentang, punggungnya terlebih dahulu mendarat di atas aspal. Sesuatu yang keras menghantam dadanya, keras sekali seperti tulang. Keduanya mengaduh kesakitan, belum sadar sepenuhnya dengan apa yang terjadi, sejuta pandangan tertuju pada mereka. Ada yang tertawa, ada pula yang melayangkan bermacam-macam komentar.
"Adu~h..", Ino membuka mata sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia bermaksud untuk bangkit namun penglihatannya masih belum jelas. Blur. Demi apapun ia bersumpah, bahwa ia sedang menghirup aroma parfum maskulin entah darimana.
Maskulin??
"Ehh.. No-Nona apa kau baik-baik saja??" tanya suara serak disana. Entah dimana.
Ino menggeleng-gelengkan kepalanya sekali lagi dengan cepat, dan perlahan penglihatannya kembali normal. Ia melihat ke bawah untuk memeriksa…
Dan…
Mata biru itu berbalik menatapnya.
Oh.. God.. am I in heaven?? batin Naruto.
Oh.. God… am I dead?? Rupanya wajah Malaikat pencabut nyawa jauh dari yang ku bayangkan selama ini... Ino membatin berlebihan.
Tak satupun diantara mereka yang berinisiatif untuk membuka suara. Hanya berpandangan seperti itu, hingga Ino mulai menyadari sesuatu.
"Aaaaaakh!!", gadis itu buru-buru bangkit, dan melihat pakaiannya dengan ekspresi syok, "heh!! kau! Lihat ini!! kau sudah mengotori bajuku tau!!" teriaknya marah sembari menunjuk noda Choco Milkshake yang memanjang di sport jacket putihnya. Wew, cukup mengundang perhatian.
Naruto berusaha bangkit sambil meringis. Dadanya masih terasa nyeri akibat serangan mendadak tadi, "Eghh… maaf nona… saya tidak sengaja… lagipula kenapa anda menabrak saya?? Kalau saya tau nona akan menabrak saya.. tentu saya akan menghindar, bukan…?", ujar Naruto dengan santainya.
"Apa?? Sudah jelas KAU yang menghalangi jalanku!" sergahnya sembari menunjuk-nunjuk Naruto.
"Whoa? Kalau anda sudah tau ada yang menghalangi… lalu kenapa anda menabraknya juga….??", ujarnya santai.
"Ho~oh..!! Kau! Berani sekali bicaramu itu!!" Ino mulai berkacak pinggang, dagu terangkat, alis bertaut. Namun jauh didalam sana, ia sangat-teramat menyesali kecerobohan dirinya yang berlari tanpa melihat ke depan. Tapi apa dia akan mengakuinya?? Ohh, sudah PASTI tidak. Terlalu banyak kata 'gengsi' dalam kamusnya.
Naruto terkekeh sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada, "Kalau penakut berarti bukan laki-laki, nona….", balasnya tak mau kalah, namun dengan nada selembut mungkin, "Oh iya.. apa saya harus membayar biaya laundry-nya??" tanyanya lagi masih dengan nada-selembut-mungkin.
Ino menyipit kesal. Ia merasa dilecehkan oleh pria ini. ia hendak membalas, tapi apa lagi?? rasanya ia sudah kehabisan kata-kata. Lagi pula untuk apa ia berlama-lama disini??
"Hhhh!! Dasar tidak punya mata!!", hardiknya pada pria itu untuk terakhir kali sebelum pergi meninggalkannya. Namun baru beberapa langkah, tangannya ditarik kembali secara paksa. Ino menjerit kaget. Naruto dengan cepat memutar tubuh gadis itu hingga mereka saling berhadapan.
Terlalu dekat.
Kedua tangan kekar menggenggam kedua lengan kecilnya. Pria itu sedikit menunduk untuk bertemu dengan mata sang gadis.
Bola mata biru langit…
Bertemu dengan….
Bola mata aqua…
Lagi…
Oh God…
"Anda sudah melihat mata saya kan, nona…? Coba anda perhatikan… mata saya ada disini…" katanya setengah berbisik. Suara 'seksi' itu menggelitik telinganya. Mata masih tertuju lurus padanya. Ino terdiam dengan mulut sedikit terbuka. Syukurlah tidak ada cairan 'beracun' yang keluar. Ia terpana, terpesona, terbius, tergoda….
dengan warna biru itu…
…First time… that I saw your eyes…. boy you looked right through me… mmmhmmm~
Oh God…
Ino merasa dirinya seketika lenyap ditelan pusaran segitiga bermuda. Aroma maskulin yang menguar dari tubuhnya turut menyesatkan kinerja saraf-saraf otaknya. Genggaman erat tangannya membuat proses peredaran darahnya menjadi tiga kali lebih cepat dan salah tujuan. Jantungnya berdetak liar ingin keluar. Ia lupa bagaimana caranya bernafas. Komplikasi. Oh, Oh OHHH!! cepat panggil dokter!
….Can't breath…. When you touch my sleeve… But I fly so crazy…. Mmmhmmm~
Hinata, TenTen, Sakura, dan Gaara hanya bisa menyaksikan sambil terus meyakinkan diri bahwa mereka sedang tidak menonton sebuah adegan dari film drama ala negeri gingseng.
"Argh! Pergi kau!!" Ino buru-buru mengelak dari genggaman Naruto saat tersadar wajahnya memanas. Ia mengusap-usap lengannya dengan ekspresi jijik yang dibuat-buat. Tanpa basa-basi lagi, ia pergi dengan berjalan cepat. Ragu-ragu ia meraba wajahnya yang panas, dan bertanya-tanya sendiri.
………..Clumsy, 'cause I'm fallin' in love…. (in love~~)……
Haaah! Mana mungkin aku jatuh cinta padanya…. sangkalnya dalam hati.
"Ah, Ino tunggu!!!" teriak TenTen. Mereka bertiga dengan sopan meminta maaf atas kelakuan buruk sobat mereka itu, sebelum buru-buru mengejarnya.
….Can't help it… the girl can't help it… the girl can't help it…
Gaara menggeleng, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Sementara Naruto masih memandang sosok itu, hingga hilang ditelan keramaian. Ia tersenyum sumringah. Entah untuk apa.
"Aku pikir, gadis bernama Ino itu hanya ada satu…", Gaara buka suara sembari melirik Naruto yang masih tersenyum.
"Mungkin hanya satu….", tambah Naruto. Mereka berdua bertatapan sejenak, kemudian tertawa dan saling toast.
Ya, Mungkin hanya ada satu…
To Be Continued…
YOYOYOYO!!!
Lalu, bagaimana reaksi Ino saat ia mengetahui siapa pengantin prianya??
Read the next chapter! XD
