"There is always some madness in love. But there is also always some reason in madness."
―Friedrich Nietzsche
.
Tears of the Witch
.
Presented by: Liberamente
Pairings: Kinshiro x Atsushi (can be seen as a mere friendship) slight En x Atsushi
Genre: Drama & Supernatural
Warnings: Alternate Reality, 10 Y.O! Kinshiro & Atsushi (at the most part)
Dibuat saat episode terbaru masih episode 8, mungkin bisa menjadi tidak relevan seiring berjalannya cerita di Canon Verse. But enjoy!
Disclaimer: I don't own Binan Koukou Chikyuu Boei-bu LOVE!, and not gaining any profit from this Fanfiction. The original fairy tale and the plot are mine. All the similarities are purely coincidence.
.
.
1.
-Pintu Depan Kediaman Kusatsu-
Kunjungan ramah taman keluarga yang baru pindah ke sebelah rumah mewah keluarga Kusatsu katanya. Tapi rasanya sang bocah bersurai biru sudah ingin lari sembunyi ke rumah lamanya. Bergelung dalam selimut Doraemon miliknya sambil membaca buku cerita.
Jemari gempal itu mengeratkan cengkraman kecilnya pada celana berwarna kelabu sang ayah di depannya. Rona merah muda setipis debu kosmik menghiasi wajah kecil yang tersembul malu-malu, mengintip sang tetangga sebelah rumah sebelum akhirnya tersembunyi sekali lagi dibalik sosok sang ayah.
"Perkenalkan Kusatsu-san, saya Kinugawa Masahiko yang baru pindah ke sebelah rumah anda."
Kinugawa senior menunduk memperkenalkan diri, yang dibalas dengan gestur yang sama oleh pria paruh baya di depannya.
"Maaf… tuan besar sedang di luar kota, begitu pula dengan nyonya besar. Saya Takahashi, pelayan disini."
Kinugawa Masahiko mengangguk kikuk, tidak menyangka bahwa yang menyambutnya bukanlah sang pemilik rumah, melainkan pelayan.
"Ini putraku. Ayo perkenalkan dirimu!" tawa renyah pemecah atmosfer kikuk, keluar dari mulut sang Kinugawa senior. Mendorong pelan pundak kecil yang sedaritadi berpegang erat pada celana panjangnya.
"Ki-Kinugawa Atsushi… salam kenal."
Kinshiro tak sanggup mengucap dusta, bahkan dalam benaknya sekalipun ― ia terpana. Pada bocah kecil seumurannya yang kini menatapnya menyelidik namun malu.
Pelayan tersebut memberikan gestur mengarahkan pada sosok kecil di depannya.
"Beliau adalah tuan muda kediaman ini."
Tata krama dasar yang sudah memancang erat dalam benaknya karena latihan etika intensif, refleks menggerakkan tubuhnya ke posisi menunduk sopan selama 2 detik. Tanda penghormatan resmi.
"Kusatsu Kinshiro, senang berkenalan dengan anda."
Dan itu adalah pertemuan mereka yang pertama.
2.
Beberapa hari berlalu, berganti menjadi minggu .
Sang pewaris tunggal nama Kusatsu berkutat dengan buku-buku usang di perpustakaan keluarganya. Manik perak itu bergerak konstan menelusuri baris demi baris kalimat di buku yang ia pegang. Pikirannya statis, ekuivalen dengan grafik-grafik ilustrasi yang berfluktuasi secara matematis. Suatu materi yang tidak sewajarnya di konsumsi oleh anak seumurnya― yang seharusnya sibuk bermain layang-layang atau tangkap kumbang diluar rumah.
Suasana ruangan itu tenang, hanya terdengar detik jarum jam karena seperti biasa penghuni kediaman itu hanya dirinya dan beberapa pelayan. Hingga tiba-tiba seekor kupu-kupu biru hinggap diatas punggung tangan Kusatsu muda, sukses mengalihkan atensi kelereng kelabu itu. Ia menatap lama pada makhluk kecil yang terbang mengitari ruangan bacanya, sebelum akhirnya terbang kembali melalui jendela yang terbuka.
'Kupu-kupu biru pada musim dingin? Aneh―"
Garis pandang Kinshiro lekat pada sosok kecil yang terbang semakin menjauh. Menggepakkan helai sayap safirnya gemulai, nampak ganjil ditengah selimut salju. Terus dan terus menjauh, hingga bayangannya tak lagi terbias retina milik Kinshiro. Beberapa detik sang bocah bersurai kelabu terpaku― ia baru tersadar ketika mendapat ketukan di pintu ruang belajarnya.
"Tuan muda maaf mengganggu, ada tamu untuk tuan."
Kinshiro menarik alisnya heran. Tidak biasanya ada tamu untuknya, karena biasanya tak pernah ada teman satu sekolahnya yang mampir ke kediamannya.
"Maaf mengganggu…"
Suara asing itu entah mengapa terdengar familiar di cuping telinga Kinshiro. Dan benar saja―sosok yang mengagetkan Kinshiro mulai menampakkan sosoknya di balik pintu. Dengan langkah kaki malu-malu bagai anak rusa, ia memasuki ruang baca. Bola mata amber itu bergetar gelisah.
"Ano.. ayahku bilang agar aku berteman dengan tetangga baruku…"
Kinshiro mengangguk maklum, ia menepuk kursi kosong yang berada disebelahnya.
"Silahkan duduk, aku tidak keberatan mempunyai teman membaca."
Diikuti dengan cengiran lima jari sang bocah bersurai biru yang berlari kecil kemudian duduk di sebelah Kinshiro.
3.
"Kusatsu-kun, apa kau tidak bosan membaca buku itu terus?"
Keheningan selama beberapa jam rupanya sudah cukup untuk membuat sumbu kesabaran Atsushi memendek. Ia melirik pada buku yang sedaritadi menjadi objek perhatian dari Kinshiro. Ia tak habis pikir bagaimana huruf cetak statis mampu menarik perhatian sang bocah bersurai perak hingga berjam-jam― bukannya ia tidak suka baca sih. Ia suka― sangat suka malahan. Terlebih saat ibundanya tercinta menemaninya membaca buku dongeng anak, tentang seorang kesatria yang mengalahkan naga dan menyelamatkan tuan putri cantik.
Hei, jangan salahkan dia kawan― anak normal seusianya memang seperti itu kan?
Kusatsu mengalihkan pandangannya sejenak.
"Tidak― sejak dulu aku membaca buku seperti ini. Buku-buku ini bermanfaat bagi masa depanku, kenapa aku harus bosan?"
Atsushi tercengang pada analogi bocah di depannya.
"Tidakkah kau ingin membaca buku dongeng? Atau jangan-jangan kau tidak punya―"
Atsushi memandang dengan tatapan horror yang dramatis― tidak memiliki buku cerita yang merupakan jendela wonderland, sama dengan kiamat baginya. Anak mana sih yang tidak ingin melayang di Neverland, pergi ke rumah kue, atau mengkhayal sebagai kesatria gagah berani yang membunuh naga?
Dan saat gelengan kepala Kinshiro mengkonfirmasi kecurigaannya, ia semakin membelalak kaget.
"Serius―?! Masa nggak satupun…?"
Saking terkejutnya Atsushi merubah bahasanya menjadi tidak formal. Well… tidak seperti ayahnya akan tahu sih..
"Mungkin ada sih, tapi cuma satu . Tapi aku tidak tahu seperti itukah dongeng yang kau maksud atau tidak…"
Atsushi menghela nafas lesu. Dipandangnya Kinshiro dengan tatapan nanar, yang perlahan mengeras. Menunjukkan determinasi, yang kini berenang dalam kolam sewarna chestnut miliknya.
"Yosh! Kita baca bersama kalau begitu, Kusatsu-kun!"
Atsushi mengangguk mantap, ada kekuatan dalam nada suaranya yang biasanya pemalu. Kinshiro mengadu pandangan mereka sejenak, sebelum buka suara.
"Bisa tolong hentikan?"
"―eh?"
"Jangan panggil aku 'Kusatsu-kun'. Terlalu formal, panggil saja namaku."
Atsushi kira ia barusan tuli mendadak.
"Sungguh? Kalau begitu.. eemm.. Kin-chan?"
Sontak pita-pita merah jambu menghiasi porcelain putih wajah Kinshiro. Kinshiro mati-matian menyangkal bahwa ia sedang tersipu.
Diluar turun salju dan udaranya dingin. Itu saja!
"Ap―apa-apaan panggilan itu?! Aku bukan perempuan!" *
Atsushi menganggapi reaksi Kinshiro dengan tawa kecil― satu lagi ekspresi baru yang Kinshiro temukan hari ini. Wajah Atsushi mulai rileks.
"Nggak apa kan? Sebagai gantinya kamu bisa memanggilku apapun yang kau mau, dan jangan pakai bahasa sopan!"
'Apapun ya?'
Kusatsu junior memutar otaknya, kira-kira nama apa yang akan ia gunakan pada teman barunya? Kinshiro tersenyum jenaka saat sebuah ide terlintas di benaknya― sebuah ekspresi yang bahkan ia sendiri tidak sadar ia miliki. Namun kini terlukis natural di kanvas wajahnya.
"Kalau gitu 'Acchan'.. dengan begini kita impas!"
Atsushi sebenarnya keberatan― namun apa boleh buat, toh ia sendiri yang menyulut provokasi penggunaan suffix yang terdengar feminim di telinganya tersebut. Maka dengan berat hati ia menghela nafas.
"Iya deh…"
Kinshiro mengangguk sambil tersenyum puas.
4.
Dahulu kala terdapat sebuah kerajaan yang sangat indah. Negeri itu dipimpin oleh seorang raja muda yang bijak dan adil.
Kerajaan itu begitu subur dengan pohon-pohon ara dan biji-bijian di ladang. Roti pai hangat dan susu segar selalu tersedia di meja makan― tak pernah ada orang berkekurangan yang terlunta-lunta.
Namun ada satu hal lain yang membedakan negeri ini dari negeri manapun. Air sungai di negeri ini begitu ajaib. Air sungai itu dapat memberi kehidupan pada tanaman yang layu, membuka selaput mata para tuna netra hingga mereka bisa melihat, bahkan mentahirkan orang kusta.
Tiap tetesnya serupa nektar para peri hutan. Masyarakat menyebut sungai tersebut 'sungai keajaiban'.Nnamun tidak ada yang pernah tahu darimana mata air sungai itu berasal.
Tidak ada yang pernah peduli― asalkan mereka dapat mengambil manfaat darinya.
Hanya satu orang yang ingin tahu― yakni sang raja muda.
Sang raja muda yang penuh jiwa petualangan, menelusuri dari muara sungai hingga ke sumber mata air yang berada di puncak gunung. Disana ia melihat sebuah pondok kayu, sulur-sulur pohon menghiasi setiap sisinya. Kemudian ia melihatnya― sebuah mata air jernih yang tak salah lagi bermuara pada negrinya. Ia berjalan mendekati mata air itu.
―Dan disanalah ia terkesima.
Seorang gadis muda dengan rambut pirang lembut― layaknya sulaman benang emas. Pipi merona sewarna apel, dan bola mata sehijau batu emerald. Ia yakin bahwa entitas di depannya memiliki paras lebih indah dari Nymph** manapun yang pernah ia baca di perpustakaan istana.
Ketika benang takdir itu mempertemukan mereka, seketika itu pula mereka jatuh cinta.
Sang raja muda mengetahui bahwa berkat sang gadis mata air itu begitu ajaib. Sang dara memiliki kekuatan untuk mensucikan air dengan air matanya.
Semenjak itu sang raja mulai sering mengunjungi sang gadis, dari sekedar bercengkrama, maupun merajut asa untuk masa depan. Terus dan terus hingga mereka terhanyut dalam harmoni cinta.
Hal ini membuat heran para penduduk negrinya. Dengan langkah senyap serupa pencuri, mereka berduyun-duyun mengikuti sang raja muda.
Dan ketika mereka melihat sang dara mensucikan air dengan air matanya―mereka menjerit kalut. Mereka menghujat, mengutuk dan melempar sang gadis dengan batu dan panah api. Hati mereka terselar ketakutan.
"Penyihir terkutuk!"
"Pasti ia ingin meracuni kita dengan pura-pura menyembuhkan kita awalnya!"
"Iblis betina!"
Sang raja berusaha menghentikan penduduk negerinya, berteriak, meronta dan menggapai udara. Namun tertahan rengkuhan kasar penduduk yang telah buta. Hingga akhirnya sang gadis tergolek tak bernyawa. Raga molek itu kini berlumur jelaga dari senjata lempar yang membakar kulitnya.
Sang raja muda tertunduk penuh nestapa, meraung, mengais tanah penuh amarah. Air mata darah meleleh menuruni pipinya.
Hingga akhirnya ia mendengar bisikan dalam berulang-ulang seperti kaset rusak.
Ia pasti sudah gila.
Terkikik nyaring, menggelitik cuping telinga. Menawarkannya pembalasan dendam penuh angkara murka. Mengabulkan satu permohonan raja dengan imbalan jiwa.
"Aku menginginkan kekuatan, meskipun kehancuran dunia ini bayarannya."
Hingga sang ular membelit nurani dan nalar sang raja. Membuatnya mengobarkan api pembalasan atas hilangnya orang tercinta.
Dan detik itulah sang raja bijaksana menjadi penyihir yang sesungguhnya.
Menjadi kristalisasi ketakutan penduduk negrinya, yang sejatinya tak pernah ada awalnya. Hingga akhirnya terlahir dari duka dan dendam sang raja.
Kemurkaannya menjadikan tiap tetes air matanya beracun, mencemari sungai semanis madu dengan asam yang melelehkan kulit. Memusnahkan negri yang dulunya indah, beserta tiap insan yang tinggal di dalamnya.
5.
Atsushi yang tadinya membaca dengan semangat dongeng itu kini terisak menahan tangis. Cairan bening meleleh menuruni pipinya, dan matanya berkaca-kaca. Kinshiro yang tidak terbiasa melihat orang lain menangis, terkejut saat melihat itu.
―bocah di depannya ini selalu penuh kejutan.
Terkadang terlihat tenang, namun bisa meledak-ledak emosinya hanya karena hal kecil. Seperti saat ini contohnya.
"A- Acchan…?"
Ragu-ragu Kinshiro menepuk pundak kawannya. Dan yang menyambutnya adalah tatapan mata Atsushi yang berkaca-kaca dan nafas sesenggukan.
"Ke―kenapa malah sang raja yang jadi jahat dan si gadis mati?! Padahal kan mereka nggak salah…"
Melihat teman barunya menangis semakin menjadi, Kinshiro jadi salah tingkah dan frustasi. Spontan ia memeluk tubuh yang lebih kecil itu dalam dekapannya sambil mengelus pelan surai kebiruan itu. Merasakan Atsushi yang berangsur-angsur tenang membuatnya sedikit lega.
Padahal tak mungkin penyihir dan kekuatan ajaib di dunia ini bagi Kinshiro. Semua hal di dunia ini tersusun dalam sebuah tatanan yang sistematis. Manusia memang suka saja mengayal dan berimajinasi.
Tapi melihat Atsushi yang kini menghapus jejak air matanya membuat Kinshiro termenung. Walau ia tidak percaya sihir dan kekuatan magis ― ia masih percaya keajaiban. Karena menurutnya perjumpaan dengan kawan baiknya ini merupakan keajaiban.
Dalam hati Kinshiro bersumpah bahwa ia tidak akan menjadi seperti sang raja.
6.
Ketukan konstan pena pada permukaan meja menjadi melodi yang menemani detik jarum jam di ruangan itu. Berkali-kali ekor matanya melirik pada jam yang tergantung di dinding, kemudian menghela nafas berat karena yang dinanti tak kunjung menampakkan sosoknya.
Ting tong
Suara bel yang familiar menyapa telinganya, dan dengan senyum merekah Kinshiro beranjak dari kursi bacanya. Kaki-kakinya berlari ringan menuju pintu masuk― tak perlu menunggu pelayan manapun membukakan pintu. Ia pasti akan menjadi yang pertama melihat wajah itu di depan pintu masuk. Dengan senyum lima jari dan tangan dilipat kebelakang, memberikan sapa yang sudah sangat ia kenali.
"Acchan, selamat data―"
"HAPPY BIRTHDAY KIN-CHAN!"
Kinshiro sama sekali tak mengantisipasi pelukan dan terjangan sang bocah bersurai biru ketika ia membuka pintu. Ia mengedip sekali―dua kali― dan barulah ia sadar.
'Ini… hari ulang tahunku ya?'
Karena perayaan special bagi anak seumurannya itu tak pernah terasa khusus bagi Kinshiro. Malahan merupakan reminder bagi dirinya akan rasa kesepian dan harapan yang tak berbalas― karena orang tuanya tak pernah hadir disana. Pernah para pelayan berinisiatif merayakan bersamanya, namun tentu saja semuanya tak sama.
Hingga akhirnya ia memutuskan untuk tak akan pernah merayakannya lagi. Toh semua hari sama baginya.
― sekali lagi sang Kinugawa muda memberikan kejutan padanya.
"Nee.. nee! Kin-chan, aku bawa kado lho. Coba dibuka!"
Kinshiro memandang bungkusan kertas kado perak dengan pita biru di tangan Atsushi. Kertas kado itu agak lecek dan banyak selotip dimana-mana, hasil nyata jerih payah bocah manis didepannya. Kinshiro tertawa kecil.
"Terima kasih Acchan…"
Kejutan yang seperti ini, tidak buruk juga.
7.
Dibawah payung bumantara mereka berbaring. Menatap kerlip jutaan bintang yang menghantar kisah dari milyaran tahun lalu melalui pendar samar. Hingga akhirnya seberkas cahaya ―yang sebenarnya adalah meteoroid yang berjarak ratusan kilometer lewat diatas mereka. Disusul dengan meteoroid yang lainnya, menciptakan harmoni bagaikan titikan air hujan di kanvas kehampaan angkasa. Meninggalkan segaris cahaya sesaat yang hilang dalam kedipan mata. Sebuah iluminasi alam spektakuler tanda kebesaran Yang Kuasa.
"Uaahh… keren ya 'hujan meteor' itu.. "
Kinshiro mengiyakan dengan gumaman.
"Hei, kamu tau nggak? Kata kakakku, kalau kita mengucapkan permohonan 3 kali sebelum bintang jatuh itu menghilang maka akan terkabul."
Merupakan tipe yang selalu percaya dengan fakta, Kinshiro angkat bicara.
"Itukan cuma mitos?"
"Begitu kah? Tapi kakakku percaya lho…"
Dan tiba-tiba sebuah bintang jatuh melintas lagi diatas mereka. Atsushi dengan segera menangkupkan kedua tangannya dan membuat permohonan. Atsushi terlihat bersungguh-sungguh dengan permohonannya.
Penasaran dengan permohonan sahabatnya, Kinshiro tidak bisa menahan dirinya untuk bertanya.
"Kamu minta apa?"
Rona kemerahan cantik mulai mekar di wajah Atsushi, dengan sedikit malu-malu ia membisikkan keinginannya pada Kinshiro. Mendengarnya Kinshiro hanya tertawa kecil.
"Benar-benar kekanak-kanakan!"
"― kan aku memang anak-anak!"
Tak beberapa lama, diatas mereka melintas satu lagi meteoroid. Menciptakan jejak panjang menggantung diantara kehampaan langit sebagai satu-satunya bukti. Dengan cepat Kinshiro melakukan gestur replika sempurna milik Atsushi. Mendekap tangan khusuk sembari merapal doa.
"Hehe.. Kin-chan, kukira kamu nggak percaya?"
Kinshiro tersipu mendengar ejekan sahabat baiknya.
"Paling nggak aku mencoba―"
"Memangnya kamu minta apaan sih?" Atsushi agaknya mulai penasaran pada Kinshiro yang selalu berpegang pada fakta, namun kali ini mau mencoba hal yang dianggapnya mitos.
"Oh itu.. Aku meminta―"
8.
Merupakan hal yang sangat jarang ketika kedua orang tua Kinshiro ada di dalam naungan satu atap. Dan hari ini adalah salah satu dari hari yang langka tersebut. Namun berbeda dengan aura kekeluargaan hangat rumah tangga pada umumnya, udara di dalam ruang makan keluarga Kusatsu menjadi semakin menekan.
Pengap, dan sulit bernafas.
Seperti ada asap tebal yang menerjang masuk kedalam indra pembaunya, mencekik tenggorokannya dan mempenetrasi paru-parunya. Membuat Kinshiro mati-matian bertahan untuk tetap tenang dan berlaku normal dibawah tekanan udara yang menyesakkan baginya.
"Kinshiro, kudengar kau berteman dengan anak tetangga sebelah?"
Ibunda Kinshiro membuka percakapan. Dentingan halus alat makan mengiringi kesunyian yang ada di ruangan itu. Kinshiro meneguk air putihnya sebelum menjawab getir.
"Ya, ibu."
Diliriknya takut-takut sang ayah yang hanya diam dengan ekor mata, dan seketika itu ia merasa tubuhnya meremang ketika kedua kelereng perak itu saling bertemu. Abu-abu gelap milik sang Kusatsu senior memancang ke iris miliknya.
"Kinshiro, selama ini ayah bilang untuk menjauhkan hal-hal yang tidak berguna yang menghambat waktu belajarmu. Dan ayah dengar dari Takahashi bahwa hampir setiap hari kau bermain bersama anak tetangga sebelah―"
"Tapi―"
"Kinshiro, jangan sela ayah!" ibunda Kinshiro membentak keras anaknya sebelum kembali menyesap wine merah miliknya. Kepala keluarga Kusatsu berdeham untuk menunjukkan otoritasnya.
"Kinshiro, kami memikirkan yang terbaik untukmu. Dan kau tau apa yang harus kau lakukan."
Final dan mutlak.
Seperti itulah kata-kata kedua orang tuanya.
Ia hidup dengan bimbingan orang tuanya. Dalam jalan yang telah dipersiapkan dengan batu-batu loncatan sempurna untuk masa depannya. Karena orang tuanya tahu apa yang terbaik untuknya.
Mereka benar.
―dan selalu benar.
"Aku mengerti, ayah."
9.
Iris keperakan itu tidak sekalipun menatap kearahnya. Sengaja mengalihkan atensi, menatap lekat pada kupu-kupu biru yang mengepakkan sayapnya lemah diatas dahan yang membeku berlapiskan kristal-kristal es. Agaknya sayap cantik itu sudah tak kuat dengan udara dingin yang dan kristal es yang merusak fibrin-fibrin safir halus itu. Hingga akhirnya makhluk elok itu terbang melayang― sekali lagi menjauhi arah pandang Kinshiro.
"Maaf, aku tidak bisa bermain lagi denganmu. Cukup sampai disini dan jangan datang lagi."
Bola mata amber itu membulat tak percaya. Bibir mungil itu terbuka lalu terkatup kembali. ―Memang apa salahnya?
"Kin-chan... apa aku berbuat sesuatu…?"
Suara itu terdengar getir dan lemah, menahan emosi yang membuncah dan meletup dalam dada. Pundak kecil itu bergetar seiring dengan detik-detik yang terlewati dalam hening. Tak satu patah katapun terucap dari Kinshiro. Ia menggigit bibirnya hingga berdarah, menelan kembali penjelasan kepada kawan baiknya. Meneriakkan bahwa sesungguhnya ia masih ingin terus bersama.
Atsushi menundukkan kepalanya berat, poni menutupi kedua matanya membuat ekspresi bocah itu tak terbaca. Ia menunduk hormat.
"Senang bisa mengenalmu, Kusatsu-san…"
Hingga akhirnya kaki-kaki kecil itu melesat cepat― secepat kaki-kakinya bisa membawa raga sang empu keluar dari kediaman Kusatsu. Terus menunduk disertai bulir air mata yang mengalir dari kedua kolam amber-nya.
Semuanya berjalan lambat di benak Kinshiro. Detik demi detik berjalan kaku dan statis, hingga suara nyaring klakson mobil berbalut teriakan histeris pengemudinya menubruk gendang telinganya. Yang bisa ia ingat berikutnya hanyalah ketika ekor mataya menangkap sosok kupu-kupu biru yang pernah hinggap di tangannya, kini tergeletak kaku di bawah dahan pohon yang membeku di tengah salju.
Jatuh.
―mati.
Hingga saat ia sadar, ia sudah berlari. Tidak pernah dalam hidupnya ia berlari secepat ini. Dunia terasa blur di sekelilingnya, tak dihiraukan teriakan para pelayan yang memanggil namanya. Dadanya terasa sesak, kobaran api serasa merambati setiap pembuluh darahnya.
'― Acchan!'
Ia tertunduk, melihat sosok itu berbaring diatas selimut salju. Mawar merah merekah kontras diatas hamparan putih bersih. Kedua kelopak itu menyembunyikan kilau yang selalu ia kagumi.
Sungguh ini tidak lucu.
Kinshiro tahu bahwa Atsushi suka sekali memberikan kejutan padanya. Dan mungkin kali ini ia akan membuka mata dan memamerkan senyum jenakanya, bahwa Kinshiro sudah tertipu dan ia berhasil membuat kejutan.
Bayangan itu berkelebat dalam benaknya, membuat neuron di otaknya menciptakan ilusi berulang. Menciptakan simulasi simulacrum, hingga ia tidak lagi bisa membedakan kenyataan.
"UWAAAAAAHHHH….!"
Tangisan pecah keluar dari bibirnya. Teriakan memekakkan meringsek keluar dari tenggorokannya, mencabik dan merobek keluar kewarasannya. Tak lagi peduli pada sekitar, ia meraung, berlutut dan mencari kehangatan tersisa pada raga kosong tanpa jiwa.
― Segalanya mulai terasa surreal baginya saat itu. Suara teriakan dan kepanikan sekitarnya perlahan menghilang, digantikan sebuah gema sayup-sayup. Pandangan matanya blur karena refraksi.
"Kau ingin dia hidup…?"
Suara itu lebih mirip geraman binatang buas― bahkan pikiran lugunya tahu. Seluruh sel di tubuhnya tahu dan mengerti, entitas yang berbicara padanya jelas tidak berasal dari dunia ini. Menelan kembali rasa takutnya ia menjawab dengan suara bergetar.
"Ba-bagaimana caranya….?"
Ia dapat merasakan seringai dari makhluk yang berbicara padanya. Merasa puas melihat keputus-asaan yang tergurat jelas dalam vibra suaranya. Makhluk itu terkekeh kecil.
"Kau tahu caranya nak."
― Dan sekelebat itulah cerita dongeng yang pernah ia baca dengan Atsushi mengalir memasuki memorinya. Cerita tentang raja dan sang gadis muda, dimana sang raja akhirnya berubah menjadi penyihir yang awalnya tak pernah ada. Mengotori sungai suci dengan air matanya yang berbalut dosa.
"Memangnya kamu minta apaan sih?"
"Oh itu.. aku meminta― agar kita bisa terus bersama selamanya."
Inilah epitomi sebuah ironi― dirinya kini akan melanggar ikrar yang pernah dia ukir dalam benaknya. Bahwa dia tidak akan pernah menjadi seperti sang raja, hidup dengan jiwa yang tercelup mangsi.
Hitam dan kotor.
― tapi tak mengapa. Kalau itu artinya ia akan bisa bertemu lagi dengan Atsushi.
"Baiklah. Kau bisa pakai aku sesukamu."
Suara itu berubah dari kekehan kecil menjadi gelak tawa. Membuat bulu kuduknya merinding dan seluruh lurik di tubuhnya memerintahkan agar ia beranjak dari tempat itu. Namun Kinshiro terpasung di tempat.
"Menarik. Tapi aku akan minta satu hal lagi bocah. Selain dirimu, aku ingin mengambil ingatan berharga anak itu tentang dirimu."
Manik itu melebar tak percaya.
― ingatan?
'Apa itu artinya Atsushi akan melupakan dirinya. Melupakan semua kenangan mereka?'
Bagaikan mendapat mainan baru yang menarik, suara itu berkata ringan. Ia pasti menikmati seluruh kegelisahan dan keputus asaan Kinshiro saat ini.
"Baiklah…"
"Hahaha… kau akan menjadi pionku yang bagus. Aku akan terus mengawasimu."
10.
Esoknya Atsushi terbangun di sebuah ruangan serba putih. Sekujur tubuhnya sakit luar biasa, dan ia disambut oleh isak tangis kedua orang tuanya. Mereka bilang bahwa Atsushi selamat berkat sebuah keajaiban― karena saat itu jantung Atsushi sempat berhenti. Dan sebagai akibatnya, Atsushi kehilangan sebagian memorinya. Post Traumatic Stress Disorder― yang menjadikannya takut melewati area bekas kecelakaannya.
Hingga akhirnya sang kepala keluarga Kinugawa memutuskan agar mereka pindah rumah beberapa blok dari rumah mereka sebelumnya. Menghindarkan Atsushi agar tidak perlu melewati area yang sama.
Atsushi merasa bahwa ia melupakan hal yang penting.
―Tapi apa?
Sekeras apapun ia berusaha mengingat yang ada malah sakit kepalanya bertambah parah. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk tidak mengingat hal yang sudah berlalu.
11.
Atsushi memulai lembar baru kehidupan SMA-nya dengan tahun ajaran baru di Binan Koukou. Sebuah sekolah swasta elit khusus laki-laki yang mencetak banyak pelajar unggul.
Disana Atsushi bertemu dengan teman barunya. Yufuin En―sang pemalas dengan keberuntungan setingkat dewa judi. Sifat mereka yang bagaikan kutub magnet berlawanan, membuat kondisi ekuilibrium yang saling melengkapi.
Hingga ia merasa sedikit ganjil melihat sosok yang membawakan pidato penyambutan sebagai perwakilan murid baru. Calon ketua OSIS yang pemegang nilai akademis paling unggul diangkatannya.
― Kusatsu Kinshiro.
Nama yang baru pertama kali ia dengar, namun entah mengapa terasa familiar. Terlebih saat Kristal perak itu bertemu dengan manik coklatnya selama beberapa detik sebelum mengalihkan pandang, menghantarkan getar nostalgia pada Atsushi
12.
Setahun berlalu sejak tahun pertamanya di Binan Koukou. Siapa yang tahu kalau ternyata nasib suka sekali mempermainkannya. Ia bergabung dengan sebuah kelompok ― yang batinnya bilang 'sangat aneh'― bernama "Klub Pertahanan Bumi".
Nama norak untuk anggota yang aneh pula.
Jaman sekarang siswa mana sih yang tidak risih melihat nama klub seperti itu?
Selain dirinya dan En, klub ini memiliki anggota lain yakni Naruko Io― si jenius keuangan yang hitungannya minta ampun, masa mau bayar toilet umum saja dia masih mikir? Zaou Ryuu― self proclaimed playboy yang kerjanya main cewek, Hakone Yumoto― bocah supel kelebihan gula yang suka benda lembut berbulu, dan oh― tentu saja Wombat. Makhluk tidak jelas asal usulnya berwarna pink mencolok yang sudah merubah nasibnya dan teman-temannya 180 derajat.
Mereka berlima diminta tolong― coret itu, dipaksa oleh Wombat menjadi pasukan penjaga bumi. Dan demi apapun― ia sebenarnya sangat tidak rela memakai pakaian norak berpita itu. Bersama mereka melawan monster-monster aneh yang diperalat oleh kelompok gila yang terobsesi menguasai bumi.
Sungguh― ia rasanya ingin pulang saja.
13.
Bukan merupakan barang langka apabila mereka kadang terluka dalam pertarungan. Namun pertarungan kali ini benar-benar berlangsung sengit hingga tabir pelindung yang melindungi identitas mereka terkoyak― baik dari Battle Lovers maupun Caerula Adamas menampakkan sosok mereka sesuai realita.
Dan seketika itu juga, memori Atsushi yang tersegel bertahun-tahun meluap, tumpah ruah seakan dam yang menahannya jebol karena tekanan yang begitu kuat. Memori tentang masa kecilnya, ketika ia bertemu dengan Kinshiro muda, memori saat mereka merayakan ulang tahun Kinshiro bersama
― memori saat ia pernah mengecap kematian.
"Kin―…chan…?"
Kelereng perak itu melebar, tampaknya ia juga terkejut mendapati kawan kecilnya merupakan salah satu dari musuh yang harus ia kalahkan. Kinshiro tersenyum sardonik.
Takdir memang mempermainkan mereka.
"Tampaknya kali ini aku yang memberikan kejutan bagimu ya, Acchan?"
.
.
A/N:
* Suffix –chan merupakan panggilan sangat akrab untuk seseorang. Biasanya disematkan pada nama perempuan.
** Nymph: Makhluk mitologi Yunani yang memiliki paras sangat rupawan dan biasanya hidup bersatu dengan alam. Disebut-sebut memiliki suara nyanyian yang indah.
Oke, awalnya saya mau buat ficlet ringan gara-gara tangan udah gatel karena KENAPA NGGAK ADA SATUPUN FANFICTION BAHASA INDONESIA DISINI?! #ahem maaf
Sebenernya sih saya juga nge-ship En x Atsushi, cuma Kinshiro x Atsushi ini bikin gregetan. Mana Kinshiro sok jaim banget ke Atsushi padahal kangen. Dan kalau ada yang tanya siapa suara yang ngomong sama Kinshiro, anggap aja itu Zundar― si landak ijo unyu, sebelum dia henshin jadi model begitu supaya bisa gampang ngawasin Kinshiro dkk. Iya, saya bikin dia jadi keren dikit gak apa-apa kan?
Akhir kata semoga pembaca sekalian menikmati fanfic ini. Dan ayo bikin rame fandom ini dengan fanfic berbahasa Indonesia! #kibar-kibar Bendera
.
Feel the Freedom of Your Mind!
Sign
-Liberamente-
