Disclaimer: Masashi Kishimoto
Warning: YAOI, AU, OOC dan hal absurd lainnya
Pairing: Always NaruSasu
Rated: M for Mature and Sexual Content
Don't Like Don't Read
.
Family
.
By: CrowCakes
~Enjoy~
.
.
.
Uchiha Sasuke merupakan pengusaha muda berumur 25 tahun yang berbakat, kaya raya dan sangat tampan. Jangan pernah tanyakan seluruh harta yang dia punya, sebab kalkulator saja tidak akan cukup untuk menghitung seluruh saham yang dimilikinya.
Sosok rupawannya membuat dirinya digilai oleh semua wanita. Tipe seorang lady killer. Layaknya Cassanova. Sekaligus womanizer. Namun ia memiliki prinsip akan selalu setia pada istrinya.
Ya! Seorang istri!—Uchiha Sasuke sudah menikah dengan wanita yang dicintainya tiga tahun yang lalu. Haruno Sakura. Istri sekaligus sosok wanita yang sangat dikagumi olehnya. Periang dan cantik. Ia yakin Sakura akan menjadi sosok ibu yang baik. Apalagi wanita itu sedang dalam masa kehamilan.
Dan dalam 9 bulan ini, Sasuke selalu disibukkan oleh keinginan sang istri yang bermacam-macam. Tipikal ibu muda yang sedang ngidam. Tetapi hari ini, wanita itu kini tengah berjuang untuk melahirkan anak pertama mereka di rumah sakit.
Sasuke yang mendengar kabar tersebut langsung menancap gas mobilnya menuju ke tempat sang istri. Ia berkali-kali melirik jam tangan agar tidak terlambat. Rasa gugup dan panik berbaur menjadi satu, tetapi rasa gembiralah yang mendominasi pikirannya. Ia sudah tidak sabar ingin bertemu anaknya. Darah dagingnya sendiri.
Sasuke sudah membayangkan bahwa anaknya pasti mirip dengan dirinya. Dengan tawa kecil dan mata hitam pekat seperti onyxnya ataupun berwarna emerald seperti istrinya.
Namun kenyataan pahit langsung menampar pipinya dengan telak saat ia sudah sampai di rumah sakit untuk melihat persalinan wanita berambut pink itu.
Sasuke, seorang pria mapan dan cukup tampan harus tercengang saat melihat sosok bayinya.
Tidak!—Anaknya sama sekali tidak cacat, bahkan menurut dokter yang ada disana, bayinya cukup sehat dan tampan. Tapi bukan itu yang membuat Sasuke terkejut. Melainkan sosok anaknya yang sangat jauh berbeda dari dirinya.
Bayi laki-lakinya memiliki tiga goresan di masing-masing pipinya dan bola mata berwarna biru terang. Itu sama sekali bukan karakteristik dirinya ataupun ciri-ciri istrinya. Yang menandakan itu adalah anaknya hanyalah rambut sang bayi yang berwarna hitam pekat seperti miliknya.
Sasuke masih tertegun di depan sebuah inkubator yang dikhususkan untuk bayi yang baru lahir. Ia melirik dokter yang berada disampingnya. "Kau yakin ini anakku?" Tanyanya agak sangsi.
Sang dokter mengangguk tegas. "Aku yakin sekali, sebab aku yang membantu persalinan Nyonya Sakura." Sahutnya lagi. "—Oh ya, Nyonya Sakura menitipkan surat padaku untuk diserahkan pada suaminya." Ujar sang dokter lagi.
Sasuke mengambil lembaran kertas tadi dan membacanya dalam hati.
.
Dear Sasuke-kun, my husband.
Maafkan aku selama ini membohongimu. Aku telah berselingkuh dengan Uzumaki Naruto beberapa tahun terakhir ini.
Anakmu—ah bukan, maksudku anak kita adalah anak Naruto juga. Aku harap kau bisa merawat bayi kita bersama dengan Naruto. Pria itu sangat baik dan dia menyukai anak-anak.
Aku mencintaimu, Sasuke. Sangat mencintaimu. Tetapi aku juga mencintai Naruto. Jadi maafkan sifat egoisku.
Permintaan terakhirku adalah tolong beri nama anak kita dengan nama Uzumaki Menma. Bukankah itu nama yang bagus, Sayang?
Dari: Istrimu yang selalu menyayangimu.
.
.
Mata onyx Sasuke terbelalak lebar. Tangannya bergetar membaca setiap baris dari surat tersebut.
Sang dokter yang berada disebelahnya hanya bisa menunduk sedih. "Nyonya Sakura meninggal tiga jam setelah melahirkan. Ia memaksakan dirinya untuk menulis surat untukmu di saat terakhirnya. Aku benar-benar turut berduka." Ucapnya lirih.
Namun Sasuke sama sekali tidak mendengar. Kepalanya hampir meledak karena berusaha menyerap maksud dari setiap baris surat Sakura.
'Istriku berselingkuh?! Selama ini dia sudah berselingkuh dengan pria lain?!' Sasuke meremas kertas tadi dengan rasa amarah. Tubuhnya bergetar hebat penuh emosi. Ia bahkan lupa akan sedihnya karena sang istri sudah meninggal. Otaknya dipenuhi dengan beberapa pertanyaan yang berseliweran tidak karuan, namun sama sekali tidak menemukan jawaban yang tepat.
Ia buntu.
Kepalanya kacau, seakan-akan seluruh sel otaknya berontak dan hampir meledak.
Mata hitamnya kembali menatap sang anak dengan nanar. Tangannya terjulur ke kaca kotak inkubator dan menyapu kaca tadi dengan perlahan. Pikirannya saat ini kalut, haruskah ia membuang sang anak ke panti asuhan? Ataukah menyuruh pria selingkuhan sang istri untuk merawatnya?
'Tidak!' Sasuke membatin dalam hati. Tangannya mengepal erat. 'Aku tidak akan membiarkan anakku terlantar di panti asuhan ataupun dirawat oleh orang asing. Bagaimanapun juga bayi ini adalah anakku.' Tegasnya lagi.
Yakin dengan keputusannya itu. Sasuke merubah raut wajah mengerasnya menjadi senyum teduh. Ia menatap sang anak dengan penuh sayang. "Papa akan merawatmu, Menma. Jangan khawatir." Bisiknya pelan.
.
.
Dua minggu berlalu setelah pemakaman Haruno Sakura, dan akhirnya Sasuke diperbolehkan untuk membawa pulang bayinya dari rumah sakit setelah melalui beberapa administrasi dan keterangan dokter yang menandakan bahwa sang bayi sehat dan tidak memiliki komplikasi apapun.
Kini, pemuda raven itu terlihat sibuk menggendong bayinya untuk masuk ke dalam rumah mewahnya.
Tempat tinggalnya berada di perumahan elit dengan beberapa bangunan yang menjulang tinggi. Rumahnya sendiri pun bisa disebut sebagai istana mewah dengan pagar besar dan halaman yang luas, serta jangan lupakan kolam renang yang berada dibelakangnya.
Saat masuk ke dalam, perabotan mewah sudah menghiasi sudut-sudut ruangan, dengan tangga fancy yang didesain melingkar untuk menuju lantai dua. Karpet tebal berbulu putih menghiasi ruang tengah dengan televisi berukuran besar yang tertempel di sisi dinding. Sedangkan ruang tengah dipenuhi oleh sofa empuk serta meja yang dibeli langsung di Paris yang menghadap halaman depan—dibatasi dinding kaca.
Dapur dan mini bar terletak di ruangan kiri, terkesan minimalis dengan warna hitam abu-abu yang mendominasi. Gelas tangkai berpiala tersusun rapi bersama dengan beberapa botol wine mahal asal Eropa. Kulkas dua pintu pun ikut meramaikan tempat itu.
Di lantai kedua hanya dipenuhi oleh beberapa buah kamar kosong yang tidak terpakai namun masih terawat dengan baik. Sedangkan di lantai ketiga, terdapat ruang teater mini dan perpustakaan pribadi, termasuk ruang kerja Uchiha Sasuke.
"Menma, ini adalah rumahmu sekarang." Sasuke berbicara pada sang anak yang berada di gendongannya. Menma kecil terlihat tidak peduli dan memilih menguap lebar. "—Kau sudah mengantuk rupanya. Kalau begitu ayo ke kamar." Kaki pemuda itu melangkah di lantai dua untuk menuju kamarnya. Kamar utama yang didesain dengan gaya Inggris. Ranjang besar berukuran king size dengan kelambu beludru mahal terdapat di tengah kamar. Di pojok kanan, terdapat jendela kaca dengan balkon yang cukup luas. Sedangkan di depan ranjang terdapat sebuah televisi datar dengan satu set DVD dan playstation keluaran terbaru.
Sasuke menidurkan Menma di ranjangnya. Kemudian mengelus dagunya seraya berpikir. "Hmm, apa yang dibutuhkan oleh bayi ya?" Tanyanya heran. Ia melirik ke sekeliling ruangan, namun tidak menemukan satu pun mainan untuk bayi.
Well, ia dan Sakura sama sekali belum mempersiapkan apapun untuk kelahiran anak mereka. Pakaian, popok dan box khusus bayi pun tidak ada.
Ughh! Menjadi ayah dadakan seperti ini membuatnya frustasi!
Berusaha tenang, Sasuke segera merogoh ponsel di kantong celananya untuk menelepon seseorang. Tiga kali deringan hingga akhirnya telepon terangkat.
.
"Ya, hallo?" Suara seseorang dari seberang telepon terdengar. Sasuke segera menyahut.
.
"Neji, bisakah aku minta tolong?"
.
Pemuda bernama Neji itu mengerutkan keningnya, heran. "Sasuke? Ada apa? Minta tolong apa?"
.
"Uhh, sebenarnya aku ingin bertanya, apa saja yang dibutuhkan oleh bayi?" Tanyanya agak canggung.
.
Neji terdiam sebentar. "Jadi kau memilih mengurus Menma sendiri? Kenapa tidak menyuruh baby sitter atau pembantumu saja?"
.
"Aku ingin mengurus anakku sendiri, Neji. Lagipula Menma adalah kenangan satu-satunya akan sosok istriku."
.
"Maksudmu kenangan perselingkuhannya begitu? Beritanya cepat tersebar di kantor." Sela Neji cepat.
.
Sasuke mendelik galak ke arah ponselnya, namun sadar bahwa hal itu percuma saja sebab mereka tidak saling bertatap muka. Jadi ia memilih mengerang kecil. "Diamlah. Aku tidak meminta pendapatmu mengenai perselingkuhan istriku, aku hanya minta jawabanmu mengenai keperluan bayi." Sinisnya.
.
Neji menghela napas. "Aku belum menikah, jadi aku tidak tahu bayi perlu apa saja. Mungkin popok dan susu?"
.
"Kalau itu sih aku tahu. Selain popok dan susu?" Tanya Sasuke lagi.
.
"Uhh—baju bayi? Peralatan mandi? Popok?"
.
"Kau mengatakan popok dua kali, Neji." Sasuke memutar bola matanya, malas. Ia memilih duduk ditepi ranjang sembari mengelus pipi sang anak kemudian tersenyum kecil. "—Kau tampan sekali." Ucapnya pelan.
.
"Terima kasih."
.
"Bukan kau, Neji! Tapi anakku!" Sanggah Sasuke kesal.
.
"Oh—oke. Jadi bagaimana dengan popok dan susu?"
.
Sasuke mengerang lebih keras. "Arrgh, sudahlah, lupakan saja, kau memang tidak berguna." Ketusnya lagi seraya menutup telepon dengan jengkel dan melemparkannya ke atas kasur.
Ia merebahkan dirinya disamping Menma, kemudian memeluk tubuh sang anak yang sedang tertidur penuh sayang. "Menma, apa sih yang kau butuhkan? Papa benar-benar tidak tahu." Bisiknya pelan sembari memejamkan matanya sejenak. Mungkin sedikit istirahat akan membantu otaknya untuk berpikir.
.
.
.
Sasuke tertidur selama 4 jam lamanya dan terbangun saat sang bayi menangis keras, membuat tubuh pemuda raven itu tersentak kaget.
"Menma? Ada apa?" Sang Uchiha langsung menggendong anaknya dengan canggung dan panik. "—Ssshh—sshh—papa disini sayang. Diam ya." Mohonnya lagi, tetapi Menma tetap menangis, bahkan lebih keras lagi.
Sedikit kelabakan, Sasuke segera merogoh ponselnya lagi dan memutuskan untuk menelepon Mikoto, ibunya.
Lagi-lagi ia harus menunggu sampai sambungan terangkat. "Come on, Mom." Bisiknya cemas. Menma masih menangis digendongannya.
.
"Ya hallo? Ada apa, Sayang?" Suara wanita mengalun lembut dari seberang telepon, menandakan bahwa Mikoto senang ditelepon oleh sang anak.
.
"Ibu, tolong aku. Menma menangis dan aku tidak tahu cara membuatnya diam." Sahut Sasuke cepat, sama sekali tidak membalas sapaan ibunya.
.
"Oh, mungkin dia lapar. Kau sudah memberinya makan?"
.
"Makan? Bayi makan apa? Ayam, roti atau nasi?" Sela Sasuke lagi.
.
Mikoto berdecak. "Susu, Sasuke. Bayi minum susu."
.
"Tadi ibu bilang 'makan' dan bukan 'minum'!" Kesalnya. Tangannya berusaha menepuk-nepuk pelan sang anak, tetapi tangisannya sama sekali tidak berhenti. "—Bisakah ibu kesini sekarang? Aku benar-benar kewalahan." Ucapnya lagi.
.
Mikoto menghela napas. "Baiklah, ibu akan ke tempatmu sekarang. Mungkin akan memakan waktu sekitar 30 menit."
.
"For god's sake, Mom! Bisakah kau lebih cepat datang kemari?! Menma menangis!" Erang Sasuke.
.
"Okay—Okay, Honey." Mikoto meraih kunci mobil dan bergegas menuju garasi. "—Aku akan ke toko terdekat untuk membeli perlengkapan bayi. Sebelum aku sampai, cobalah untuk menenangkan Menma, oke?"
.
"Menenangkannya dengan apa?!"
.
"Mainan." Sela Mikoto cepat sembari menyalakan mesin mobil. "—Ibu akan menutup teleponnya sekarang. Bye."
.
"W—Wait, Mom! Aku tidak punya—"
Tuuut!—Tuuut!—Telepon diputus secara tiba-tiba.
"—Mainan." Sasuke menyambung kalimatnya dengan nada lemah. "Shit! Ini sama sekali tidak bagus." Rutuknya lagi seraya melempar ponselnya ke ranjang dengan jengkel, kemudian kembali menimang sang anak dengan lembut.
Menma masih menangis keras walaupun Sasuke sudah memohon agar sang bayi untuk diam dan tenang. Apakah Menma buang air? Mungkin saja ia menangis bukan karena kelaparan melainkan buang air, well, Sasuke harus mencoba memastikannya.
"Oke, Menma, biarkan papa memeriksamu." Ucap Sasuke lagi seraya membuka popok sang anak. Ia sudah ketar-ketir kalau Menma buang air besar, tetapi nyatanya sang anak sama sekali tidak buang air. Jadi sudah dipastikan dia lapar.
Sang Uchiha sedikit lega sembari menyeka keningnya. Ia meletakkan Menma yang sedang menangis di atas ranjang sementara dia sendiri melesat menuju dapur untuk mencari makanan.
Tangannya dengan panik merogoh isi lemari. Ada beberapa roti tawar, sarden kalengan, daging kalengan, jagung kalengan, dan beberapa makanan kaleng lainnya. Fucking hell! Ia baru sadar kalau gaya hidupnya sama sekali tidak sehat.
Sasuke beralih menuju kulkas dan membukanya dengan cepat. Matanya menyisir setiap rak, namun yang ada hanyalah sebotol jus jeruk dan sekantong tomat segar. Oke, dia sepertinya harus belanja untuk keperluan mingguannya.
Sang onyx melirik ke sekitar dapur, namun tidak menemukan satu pun makanan yang cocok untuk Menma. Hingga akhirnya pandangannya jatuh pada sebotol wine miliknya. Apa bayi bisa diberi minuman beralkohol? Apa Menma akan menyukainya? Kalau dipikir-pikir, ia sangat menyukai red wine, tentu saja anaknya pasti akan menyukai minuman itu juga. Lagipula dia tidak akan tahu kalau tidak mencobanya 'kan?
Setuju dengan ide konyol itu, Sasuke segera menuangkan cairan wine merah tadi ke gelas dengan sendok kecil untuk menyuapi Menma. Selesai dengan persiapannya, Sasuke segera melesat menuju lantai dua untuk ke kamarnya dan menemui Menma. Tetapi langkahnya langsung terhenti saat bel pintu berbunyi nyaring.
Ting!—Tong!
Sasuke terdiam, ia melirik jam dinding dengan cepat. Apakah ibunya sudah datang? Wow, wanita itu benar-benar hebat bisa datang dalam waktu 20 menit.
Dengan senyum penuh kelegaan, sang Uchiha segera meraih kenop pintu depan dan membukanya dengan cepat.
Tepat ketika ia ingin menyambut sang ibu, kalimatnya tiba-tiba tercekat di tenggorokan saat melihat sosok yang berada di ambang pintunya bukanlah ibunya, melainkan seorang pria yang hampir seumuran dengannya dan berambut spiky pirang.
Sosok pria tersebut tersenyum ramah dengan cengiran lebar yang memperlihatkan tiga goresan di masing-masing pipinya dengan mata biru cerah seperti milik Menma.
"Kau—"
"Aku Naruto. Uzumaki Naruto." Pria itu menyela cepat. Ia memperbaiki letak tas ranselnya yang berada di bahu sebelum kembali berbicara lagi. "—Aku adalah pria selingkuhan istrimu."
.
.
.
Blam!—Mikoto menutup pintu mobil dengan keras. Ia keluar dari ferarri mahal tadi dengan membawa tas besar dengan perlengkapan bayi di dalamnya. Dari peralatan makan hingga ke perlengkapan mandi. Pokoknya kalau wanita disuruh belanja, benda yang tidak penting pun akan dibelinya.
Wanita berambut hitam itu berjalan mantap menuju pintu depan rumah Sasuke. Sepatu high heels-nya mengetuk lantai porselin teras rumah saat ia melangkah.
"Sasuke, ibu datang!" Serunya ceria sembari membuka pintu depan dengan semangat. Tepat ketika ia hampir masuk ke dalam rumah, tubuhnya langsung membeku saat melihat perabotan seperti vas dan patung keramik terpecah belah, serta ruang tamu yang berantakan.
"Astaga! Apa yang terjadi disini?!" Erang wanita tadi dengan kaget. Belum sempat otaknya merespon apa yang ada di depan matanya, suara tangisan Menma terdengar keras dari lantai dua. Dengan panik, Mikoto berlari di anak tangga menuju asal suara cucunya. Ia berharap ini bukan ulah perampok ataupun pencuri. Tangannya langsung meraih kenop pintu kamar dan membukanya dengan cepat.
Pemandangan yang pertama kali dilihatnya adalah dua orang pria dewasa yang sedang bertengkar hebat. Satu diantaranya adalah Sasuke yang tengah mencengkram kerah seorang pria berambut pirang. Kilatan tajam onyx nya menandakan bahwa sang anak sedang murka.
"Ada apa disini?!" Mikoto berseru keras. Ia beranjak menuju ranjang untuk menggendong sang cucu, sedangkan matanya tidak beralih dari sosok Sasuke. "—Kenapa kalian berkelahi di dekat Menma?!" Serunya lagi, kesal. Namun perkataannya sama sekali tidak didengarkan oleh kedua pria tadi. Mereka malah saling beradu tinju dan bogem mentah.
"What the hell is wrong with you, Asshole!" Naruto meraung keras, mencoba melepaskan kerah bajunya dari cengkraman Sasuke.
"INI SALAHMU, BRENGSEK! KAU BERSELINGKUH DENGAN ISTRIKU, DAN SEKARANG KAU INGIN MENGAMBIL BAYIKU?!—STOP RUINED MY LIFE, YOU FUCKING PIECE OF SHIT!" Raung Sasuke. Tangannya mengepal erat dan kembali menonjok rahang Naruto dengan suara -BUAGH!- yang keras.
"SAKURA YANG MENGGODAKU! ITU BUKAN SALAHKU, BRENGSEK!" Naruto berusaha membela diri.
"STOP LYING, YOU JERK!" Bogem mentah dari Sasuke kembali melayang di pipi kanan Naruto, pemuda pirang itu terhuyung mundur dengan kepala yang pening.
Mendengar teriakan dan raungan keras dari kedua pria itu membuat Menma yang berada di gendongan Mikoto semakin menangis keras. Wanita itu menggertakkan giginya murka dan bergerak untuk memisahkan Sasuke dengan pria tadi.
"STOP RIGHT NOW! ENOUGH ALREADY!" Mikoto berdiri di antara Sasuke dan Naruto. Ia mendelik ke arah dua pria tadi dengan tatapan emosi. "—KALIAN HANYA MEMBUAT MENMA KETAKUTAN!" Raungnya.
Sasuke berhenti melakukan penyerangan. Ia mendecih sinis dan berdiri terengah-engah dengan mata nyalang, masih menatap Naruto penuh kebencian. Sedangkan pria pirang itu berdiri terhuyung sembari menyangga kepalanya yang agak pusing.
Melihat situasi mulai aman dan tenang kembali, Mikoto menghela napas panjang dengan letih. "Sebaiknya kalian berdua keluar dari kamar. Aku akan memberi makan Menma dan mengganti popoknya." Perintah wanita tadi seraya meletakkan sang bayi di atas ranjang. "—Dan ingat, tolong jangan menghancurkan ruang depan lagi. Tempat itu sudah sangat berantakan." Nasihatnya terakhir kali sebelum Sasuke dan Naruto keluar dari sana.
.
Kedua pria tadi duduk berjauhan di sofa ruang depan. Saling memalingkan wajah dan menyilangkan kedua tangan di depan dada, sikap bermusuhan.
Tidak ada pembicaraan maupun pertengkaran lagi, hanya atmosfir dingin dan aura hitam yang mengelilingi mereka. Benar-benar situasi yang sangat tidak mengenakkan.
"Kalian sudah tenang?" Suara Mikoto dari arah tangga membuat dua pria tadi berdiri canggung untuk menyambutnya.
"Bagaimana dengan Menma?" Tanya mereka berbarengan, kemudian saling melirik sinis dengan pandangan jijik saat sadar kalau ucapan mereka sama.
Mikoto tersenyum teduh. "Jangan khawatir. Menma sudah tidur dengan nyenyak dan kenyang." Wanita itu duduk di sofa tepat dihadapan mereka. "—Jadi, bisa katakan padaku sebenarnya apa yang terjadi pada kalian?"
Sasuke mendengus sebelum berbicara dengan angkuh. "Dia datang ke rumahku dan mengatakan ingin mengambil Menma."
"Hey!—Aku tidak mengatakan seperti itu! Aku bilang ingin merawat Menma bersamamu!"
"Siapa yang sudi merawat Menma bersamamu, Idiot." Sinis Sasuke dengan jengkel.
"Tapi itu adalah janjiku pada Sakura sebelum ia meninggal. Aku bilang kalau aku juga akan bertanggung jawab untuk mengurus Menma, tetapi saat aku datang kau malah langsung menghajarku tanpa alasan." Jelas Naruto panjang lebar.
"Orang miskin sepertimu tidak pantas mengurus anakku." Sasuke mendesis sinis.
Naruto yang mendengar hal itu mulai menggeram, menyatakan perang kedua mereka. "Kau benar-benar—"
"Cukup!" Mikoto kembali bersuara keras untuk menghentikan pertengkaran mereka. "—Bisakah kalian tenang dan membiarkan Menma beristirahat? Aku tidak ingin anak itu menangis lagi."
Setuju dengan keputusan wanita itu, Naruto maupun Sasuke berhenti bertengkar. Setidaknya untuk sekarang mereka harus gencatan senjata demi Menma.
Sang Uzumaki mendesah pelan dan bangkit dari sofa. Ia berdiri di depan Mikoto lalu membungkuk penuh hormat. "Maafkan aku karena telah mengusik keluarga kalian." Ia menggigit bibir bawahnya dengan wajah terluka. "—Mungkin sebaiknya aku pergi saja. Sekali lagi maafkan aku." Ucapnya lagi sembari meraih tas nya.
Sasuke mendengus sinis. "Yeah, sebaiknya kau pergi dan jangan pernah—"
"Tidak, tidak. Kau harus tetap disini." Sela Mikoto cepat seraya bangkit dan menyentuh lengan Naruto dengan lembut. "Aku tidak mempermasalahkan perselingkuhanmu, aku sudah cukup senang kau ingin bertanggung jawab." Sambungnya lagi dengan senyum tipis.
Sasuke mendelik galak. "Tapi aku benci dia bersamaku, Ibu! Aku sangat membencinya!"
Mikoto kembali menghela napas. "Sasuke, tolong bersikaplah dewasa. Kau tidak bisa merawat Menma sendiri, kau butuh seseorang untuk membantumu merawat Menma. Dan Naruto disini untuk membantumu." Jelas sang ibu.
Sasuke bangkit dengan angkuh. "Aku tidak butuh manusia bodoh sepertinya, Ibu! Aku bisa merawat Menma seorang diri!" Kesalnya lagi.
"Cukup, Sasuke—cukup!" Mikoto memijat keningnya yang berdenyut sakit. "—Tolong dengarkan ibu sekali saja. Naruto akan tetap disini untuk membantumu menjaga dan merawat Menma."
"Aku bisa memperkerjakan baby sitter daripada anakku harus dirawat oleh pria menjijikan ini." Sela Sasuke sembari mendelik Naruto dengan sinis.
"Tidak boleh!" Mikoto menolak tegas. "Apa kau tidak pernah membaca atau menonton berita?! Sekarang banyak penculikan anak yang berkedok baby sitter, ibu tidak ingin Menma diculik oleh siapapun!"
"Oh come on!" Sasuke memutar bola matanya dengan jengkel. "Ibu terlalu banyak menonton berita-berita tidak jelas di televisi. Menma tidak akan diculik."
"Pokoknya tidak!" Mikoto berkata tegas. Ia bangkit seraya melirik jam tangannya. "Oh gawat, ibu terlambat ke pertemuan arisan." Wanita tadi bergegas menuju pintu depan dengan langkah panik. "Semua keperluan Menma ada di lantai atas, dari perlengkapan makan hingga mandi, susu dan popoknya juga sudah ibu belikan. Kalian harus akrab dan jangan pernah bertengkar dihadapan Menma, mengerti?"
"Tapi, Bu—" Sasuke ingin mengeluarkan protesannya, namun wanita cantik itu sudah bergegas memasuki mobil dan keluar dari perkarangan rumah. Meninggalkan Sasuke dan Naruto yang hanya bisa terdiam membeku di ambang pintu.
"Jadi—" Naruto membuka suara dengan canggung. "—Apa yang harus kulakukan?"
Sasuke mendelik. "Bukankah sudah jelas? Keluar dari rumahku sekarang juga." Desisnya.
"Tapi kata ibumu—"
"Aku tidak peduli dengan kata ibuku! cepat keluar dari rumahku sekarang juga!"
"Tidak, Sasuke!" Tukas Naruto cepat dengan tatapan marah.
"Jangan pernah berani menyebut namaku dengan mulut kotormu itu, Bodoh!"
Naruto mengerang jengkel seraya mengacak-acak rambut pirangnya dengan kesal. "Karena sikapmu yang seperti inilah makanya Sakura selingkuh di belakangmu!" Jengkelnya.
"Kau—" Sasuke mendesis emosi seraya mencengkram kerah baju sang Uzumaki. Tangannya terkepal erat, bersiap melayangkan tinjunya.
"Apa?!—Kau ingin menghajarku lagi, Hah?! Lakukan saja! Aku sudah tidak peduli lagi!" Tantang Naruto dengan mata nyalang.
Sasuke menggertakkan giginya dengan kuat, tangannya bergetar ingin segera menghajar wajah menjijikan dihadapannya itu, namun tenaganya menghilang saat ia ingat bahwa perkataan Naruto memang benar. Karena sikapnya yang dingin dan gampang emosi seperti inilah makanya sang istri selingkuh.
Ia terlalu sibuk dengan pekerjaannya mencari uang, sampai-sampai jarang memperhatikan Sakura lagi. Dia sadar kalau dirinya memang bukan suami yang sempurna, tetapi setidaknya dia mencoba untuk menjadi yang terbaik bagi keluarganya. Namun nyatanya, itu tetaplah tidak berhasil juga.
Sasuke menyerah.
Pria raven itu melepaskan cengkramannya di kerah baju Naruto dan memalingkan wajahnya dengan getir. "Terserah kau sajalah. Aku sudah tidak peduli lagi." Ucapnya lirih sembari beranjak menuju kamarnya.
Naruto merapikan bajunya sebelum menyambar lengan sang Uchiha. "Sa—Sasuke? Kau tidak ap—"
"LEPASKAN AKU!" Sasuke meraung nyaring seraya menepis pegangan pemuda itu dengan kasar. Membuat Naruto terlonjak kaget.
"Uh—aku hanya mengkhawatirkanmu." Sahut sang Uzumaki lagi.
"Tidak perlu khawatir, aku hanya ingin istirahat sejenak bersama Menma." Tukas Sasuke cepat. Ia bergerak menuju kamarnya tanpa mempedulikan Naruto lagi.
Kepalanya berdenyut sakit. Pusing.
Seluruh masalahnya seakan-akan berlomba untuk menghancurkan kewarasannya dalam satu hari ini. Dari mengurus Menma yang masih bayi, kedatangan Naruto; selingkuhan Sakura, sampai perintah sang ibu yang menyuruhnya untuk hidup bersama pria pirang itu. God! Tidakkah ibunya sadar kalau ia sangat membenci pria itu? Membenci Naruto sepenuh hatinya?
Shit!
Ia benar-benar butuh istirahat sekarang, kalau tidak otaknya bisa meledak tiba-tiba.
Sasuke masuk ke kamarnya dan langsung merebahkan diri di samping tubuh Menma yang tengah tertidur di atas ranjang. Tangan putihnya menepuk-nepuk lembut tubuh sang bayi, kemudian jarinya menelusuri pipi kenyal itu dengan perlahan.
"Kenapa kau harus mirip dengan pria brengsek itu, Menma? Apakah kau membenci papa?" Bisiknya pelan. Tanggapan sang bayi hanyalah dengkuran halus yang menenangkan, membuat Sasuke hanya bisa menghela napas pasrah.
Sang Uchiha memilih memejamkan mata untuk mengistirahatkan tubuhnya. Lagipula tertidur lima atau sepuluh menit tidak akan menjadi masalah yang besar 'kan?
.
.
Waktu berlalu dengan cepat saat pemuda raven itu tertidur lelap. Ia menyamankan posisinya berbaring untuk memeluk Menma, namun ketika tangannya terjulur untuk meraih sang anak, sosok kecil tadi tidak ada di kasurnya. Matanya langsung terbuka lebar saat menyadari bahwa bayinya sudah menghilang dari tempat tidur.
"Me—Menma?" Sasuke bangkit perlahan seraya melirik ke arah jam dinding yang berada di kamarnya. Pukul 20.00 malam. Shit! Sepertinya ia sudah tertidur cukup lama.
"Menma! Kau dimana?!" Sasuke turun dari ranjang dengan bingung. Apakah Menma diculik? Ataukah Naruto membawa lari anaknya?
Damn!
Dengan panik, ia segera melesat keluar kamar dengan pakaian dan rambut berantakan. "MENMA!" Teriaknya lagi.
Kakinya turun dari tangga dengan cepat, hampir tergelincir kalau saja dia tidak langsung menyambar pegangan tangga.
"MENM—!"
Teriakan Sasuke terhenti saat pandangannya terjatuh pada sosok Naruto yang sedang menimang Menma di dapur sambil membuat ramen instan. Pria pirang itu terlihat tengah bercanda dengan sang anak sembari membuat mimik lucu.
"Kau lapar, Sayang? Ayah sedang membuatkan susu untukmu." Ucap Naruto dengan senyuman kecil. Menma menangapinya dengan menguap lebar, ciri khas bayi.
Sasuke yang berada dibelakangnya hanya mendesis kesal dan merampas Menma dari gendongan Naruto. "Apa yang kau lakukan pada Menma?! Kenapa kau mengambilnya dariku?! Apa yang kau rencanakan, Idiot!" Bentaknya kesal.
Naruto yang ditodong beberapa pertanyaan menyudut itu hanya bisa terkejut dan terdiam heran. "Apa maksudmu? Aku hanya menggendong Menma."
"Kau mengambilnya dariku!"
"Just stop shouting! You scared Menma, Asshole!" Erang Naruto dengan desisan jengkel, berusaha menjaga agar suaranya tidak terlalu keras.
Sasuke langsung mengatupkan mulutnya dan melirik ke arah sang anak. Sepertinya bayi tadi hanya merengek sejenak dan kembali mengulet di gendongan pria raven itu.
Sasuke menghela napas lega dan kembali mendelik ganas ke arah Naruto. "Jangan. Berani. Menyentuh. Anakku." Desisnya rendah penuh ancaman.
Naruto mengerang jengkel. "For god's sake, Sasuke! Berhenti memicu pertengkaran!"
Sasuke terlihat masih kesal, namun ia mencoba sekuat tenaga untuk tidak menyemburkan sumpah serapah kepada Naruto dihadapan Menma. "Pokoknya, jangan pernah menakutiku seperti tadi. Aku pikir Menma menghilang dan—"
"Tenang saja, aku tidak akan pernah membawa lari Menma darimu. Aku berjanji." Sela Naruto cepat seraya mengaduk mie ramennya dalam diam. "—Sebaiknya kau ganti baju dan cuci muka. Aku akan menyiapkan makan malam untuk kita." Perintahnya lagi.
Sasuke tidak menjawab dan berpaling pergi bersama sang anak. Hari ini ia terlalu mudah emosi dan berteriak keras, sama sekali keluar dari sosok 'Uchiha' yang dingin, stoic dan tenang.
Mungkin sebenarnya Naruto tidaklah seburuk yang dibayangkannya. Well, walaupun ia sudah selingkuh dengan Sakura namun ia tetap datang kemari untuk bertanggung jawab untuk merawat Menma. Bukankah itu sudah bagus?
Sang Uchiha mendesah lelah. Dia bersumpah akan berhenti berteriak tidak karuan layaknya orang gila. Ini saatnya untuk merawat Menma dan bukannya sibuk bertengkar dengan Naruto.
Sasuke akan mencoba hidup bersama dengan pria pirang itu. Ia sudah membulatkan tekad dan berharap kehidupannya akan berjalan lancar.
.
Naruto terlihat meletakkan dua mangkuk mie ramen yang mengepul panas di atas meja makan dengan dua gelas jus jeruk dingin. Botol susu milik Menma pun sudah tersedia disana. Tinggal menunggu Sasuke dan Menma selesai mandi dan mereka akan makan malam bersama. Naruto tersenyum puas. Perfect!
"Senyummu menjijikan, Dobe." Suara Sasuke terdengar dari anak tangga. Pria raven itu memakai piyama dengan rambut basah habis mandi. Sedangkan Menma terlihat tenang dipelukannya.
Naruto menoleh untuk menyambut sang Uchiha. "Aku sudah menyiapkan makan malam. Duduklah." Ujarnya lagi sembari menarik kursi untuk tempat duduk Sasuke.
"Mie ramen instan?" Pria raven itu berbicara dengan nada mencemooh.
"Well, setidaknya aku tidak perlu makan makanan kaleng." Jelas Naruto sarkastik seraya mengambil tempat duduk di sebelah Sasuke. "—Bagaimana dengan Menma? Dia sudah mandi?"
"Ya. Aku juga sudah mengganti popoknya juga." Jelas Sasuke. Ia menimang sang anak dengan lembut. "—Aku rasa dia lapar. Apa kau sudah buatkan susunya?"
"Yup! Sudah!" Naruto menyambar botol susu Menma dan menyerahkannya pada Sasuke, membiarkan pria itu yang memberi minum sang anak. "—Kau juga harus makan, Sasuke." Lanjutnya sembari menyumpit ramen dan menyuapi sang Uchiha.
Sasuke membuka mulutnya dan membiarkan Naruto menyuapinya ketika tangannya tengah memegangi botol susu Menma. "Terima kasih."
"No problem. Kau pasti capek karena marah-marah seharian ini." Jelasnya lagi dengan cengiran lebar.
Sang Uchiha mendengus sinis. "Yeah, itu semua karena salahmu."
Naruto melirik Sasuke sekilas kemudian tertunduk dalam. "Maaf. Aku mengacaukan rumah tanggamu."
Sasuke tidak menjawab. Ia hanya mendesah lelah sembari menatap Menma yang telah menghabiskan botol susunya. "Aku akan menidurkan Menma di kamar. Kau makanlah dulu." Ujarnya lagi seraya bangkit dari kursi dan beranjak menuju lantai dua. Tetapi Naruto langsung menyambar lengan pria raven itu dengan cepat.
"Tunggu, Sasuke! Aku—"
"Kau tidak perlu bicara apa-apa lagi, Naruto." Sang Uchiha menyela dengan cepat. Ia memalingkan wajahnya dari tatapan iris sapphire dihadapannya itu. "—Aku sudah tidak peduli masalah perselingkuhanmu dengan Sakura. Yang kupedulikan sekarang hanyalah Menma." Ujarnya lagi.
Naruto membungkam mulutnya dengan rasa getir. "Maaf, Sasuke. Maafkan aku." Lirihnya lagi.
Onyx hitam itu memandang wajah sang Uzumaki. Rasa penyesalan tergurat disana dengan tatapan getir. Sasuke tidak bisa berbuat apa-apa selain mengangguk pelan. "Aku sudah memaafkanmu." Sahutnya. "Tunggulah di meja makan, aku akan ke lantai atas untuk menidurkan Menma sekaligus mengambil kotak P3K untuk lukamu." Lanjutnya lagi.
"Kotak P3K?" Ujarnya heran. Kemudian menyentuh pipi, kening dan matanya yang bengkak akibat di hajar oleh bogem mentah Sasuke saat ia berkunjung kesini. "Oh ini—aku tidak apa-apa. Ini hanya perlu dikompres dengan es dan—"
"Jangan bersikap sok kuat. Wajahmu itu mengerikan." Dengus Sasuke lagi. "Jadi tunggulah di meja makan. Aku akan segera kembali."
Naruto tidak menjawab dan hanya mengangguk pelan. Ia kembali duduk di depan meja makan dan menyuap ramennya dengan malas.
.
Sepuluh menit kemudian, Sasuke turun dari lantai dua seraya menenteng kotak P3K di tangannya. "Kau sudah selesai makan?" Tanyanya.
Naruto mengedikkan bahu. "Belum. Aku menunggumu. Lagipula aku tidak berselera makan."
Sasuke mendengus pelan dan meraih kapas serta alkohol dari dalam kotak P3K dan mulai membersihkan luka di wajah Naruto. "Jadi, apa pekerjaanmu, Naruto?" Tanyanya, membuka pembicaraan.
Sang Uzumaki meringis pelan saat lukanya diobati. "Hanya pekerjaan biasa. Aku adalah inspektur kepolisian di wilayah Konoha."
"Inspektur, huh? Bagaimana kau bisa bertemu dengan Sakura?" Sasuke kembali bertanya.
Naruto terdiam cukup lama, mengenang sejenak pertemuannya dengan wanita itu. "Aku tidak sengaja bertemu dengan Sakura saat ia hampir dirampok seseorang di tengah jalan. Aku membantunya menangkap pencuri tadi dan dari sanalah kami mulai dekat." Jujurnya.
Sasuke berhenti mengobati luka Naruto dan memasukkan semua kapas serta alkohol tadi ke dalam kotak. "Selesai. Lukamu tidak terlalu parah, hanya memar sedikit. Mungkin istirahat akan memulihkan kondisimu." Ujarnya.
"Thanks."
"Tidak perlu berterima kasih, lagipula aku yang membuat wajahmu seperti itu." Sahut Sasuke lagi. "—Kau bisa tidur dimana pun kau mau. Banyak kamar di lantai atas."
"Bisakah aku tidur denganmu?"
"Huh?" Sasuke mendelik heran sekaligus sinis.
"Uh—err—maksudku adalah tidur dengan Menma yang satu ranjang denganmu." Ucapnya salah tingkah. "Bagaimana pun juga aku ingin tidur bersama anakku."
Sasuke hanya mendengus pelan. "Kenapa kau tidak menyerah saja?"
"Me—Menyerah? Apa maksudmu dengan menyerah?"
Pria raven itu melipat kedua tangannya di depan dada dengan angkuh. "Maksudku, lupakan Menma. Kau bisa mencari wanita yang lebih cantik dari Sakura, menikahinya dan membangun keluarga yang harmonis layaknya negeri dongeng. Tamat." Sarkastiknya.
Naruto berdecak kesal. "Aku tidak bisa melepaskan tanggung jawabku begitu saja pada Menma. Aku juga ayahnya."
"Lalu apa kau tetap akan melajang seumur hidupmu?"
"Ya! Aku akan tetap melajang dan menemanimu selamanya!—Kita akan merawat Menma bersama! Kasus ditutup!" Bentaknya agak kesal.
Sasuke mendesah pasrah. "Terserah kau sajalah. Kau memang keras kepala." Jengkelnya lagi yang ditanggapi oleh Naruto dengan cengiran lebar yang menawan.
.
.
Merawat bayi tidaklah semudah memelihara kucing di rumah, kau butuh ketekunan dan keuletan. Setiap hari, Naruto dan Sasuke bergantian menjaga Menma yang terbangun tengah malam karena kelaparan ataupun mengganti popoknya. Tak jarang mereka saling berdebat dan menyalahkan satu sama lainnya saat Menma tidak sengaja menangis, kemudian menghela napas letih saat sadar bahwa pertengkaran mereka tidak ada gunanya.
Naruto dan Sasuke mungkin sangat amatir dalam hal mengurus bayi, tetapi mereka melakukannya sepenuh hati demi sang anak. Kedua pria itu bahkan menyempatkan diri berbelanja bersama di supermarket untuk membeli keperluan Menma, dari susu hingga popok bayi.
Yang paling bersemangat berbelanja tentu saja Sasuke. Pria raven itu suka memilih pakaian bayi untuk dipakai oleh Menma, entah berwarna kuning cerah maupun berwarna hitam suram—yang tentu saja langsung ditolak oleh Naruto karena ia tidak menyukai warna gelap itu.
Sasuke juga suka membeli baby box untuk tempat tidur sang anak, dari yang bentuknya standar khas kotak kayu sampai berbentuk artistik modern. Bahkan Naruto pun hanya bisa memutar matanya dengan malas saat pria raven itu membeli baby box lagi, padahal di rumah sudah memiliki tiga tempat tidur untuk bayi.
"Kau harus menghemat uangmu, Sasuke. Lagipula baby box milik Menma masih baik dan belum rusak." Kata Naruto suatu kali.
"Yeah, tapi aku suka bentuknya yang ini. Sangat unik." Alasan Sasuke lagi.
Kalau sudah begitu, Naruto hanya bisa menghela napas panjang. Sama sekali tidak berani membantah ucapan Sasuke.
Hari berganti minggu, dan minggu berganti bulan. Naruto dan Sasuke terus merawat serta menjaga Menma dari musim ke musim. Kadang kalanya Sasuke harus bepergian ke luar kota untuk mengurus bisnis perusahaannya dan Naruto yang akan menjaga sang anak, begitu pun sebaliknya. Dan saat Sasuke pergi untuk urusan bisnis, ia pasti akan menelepon Naruto sepuluh kali dalam sehari untuk memastikan keselamatan Menma, yang selalu dijawab dengan erangan jengkel sang Uzumaki.
Pertengkaran mereka berkurang hari demi hari. Tidak ada perselisihan kekanakan ataupun adu jontos di hadapan Menma lagi. Hanya hari-hari biasa bagi dua orang ayah yang menjaga anaknya. Lagipula, Naruto sudah berjanji akan melajang seumur hidup untuk menemani Sasuke, sedangkan sang Uchiha sendiri sama sekali tidak berniat memberikan ibu baru bagi Menma. Mereka bertiga saja cukup untuk meramaikan rumah besar miliknya itu.
Dan hari ini, tepat ulang tahun Menma yang ketujuh, Sasuke sudah menyiapkan satu buah kue tart yang cukup besar dengan lelehan cokelat serta buah strawberry yang menghiasi atasnya.
"Menma, selamat ulang tahun, Sayang." Ucap Sasuke seraya meletakkan nampan kue tadi di atas meja makan. Ia meraih kursi dan duduk di sebelah sang anak. "Ingin meniup lilinnya sekarang?" Tanyanya lagi.
Menma menggeleng. Anak laki-laki berambut spiky hitam dan bermata biru itu melirik malas ke arah kue ulang tahunnya. "Aku tidak akan meniup lilin sampai ayah datang." Ujarnya.
Sasuke mendesah pelan dan melirik jam dinding. Sudah pukul 9 malam, namun Naruto belum juga pulang dari tugas kepolisiannya. Apakah menangkap seorang penjahat sangat sulit bagi pria itu? Ugh, menyebalkan!
"Tunggu disini, Menma. Papa akan menelepon ayah." Jelas Sasuke seraya menuju telepon rumah yang terletak di ruang depan.
Ia menunggu tiga kali deringan hingga sambungan telepon terangkat. Tanpa membuang waktu lagi, Sasuke langsung membuka suara.
"Dimana kau, Dobe?! Menma menunggumu!" Kesalnya.
.
Terdengar suara mesin mobil sebelum Naruto menjawab. "On my way. Lima menit lagi aku akan sampai." Jawabnya sambil menyetir.
.
Sasuke mengerang. "Bukankah tadi siang aku sudah mengatakan kalau kita akan merayakan ulang tahun Menma, Idiot? Lalu kenapa kau bisa telat begini?"
.
"Well, ada laporan yang perlu kuselesaikan, jadi aku agak telat."
.
"Agak telat?!—Kau itu terlambat lima jam, Dobe!"
.
"Aku tahu. Aku tahu. Sorry." Naruto memelankan kecepatannya saat berbelok. "—Aku sudah memasuki perkarangan rumah, akan kumatikan teleponnya. Bye."
.
"Bye." Sasuke menjawab malas seraya mengembalikan gagang telepon ke tempat semula dan berbalik untuk menemui Menma di meja makan.
Sang anak menoleh sekilas. "Apakah ayah akan datang, Papa?"
Belum sempat Sasuke menjawab pertanyaan Menma, suara Naruto sudah terdengar di ambang pintu depan.
"Menma, ayah sudah pulang!" Naruto menampilkan senyumannya seraya mengangkat beberapa kotak hadiah yang besar. Ia berjalan hati-hati menuju pintu dapur.
Sasuke memutar bola matanya dengan kesal saat melihat beberapa kotak hadiah yang sangat banyak itu. Ia bergerak untuk membantu Naruto mengangkat benda tadi. "Kau membeli hadiah terlalu banyak, Idiot!—Sebenarnya apa saja yang kau beli sih?"
"Hadiah untuk Menma dan untukmu." Sahut Naruto singkat.
"Huh? Untukku?" Sasuke membeo dengan heran.
"Bukankah hari ini adalah ulang tahunmu juga, Sasuke? Kau terlalu sibuk memikirkan Menma sampai-sampai kau tidak peduli dengan ulang tahunmu sendiri." Jelas Naruto seraya meletakkan kotak-kotak tadi di atas meja, lalu beralih melirik Menma dan menampilkan senyum teduhnya. "—Maafkan ayah karena pulang telat ya?" Ujarnya lembut seraya mengusap puncak kepala sang anak.
Menma mengangguk pelan. "Hn—Tidak apa-apa."
Sang Uzumaki terkekeh pelan mendengar jawaban sang anak. Sikap Menma benar-benar mirip dengan Sasuke. "Ayah sudah membelikanmu hadiah." Ia mengambil tiga kotak berukuran besar dan menyerahkannya pada bocah tadi. "—Bukalah di kamar. Kau pasti akan menyukainya." Sambungnya lagi.
Menma mengangguk antusias dan langsung mengangkat kotak hadiahnya menuju lantai atas.
Sasuke langsung panik saat melihat kepergian bocah tadi. "Menma, kau belum meniup lilinnya! Dan bagaimana dengan kuenya?!" Serunya khawatir.
"Nanti saja, Papa! Aku ingin melihat hadiahnya dulu!" Sahut Menma dari lantai dua. Yang hanya bisa ditanggapi dengan decakan kesal oleh sang Uchiha.
Sasuke beralih duduk di depan meja makan sembari melotot galak ke arah Naruto. "Kau membuat perjuanganku sia-sia, Idiot! Aku sudah susah payah membuatkan kue, dan Menma pergi begitu saja karena hadiah bodohmu itu." Ketusnya.
Naruto hanya tertawa kecil. "Berhenti bermuka masam begitu, Teme. Buka saja hadiahmu."
Sang Uchiha mendengus, namun sama sekali tidak membantah perintah pria pirang itu. Tangannya meraih dua kotak hadiah dan langsung membukanya. "Huh? Dasi, baju, dan kalung?" Ia melirik Naruto. "—Kau serius memberikanku barang murahan seperti ini?" Sinisnya.
Naruto mengerang jengkel. "Kau itu sama sekali tidak berterima kasih ya, Brengsek. Hadiah-hadiah itu kubelikan dengan gajiku sendiri."
"Hmph!—Gaji kecilmu itu memang pantas untuk membeli barang murah seperti ini."
"Berhenti komplain dan pakai saja kalungnya." Kata Naruto dengan jengah. "—Kalung liontin itu sangat mahal tahu!"
Sasuke mengangkat kedua alisnya dengan pandangan sangsi. Ia ragu kalau liontin ini sangat mahal. Benda ini terlihat sederhana dengan bentuk bulat biasa dan berhiaskan permata biru. Tidak ada yang spesial ataupun istimewa. Namun saat Sasuke membuka liontin tadi, ia langsung membelalak terkejut saat melihat dua foto ukuran kecil terpampang disana. Foto Naruto yang sedang tersenyum dan foto Menma yang tertawa.
"Bagaimana?" Naruto menyeringai kecil. "—Kalungnya sangat berharga 'kan?" Sombongnya lagi sembari mengusap hidungnya dengan angkuh.
Sasuke masih diam. Detik selanjutnya, ia mencongkel salah satu foto dan membuangnya tanpa peduli. Membuat Naruto kelabakan menangkap fotonya tadi.
"Kenapa kau membuang fotoku, Brengsek!"
"Fotomu mengganggu mata saja." Sahut Sasuke tanpa perasaan.
"Gaah! Aku sudah capek-capek memberikan fotoku padamu tapi kau malah membuangnya. Dasar manusia dingin tidak berperasaan!" Jengkel Naruto seraya merebut liontin Sasuke dan kembali memasukkan fotonya kesana. Kemudian menyerahkannya lagi pada sang Uchiha. "Pakai dan jangan berani-berani membuang fotoku lagi." Ancamnya kesal.
Sasuke mendengus geli melihat tingkah pria pirang itu. "Ngomong-ngomong, terima kasih atas hadiahnya."
"Kau suka?"
"Ya. Aku suka." Jawab Sasuke lagi. "—Bisakah kau bantu aku memakai liontin ini?"
"Sure." Naruto berdiri di belakang tubuh Sasuke dan mengalungkan liontin tadi ke leher sang Uchiha. Untuk sesaat mata birunya terpaku pada leher yang putih dan jenjang tersebut, kemudian berdehem untuk mengembalikan kewarasannya. "Sasuke, apa kau tidak berniat untuk menikah lagi? Maksudku, kita sudah berumur 32 tahun sekarang." Ia membuka pembicaraan untuk mengalihkan konsentrasinya dari leher menggoda milik sang raven.
Sasuke melirik sang Uzumaki dengan ekor matanya. "Apa kau ingin menikah?"
"Tidak!—Tidak!—Bukankah aku sudah bilang padamu kalau aku akan melajang seumur hidup." Tegasnya lagi. Jarinya bergerak mengaitkan kalung tadi. "—Yup! Sudah selesai."
"Thanks." Sasuke menyentuh liontinnya dan kembali duduk di kursi. "Lalu kenapa kau berbicara soal menikah?" Tanyanya, kembali ke topik pembicaraan.
Naruto mengambil tempat duduk di depan Sasuke. "Entahlah, mungkin kau kesepian karena sudah lama tidak menyentuh wanita." Ucapnya asal-asalan.
"Aku sama sekali tidak kesepian." Sasuke mengetuk-ngetukkan jarinya di meja. "—Kau ingin kopi?"
"Tidak, terima kasih." Sela Naruto cepat. Ia memilih menatap sang Uchiha yang bangkit dari kursi dan menuju dapur untuk membuat secangkir kopi panas. "—Aku rasa kau harus menikah. Menma butuh ibu baru." Lanjutnya lagi.
"Menma tidak butuh ibu baru. Aku lihat dia sangat bahagia sekarang." Sasuke mengaduk kopinya dengan pelan. "—Kalau misalnya aku menikah, lalu kau bagaimana?"
Naruto mengangkat kedua bahunya. "Entahlah, mungkin pergi menjauh."
Sasuke berhenti mengaduk kopi dan melirik sang Uzumaki. "Setelah tujuh tahun ini merawat Menma, kau ingin lari begitu saja?"
"Aku tidak lari. Aku hanya tidak ingin mengganggu kehidupanmu lagi."
"Sudah terlambat. Kau sudah mengganggu kehidupanku selama tujuh tahun." Sasuke meletakkan kopinya di atas meja dan kembali duduk. "—Jadi berhenti bicara mengenai pernikahan, oke?"
Naruto menghempaskan punggungnya di sandaran kursi. "Aku hanya berpendapat saja. Lagipula kau terlihat kesepian."
"Aku tidak kesepian, Dobe." Sasuke meraih cangkir kopi dan menyesapnya dalam diam. "—Apa kau kesepian?" Tanyanya, membalikkan kalimat sang Uzumaki.
Naruto terdiam sebentar. "Setelah tujuh tahun tidak menyentuh wanita? Ya, aku kesepian."
"Kau bisa menyewa wanita murahan di luar sana." Sasuke bicara dengan tenang. Kembali menyesap kopinya dengan nikmat. "Lagipula, itu bukan urusanku."
Naruto terkekeh kecil. "Sayangnya, aku tidak suka wanita murahan. Aku lebih suka yang berkelas."
Pria raven itu melirik Naruto dalam diam. "Berkelas?"
"Ya. Yang bisa membuat darahku mendesir dan jantungku terpompa." Naruto menatap lekat ke arah onyx hitam di hadapannya. Jarinya terjulur perlahan untuk menyentuh kulit punggung tangan sang Uchiha. Menyisir dengan lembut kulit putih susu itu.
Sasuke hanya menatap dalam diam setiap gerakan telunjuk Naruto yang bergerak perlahan dari tangan hingga ke lengannya. Ia sedikit menikmati sentuhan kasar tangan pria itu di kulitnya yang lembut, bergerak pelan seakan-akan memancing darahnya untuk segera mendesir.
Naruto kembali membuka suara. "Apa kau tidak pernah bermimpi menyentuh wanita, Sasuke?"
"Tidak." Sasuke menjawab mantap. Matanya terpejam saat tangan Naruto menggelitik area pundak hingga lehernya. Menikmati tarian nakal jari-jari itu di perpotongan lehernya.
"Aku pernah." Naruto kembali menyahut. "Setiap malam aku bermimpi mengecup dan menyentuh kulit lembut wanita. Dadanya yang penuh dan kenyal dan pantatnya yang padat."
Mata Sasuke semakin terpejam erat saat tangan tan itu bergerak turun dari pundak ke area dadanya. "Lalu?" Ia mencoba berbicara, namun suaranya tiba-tiba serak mendadak.
Sang Uzumaki meneguk liurnya saat melihat tubuh Sasuke yang sedikit bergetar karena ulah jarinya yang menyentuh puting di balik baju pria raven itu. "Meremas dadanya dan menghisap putingnya." Lanjutnya lagi.
Sasuke membuka kelopak matanya dengan pelan. Napasnya tidak beraturan. Namun ia mencoba sekuat tenaga untuk tetap duduk dengan tegap tanpa terganggu permainan jari nakal sang Uzumaki di putingnya. "Kau—"
.
"Ayah? Papa? Sedang apa?" Suara Menma yang berada di ambang pintu dapur langsung membuat Sasuke dan Naruto terlonjak kaget. Serta merta mereka bangkit dari kursi dengan cepat dan canggung.
"Oh, Menma—" Naruto tertawa salah tingkah. "—Bagaimana dengan hadiahnya? Kau suka?" Tanyanya lagi, mengalihkan perhatian sang anak.
Menma mengangguk pelan. "Ya, aku suka mainan yang ayah berikan. Terima kasih."
"Sama-sama, Sayang." Naruto menggendong Menma dan mengecup pipinya. "—Bagaimana kalau besok saja kita potong kuenya? Sekarang sudah larut malam dan kau harus tidur, oke?"
Menma mengangguk lagi. "Tapi malam ini aku ingin kita tidur bertiga."
Naruto terdiam sebentar, kemudian melirik Sasuke.
Yang dilirik hanya berdehem kecil. "Uhm—Tentu saja, Papa akan menyiapkan ranjang kita. Kau tunggulah disini dengan ayah." Ujarnya lagi seraya bergerak cepat menuju kamarnya di lantai dua.
Sasuke segera meraih selimut serta seprei bersih dari dalam lemari dan merapikan kasur ukuran king size nya dengan cepat. Beginilah sulitnya kalau tidak mempunyai pembantu yang tetap, ia yang harus mengurus segalanya saat malam, sebab sang pembantu hanya berkerja dari pagi hingga sore hari. Itu pun hanya beberapa jam saja. Hanya untuk membantunya membersihkan rumah, sedangkan urusan masak-memasak Sasuke yang harus melakukannya sendiri.
Setelah selesai, Sasuke tersenyum puas dan segera menuju kamar mandi untuk mencuci mukanya di wastafel. Mendinginkan pikirannya sebelum menemui Naruto dan Menma. Ia tidak ingin wajahnya yang merona merah terlihat oleh mereka, terlebih lagi Naruto. Jujur saja, perlakuan sang Uzumaki di meja makan cukup membuat darahnya mendesir dan jantungnya berdebar. Setiap sentuhan pria pirang itu di kulitnya, belaiannya dan ucapannya hampir mematahkan pertahanan sang Uchiha.
Apakah ini karena ia terlalu lama menyendiri? Mungkin hasratnya memang haus akan tubuh wanita, tetapi ia sudah memutuskan bahwa dia tidak akan menikah lagi. Hidupnya hanya untuk sang anak.
Sasuke kembali membilas mukanya dengan air keran. Ia mendongak menatap cermin sebelum menghela napas lelah. Wajahnya masih merona, air keran tidak dapat membantu memulihkan ekspresi stoic-nya lagi.
Sial.
"Sasuke, kau dimana?!" Seruan Naruto dari arah kamar membuat sang Uchiha bergegas menyeka wajahnya dengan handuk kecil dan langsung keluar dari kamar mandi.
"Aku disini, Dobe." Sahut Sasuke lagi, berusaha bersikap tenang. "Apakah Menma sudah ingin tidur?" Tanyanya.
Naruto melirik sang anak yang berada di gendongannya. Bocah laki-laki itu menguap kecil. "Yeah, dia sudah mengantuk." Jelasnya lagi.
Sasuke tersenyum tipis, kemudian membantu pria pirang itu untuk menidurkan Menma di atas ranjang. "Apa kau ingin tidur disini juga?"
"Tentu. Aku harus tidur bersama Menma." Jawab Naruto cepat dengan cengiran lebar.
Sang raven mendengus geli. "Bukankah kau selalu tidur di kamar lain saat Menma sudah besar. Uhm, kalau tidak salah, itu saat Menma berumur 6 tahun dan dia ingin punya kamar sendiri."
"Yeah. Dan paling bersemangat mendekorasi kamar Menma adalah kau, Sasuke." Balas Naruto lagi.
Sasuke sekali lagi mendengus pelan. Ia menaiki ranjang dan berbaring di samping kanan Menma. "Berhenti mengungkit masalah itu lagi. Sekarang tidurlah." Perintahnya lagi.
Naruto terkekeh sebentar kemudian melepaskan bajunya. Membuat Sasuke mendelik sinis. "Apakah kau harus tidur tanpa baju, Dobe?"
"Well, aku selalu tidur begini. Apakah tubuh seksiku mengganggumu, Teme?" Godanya lagi dengan seringai kecil. Membiarkan bagian tubuh atasnya terekspos sempurna, sedangkan bagian bawahnya hanya tertutupi boxer ketat.
Sasuke mendengus penuh cemooh. "Aku sama sekali tidak tertarik dengan pria, Dobe. Jadi berhenti menggodaku."
Sang Uzumaki terkekeh lagi. "Yeah, aku tahu." Ia naik ke atas ranjang dan tidur di samping kiri Menma. "—Karena itulah aku bebas telanjang dihadapanmu." Ucapnya lagi.
Sasuke tidak menanggapi ucapan pria pirang itu. Ia memilih berbalik memunggungi Menma dan Naruto. "Selamat tidur." Ucapnya.
"Ya. Selamat tidur, Sasuke." Jawab Naruto lagi seraya memejamkan matanya. Membiarkan alam bawah sadarnya melayang di dunia mimpi.
.
.
TBC
.
.
Yuhuuu~~CrowCakes kembali lagi dengan fic baru... Aku harap kalian suka guys!
.
RnR Please! :D
