[PROLOGUE]
Minggu pagi yang dingin, karena semalam, salju turun dengan lumayan deras sehingga cukup membuat jalanan Tokyo tertimbun dengan warna putih setinggi tumit.
Hari ini, pertengahan musim dingin telah menyambut. Salju memang mengganggu kendaraan yang lewat di atas jalan, tetapi tidak terlalu mengganggu pejalan kaki dan para pelancong di ibukota. Pusat-pusat perbelanjaan pun masih buka seperti biasa. Mumpung belum puncak musim dingin, kata mereka.
Lebih spesifik lagi, hari ini adalah hari kedelapan semenjak final Winter Cup digelar. Tokyo boleh berbangga, karena pemenang ajang nasional tersebut lahir di kota ini; SMA Seirin.
Kuroko Tetsuya, sedang memperhatikan seorang gadis kecil yang jatuh tersungkur karena kakinya tersandung sesuatu yang ada di balik tumpukan salju —atau malah tersandung salju itu sendiri— ibunya datang dan segera menolong. Pemuda bersurai biru langit itu kini menengadah, memandang gumpalan kelabu di atasnya. 'Mungkin sudah cukup hujan saljunya untuk hari ini.'
"Kuroko, aku sudah selesai."
Kuroko, menghentikan kegiatan memprediksi cuacanya dan beralih pada pemuda beralis cabang yang membawa sebuah paper bag berisi sepatu —karena Kuroko Tetsuya sejak tadi ada di luar sebuah toko sepatu— lalu ia menyengir lebar. "Mau lihat-lihat atau langsung pulang?"
Jeda sesaat sampai Kuroko memutuskan untuk, "Jalan-jalan dulu, Kagami-kun."
Kagami menyetujui dan berjalan mendahului Kuroko.
.
.
.
Kagami Taiga, ace tim basket SMA Seirin memutuskan untuk membeli sepatu pada hari Minggu pagi ini. Tak mau sendirian, ia mengajak partner bayangannya, Kuroko Tetsuya. Duo cahaya-bayangan ini sudah mengelilingi pusat perbelanjaan di daerah Tokyo sejak jam 8 pagi, dan ngomong-ngomong, sudah 3 jam berlalu sejak dimulainya kegiatan itu. Kagami Taiga cukup—sangat—selektif dalam hanya memilih sepatu ternyata.
Mereka sempat terpisah saat Kagami mengantre untuk membeli takoyaki, sementara Kuroko memilih untuk meninggalkannya dengan cara membeli segulungan besar gulali berwarna merah muda. Ah, jadi ingat si manager Kiseki no Sedai. Kuroko berlalu dari si penjual gulali menuju tempat Kagami Taiga yang rupanya belum selesai mengantre juga, walau ia sudah ada di barisan depan. Heran, seenak apa takoyaki itu sampai banyak yang meminatinya, sih?
Selesai sudah acara Kagami, mereka kembali berjalan. Niatnya sih untuk mencari tempat duduk sambil menikmati makanan yang mereka beli—Kagami memberikan satu porsi takoyakinya pada Kuroko— sekalian istirahat karena Kagami mengeluh sudah mengantre lama, dengan kakinya yang masih dalam tahap pemulihan.
Kuroko melanjutkan hobinya sebagai pengamat yang baik—terlihat dari gerik matanya yang mengobservasi setiap orang, segala hal— dan ia merasa keadaan disini walaupun ramai, tapi begitu damai. Kebanyakan yang dijual adalah makanan dan kudapan hangat tentu saja, dan orang-orang yang berlalu lalang mayoritas melakukan gerakan yang sama akibat kedinginan. Oh, kecuali Kagami yang senantiasa makan takoyakinya karena tidak sabar menunggu sampai mereka menemukan tempat duduk.
Damai sampai—
"Kurokocchiiii!~"
—ada pelaku kejahatan yang seenaknya memeluk tubuh kecilnya dari belakang dengan ganas, lebih ganas daripada manager pink Kiseki no Sedai. Dan oh, gulalinya sekarang pindah ke bawah, ke tumpukan salju.
"Sesak Kise-kun." Kuroko meronta untuk lepas dari jeratan maut, dan berhasil setelah permintaannya yang ketiga kali. "Dan kau menjatuhkan gulaliku."
Kise membentuk ekspresi terkejut. "Wah! Maaf, Kurokocchi! Kalau Kurokocchi mau, aku akan belikan-ssu! Yang lebih besar juga boleh!"
Kuroko bergidik. "Tidak usah. Terimakasih tawarannya, Kise-kun."
Seolah baru tersadar, Kagami menautkan satu alisnya yang bercabang. "Lagipula, apa yang kau lakukan disini, Kise?" Setelah itu, Kagami melirik satu paper bag di tangan kiri Kise. "Oh, kau habis belanja, ya? Tapi kenapa jauh-jauh ke Tokyo, sih?"
Kise merengek. "Mou, memangnya yang boleh belanja di Tokyo cuma orang Tokyo-ssu?" Cemberut. "Selain itu, aku kesini karena ada urusan-ssu!"
"Jangan bicara seolah-olah kau orang sibuk, Kise-kun."
"Hidoi-ssu Kurokocchi~" Kise mengeluarkan airmata palsunya. "Ne, ne... Mau dengar, tidak? Aku disini karena aku habis ditraktir Haagen Dazs sama Aominecchi-ssu!"
Kagami memasang tampang apa-aku-perlu-tahu-akan-hal-itu? Berbeda dengan Kuroko yang agak terkejut, namun tetap tersembunyi di balik muka teflonnya. "Berarti, Kise-kun menang one on one dari Aomine-kun?"
Kagami berjengit menatap Kise takjub. "Benarkah? Kau hebat, dong?"
"Aku memang hebat, Kagamicchi!" Kise merajuk. "Enggak juga sih, Kurokocchi. Tapi, tapi, Aominecchi dapat skor 114 sementara aku dapat 109-ssu!" Ucapnya dengan binar bahagia—sangat.
"Loh, kalau begitu, kau tetap kalah, 'kan, Kise?" Kagami bingung sekarang. "Kenapa malah kau yang ditraktir?"
"Skorku 'kan cuma beda tipis di bawahnya-ssu!" Kise cemberut lagi. "Soalnya yang kamarin-kemarin itu jauh-ssu."
"Bagus Kise-kun, kau ada perkembangan. Tetaplah berusaha."
"Terimakasih sudah menyemangatiku Kurokocchi~ Selanjutnya aku akan—"
"Heh, kalah saja bangga."
Tiga kepala menoleh serempak pada kehadiran baru yang datang dari arah belakang Kise. Seorang Aomine Daiki, dengan masing-masing 3 paper bag di tangan kanan dan kirinya, lengkap dengan muka yang tidak berubah —malas hidup.
Kise berkacak pinggang menghadap Aomine. "Itu namanya perkembangan-ssu! Lihat saja, nanti Aominecchi juga akan kalah dariku!"
Aomine memutar bola mata malas. "Ck. Coba saja, kuning."
Sebelum ada baku hantam di pinggir jalan yang ramai manusia ini, Kuroko berinisiatif untuk menengahi. "Tumben kau belanja banyak, Aomine-kun."
Kagami ikut-ikutan memperhatikan paper bag di tangan Aomine. 'Isinya bukan sepatu seperti yang kuduga dari seorang Aomine.' Kagami membatin. "Setelah jadi pembantunya Momoi, sekarang kau jadi pembantunya Kise, ya, aho?"
"Woi—"
"Aku cuma minta bawakan-ssu," Kise kembali menghadap duo Seirin. "Ternyata Aominecchi mau bantu, lho~ Aominecchi baik, 'kan?"
Kagami tidak mengerti lagi dengan jalan pikiran dan emosi seorang Kise Ryouta yang cepat sekali berubah.
"Apaan," Aomine mendecih. "Kalau aku tak mau membantumu, kau akan merengek seperti bocah. Kutinggalkan pun kau akan mengekor. Memalukan."
Kise menghadap Aomine lagi. "Kalau tidak ikhlas membantu sini kembalikan-ssu!" Kise memberi isyarat meminta belanjaannya kembali.
Aomine memberikannya. "Dengan senang hati."
Kagami melongo dan Kuroko tetap diam. Satu momentum membuat mereka saling angguk dan bicara lewat isyarat tubuh bahwa mereka harus meninggalkan tempat kejadian yang sekarang diisi oleh tingkah absurd teman biru-kuning mereka.
Baru tiga langkah menjauh, si kuning titisan matahari kembali memanggil.
"Kagamicchi dan Kurokocchi jangan pergi dulu-ssu, ada yang ingin kubicarakan."
Kagami menoleh jengkel. "Apa lagi, sih? Mau menceritakan one on onemu dengan si Ahomine?"
Kise mendengus. "Bukan-ssu," Kise menolehkan kepalanya ke kanan dan kiri, seolah memastikan keadaan sekitarnya aman. "Sebaiknya kita cari tempat makan siang-ssu, sudah waktunya, 'kan? Kita bicara disana saja."
.
.
.
Jadilah sekarang Kuroko dan Kagami satu meja dengan teman temuan mereka, Aomine dan Kise, dengan bujukan si kuning yang membawa embel-embel akan membicarakan sesuatu. Melihat gelagat Kise yang serius —untuk ukurannya— membuat Kagami dan Kuroko menyimpulkan bahwa ini adalah sesuatu yang penting.
Makanan yang mereka pesan sudah dilahap habis. Suatu keajaiban karena Kagami dan Aomine dapat tahu diri dengan tidak memesan porsi gorila.
"Aku sudah menelpon Midorimacchi untuk bergabung tapi sepertinya, dia akan menolak apapun yang kukatakan karena bahkan dia mematikan telpon yang masuk dariku-ssu." Kise membuka percakapan dengan kesenduannya. "Kalau Murasakibaracchi terlalu jauh, jadi kukira dia tak perlu ketemuan langsung dengan kita-ssu."
Jeda. Dan Kise tidak melanjutkan percakapan. "Kalau Akashi-kun?"
Si pirang menatap sang bayangan sesaat, kemudian kembali menatap meja dan melanjutkan, "itulah yang akan kubicarakan-ssu."
Hembusan napas berat dari Aomine dan pergerakan kaki tanda tak nyaman dari Kagami.
"Sebelum itu, ajak Murasakibaracchi dan Midorimacchi bicara lewat telpon-ssu. Tapi jangan pakai ponselku."
Kuroko inisiatif mengeluarkan ponselnya. Ia mengundang Midorima dan Murasakibara bergabung ke dalam obrolan grup kecil yang dadakan ia buat, lalu melakukan group call.
Kini, mereka berenam sudah terhubung.
"Ada apa ini, Kuro-chin?" Tanya Murasakibara memecah kesunyian.
"Kenapa cuma kita bertiga-nodayo?" Sahut Midorima.
Kuroko menjawab dengan kalem. "Karena aku, Kagami-kun, Aomine-kun, dan Kise-kun sudah berada di satu tempat. Ada yang ingin Kise-kun bicarakan tentang Akashi-kun."
Hening mengisi. Meminta mantan small forward Kiseki no Sedai membuka konversasi."Jadi begini-ssu," Ia membetulkan posisi duduk. "Sabtu kemarin aku habis one on one sama Aominecchi, dari siang sampai sore-ssu, jadi aku pulang agak malam."
"Lalu?" Midorima tidak sabar, karena yang bercerita adalah Kise yang terkenal dengan cerewet dan alur yang panjang berbelit-belit.
"Lalu saat aku mau tidur, Mibuchi Reo menelponku-ssu."
"Mibuchi Reo, shooting guardnya Rakuzan, ya?" Kagami mengingat.
"Ya." Kise mengangguk. "Dia bicara perihal sikap Akashicchi setelah kalah di Winter Cup kemarin-ssu."
Tak ada yang menanggapi. Kuroko dan Kagami saling lihat.
"Aku merekam percakapan kami, sih. Sebentar-ssu." Kise mencari file rekaman itu, mengirimnya ke ponsel Kuroko kemudian dikirim agar dapat didengar Midorima dan Murasakibara. Sementara ponselnya ia gunakan untuk menyetel agar didengar oleh Kuroko, Kagami, dan Aomine.
Terlihat jelas bahwa rekaman dimulai tidak dari awal —karena Kise belum tahu apa maksud Reo menelponnya malam-malam.
'Rekamannya sudah siap, Ryou-chan?' Dibuka dengan suara Reo yang mengonfirmasi, tandanya sebelum ini Kise meminta izin agar percakapan mereka direkam.
'Sudah, Mibuchi-san. Silakan dimulai-ssu.'
Mibuchi berdeham. 'Ada keanehan yang sangat jelas pada sikap Sei-chan setelah kami kalah pada Winter Cup kemarin. Dia jadi sering berdiam diri dan melamun, sering mengacuhkan kami, tidak merespon saat kami bertanya. Pandangannya kosong —sangat bukan Sei-chan.'
'Kurasa dia sedang berdebat dengan dirinya sendiri-ssu —dirinya yang satu lagi.'
'Ah, jadi benar kalau Sei-chan punya dua kepribadian, ya.' Jeda. 'Tapi yang sering muncul saat kami ajak bicara adalah yang mengerikan—yang bilang bahwa dirinya absolut.'
'Kukira wajar, karena Akashicchi —yang itu— ingin memperbaiki pola latihan tim dan membalas kekalahan-ssu. Itulah perbedaan yang kurasakan dari dua Akashicchi; kemutlakannya pada kemenangan.'
Reo terdiam. 'Kau benar. Ngomong-ngomong soal memperbaiki pola latihan, kami tidak mendapatkan itu sejak Winter Cup.'
'Eh? Apa maksudnya-ssu?'
'Kalau ada kesempatan untuk berbicara dengan tim, dia akan memarahi kami dan melatih kami dengan keras—sungguh tak berpola atau berporsi apapun. Seperti hanya... Melampiaskan kekalahannya pada tim.'
Kise terdiam.
Reo melanjutkan. 'Aku sudah mendiskusikan ini dengan tim. Kami sudah berbicara dengan Sei-chan. Beruntung kami pernah berbicara dengan Sei-chan yang itu —yang lembut, yang menerima kekalahannya— dan dia minta maaf atas sikap dirinya yang satu lagi.'
'Apa yang diberikan oleh Akashicchi yang itu? Kalian sudah lebih tenang sekarang?'
'Tidak. Kalau Sei-chan yang satunya muncul, ia akan melarang kami mendengarkan dirinya yang satu lagi. Dan berujung pada ancaman dengan gunting —atau apapun itu yang pasti menyeramkan.'
Kise terdiam, merasa miris dan ia ikut berpikir. 'Lalu apa rencana kalian selanjutnya-ssu? Dan kenapa kau memilih menelponku? Kukira aku tak bisa bantu banyak juga-ssu.'
'Kami pikir, kalian —Kiseki no Sedai— bisa membantu kami mengembalikan Sei-chan, setidaknya ia mengurangi beban pikiran dan luapan emosinya pada kami. Kami memilih Ryou-chan untuk yang pertama kali dihubungi karena di Kiseki no Sedai, Ryou-chan yang paling ceria, 'kan?'
Kise terkekeh. 'Aku tidak terlalu mengerti Akashicchi-ssu.' Lagipula aku juga takut dengannya kalau begitu-ssu, lanjut Kise dalam hati kala itu. 'Nanti akan kubicarakan dengan yang lain-ssu.'
'Baiklah, terimakasih Ryou-chan. Mohon bantuannya, ya. Maaf mengganggu malam-malam.'
'Ya, tidak masalah-ssu.'
'Kami akan menunggu kalian.' Jeda. 'Selamat malam Ryou-chan.'
'Selamat malam.'
Dengan itu, percakapan dengan Mibuchi Reo berakhir. Sampai beberapa detik berikutnya belum ada yang menanggapi, masih merenungi laporan-laporan yang diberikan oleh Mibuchi. Atau mungkin, mereka yang diseberang telpon sedang memutar ulang rekaman itu.
"Jadi bagaimana ini-ssu? Kita akan membantu mereka mengembalikan Akashicchi, 'kan?"
Aomine memijat keningnya. "Menyusahkan sekali. Kenapa Akashi yang 'asli' bisa kalah dari Akashi yang 'itu', sih?"
Kise berjengit. "Hush, Aominecchi! Kalau Akashicchi yang 'itu' dengar, kau bisa dicincang-ssu!"
"Iya, iya."
"Kukira keadaan akan kembali membaik setelah Winter Cup. Tepatnya, kukira Akashi-kun yang 'asli' akan merebut kembali posisinya. Tapi nyatanya tidak juga."
Tiga pasang mata menoleh pada Kuroko Tetsuya.
"Ya namanya juga ada dua orang dalam satu tubuh, pasti ada kalanya mereka gantian, 'kan?" Sahut Kagami.
"Dan, Akashi yang —mengerikan— ini cukup sulit dimengerti dan egois-nodayo. Pasti sulit, atau bahkan tidak mungkin ditaklukan."
"Apalagi disuruh gantian.". Krauss krauss.
"Kurasa, kita perlu adakan pertemuan-nodayo."
"Benar juga, Midorima." Kagami mengiyakan. "Ngomong-ngomong, apa kalian pernah berpikir untuk melakukan ini?"
"Melakukan apa-ssu?"
Kagami menggaruk belakang kepala yang tidak gatal. "Err... Menaklukan Akashi yang 'itu'?"
Diam adalah jawabannya.
"Maaf, Kagamicchi?" Kise menautkan alis. "Tapi kami dulu tidak pernah mengalami masalah yang seperti ini dan itu membuat kami tidak pernah berpikir untuk melakukan ini."
Kuroko menatap Kagami dengan bola mata yang sarat akan sesuatu, tapi —dengan ketidakmengertiannya akan masalah— Kagami tidak dapat menangkap arti tatapan Kuroko tersebut.
"Kise, maksudmu, kita tidak pernah mencoba 'mengembalikan' Akashi yang 'asli', 'kan? Karena bagi kita tak masalah selama kita... Mmm... Menang?" Aomine melirik takut-takut pada Kuroko—sebuah ketidak-enakkan perasaannya. "Tapi kalau aku sih, secara pribadi, ingin Akashi yang 'asli' kembali. Karena... Akashi yang 'itu' cukup menyebalkan buatku."
"Iya, aku juga, sih-ssu." Kise meninju lengan Aomine. "Sudah kubilang jangan menyebut Akashicchi begitu-ssu. Kau dalam masalah, Aominecchi!"
"Hmm baiklah. Kita jadi mengadakan pertemuan-nodayo. Kapan dan dimana kira-kira?"
"Mau di apartemenku? Kosong, kok." Kagami berbaik hati menawarkan tempatnya.
"Baiklah, kapan?" Kali ini Kuroko yang bertanya.
"Dua hari lagi saja, ya —krauss— aku perlu waktu untuk ke Tokyo." Saran Murasakibara.
"Setuju-nodayo."
Tidak ada yang menanggapi itu lagi, tanda setuju.
.
.
.
Kagami dan Kuroko kembali berjalan pulang bersama sehabis rapat dadakan di resto pinggir jalan. Hening menyelimuti, kalut dalam pikiran masing-masing namun menggambarkan sosok yang sama.
"Kagami-kun."
Tak ada jawaban.
"Kagami-kun." Kali ini lebih keras.
"Oh, ya, ada apa, Kuroko?" Kagami linglung. Baru saja ia memikirkan seseorang dengan rambut merah memegang gunting dan kembali melukainya.
"Maaf karena kau harus terseret dalam masalah ini."
Kagami mengerjap. "Kau ini bicara apa? Tentu aku juga menjadi salah satu 'sumber masalah' ini, 'kan?"
"Seharusnya ini hanya menjadi masalah Kiseki no Sedai." Kuroko menatap gundukan salju di bawah kakinya.
"Kukira malah ini termasuk masalahku juga." Kagami tersenyum —menyeringai. "Heh, kalian butuh aku untuk menggertak si Akashi."
"Kagami-kun."
Kagami menoleh pada yang lebih pendek.
"Jangan bicara sembarangan. Nanti Akashi-kun dengar, dan kau dalam masalah."
