Title: Overload

Rating: T

[Karakter dalam cerita ini adalah milik penciptanya, bukan saya, suer. Tidak ada satu pun karakter yang terluka selama pembuatan cerita *kecuali Eren, mungkin*]

Warning: AU, Shounen ai/Yaoi, OOC banget-banget-banget, yup, kenapa saya kasih title overload karena OOC-nya udah overload banget -.- selain karena saya emang ga kreatif bikin judul cerita T.T

Maapkan saya permirsa, ini fanfic pertama saya yang dibikin based-on bukan cerita BL


Part 1


Ini adalah hari pertama liburan musim panas.

Tidak, kalau kalian berpikir aku akan menuliskan sesuatu tentang bagaimana caranya aku menikmati hari-hariku di liburan musim panas ini, kalian salah besar. Karena kenyataannya, aku bahkan tidak punya waktu untuk memikirkan itu.

"Baiklah, kerjakan soal latihan itu," Pixis-sensei memberikan setumpuk kertas bertuliskan soal-soal matematika yang sukses membuatku mual bahkan sebelum aku membacanya, "kerjakan setidaknya 10 soal dari tiap bab," kemudian tanpa basi-basi lagi pria gundul berkumis tebal itu pergi meninggalkan kelas.

Benar. Di saat anak-anak lain menghabiskan waktu mereka dengan bersenang-senang di luar sana, bermain, berenang, berlibur dan ber-ber yang lainnya, aku dan beberapa temanku malah terjebak di dalam ruangan sempit tanpa AC dengan segunung tugas yang harus kami kerjakan. Kenapa? Karena nilai ujian kami sangat parah.

Bukannya aku bodoh, aku tidak masuk sekolah hampir selama 2 bulan karena kecelakaan dan saat aku kembali ke kelas…ayolah, apa yang aku tahu?

Satu jam…

Satu setengah jam…

Dua jam…

Pixis-sensei belum juga kembali. Aku yakin dia pasti sedang asyik minum sake di dalam ruangan ber-AC sampai-sampai dia melupakan murid-muridnya yang sedang berjuang dan berkeringat di dalam kelas. Apa dia tidak peduli pada kami? Kurasa cairan otakku bahkan sudah mulai menguap karena kepanasan, belum lagi soal matematika di hadapanku…aargh…aku bisa meledak!

Kurasa aku akan istirahat sebentar.

Aku mengendap keluar kelas dan menyusuri koridor. Sekolahku adalah sekolah khusus putra, jadi kalau kalian berkunjung, kalian pasti hanya akan menemukan laki-laki di sini. Kalau secara kebetulan kalian bertemu perempuan, kemungkinannya ada 3;

1. Dia ibu di cafeteria;

2. Dia orang tua murid, atau;

3. Dia Armin Arlert, anak kelas I-B yang dikaruniai wajah yang sangat….keperempuanan.

Di sebelah sekolah kami berdiri sekolah khusus putri. Namanya sekolah khusus putri, tentu saja sejauh mata memandang hanya perempuan yang terlihat. Kalau secara tidak sengaja kalian menemukan laki-laki di sana, kemungkinannya juga ada 3;

1. Dia dokter di ruang kesehatan;

2. Dia orang tua murid, atau;

3. Dia murid sekolahku yang datang untuk mengintip latihan klub cheerleader.

Dari atap sekolahku, ada satu bagian dari sekolah mereka yang terlihat jelas. Kolam renang. Dan kudengar, selama musim panas klub renang sekolah mereka tetap menjalankan latihan. Sebuah berita yang menyenangkan bukan?

Air kolam yang bercahaya saat terkena cahaya matahari, percikan air yang terlihat saat terkena kaki sang perenang dan yang paling menarik…gadis-gadis manis berpakaian renang. Hahaha.

Karena itu, satu benda yang tidak boleh lupa kubawa di saat seperti ini adalah…teropong! Tidak cukup jelas sih, tapi yah lumayan daripada tidak sama sekali.

"Apa yang sedang kaulakukan?" tepat saat aku mengangkat teropongku, sebuah suara terdengar. Suara yang tidak asing.

"Auw!" aku spontan meringis saat orang itu tiba-tiba merebut teropongku dan memukulkannya ke kepalaku, "Rivaille-senpai?"

Anak laki-laki yang berdiri di hadapanku sekarang adalah seniorku, Rivaille. Dia satu angkatan di atasku. Sebenarnya aku tidak terlalu suka mendeskripsikan dia karena dia terlalu…err…bagaimana aku mengatakannya ya…dia terlalu mirip tokoh favorit di dalam anime dan manga.

Wajahnya tampan walaupun tanpa ekspresi, kulitnya putih dan pandangan matanya yang tajam dan menusuk itu…ugh. Belum lagi otaknya yang entah beli di mana…dia sangat pintar. Setiap kali melihatnya aku merasa kalau aku adalah orang paling buruk sedunia. Oh, tapi soal tinggi badan, aku masih lebih unggul 10 senti darinya.

"Senpai sendiri? sedang apa di sini?" aku membalikan pertanyaannya, "kukira Senpai pintar."

Rivaille-senpai mengulurkan tangannya untuk mencubit pipiku, "Jangan samakan aku denganmu, aku disuruh Pixis-sensei untuk mengawasi."

"Hah? Mengawasi siapa?"

Rivaille-senpai tersenyum mengejek dan kembali memukul kepalaku dengan teropong yang dipegangnya, "Mengawasi anak-anak sepertimu!" ujarnya dengan nada kesal.

"Aduh, jangan pukul terus! Aku sudah bodoh jadi jangan buat aku tambah bodoh," aku merebut kembali teropongku, "sudah ah, jangan ganggu aku," aku duduk dan kembali meneropong kolam renang yang sudah mulai dipenuhi anggota klub renang. Tapi tiba-tiba aura di belakangku berubah gelap.

Aku melihat ke belakang dan mendapati Rivaille-senpai sedang menatapku kesal, "Kenapa?" aku menarik Rivaille-senpai agar dia duduk di sampingku, "Senpai mau lihat juga? Nih," aku menyodorkan teropongku tapi dia hanya memutar bola matanya.

"Kenapa? apa kau marah?"

Rivaille-senpai mengambil teropong dari tanganku dan tanpa peringatan langsung melemparnya jauh ke belakang.

"Eeee? Rivaille-senpai, apa yang kaulakukan? Aku baru membelinya kemarin!" aku mencoba berdiri untuk mengambil kembali teropongku tapi tiba-tiba tubuhku di dorong. Aku terjatuh dan punggungku menabrak lantai.

Wajah kesal Rivaille-senpai tepat di depan wajahku. Posisi yang tidak mengenakan. Aku menyuruh Rivaille-senpai menyingkir tapi sepertinya dia terlanjur marah padaku, laki-laki di hadapanku ini tidak mau bergerak sesenti pun.

Rivaille-senpai menyentuh wajahku dengan jari-jarinya, "Berhentilah membuatku kesal, jangan bawa benda itu lagi."

"…Err, baiklah, aku tidak akan membawanya lagi," aku mengangguk, "tidak kalau ada Senpai."

"Maksudmu, kalau aku tidak ada kau akan tetap membawanya?"

Aku mengangguk lagi, "Kalau kau tidak ada 'kan tidak akan ada yang melemparnya…"

Rivaille-senpai menghela napas dan berdiri. Dengan wajah tanpa ekspresi dia berjalan ke arah teropongku yang tergeletak tak berdaya di sudut sana dan…

PRAK!

"Nooo!" aku langsung berlari ke arahnya. Tapi sudah terlambat, teropongku sudah meninggalkan dunia ini untuk selamanya, "Rivaille-senpai…teganya…" aku memperhatikan teropongku yang hancur diinjaknya. Tidak mungkin bisa diperbaiki lagi.

"Aku tidak tahu kenapa kau sangat benci waktu aku melakukan ini…aku 'kan hanya butuh sedikit refreshing time," kataku sambil menunjuk ke arah kolam renang sekolah sebelah.

Rivaille-senpai menarik tanganku lalu menciumku, "Aku tidak suka kau melihat orang lain selain aku." katanya sebelum pergi meninggalkanku.

Kurasakan suhu tubuhku memanas. Wajahku pasti merah.

OoOoOoO


Thanks for reading!