Title : Our Triangle and Circle
Cast : Kim Nam Joon, Jung Hoseok, Kim Seo Jin, Park Jimin, Min Yoon Gi, Kim Taehyung Etc. You'll find other supporting cast here.
Genre : Romance
Length : 2Shoot
Rate : T
A/N : Annyeong, Official Wife of Kim Nam Joon buat postingan pertama disini :*. Terinspirasi dari curhatan tidak sengaja Uri Nampyeon tentang kisah cinta masa lalu di SMAnya yang rumit di Problematic Men, ane Ngebut bikin Ini demi bisa Menyalurkan perasaan Mellow dadakan karena bayangan betapa patah Hatinya Uri Nampyeon saat itu.
Ane ga sanggup bikin Yaoi, ane ga sanggup bikin GS, ane lebih-lebih Ga sanggup pake Original Cast sebagai pairing Nam Joon. Jadi, segala tokoh, nama, dan bahkan adegan salah fokus yang bakal kalian temukan disini, itu semata-mata kesalahan teknis belaka yang memang disengaja (?).
Last, kalian harus perhatikan tahun setiap Chapter, demi mencegah kebingungan yang panjang. Hepi Reading! #NamJin
BAGIAN 1 – KITA PUTUS SAJA
Sungwoon High. Seoul, 2011.
" Kita putus saja! "
Kim Nam Joon menghentikan aktivitas menulisnya, tapi tidak mendongak ke arah Kim Seo Jin yang mengamuk di depan mejanya itu.
Beberapa siswa yang masih tinggal di dalam kelas selama jeda jam pelajaran itu, tercengang dengan apa yang baru saja terjadi. Mereka segera menghentikan aktivitas mereka, dan memperhatikan pasangan yang berada di bangku paling belakang sudut kelas tersebut. Menunggu bagaimana Kim Nam Joon akan meresponnya, lalu bagaimana Kim Seo Jin harus merespon balik.
" Kau dengar aku? Kita putus saja! "
Kim Nam Joon menghela napas, membenarkan letak kacamata bundarnya itu, lalu kembali melanjutkan menulis.
Kesabaran Kim Seo Jin sudah habis.
Ia merebut buku catatan Nam Joon, lalu melemparnya ke lantai. Nam Joon memungut lalu memasukkan buku catatan malangnya itu dengan kasar ke dalam ranselnya, segera berjalan meninggalkan ruang kelas sambil memikul ranselnya satu tangan dengan perasaan marah tanpa sedikitpun menatap Seo Jin, sementara para siswa yang menyaksikan itu sedari tadi mulai berbisik-bisik mengomentari adegan yang tidak seperti harapan mereka.
" Sudah kuduga, mereka pasti akan putus juga. "
" Wah, Kim Seo Jin itu benar-benar labil. "
" Kim Nam Joon tidak pandai berdebat. "
" Kenapa mereka bahkan berkencan? Membuat heboh sekolah saja. "
" Seo Jin itu cantik. Aku lega dia putus dengan Nam Joon. Si kutu buku itu culun sekali. "
" Sudah kuduga mereka akan putus. Dua hari yang lalu aku melihat mereka bertengkar di belakang sekolah. "
" Seharusnya Seo Jin menyiram muka Nam Joon dengan air, agar si culun itu sadar. "
Tapi, Seo Jin tidak peduli dengan semua dengung-dengung penyebab sakit kepala itu, karena mereka hanyalah penonton yang tidak tahu apa-apa. Ia lebih peduli soal bagaimana Nam Joon bisa mengacuhkannya seperti ia hanyalah seekor lalat yang mengganggu, dan cowok bermata sipit yang maniak rumus itu harus segera pergi mencari tempat yang lebih tenang dan damai. Sikap dingin Nam Joon yang seperti ini, menyakiti perasaan Seo Jin.
Memangnya kenapa kalau Kim Seo Jin adalah pengacau—yang dikirim dari neraka? Bukankah Kim Nam Joon yang membuatnya menjadi pembuat onar begini?
" Ya! Kim Nam Joon! " Panggil Seo Jin murka bercampur sedih, membuat Nam Joon berhenti tapi tidak cukup untuk membuat pria itu berbalik padanya. Apa boleh buat. " Kau mau pergi? Kau yakin akan pergi begitu saja? Detik berikutnya kau melangkahkan kakimu, kita akan benar-benar putus! Kau tidak akan pernah melihatku lagi! Kau masih mau pergi? "
Nam Joon menghela napas berat. Ia paling tidak pandai dalam menghadapi sebuah masalah, karena ia tidak mau menemukan situasi dimana ia lebih harus menggunakan hatinya ketimbang otaknya. Nam Joon tidak suka, karena hatinya selalu tidak logis. Seperti perasaannya pada Seo Jin. Dan, Nam Joon tidak menyukai hal-hal yang tidak logis.
Ia sering berhalusinasi—orang normal lain akan menyebutnya mengkhayal—seperti seorang pecandu obat-obatan terlarang.
" Aku ada ulangan matematika di jam ketiga. " Gumam Nam Joon, datar dan dingin.
Lalu, detik berikutnya Nam Joon benar-benar melangkahkan kakinya meninggalkan ruang kelas yang hening itu. Tidak sedikitpun menoleh ke belakang, membiarkan Seo Jin sendirian dengan luka dan rasa malunya.
Tidak begini, seharusnya cinta pertama mereka berakhir. Bukankah mereka memulai semuanya dengan malu-malu dan debaran jantung yang tidak karuan?
BAGIAN KEDUA – TALI SEPATU AJAIB
Sungwoon High, Seoul. 2010.
" Ah, aku paling malas ikut kelas olahraga. " Keluh Jung Hoseok, membaringkan kepalanya di atas meja, menghadap Kim Nam Joon teman sebangkunya.
Nam Joon membenarkan letak kacamata bundarnya, sambil terkekeh pelan. " Bukankah kau bilang ingin melihat para gadis-gadis mengenakan pakaian renang lalu berbasah-basahan di air? "
Pletak.
Beberapa orang siswi berjalan melewati meja Nam Joon, dan salah satunya menjitak kepala Nam Joon dari belakang karena kesal mendengar perkataan mesum Nam Joon itu.
Hoseok tertawa melihatnya.
" Tapi materi hari ini bukan tentang pelajaran renang. Masalahnya beda lagi! "
Nam Joon merapikan semua buku-bukunya ke dalam tas, lalu segera berdiri dan berjalan meninggalkan ruang kelas. Hoseok mendesah kesal, lalu memberi motivasi penuh kepada setiap sel tubuhnya untuk ikut bangkit dan bergegas menyusul sahabatnya yang belum jauh menyusuri lorong menuju loker siswa pria di lantai bawah itu.
" Dan, juga. " Hoseok memiting leher Nam Joon. " Apa maksudmu aku senang melihat para gadis terkikik-kikik genit karena air dingin? Aku ini pria terhormat dan masih suci! Awas saja kalau my lover Park Jimin mendengarnya dan jadi salah paham. Aku akan menghajarmu! "
Nam Joon mendorong tubuh Hoseok menjauh darinya. " Suci bokongmu. "
" Whoa! " Hoseok tampak tercengang. " Apa yang baru saja kau katakan? Apa aku baru saja mendengar kau mengumpat? "
Nam Joon mendorong kepala Hoseok. Sekarang mereka berjalan menuruni tangga.
" Tadi itu kau mengeluarkan kata-kata kasar, kan? Siapa yang mengajarimu? " Hoseok tidak mau menyerah.
" Kau sendiri yang bilang kalau kau jatuh cinta pada Park Jimin, karena dia menciummu pada malam penutupan festival sekolah tahun lalu, kan? Lalu tanganmu yang penuh dosa itu… Apa itu adalah kata-kata yang akan dikeluarkan oleh seorang pria yang terhormat dan suci? "
Mereka berbelok masuk ke dalam sebuah ruangan yang penuh dengan siswa pria sekelas mereka itu, dan sekarang berhenti di depan loker masing-masing yang bersebelahan. Nam Joon segera membuka lokernya, menukar kacamatanya dengan lensa kontak berwarna cokelat—rekomendasi keras dari Park Jimin saat Nam Joon memutuskan untuk tidak terlalu bergantung dengan pada kacamatanya, warna cokelat akan membuat Nam Joon terlihat sebagai si culun yang menarik—yang ia simpan di dalam kotak besi itu, lalu mulai menanggalkan seragamnya untuk diganti dengan pakaian olahraga.
Hoseok menyempatkan diri untuk mendorong kepala Nam Joon sebentar, sebelum ikut berganti pakaian dengan cekatan.
" Aku sudah membuat pengakuan dosa pada para Ahjumma anggota komunitas gereja ibuku hari minggu kemarin, jadi sekarang aku adalah Jung Hoseok yang baru. "
" Taruhan untuk Headset putihmu yang super mahal itu, " Nam Joon melepas ikat pinggangnya, lalu menggantung celana panjangnya pada hanger yang disediakan di dalam loker. " Kau akan berbuat dosa lagi hari ini. "
" Kenapa kau begitu yakin? " Hoseok mengangkat celana training selututnya itu, lalu mengencangkan talinya.
" Kau bilang akan nonton DVD di rumah Jimin malam ini, kan? Orang tuanya sedang keluar negeri. " Nam Joon ikut menaikkan celana trainingnya juga dan mengencangkan talinya.
" Lalu? Apa aku yang menyuruh ayah dan ibunya untuk meninggalkan putri mereka sendirian? Memangnya apa yang salah dengan menonton DVD bersama pacarmu? Kau yang tidak punya pengalaman, tahu apa? "
" Aku jadi semakin yakin kau akan mengotori tanganmu itu, keduanya. " Nam Joon duduk di bangku besi panjang yang membagi ruang ganti pria itu menjadi dua sisi, lalu mulai memakai sepatunya.
Hoseok ikut duduk di sebelah Nam Joon.
" Aku ini pria yang terhormat dan suci! "
Nam Joon tertawa senang. Kemesuman Hoseok menjadi seperti sebuah hiburan baginya. " Kau tahu, tidak? Park Jimin mengirimiku pesan kemarin sore. "
Hoseok berhenti mengikat tali sepatunya. " M-Mwo? Apa yang my lover Park Jimin katakan padamu? Aku tidak bertemu dengannya seharian kemarin. "
Nam Joon makin puas tertawa, sementara beberapa siswa yang lain memperhatikan mereka dengan senyum geli sambil meninggalkan ruangan.
" Dia tanya, warna apa yang kau suka. "
" Warna apa? Lalu kau jawab apa? "
" Mana aku tahu! Tapi, aku yakin kau pasti suka warna merah. " Nam Joon mengedikkan kepalanya, berpura-pura tidak mengerti. " Apa yang akan dia beli, ya…. "
Nam Joon melirik Hoseok, dan tawanya segera pecah lagi saat melihat wajah sahabatnya itu memerah. Nam Joon segera berdiri dengan senyum puas, berjalan meninggalkan ruang ganti menuju Gym di ujung koridor lantai tiga.
Hoseok yang tergagap, segera berdiri dan berlari menyusul.
" Y-Ya! Kalau aku sampai mengotori kedua tanganku, kau yang harus pergi ke gereja dan membuat pengakuan dosa! Kau dengar itu? Ya! Kim Nam Joon! Tunggu aku! "
.
.
.
Para siswa yang tidak sabar, terus saja menggerutu karena guru olahraga mereka belum juga tiba. Setelah setengah jam berlalu dengan kebosanan setelah bermain-main di atas matras untuk lompat tinggi, Nam Joon memutuskan akan menjadi sukarelawan yang pergi ke ruang guru untuk memeriksa keadaan guru olahraga mereka.
Nam Joon mengetuk dua kali, sebelum menggeser pintu masuknya.
" Per— "
" —Aku tidak akan menerimanya! "
Nam Joon sedikit terkejut, saat hal pertama yang menyambutnya adalah sebuah teriakan melengking bersamaan dengan seorang siswi berambut pirang sebahu yang berjalan menerobos keluar dari ruang guru dan menabrak bahunya—Nam Joon merasa ia seperti objek yang harus dihancurkan, dan si siswi tadi adalah buldozernya.
Tatapan Nam Joon tidak pernah lepas, hingga sosok siswi itu berbelok menghilang di balik dinding tangga.
Pletak!
" Kang Seonsaeng… " Nam Joon menoleh dengan terkejut, karena kepalanya dipukul dengan tongkat kecil oleh guru olahraganya yang sekarang sudah berdiri di ambang pintu ruang guru.
" Apa kau baru saja melihat hantu? "
Nam Joon menggeleng. " Siswi tadi… "
" Ah, " Kang Hee Gun mengerti. Ia merangkul bahu Nam Joon, dan mereka berdua berjalan menuju ke Gym. " Dia bukannya teman sekelasmu, kan? Kim Seo Jin… "
Kim Seo Jin?
Kim Nam Joon, gendong aku.
Ah, Nam Joon tidak melihat wajahnya tadi. " Dia ketua kelasku. "
" Dia marah-marah padaku selama setengah jam, memintaku mencari tahu siapa yang sudah dengan sengaja memotong tali sepatunya hingga habis sampai ia tidak bisa mengikuti kelas olahraga. "
" Tali sepatunya dipotong? "
" Kim Seo Jin itu cerewet, kan? Makanya banyak yang tidak suka padanya. Seharusnya dia mengadukan ini pada wali kelasnya—bukan aku. Aku ini adalah orang yang sangat repot, walaupun aku hanyalah seorang guru olahraga. "
Kenapa kacamatamu bundar begitu? Apa kau penggemar Harry Potter? Kau masih sanggup menggendongku? Sudah berapa lama kau berteman dengan Jung Hoseok? Kau tahu kenapa kita harus selalu menghabiskan malam terakhir festival di bukit? Kau mau menggendongku lagi tahun depan?
" Jadi, Seo Jin tidak akan mengikuti kelas olahraga? " Nam Joon membuyarkan ingatannya sendiri.
" Mungkin tidak. Hari ini aku akan memberinya keringanan, sebagai ganti karena tidak bisa membantunya. "
Nam Joon melepaskan rangkulan Pak Guru Kang.
" Seonsaengnim duluan saja ke Gym. Aku harus kembali ke kelas, untuk mengambil ponselku. "
Kang Hee Gun mengangguk paham, walaupun matanya menatap Nam Joon curiga. " Pergilah. "
Dan, Nam Joon memang segera menghilang di balik dinding tangga menuju ke lantai dua.
" Ya! Kim Nam Joon! Kelasmu ada di lantai empat! " Panggil guru olahraga bertubuh pendek itu kesal karena sudah ditipu. " Apa kau sedang membolos sekarang? Kau tidak akan mendapat keringanan, tahu! "
.
.
.
Di sudut ruang klub kesenian itulah, Kim Seo Jin duduk terisak sambil memandangi salah satu sepatunya yang tanpa tali itu—sepatu kesayangan yang baru ia miliki seminggu ini. Awas saja, kalau sampai pelakunya terungkap, Seo Jin tidak akan memaafkannya dengan mudah sebelum Seo Jin memberinya pelajaran.
Memangnya kebijakan Seo Jin baru-baru ini sebagai ketua kelas sangat menyusahkan, sampai-sampai ada yang memprotesnya dengan cara kotor begini?
Pintu ruang klub itu terdengar tergeser membuka, tapi Seo Jin tidak mau mempedulikannya. Ia tidak akan merasa malu, hanya karena kedapatan menangis.
" Ini ruang klub ekstra-mu, kan? "
Seo Jin mendongak, karena suara berat yang menegurnya itu terdengar familiar tapi tidak di dalam ruang klubnya itu. Seo Jin sering mendengarnya di tempat lain, dan benar saja bahwa si pemilik suara yang sekarang berjalan menghampirinya itu adalah Kim Nam Joon.
" Kenapa kau kemari? "
Nam Joon menggaruk-garuk kepalanya sebentar. " Aku mengikutimu. "
" Bukannya kau ada kelas olahraga? "
Nam Joon mengangguk. " Aku takut melakukan lompat tinggi dengan galah itu. "
Seo Jin terkekeh, lalu segera menyeka sisa lelehan air matanya di pipi dengan punggung tangan. " Duduklah. "
Nam Joon mengangguk lagi—senang karena candaannya berhasil, segera menyeret kursi terdekat ke depan Seo Jin, dan duduk seperti yang siswi berambut pirang itu perintahkan.
" Apa Jung Hoseok pernah membencimu? "
" Nde? "
" Aku tanya, apa kau pernah bertengkar dengan Jung Hoseok karena nilai-nilaimu selalu bagus? "
Nam Joon berpikir sebentar sebelum menggeleng. " Aku rasa tidak pernah. Hoseok, dia tidak pernah mempedulikan nilai-nilainya, jadi kami tidak pernah memperdebatkan soal itu. "
" Berarti kau beruntung. " Seo Jin tersenyum sedih.
" Apa maksudmu? "
Seo Jin menunjukkan sebelah sepatunya, dengan menggunakan gerakan isyarat. " Aku hanya menerapkan denda seribu won untuk satu kali keterlambatan ke sekolah, dan tahu-tahu semua orang ingin agar aku enyah. "
" Tidak. " Nam Joon menggeleng dengan cepat. " Kita semua setuju dengan aturan ketua kelas, karena itu adalah hal yang baik. Lagipula, bukankah terlalu buruk kalau kau berpikir ada yang ingin menjahatimu karena seribu won? "
Seo Jin menghela napas panjang. " Entahlah. Aku hanya merasa sangat marah sekarang, sampai-sampai dadaku terasa sakit. "
Nam Joon segera duduk bersila di lantai di depan Seo Jin, membuat gadis itu terkejut.
" A-Apa yang sedang kau lakukan sekarang? " Seo Jin memperhatikan Nam Joon bergegas melepas salah satu tali sepatunya.
Nam Joon tidak menjawab, dan segera memasangkan tali sepatunya tadi ke sepatu Seo Jin yang talinya menghilang itu dengan cekatan.
" K-Kim Nam Joon. " Seo Jin benar-benar tercengang.
Nam Joon mendongak, menatap Seo Jin sambil tersenyum lebar. " Kau mau dengar sebuah cerita? "
" Cerita? "
" Ada seorang gadis cantik yang tidak bisa diam. Selalu pergi kemanapun angin mendorongnya, bahkan ke tempat yang berbahaya sekalipun. Suatu hari, seorang anak nakal mencuri salah satu tali sepatunya, agar gadis itu merasa sedih dan berhenti melakukan petualangan seperti orang hebat. Tapi, seorang lelaki tampan yang memiliki kekuatan sihir segera membantunya, dengan memberinya sebuah tali sepatu ajaib. Saat memakainya, lari gadis itu bahkan jauh lebih kencang lagi. Ia bisa pergi ke tempat yang lebih jauh, dan benar-benar berpetualang dengan hebat. "
Seo Jin tertawa.
Bukan tawa yang mengejek atau merendahkan. Tapi, sebuah tawa lembut yang membuat perasaan Nam Joon menghangat dengan cepat. Sejak kapan ia tertarik untuk memperhatikan Kim Seo Jin lebih lama?
" Kim Nam Joon… Apa kau sedang mengangguku? "
Nam Joon menggeleng dengan wajah yang memerah samar. " Aku hanya spontan berbicara seperti itu. "
" Lalu, apa kau adalah laki-laki tampan—yang tidak tampan—yang bisa melakukan sihir dalam cerita itu? "
Nam Joon mengangkat bahu. " Kau boleh memikirkannya sesukamu. "
Seo Jin tersenyum lebar. " Baiklah. Baiklah. Lalu, apa kau sedang memamerkan sihirmu saat ini, eoh? Benar-benar sombong… "
Nam Joon tidak mengerti, dan Seo Jin segera menunjuk tali sepatu barunya yang warnanya sangat berbanding terbalik itu—kuning, berdiri sendiri di tengah-tengah warna merah muda.
" Bukankah ini adalah tali sepatu ajaibmu? "
Nam Joon terkekeh malu, sementara wajahnya memerah lagi. Ia segera berdiri.
" Aku harus pergi sekarang. "
Seo Jin mengangguk. Ia senang, Nam Joon sudah mau datang dan menghiburnya.
" Jangan merasa marah lagi. "
Seo Jin kembali mengangguk.
Nam Joon melambai satu kali, lalu berbalik menuju pintu ruang klub yang masih membuka itu. Seo Jin segera berdiri.
" Ya! Kim Nam Joon… "
Nam Joon berhenti, lalu berbalik. " Ada apa? "
" Anak-anak Klub Seni akan pergi ke tempat karaoke besok sore sepulang sekolah, tapi aku sedang ingin makan Sushi. Apa kau mau ikut denganku? "
" Aku tidak bisa. " Tolak Nam Joon halus dengan raut wajah menyesal. " Aku harus mengerjakan esai bahasa Jepangku besok. "
" Um… " Seo Jin segera memutar otak. " Kalau begitu, bagaimana jika aku datang ke rumahmu? Aku juga perlu mengerjakan esai bahasa Jepang. Kan? "
BAGIAN KETIGA – OPERA SABUN
Sungwoon High. Seoul, 2011.
" Kenapa kau tidak menjawab teleponku? "
Seo Jin menghela napas.
Ia pikir keadaannya sudah jauh lebih tenang hari ini, tapi melihat Nam Joon duduk di hadapannya pada saat jeda jam pelajaran dengan raut wajah yang tidak bisa dibilang ramah itu, Seo Jin tahu mereka akan memulai satu pertengkaran lagi—dan Seo Jin harus kembali melewatkan makan siangnya begitu saja.
" Kau tidak menerima pesanku? "
" Pesan yang Min Yoon Gi kirimkan lewat ponselmu? Ya, aku membacanya. "
Seo Jin lebih cepat kesal, kalau Nam Joon bicara dengan nada sinis begitu.
" Apa yang mau kau katakan? "
" Kenapa harus Min Yoon Gi yang mengirimiku pesan? Apa aku sedang berpacaran dengannya? "
" Berarti kau tidak membaca pesanku, Nam Joon-ah. "
" Oh, ya. Satu lagi, kenapa harus ponselmu yang ia pinjam? Apa dia tidak punya teman wanita lain yang bisa meminjaminya ponsel? Bukankah ia dekat dengan Yong Guk—si kurus bermata besar anggota klub Seni kalian? Kenapa tidak pinjam ponsel Yong Guk saja? Atau, kenapa tidak perlu meminjam ponsel sama sekali? Dia bisa membelinya sendiri, kan? "
Akhirnya Seo Jin berdiri, dan berjalan meninggalkan kantin dengan langkah-langkah lebar. Nam Joon segera menyusulnya.
" Apa aku tidak akan mendapatkan penjelasan apa-apa? "
" Min Yoon Gi akan sangat tersinggung kalau dia mendengar ini. "
" Apa perasaan Min Yoon Gi itu penting? Kenapa kau begitu membelanya? "
" Memangnya kenapa kalau aku membela temanku? " Seo Jin berhenti berjalan, dan sekarang ia berdiri berhadapan dengan Nam Joon. " Kau menyerang Min Yoon Gi, sementara ia tidak tahu apa-apa! Ia temanku sejak kecil, dan lebih sering menjagaku daripada dirinya sendiri, jadi kenapa kalau aku membelanya? "
" Aku menyerangnya—Min Yoon Gi-mu yang berharga itu? " Nam Joon tercengang oleh pilihan kata Seo Jin yang menyudutkannya, dan oleh kemarahannya sendiri. " Jadi, itu alasannya kau balik menyerangku? Karena aku marah tidak mengetahui keadaanmu seharian kemarin? Karena aku hanya butuh penjelasan? Aku juga berteman dengan Jung Hyeri sejak kecil, tapi aku tidak memperlakukannya sebagai barang antik seperti kau dan Yoon Gi. "
" Karena dia—Jung Hyeri itu—bukan temanmu! "
" Lalu apa bedanya dengan kau dan Min Yoon Gi? "
Seo Jin menghela napas panjang, sambil menunduk memijiti keningnya sebentar.
Urat di dahi mereka berdua bisa-bisa putus, kalau seperti ini terus.
Seo Jin kembali mendongak, berusaha melembutkan ekspresi dan suaranya. " Nam Joon-ah, kumohon jangan bertingkah seperti wanita begini. Kenapa kau melakukan ini padaku? "
Bagus. Sekarang Nam Joon sudah berubah kepribadian rupanya.
" Aku tidak melarangmu membantu siapapun—atau bahkan dekat dengan siapapun, tapi tolong buat aku mengerti kalau itu bukan apa-apa. "
Seo Jin memaksakan sebuah senyuman untuk menghibur Nam Joon. " Itu memang bukan apa-apa. "
" Tapi kau tidak menunjukkannya seperti itu! " Tukas Nam Joon. Sungguh, dia bukan tipe laki-laki yang suka meneriaki wanita. " Kau membuatku semakin bingung, dan… Sudahlah. "
Seo Jin tercengang karena lagi-lagi Nam Joon mengakhiri pembicaraan secara sepihak, setelah memvonis Seo Jin bersalah seperti seorang hakim. Seo Jin sudah berusaha menunjukkan, kalau ia dan Yoon Gi—dan semua teman-teman lelakinya—memang hanya sebatas teman tanpa ada perasaan romatik atau apapun itu seperti yang Nam Joon khawatirkan. Semakin hari, usaha Seo Jin semakin keras. Tapi, Nam Joon malah semakin tidak melihatnya.
Seo Jin menatap punggung Nam Joon yang perlahan menjauh itu dengan perasaan nanar.
Sudah berapa lama mereka berdua menghabiskan energi dengan cara ekstrim begini?
Apa laki-laki yang akhirnya menghilang dari pandangannya itu, adalah benar Kim Nam Joon yang ia kenal?
Dan, begitulah hari ini berakhir. Dengan mereka berdua lagi-lagi menjadi opera sabun menarik tontonan seisi sekolah.
.
.
.
" Hai, Nam Joon-ah. " Park Jimin berlari menghampiri Nam Joon, yang sudah menungguinya di gerbang sekolah dengan kepala tertunduk dan perasaan yang kusut itu. " Hoseok Oppa bilang hari ini kau ingin bicara denganku? "
Nam Joon mendongak, berhenti menendang-nendang pelan beton sekolah. " Ya. "
" Kalian bertengkar lagi? " Tebak Jimin, tidak benar-benar membutuhkan jawaban. " Ayo. "
Jimin berjalan lebih dulu menyusuri trotoar, dan Nam Joon segera menyusulnya.
" Bagaimana dengan Hoseok? "
" Dia masih ada kegiatan Klub—Fotografi, jadi dia bilang kau boleh meminjam jasa konsultasiku sepuasnya selama dua jam. " Jelas Jimin dengan nada angkuh yang tidak disengaja—khas para wanita cantik, anggun, dan penuh percaya diri, tidak perlu repot-repot menggunakan bahasa formal walaupun Nam Joon lebih tua setahun seperti kekasihnya.
" Sudah berapa lama kalian berpacaran? "
" Ummm. Dua tahun, kurasa. Dia pacar pertamaku. "
" Kau benar-benar menyukainya, ya? "
Jimin tertawa malu, mendengar pertanyaan Nam Joon itu.
Walaupun lebih sering terlihat cuek, Jimin sangat-sangat menyukai Hoseok—apalagi kalau lelaki kurus itu segera bertingkah imut saat melakukan kesalahan dan ingin meminta maaf, atau pada saat Jimin sedang sibuk pada hal lain dan Hoseok butuh diperhatikan.
Melihat reaksi Jimin yang terang-terangan—ditambah dengan kedua pipinya yang merona, Nam Joon hanya bisa tersenyum masam—jelas-jelas merasa iri. Ia menunduk lesu.
" Cinta pertamaku tidak berjalan seperti yang aku pikirkan. "
" Apa kau pikir hubunganku dengan Hoseok Oppa selalu berjalan seperti yang aku pikirkan? "
Nam Joon menatap Jimin tidak mengerti.
" Aku berpikir kalau kami akan baik-baik saja. Maksudku, serius, Hoseok Oppa itu tidak pernah membesar-besarkan masalah. Lalu, kemudian aku berpikir mungkin aku akan segera memiliki pacar baru. Asal tahu saja, akhir tahun lalu aku berniat untuk memutuskan Hoseok Oppa. "
Kedua mata Nam Joon melebar kaget.
" Kami bertengkar hebat, karena dia marah aku sudah berbohong padanya. Selama hampir dua bulan, hubungan kami begitu dingin. Kemudian, suatu hari dia berlari dan memelukku. Untuk pertama kalinya aku merasa hangat kembali, dan aku sadar kalau aku hanya akan menemukan seseorang yang tulus seperti Hoseok Oppa satu kali saja—dan hubunganku pun tidak jadi berakhir seperti yang aku pikirkan. "
Nam Joon terkekeh, membayangkan Hoseok yang ceroboh begitu bisa melakukan hal-hal yang romantis.
" Pikiran kita adalah penipu. " Ujar Jimin. " Pikiran kita sama tidak realistisnya dengan hati kita. Kita hanya dibiarkan melihat hal-hal yang ingin kita lihat saja, dengan dorongan sadar atau tidak. Kau pasti pernah mendengar, tentang sesuatu seperti 'apa yang kita rencanakan belum tentu terjadi dan berjalan sempurna', kan? Lagipula, tidak ada hubungan yang sempurna di dunia ini. "
Nam Joon menghela napas, dan lagi-lagi menunduk lesu.
Kenapa ia dan Seo Jin bisa berpisah jalur begini?
" Hal yang wajar, kalau kau dan Seo Jin sunbaenim berdebat. DNA kalian berbeda, pasti cara berpikir kalian berbeda. Tinggal bagaimana kalian menyikapi situasi, dan jadi makin saling mengeratkan perasaan masing-masing. "
" Aku tidak bisa berpikir, Jimin-ah. "
Nam Joon tidak menyukai saat-saat dimana ia harus bekerja dengan hatinya, dan bukan dengan otaknya. Walaupun seperti yang Jimin bilang bahwa pikiran dan hati seseorang sama labilnya, tapi setidaknya pikiran Nam Joon bisa mengerjakan sebuah penyelesaian dengan cepat. Seperti pemecahan teka-teki ataupun rumus logaritma berbelit.
" Kalau Seo Jin sunbaenim itu jahat, aku juga tidak mau berpikir. " Ujar Jimin tenang. " Tidak mungkin Seo Jin sunbaenim tidak berusaha memperbaiki keadaan, kan? Kau juga harus berusaha. " Jimin menepuk-nepuk bahu Nam Joon pelan.
" Aku sudah melakukannya. " Nam Joon memandang lurus ke depan.
" Lakukan lebih. Kalau hubungan kalian masih menjadi pentas opera sabun sekolah, itu artinya usahamu belum cukup keras. "
" Apa Seo Jin juga akan melakukan hal yang sama? "
" Hei, Nam Joon. Kau percaya pada Seo Jin sunbaenim, kan? "
" Ya. Tentu saja. "
" Kalau begitu, kau harus yakin kalau dia sudah melakukan hal yang sama sekarang. "
Nam Joon berhenti berjalan, dan menatap Jimin penuh perasaan bersalah.
Kenapa ia membiarkan Seo Jin memikul semua usahanya sendirian? Kenapa ia bertingkah seperti cowok brengsek, dan terus-terusan melukai perasaan Seo Jin dengan kecurigaan dan semua teriakan-teriakannya itu? Ia pasti sudah membuat pacarnya itu kelelahan, kan?
Kenapa ia membiarkan pikirannya mengelabui keyakinannya? Keyakinannya juga memiliki pemecahan, kan?
" Telepon dia. Aku tidak butuh opera sabun lagi besok—seisi sekolah tidak membutuhkannya. " Gumam Jimin, menyunggingkan senyum lebar.
.
.
.
Aku minta maaf untuk hari ini. Tolong hubungi aku kalau kau sudah tidak marah lagi.
Seo Jin hanya bisa menghela napas, menatap layar ponselnya dengan perasaan sedih lalu beralih pada kanvas dengan gambar bangunan setengah jadi di hadapannya. Ia tidak bisa menyelesaikan lukisannya hari ini, karena moodnya masih sangat buruk akibat pertengkaran tadi siang.
Mereka hanya akan saling meminta maaf, untuk memulai masalah yang sama lagi.
Kita harus bicara—banyak yang perlu aku katakan padamu. Jadi, tolong hubungi aku, oke?
Aku masih menunggu teleponmu.
Serius, Kim Seo Jin, setidaknya balas pesanku. Aku bisa mati panik disini.
Aku sangat khawatir, kalau kau benar-benar membenciku kali ini.
Seo Jin menghela napas panjang sekali lagi, mencampakkan ponselnya begitu saja ke atas meja kecil di sebelahnya. Kepalanya terasa seperti sedang berputar-putar sekarang.
" Kenapa tidak kau telepon saja dia? " Tanya Kim Taehyung—salah satu anggota Klub Seni merangkap teman Seo Jin juga, mengalihkan perhatian dari sketsanya yang baru akan diberi cat minyak warna merah ke arah perempuan yang duduk membelakanginya dengan bahu terkulai lesu itu. " Dia pasti sangat mengkhawatirkanmu. "
Seo Jin menoleh ke belakang, dan menatap Taehyung jengah. " Kau tahu kami akan saling meneriaki lagi besok, kan? Pita suaraku rasanya mau robek saja. "
" Aku belum pernah berpacaran, jadi aku tidak tahu harus menyarankan apa. " Taehyung kembali memusatkan perhatian pada lukisannya.
Seo Jin menghela napas, melirik ponselnya. " Cobalah, dan kau akan tahu sendiri bagaimana rasanya. "
Seperti suntikan pemati rasa sakit yang mulai habis efeknya. Begitulah yang ada dalam kepala Kim Seo Jin, tentang hubungannya sekarang. Apa sesuatu yang sudah rusak, tidak bisa diperbaiki lagi? Apa memang benar-benar rusak?
" Hai. "
Seo Jin dan Taehyung menoleh, mendapati sosok kurus Jung Hoseok berjalan masuk sambil menyunggingkan senyum lebar ke dalam ruang Klub mereka dengan sebuah kamera polaroid hitam menggantung di lehernya. Seo Jin dan Taehyung balas tersenyum.
" Aku kemari mau meminta kuas dan sisa cat kalian, kalau ada. " Hoseok berbicara pada Seo Jin, karena Taehyung kembali sibuk dengan lukisan minyaknya.
Seo Jin mengangguk. " Tentu saja. Buka saja lemari itu. " Jin He menunjuk ke sebuah lemari besar di sebelah loker tua yang tidak terpakai. " Kau bisa menemukan yang kau cari di rak paling bawah. "
" Thank you, Ketua Kelas! " Hoseok bergegas menghampiri lemari yang Seo Jin maksud, dan segera mengutak-atik rak terbawahnya—Hosek bersin karena banyak debu dengan barang-barang lain yang bertumpuk. " Kami mau membuat ulang beberapa dekorasi, atas permintaan anggota perempuan Klub—sangat merepotkan! Ngomong-ngomong, bagaimana dengan kencanmu semalam? "
Seo Jin mematung sebentar, terkejut dengan pertanyaan yang tidak ia pahami itu.
" Kencan? "
" Iya, kencan. Kalian bertemu semalam, kan? Nam Joon memberitahuku—kenapa dia tidak bisa membantu my lover Jimin menyelesaikan tugas bahasa Inggrisnya. " Hoseok berhenti mengutak-atik rak bawah lemari, berbalik dan bertatapan dengan Seo Jin yang keningnya mengernyit itu. " Kalian bertemu semalam, kan? "
Kencan. Semalam. Kencan. Bertemu. Nam Joon. Kencan. Bertemu.
Sekujur tubuh Seo Jin seperti melemas, menyadari satu kesalahan bodoh yang membenarkan kenapa Nam Joon perlu mencecarnya seperti siang tadi di kantin. Lupa.
Kenapa Seo Jin bisa melupakannya? Janji untuk bertemu di taman itu. Dia yang memaksa Nam Joon untuk datang, kan? Ia terlalu sibuk membantu Yoon Gi dan masalahnya, sampai-sampai ia melupakan pacarnya sendiri. Berapa lama Nam Joon menungguinya di taman sendirian? Ia tidak seharusnya memperlakukan Nam Joon seperti tadi, terutama karena ia yang ternyata bersalah disini.
Hoseok menghela napas panjang, mengerti keseluruhan situasinya saat ini.
" Pantas saja kalian bertengkar lagi. Sebaiknya segera kau menjelaskannya pada Nam Joon—dia pasti akan mengerti. "
Seo Jin menggigit bibir. " Aku sudah mengatakan hal-hal yang menyakiti hatinya, Hoseok-ah. "
" Dia pasti akan senang kalau sudah bicara denganmu. "
Seo Jin menunduk, ragu. Bagaimana kalau Nam Joon tidak merasa senang juga? Tapi, Nam Joon meminta Seo Jin menghubunginya, kan? Berarti Nam Joon ingin mereka berdua meluruskan situasinya. Seo Jin menghela napas lega, hubungannya masih bisa diperbaiki.
Seo Jin segera meraih ponselnya dan berdiri, tapi tahu-tahu meringis sambil meremas kepalanya—ponsel gadis itu segera saja terlepas menghantam lantai kelas dan mati. Taehyung nyaris melompat dari kursinya—membuang alat lukisnya sembarangan saja, segera menghampiri Seo Jin dan meraih kedua bahu temannya itu. Hoseok juga bergegas menghampiri, dengan raut wajah khawatir.
" Ada apa, Ketua Kelas? Apa yang terjadi? "
" Ada apa? Wajahmu pucat sekali. Kau sakit? Dimana yang sakit? " Cecar Taehyung.
" Argh! " Seo Jin meringis sekali lagi, dan jatuh terhyung dalam tangkapan Taehyung. " A-Aku merasa pusing. "
" Aku akan mengantarmu ke ruang kesehatan. Kau dengar aku? Kita ke ruang kesehatan sekarang. "
Hoseok membantu memindahkan Seo Jin ke punggung Taehyung yang tidak lebih berisi darinya itu, lalu segera mengeluarkan ponselnya dan menekan sederetan nomor yang sudah ia hapal.
" Aku akan segera menyusul. Aku perlu memberitahu Nam Joon— "
Seo Jin menarik lemah kain seragam Hoseok dengan sisa tenaga yang ia punya.
" Jangan. Kumohon. " Seo Jin nyaris tidak bisa mendengar suaranya sendiri.
" Ketua Kelas… "
Seo Jin menggeleng pelan. " Jangan beritahu Nam Joon apa-apa. "
Hoseok melirik Taehyung, dan si hidung mancung itu hanya mengangguk untuk meyakinkan Hoseok bahwa mereka harus melakukan apa yang Seo Jin minta. Hoseok mengalah dengan berat hati, dan kembali memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana. Baiklah, kalau Seo Jin tidak mau dikhawatirkan oleh pacarnya sendiri.
Taehyung segera meninggalkan ruang Klub Seni, menuju ke Ruang Kesehatan di gedung sebelah. Saat menuruni tangga, Taehyung merasa Seo Jin sedang menarik-narik kerah bajunya.
" Ada apa? "
" Tolong panggilkan Yoon Gi. "
.
.
.
" Kau membuatku menggagalkan tembakan tiga poin pada menit terakhir—tidak jadi berakhir dramatis seperti yang aku harapkan, jadi kau harus bertanggungjawab karena anak-anak kelas satu itu akan melihatku seperti seorang pecundang setiap hari. " Omel Yoon Gi—tidak sungguh-sungguh marah, saat Seo Jin sudah membuka matanya lagi.
Seo Jin terkekeh lemah, lalu menguap satu kali. " Aku akan melemparkan bola basket itu ke wajahmu. "
" Sepertinya kau tidak benar-benar sakit. " Ledek Yoon Gi, merasa sangat lega.
Ia mengusap-usap sebentar kepala Seo Jin dengan lembut.
" Jangan menghinaku begitu. Ini karena aku berusaha keras mengerjakan rangkuman sejarah peperangan, entah-apa-namanya-itu, sampai pukul tiga. Nilaiku harus meningkat semester ini, tahu. "
" Jangan terlalu memaksakan diri begitu. Ahjumma tidak benar-benar akan mengirimmu ke sekolah militer. "
" Kau tahu, Eomma akan benar-benar melakukannya. " Seo Jin tersenyum tipis. " Lagipula, aku bekerja keras begini karena kupikir aku sudah terlalu banyak bermain-main selama masa sekolahku. Aku juga ingin masuk ke Universitas yang bagus, agar Eomma merasa bangga, lulus dengan nilai yang keren, lalu bekerja di— "
" Kita bisa membicakan ini nanti. " Potong Yoon Gi, membekap mulut Seo Jin setengah bercanda. "Urus kesehatanmu dulu. "
" Kau tahu, kan? Aku ini hanya mudah sakit. Selebihnya, aku baik-baik saja. "
" Tapi, kau tahu kalau aku ini mudah panik, kan? Menyangkut Kim Seo Jin. Dirimu. "
Seo Jin tertawa lemah.
" Kau bisa minta bantuanku kapanpun. " Tambah Yoon Gi lembut.
Seo Jin berusaha bangun, dan Yoon Gi segera membantunya. " Aku memang akan meminta bantuanmu—sekarang. Tolong antar aku pulang. "
" Baiklah… " Gumam Yoon Gi, dengan nada yang menggantung.
" Apa? "
" Apa kau tidak mau menghubungi Nam Joon lebih dulu? "
Ulu hati Seo Jin terasa nyeri. Ia segera menggeleng.
" Aku menyalakan ponselmu. Dia terus menelepon dan mengirimimu pesan. "
" Jangan berisik! Cepat, gendong aku! "
Yoon Gi hanya bisa menghela napas, lalu membantu Seo Jin naik ke punggungnya. Akhiri saja, kalau sudah tidak bisa diperbaiki. Tapi, Yoon Gi hanya bisa mengatakan kalimat itu dalam pikirannya.
Seo Jin segera memejamkan mata sambil menyandarkan kepalanya, menahan rasa sakit karena rindu pada punggung lain yang rasanya jauh lebih hangat dan nyaman—dan sekaligus dingin ketika ia pandangi dari jauh.
Yoon Gi masih tidak mengatakan apa-apa, saat kain punggung bajunya terasa basah perlahan.
BAGIAN KEEMPAT – KIM NAM JOON, GENDONG AKU
Sungwoon High. Seoul, 2010.
" Apa kau berkencan dengan ketua kelas? "
Lagi-lagi, jalan Nam Joon dihalangi oleh wajah panjang Hoseok yang menyebalkan itu. Nam Joon segera mendorong kepala Hoseok, lagi, dan temannya itu akan mengikutinya sambil mencecarkan pertanyaan, lagi.
" Sejak kapan kalian menjadi dekat begitu? Mengakulah, kalian berkencan, kan? "
" Begitu? "
" Jangan pura-pura tidak tahu! Aku melihat foto yang dia upload di SNS semalam. Seisi sekolah juga sudah melihatnya—kalian memegang buku di foto, padahal di balik layar kalian pasti berpegangan tangan! Apa lagi yang mau kau sembunyikan? "
" Aku tidak menyembunyikan apa-apa. " Nam Joon mendorong kepala Hoseok menjauh lagi, karena pria yang hiperaktif dan terus-terusan menggeliat seperti cacing itu kembali mendekatkan wajahnya ke arah Nam Joon—sangat menganggu. " Bagaimana acara nonton DVDmu? "
Kedua mata Hoseok membulat. " Omo! Lihatlah anak ini… Dia baru saja mengalihkan topik pembicaraan! Kau makin membuatku curiga, tahu! "
Nam Joon berbelok masuk ke perpustakaan, dan memelototi Hoseok agar kutu loncat itu diam sedikit.
" Apa susahnya bicara jujur padaku? " Hoseok tidak mau menyerah, bahkan jika ia harus berbisik sampai urat-urat lehernya meletus sekalipun.
Nam Joon hanya bisa menggeleng heran, dan memilih untuk sebaiknya fokus pada buku paket yang akan ia cari ketimbang meladeni Hoseok. Jika sudah penasaran, tidak ada yang akan bisa menghentikannya. Nam Joon membayangkan jika Hoseok akan menghilang lalu kepalanya akan muncul di atas mouse komputernya, ujung pulpennya, ujung shower, di atas tisu toliet, hingga ujung sikat gigi dan berkata dengan mata yang disipitkan dan nada rendah 'Mengakulah, Kim Nam Joon' malam nanti. Nam Joon menggeleng ngeri. Bagaimana mungkin Jimin tahan dengan laki-laki yang seperti ini?
" Apa yang sedang kalian berdua cari? "
Suara rendah Kim Seo Jin yang sengaja mengganggu segera mengagetkan mereka berdua. Mata Hoseok membelalak lebar, sementara Nam Joon tampak tergagap karena tidak menyangka akan bertemu Seo Jin disini.
" Ketua kelas… "
" Ya, Jung Hoseok… Kau harus membayar dua ribu won untuk dua kali keterlambatanmu! " Seo Jin mengangkat tangan, berlagak akan memukul Hoseok.
" K-Kau sedang mencari buku apa? " Tanya Nam Joon.
Seo Jin segera menggeleng, dengan senyum dan sorot mata jahilnya. " Aku mengikutimu. "
Nam Joon mendengar buku seorang siswa di rak sebelah mereka terjatuh, dan segera merasakan beberapa pasang mata yang terdekat menyoroti lingkaran mereka bertiga dengan cepat.
Nam Joon segera menunduk, karena wajahnya memerah.
" Ya, Jung Hoseok… Aku pinjam temanmu sebentar, oke? "
Dan, Seo Jin segera menyeret Nam Joon meninggalkan perpustakaan sebelum Nam Joon sempat membuka mulut. Bahkan, sebelum Hoseok bisa kembali dari rasa shocknya.
.
.
.
Lain kali, ia harus menolak jika diseret oleh Kim Seo Jin lagi.
" Hhh… Hhh… Khenapahh… Hhh… kita harus kemarihh… Hhh? " Nam Joon jatuh terlentang, megap-megap berusaha mengumpulkan oksigen.
Seo Jin yang tidak tampak kelelahan, segera mengitari beberapa pohon dan semak yang ada di bukit itu, menunduk dengan sorot mata awas. Jelas-jelas sedang mencari sesuatu.
" Aku melupakan ponselku disini semalam. "
Kening Nam Joon berkerut tidak mengerti. Ia kemudian berguling telungkup, lalu duduk memperhatikan Seo Jin dari jauh.
" Sepulangnya dari rumahmu, Yoon Gi dan anak-anak klub menjemputku kemari. " Jelas Seo Jin, mengerti ketidakpahaman Nam Joon.
Kening Nam Joon berkerut lagi.
Yoon Gi? Min Yoon Gi dari kelas sebelah mereka?
Oh. Si pucat itu anak klub seni juga rupanya.
" Apa yang kalian lakukan? " Ritme napas Nam Joon sudah menjadi normal lagi sekarang.
" Seperti biasa. Membakar api unggun, dan mendengarkan anak-anak yang lainnya bernyanyi—kami memang sering kemari. "
" Orang tuamu pasti sangat marah, karena kau pulang larut. "
" Tidak, kok. Mereka tahu aku selalu bersama Yoon Gi, jadi mereka tidak pernah merasa khawatir. " Ujar Seo Jin, memperhatikan padang rumput kecil itu sambil mengingat-ingat dimana ia terakhir duduk, lalu kepalanya mendelik tidak puas karena ingatannya tidak bisa memberikan bantuan apa-apa.
Selalu bersama Yoon Gi?
Lagi-lagi, Nam Joon terbingung-bingung karena perkataan Seo Jin.
Maksudnya, Kim Seo Jin menghabiskan semua waktunya bersama Min Yoon Gi? Nam Joon tidak mengerti. Kenapa Seo Jin harus menghabiskan waktu bersama Yoon Gi? Mengerjakan semua aktivitas berdua—atau entah dengan orang lain ikut terlibat. Maksud Nam Joon, kenapa seorang wanita dan pria bisa menghabiskan waktu bersama dengan penekanan bahwa mereka begitu lengket seperti perangko? Kecuali—
" Dia temanku sejak kecil. " Seo Jin berbalik, menyela asumsi panjang dalam kepala Nam Joon. " Bisa dibilang kami tumbuh besar bersama. "
Oh…
Nam Joon tersenyum canggung, dan tawa Seo Jin segera pecah. Nam Joon suka sekali mendengar suara renyah yang menertawai kebodohan—anggap saja sama dengan kepolosannya—itu, lalu menggaruk-garuk keningnya malu.
" Kau lucu sekali! "
Nam Joon hanya bisa terus menyunggingkan senyum masamnya.
" Memang banyak yang berpikir kalau kami adalah pasangan. Setidaknya, itu karena Yoon Gi terlalu sibuk mengurusiku seperti kekasihnya, padahal itu karena kami memang sangat dekat. Seperti kakak-adik. "
Nam Joon mengangguk paham, walaupun tidak benar-benar mengerti. Kim Seo Jin itu begitu rumit. Saat gadis itu sedang berbicara di depan kelas, Nam Joon melihat Kim Seo Jin yang begitu tangguh dan keras kepala. Saat Kim Seo Jin sedang mengomeli para siswa pemberontak yang suka terlambat dan membolos di kelas mereka, Nam Joon melihat Kim Seo Jin yang kejam.
Lalu, saat mereka hanya berdua seperti sekarang, Nam Joon malah tidak tahu melihat Kim Seo Jin yang seperti apa. Ia lebih senang jika disuruh menghabiskan buku sejarah setebal lima ratus halaman, dibandingkan merasa terdorong untuk memahami Seo Jin dan tawa riangnya itu lebih dalam.
Ia selalu khawatir, saat merasa ia harus lebih menggunakan perasaan ketimbang otaknya. Perasaan selalu lebih tidak masuk akal, dan Nam Joon tidak pernah menyukai hal-hal yang tidak logis.
Seo Jin menyadari bahwa Nam Joon sedang mematung memandang lurus ke arahnya—sambil tersenyum tipis, dan suara tawanya yang renyah itu segera terputus.
" K-Kenapa kau diam saja? Apa yang s-sedang kau lihat? "
Nam Joon menggeleng pelan, dengan ekspresi melembut yang membuat perut Seo Jin bergejolak aneh. " Apa yang harus aku lakukan—tentang ponselmu? Aku ingin membantu. "
" Ugh. Ti-dak ada. "
" Baiklah. "
Seo Jin memelototi Nam Joon kesal. " Kenapa kau senyum-senyum begitu!? Kau membuatku takut… "
Nam Joon menggeleng sekali lagi, kali ini ia terkekeh senang. " Aku ini sedang pusing. "
" Pusing? Apa begitu wajah seseorang yang sedang pusing? Reaksimu aneh, tahu. "
Memangnya dia sendiri mau kelihatan membingungkan seperti ini?
Nam Joon mengangkat bahu pelan. " Tahu-tahu, ada yang aku pikirkan. Bukan hal besar. "
" Begitu, ya… " Seo Jin mengangguk-angguk saja, lalu kemudian menghela napas. " Karena kita tidak menemukan ponselku, sebaiknya kita kembali ke sekolah saja sekarang. "
Nam Joon segera berdiri. " Kau tidak mau mencari lebih lama lagi? Aku bisa membantumu. "
" Aniya. Aniya. Tidak usah. Aku akan membeli ponsel yang baru saja. Ayo! "
Nam Joon mengalah—ia tidak mengerti kenapa Seo Jin tidak sedih karena sudah kehilangan ponselnya. Terserah. Toh, itu bukan ponselnya juga. Ia berbalik, melangkahkan kaki untuk mulai menyusuri ujung jalanan setapak yang menuruni bukit itu.
" Kim Nam Joon… " Seo Jin menahan siswa bermata sipit dengan kacamata bundar tersebut.
Nam Joon segera berbalik.
" Gendong aku.. "
Deg.
" Hah? "
Seo Jin tidak mengatakan apa-apa lagi, tetapi segera berlari ke arah Nam Joon dan melompat ke punggung laki-laki yang masih mematung itu, membuatnya sedikit kehilangan keseimbangan. Nam Joon yang otaknya masih dalam proses loading produksi reaksi yang tepat, hanya bisa memperbaiki posisi Seo Jin yang menempel di punggungnya seperti anak koala yang hiperaktif—wajah Nam Joon memerah dengan cepat makanya ia segera melihat ke depan.
" Ayo, jalan! " Pekik Seo Jin riang, membuatnya terdengar seperti seorang anak kecil yang berada dalam gendongan ayahnya.
Nam Joon hanya menuruti perintah Seo Jin, menapaki jalan setapak yang menurun itu dengan hati-hati. Jantungnya berdebar kencang. Rasa gugupnya begitu ia kenali, terasa seperti bukan untuk yang pertama kalinya—sangat khas sebuah déjà vu.
Ayolah, memangnya apa yang Nam Joon tahu tentang hal-hal semacam itu?
" Tapi, Nam Joon-ah… " Seo Jin memulai pembicaraan setelah beberapa saat.
" Um? "
" Tahun lalu, kau juga menggendongku, kan? Setelah malam penutupan festival di bukit ini. "
" Um. "
" Kau tahu, tidak? Kita bicara untuk yang pertama kalinya pada saat itu. "
Nam Joon hanya mengangguk, membuat Seo Jin mengernyitkan keningnya tidak suka.
" Aku berat, ya? " Tanya Jin Hee, terdengar merajuk sebal.
" Hah? " Nam Joon melirik ke belakang sebentar. " Tidak. Tidak, kok. "
" Aku terlalu berisik, ya? " Nada suara Seo Jin tidak semelengking sebelumnya. " Semua teman-teman di kelas kita berkata seperti itu. "
Nam Joon menoleh ke belakang lagi sekilas. " Aku malah senang mendengarmu mengoceh. Seperti berada di tengah hutan yang luas sendirian, lalu ada banyak sekali burung-burung bercicit. Jadi tidak merasa kesepian lagi. "
Seo Jin tertawa. Jantung Nam Joon mencelos lagi saat mendengarnya.
" Kau benar-benar lucu! Aku menyukaimu— "
Deg.
Langkah Nam Joon segera berhenti, sementara Seo Jin sendiri yang segera menyadari adanya situasi canggung akibat kesalahpahaman yang ia buat, wajahnya memerah dengan cepat dan gadis itu segera menggigit bibir merutuki dirinya sendiri yang kurang tepat memilih kosakata.
" B-Bukan seperti itu maksudku! " Sanggah Seo Jin cepat. " Aku bilang menyukaimu—tidak, tidak. Bukan. Maksudnya, aku menyukaimu—ah, kenapa aku terus menggunakan kata itu? apa yang ingin aku katakan adalah—ah! Terserah! " Seo Jin segera menyandarkan wajahnya di tengkuk Nam Joon, bersembunyi, benar-benar kehabisan harga dirinya.
" Um… A-Aku menger— "
" Jangan bicara! " Potong Seo Jin panik, nyaris mencekik Nam Joon dengak rangkulan eratnya di leher lelaki itu. " Kau membuatku makin merasa malu. " Seo Jin memejamkan mata. " Wajahku benar-benar memerah sekarang. Aku bahkan tidak bisa mengangkat kepalaku. "
Mau tidak mau Nam Joon menyunggingkan senyum lebar juga, walaupun masih berkutat dengan perasaannya yang tidak karuan—kontak fisik dengan hembusan napas dan permukaan kulit wajah Seo Jin di tengkuknya ikut-ikutan mengacaukan situasi.
" Baiklah. Aku mengerti. "
" K-Kalau begitu kenapa kau tidak segera jalan juga? "
" Ah. Benar… " Nam Joon segera kembali menapaki jalan yang masih menurun itu, sementara seekor burung terdengar bercicit di kejauhan. " Kau dengar— "
" Jangan bicara! " Potong Jin Hee sebal. " Aku mau tidur saja! "
" B-Baiklah… "
Jin Hee berdecak kesal, lalu kembali memejamkan matanya. Tidak benar-benar berniat untuk tidur, tentu saja. Tidak, terutama di punggung Kim Nam Joon.
Mereka berdua diam dengan pikiran masing-masing selama setengah menit yang lama itu.
" Tapi… " Lagi-lagi, si cerewet Kim Seo Jin yang memulai pembicaraan. " Kau pakai parfum, ya? "
" Um? Tidak. "
" Kalau begitu, apa itu adalah aroma sampomu? "
" Oh. Ya. Kurasa. Aku tidak tahu. Entahlah. Mungkin. "
" Harum sekali. " Gumam Jin Hee pelan—kemudian menggigiti bibirnya lagi. " Jangan bicara! " Bentak Jin Hee, bahkan pada saat Nam Joon tidak sedang berusaha membuka mulut. " Aku mengantuk… "
Nam Joon tersenyum lebar sekali lagi.
Kim Seo Jin ini, dia kenapa, sih?
" Punggungmu hangat. " Bisik Seo Jin.
Dan, senyum lebar Nam Joon membeku di wajahnya.
" Aku rasa, aku akan benar-benar tidur sebentar. "
" U-Um. "
Di sepanjang sisa perjalanan yang benar-benar hening itu, Kim Nam Joon melihat Kim Seo Jin yang lain dengan sangat jelas—banyak sekali. Kim Seo Jin yang kekanakan, yang manis, yang lucu, yang pemalu.
Yang merangkul erat Nam Joon dengan kedua tangan kecilnya, yang menyukai aroma sampo Nam Joon, yang menyukai punggung hangat Nam Joon.
Nam Joon sudah membiarkan dirinya dipengaruhi hal-hal tidak logis yang ia benci, dan sekarang, sepertinya, ia sudah tidak bisa kembali.
.
.
.
" Oppa, " Panggil Jimin pelan, menarik kain baju Hoseok yang duduk di sebelahnya. " Itu… "
Hoseok yang sedang berusaha menggunting artikel majalahnya itu menoleh pada kekasihnya, lalu melihat ke arah yang Jimin tunjukkan dengan gerakan isyarat. Dan, disana, tepat di hadapan mereka berdua di seberang meja, tampak Kim Nam Joon yang sedang menatapi tumpukan majalahnya yang belum tersentuh sama sekali itu.
Si jangkung sipit berkacamata bundar itu masih menatapi tumpukan kertas bergambarnya sejak dua jam yang lalu, dengan tatapan menerawang yang tidak tampak sedang mengenang hal –hal sedih.
" Aku tidak tahu kalau dia bisa seperti ini juga, sayang. Dia tidak pernah melakukan ini. " Bisik Hoseok, masih terus menatapi Nam Joon dengan perasaan ngeri yang baru muncul sekarang, setelah ia menyadari betapa aneh temannya itu untuk malam ini.
" Lakukan sesuatu, Oppa. " Jimin menarik kain baju Hoseok sekali lagi.
Tatapan mata Nam Joon sudah terfokus pada tumpukan kertasnya sekarang, ia lalu meraih gunting dan memisahkan sampul depan majalah yang diletakkan paling atas tersebut. Memberi lem pada bagian belakang sampul, lalu menempelkannya pada kertas karton yang sudah Hoseok bentangkan untuknya di lantai.
Jimin dan Hoseok saling bertatapan, dengan sorot mata yang menjerit histeris. Mereka lalu kembali beralih pada Kim Nam Joon.
" N-Nam Joon-ah… " Panggil Hoseok ragu.
Nam Joon segera menoleh. " Ada apa? Ada bagian yang tidak kau mengerti? "
" Aku yakin tugasnya adalah artikel tentang kesehatan. "
Nam Joon tidak paham apa-apa, tapi ia malah tersenyum. " Maksudmu? "
" Artikel kesehatan. " Ulang Hoseok pelan-pelan, menekankan setiap suku kata agar bisa ditangkap dengan jelas. " Kita disuruh membuat klipping artikel kesehatan sebanyak mungkin. "
Nam Joon memperhatikan hasil tempelannya sebentar, lalu beralih lagi pada Hoseok.
Normalnya, Kim Nam Joon tidak pernah melakukan kesalahan dalam pelajaran maupun pada tugas-tugasnya. Kalaupun iya, kemungkinannya kecil sekali. Kalaupun terjadi, Nam Joon pasti akan merasa sangat marah karena si jangkung sipit itu sangat membanggakan nilai-nilai sempurnanya.
Tapi, saat ini tawa Kim Nam Joon malah pecah. Lengkap dengan raut wajahnya yang memerah. Ia segera merobek sampul majalahnya, dengan sorot mata yang malah tampak berbinar sekali. Tampar Hoseok kalau ia salah lihat.
" Ah… Kenapa aku seperti ini, ya? " Nam Joon tersenyum lebar, memperhatikan sekitarnya lalu menatap Hoseok lagi. " Aku tidak punya kertas lagi. " Ujar Nam Joon, tertawa lembut sekali lagi sambil menunduk menutupi matanya dengan satu tangan.
.
.
.
" Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaargh! "
Jeritan Seo Jin teredam bantalnya sendiri.
Mau dia kemanakan mukanya?
Gadis itu menendang-nendang selimutnya, berguling-guling ke sembarang arah dengan brutal, lalu meredam jeritannya lagi. Untung ranjang kayunya itu tidak ambruk.
Kim Seo Jin bodoh. Kenapa dia menghabisi harga dirinya sendiri?
Kenapa suhu tubuhnya terasa sepanas ini? Apa yang salah dengannya—apa yang salah dengan terlelap di punggung hangat Nam Joon? Mengingat hal itu lagi, darah Jin Hee di dalam kepalanya seperti makin banyak lagi mengeluarkan gelembung didih ke permukaan, membuat raut wajah Seo Jin benar-benar memerah sekarang.
Bodoh sekali. Memangnya kenapa ia harus merasa malu? Dia hanya kebetulan sedang mengantuk pada saat itu, kan?
Punggungmu hangat…
Lalu kenapa ia harus mengeluarkan kalimat aneh seperti itu?
" Aaaiiiiiiiiiiiissssssshhhh… "
Seo Jin kembali menendang-nendang, lalu berguling-guling lagi hingga tubuhnya malah jatuh menghantam lantai kamarnya yang keras dan dingin. Ia akhirnya merengek-rengek sendiri, sambil meremas pinggangnya yang terasa sakit.
Merasa frustasi, dengan seluruh tubuh yang kemudian dibaluti selimut seperti sepotong Chicken Wrap cepat saji, Seo Jin meringkuk di lantai dengan ponsel milik ibunya yang ia pinjam berada di telinganya.
Yoon Gi menjawab setelah dua deringan.
" Ada apa? "
" Aku sedang merasa gugup sekarang. " Bisik Seo Jin Horor. " Aku menghabiskan berjam-jam hanya untuk berdebat dengan diriku sendiri. "
Yoon Gi terdiam selama beberapa detik, dan hal itu menyiksa batin Seo Jin.
" Kim Seo Jin, apa kau sedang jatuh cinta? "
Seo Jin tidak perlu repot-repot menutup telepon, sebelum melemparkan ponselnya ke lantai dengan perasaan yang makin tidak karuan. Ia segera merengkuh kedua sisi wajahnya sendiri, lalu menggeleng-geleng dengan kuat sampai kepalanya terasa pusing.
Yoon Gi seperti baru saja mengucapkan sebuah teror.
Dia jatuh cinta? Seo Jin menelan ludah.
Ia memberanikan diri membayangkan punggung hangat Nam Joon—saja—dan merengek lagi, kembali berguling-guling.
Ah… Kenapa dia jadi merasa aneh begini?
BAGIAN KELIMA – KECURIGAAN SUDAH MEMAKAN OTAKKU
Seoul, 2011.
Lagi-lagi, Kim Seo Jin menarik kerah seragam Yoon Gi.
Si pucat itu berhenti berjalan.
" Aku tidak ingin pulang ke rumah. " Seo Jin memelas.
" Tapi, kau harus beristirahat dulu. "
Seo Jin menggeleng. " Aku tidak ingin beristirahat di rumah—aku belum punya cukup tenaga untuk berkeliaran seperti dugaanmu. Aku tidak ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan Eomma. Bawa saja aku ke rumahmu. "
Yoon Gi memperhatikan pagar rumah Seo Jin, yang tepat berada beberapa langkah di hadapan mereka. Terdengar suara ibu Seo Jin yang sedang mengomeli adik perempuan Seo Jin, suara televisi, dan suara ayah Seo Jin yang bertanya tentang air panas untuk mandinya. Rumah Yoon Gi sangat jauh berbeda dengan rumah Seo Jin, begitu sepi dan tenang. Adik lelaki Yoon Gi tidak begitu banyak bicara seperti kakaknya, sedangkan kedua orang tua mereka masih menetap di kampung halaman mereka, Daegu.
Yoon Gi menyukai kehidupan di rumah Seo Jin, sedangkan gadis nakal di punggungnya itu sering kabur ke rumah Yoon Gi untuk mencari kedamaian.
" Kau yakin? "
Seo Jin mengangguk di punggung Yoon Gi. " Kau bisa tidur di kamar adikmu lagi, kan? "
" Sial. " Yoon Gi terkekeh, berbalik menuju tempat tinggalnya yang hanya berjarak tiga rumah dari tempat Seo Jin. " Turun. " Perintah Yoon Gi, saat mereka sudah tiba tepat di depan pagarnya yang setengah terbuka itu.
Seo Jin merosot turun dengan malas dari punggung Yoon Gi, menunduk berpegangan pada pinggang lelaki itu sebentar untuk mengatur keseimbangan tubuhnya lebih dulu sementara kepalanya masih terasa sedikit berputar-putar.
Yoon Gi yang khawatir berbalik, memegangi bahu Seo Jin.
" Terima kasih. " Gumam Seo Jin. Kepalanya masih tertunduk.
" Tidak apa-apa. " Bujuk Yoon Gi. " Besok semuanya akan kembali membaik. "
Seo Jin mendongak. Sorot matanya tampak berkaca-kaca.
Yoon Gi mengusap-usap kepala Seo Jin dengan lembut, menyunggingkan senyum tipis untuk meyakinkan gadis itu bahwa semuanya memang akan kembali membaik. Walaupun bukan besok.
Seo Jin menghela napas berat. Kepalanya terasa ikut memberat.
Ia mengalihkan perhatiannya ke arah lain, saat matanya menangkap sosok Nam Joon yang sedang berdiri di bawah lampu jalan di ujung terjauh pagar rumahnya sendiri, dan Seo Jin segera saja tertegun.
Nam Joon segera berbalik pergi dengan langkah-langkah lebar, dan Seo Jin berharap ia bisa memiliki tenaga yang cukup untuk mengejar Nam Joon dan berkata bahwa pacarnya itu sudah salah paham. Atau, setidaknya Seo Jin berharap dia bisa melihat raut wajah Nam Joon dengan jelas. Seandainya dia bisa menyampaikan semua pada pacarnya itu, hanya dengan tatapan mata saja.
Tapi, Kim Seo Jin hanya bisa berjongkok dan memeluk lutut, membenamkan kepala pada kedua punggung lengannya. Semuanya serasa ditumpuk, lalu ditimpakan sekalian ke bahu Seo Jin. Rasa sakitnya, kelelahannya, rindu yang dirasanya tidak pantas, kemarahannya, lagi-lagi naluri defensifnya—apa yang begitu salah dengan menjadi teman kecil Yoon Gi? Lalu, rasa bersalahnya.
Seperti bendungan yang bobol, isakan Seo Jin lolos juga.
Dan, Yoon Gi seperti mendengar gadis itu menyampaikan sebuah kisah yang panjang. Tanpa tahu bisa melakukan apa, Yoon Gi hanya bisa ikut berjongkok di hadapan Seo Jin. Memperhatikan temannya itu dengan perasaan yang sama sedihnya—aku harus menghajarmu, Kim Nam Joon.
.
.
.
Begitu pintu kamarnya tertutup tanpa nyawa di balik punggungnya, Nam Joon menjatuhkan ranselnya di lantai begitu saja lalu membuka pintu kamar mandi sementara suara ibunya yang mengingatkan agar Nam Joon mandi dengan air hangat terdengar di latar belakang. Jauh sekali.
Kim Seo Jin…
Nam Joon sibuk mencerna kejutan yang tadi ia lihat, dan mesin dalam tubuhnya—setiap sel yang ia kerahkan untuk menjernihkan otaknya agar ia bisa berpikir—memproses keinginan Nam Joon sedikit lebih lama. Mungkin, ini sebenarnya karena Nam Joon tidak ingin memikirkan apa-apa. Tidak ingin pemahamannya menghasilkan apa-apa. Dia enggan mengingat-ingat, karena sesungguhnya setiap bagian dari adegan yang ia lihat itu menyiksa setiap inci perasaannya.
Kim Seo Jin merasa nyaman bersandar di punggung Yoon Gi.
Nam Joon menunduk, tidak benar-benar heran saat melihat bak mandinya sudah penuh—airnya meluap membasahi lantai kamar mandi, lalu memutar keran dengan setengah hati. Suara aliran air segera terputus.
Kim Seo Jin berpegangan pada Yoon Gi, menjadikan laki-laki itu tumpuannya.
Nam Joon sudah duduk di dalam bathubnya, masih dengan tatapan yang tidak fokus—dan berseragam penuh lengkap dengan kaos kakinya.
Tadinya ia marah, lalu sekarang ia juga merasa sakit.
Semua kecurigaannya, semua emosi yang sudah ia lupakan, perasaan cemburunya yang menggunung, Nam Joon bisa merasakan semua hal itu membumbung naik lagi ke ubun-ubunnya dan membuat hatinya terasa panas. Kenapa hal tidak logis seperti perasaan ini, bisa membuatnya tersiksa tanpa penjelasan? Ah, Nam Joon lupa. Hal tidak logis tidak pernah memiliki penjelasan sebagai penyelesaiannya. Satu-satunya pemecahan untuk hal tidak logis adalah keegoisan.
Tidak apa-apa, Jimin juga bisa keliru kadang-kadang. Gadis mungil itu masih bisa memberikannya saran untuk hal yang lain saja, kan?
Min Yoon Gi menyentuhkan tangannya pada Kim Seo Jin. Pada bahu pacarnya, pada kepala pacarnya…
Itu yang pertama kali Nam Joon lihat.
Bagaimana dengan yang sebelum-sebelum ini? Selama ini?
Sudah seberapa sering Yoon Gi menyentuh-nyentuh Seo Jin? Apa hanya usapan pada kepala saja?
Min Yoon Gi tersenyum pada Kim Seo Jin, pacarnya.
Nam Joon setengah membenamkan diri pada bathubnya sekarang.
Itu senyum yang berbeda.
Nam Joon tahu dengan pasti, karena ia juga laki-laki. Ia bisa mengetahui dan membedakan bagaimana cara seorang laki-laki melihat seorang gadis.
Bagian terbaiknya, Seo Jin ingin menginap di tempat Yoon Gi.
Tinggal kepala Nam Joon yang masih berada di atas air sekarang.
Kim Seo Jin menyunggingkan senyum yang sudah lama tidak Nam Joon lihat, pada Yoon Gi.
Nam Joon membenamkan kepalanya, tidak ingat sama sekali untuk menyiapkan oksigen cadangan, dan dengan cepat gelembung udara memenuhi permukaan air di atas wajahnya. Hidungnya sakit. Kepalanya sakit. Kerongkongannya sakit. Telinganya berdengung panjang.
Tidak. Dia bukannya sedang berniat melakukan hal-hal yang nekat.
Tidak, tentu saja. Nam Joon hanya sedang membantu dirinya untuk bisa berpikir jernih dengan cara yang sedikit ekstrim, karena detik berikutnya Nam Joon melompat bangkit dari dasar bathub dan segera megap-megap meraup udara sambil terbatuk-batuk.
Hidung dan paru-parunya terasa sakit.
Ia tidak akan mengkonfirmasi kejadian malam ini pada Seo Jin besok. Dia harus membiarkannya. Dia tidak boleh mengungkitnya. Dia tidak bisa menunjukkan kemarahannya. Dia harus berhenti jadi si pria jahat dan brengsek. Dan, dia harus berhenti berpikir.
Nam Joon masih sesekali terbatuk.
Apa ia terdengar seperti akan segera menyerah?
Nam Joon mengusap mukanya.
Ia hanya bisa kembali menyandarkan punggungnya pada bathub, berusaha keras mengosongkan pikirannya atau dia malah tidak akan bisa tenang sampai dia dan Seo Jin saling meneriaki lagi satu sama lain.
Dan, selama dua jam yang berikutnya, Nam Joon masih setengah membenamkan dirinya di dalam bathub, yang airnya lambat-laun menjadi dingin itu.
Berusaha memperbaiki keadaan apanya?
.
.
.
Nam Joon membuka matanya perlahan—seluruh tubuhnya terasa sedang berada di dalam oven, dan tidak tahu apakah ia harus merasa senang atau sakit.
" Mana Hoseok? " Tanya Nam Joon pelan, tapi dengan mudahnya menghancurkan senyum lega Seo Jin.
" Tadinya dia disini. " Gumam Seo Jin. " Dia pergi beberapa saat yang lalu. "
Nam Joon tidak menanggapi.
" Aku khawatir karena kau tidak datang ke sekolah, jadi aku menelepon Hoseok—dia bolos pada pelajaran kedua tadi. " Ujar Seo Jin lagi.
" Terima kasih—tapi aku hanya demam biasa. "
Seo Jin menggigit bibir.
" Tapi, aku tetap mengkhawatirkanmu. " Seo Jin menyelipkan helaian rambutnya ke balik telinga, menimbang-nimbang sebelum melanjutkan bicara. " Nam Joon-ah… Aku minta maaf. aku benar-benar menyesal. "
Nam Joon menyunggingkan sebuah senyum tipis yang lemah. Peluk saja aku. " Lebih baik kita tidak usah membahasnya. "
" Aku harus— "
Nam Joon berbalik lemah membelakangi Seo Jin dengan seluruh tenaganya yang ada, memotong perkataan gadis itu dengan pisau tidak kasat mata yang ia miliki.
Lagi-lagi, walaupun setengah tertutupi selimut, Seo Jin bisa melihat punggung dingin Nam Joon. Terus membuatnya merasa berjarak.
" Kembalilah ke sekolah dan perhatikan pelajaranmu. Aku ingin tidur sekarang. "
Seo Jin menggigiti bibirnya lagi, mengangguk walaupun Nam Joon tidak melihatnya.
Dengan perasaan pedih, Seo Jin meninggalkan kamar Nam Joon seperti yang lelaki itu inginkan.
Detik berikutnya saat terdengar suara pintu menutup, Kim Nam Joon memejamkan mata dengan perasaan yang tidak kalah hancurnya.
.
.
.
" Kau yakin baik-baik saja? " Tanya Hoseok untuk yang kesekian kalinya, masih setengah berbisik dan menyembunyikan wajah di balik buku paketnya.
Bisa gawat, kalau Pak Guru Byun mendapati ada siswanya yang berani mengalihkan perhatian dari penjelasannya selama kelas berlangsung.
Nam Joon melirik Hoseok, masih menopang wajah dengan satu tangan sedangkan satu tangannya yang lain mencorat-coreti halaman belakang buku catatannya sembarangan saja. Hoseok bahkan tidak tahu, apa Nam Joon sedang menggambar bebek atau atau bebek dengan bulu jerami dan paruh gagak.
Nam Joon mengangguk pelan, sebelum beralih untuk membalik kembali bukunya ke halaman tengah yang penuh catatan.
" Tentu. Tentu saja. "
" Kau masih bisa beristirahat sehari lagi, kalau kau mau. "
Nam Joon mengangkat bahu. " Aku merasa tidak enak kalau absen hari ini juga. "
Bel tanda sekolah usai berbunyi di latar belakang, lalu disusul teriakan senang para siswa yang bergegas keluar meninggalkan ruangan—kelas penyiksaan Bahasa Inggris mereka sudah selesai, dan suara melengking Byun Baekhyun yang berusaha menyela di tengah keriuhan itu dengan omelannya. Baekhyun paling benci kalah dari sebuah bel, dan sayangnya selalu seperti itu.
Nam Joon dan Hoseok sama-sama merapikan buku-buku mereka ke dalam tas.
" Kau tidak bicara dengan Seo Jin? " Hoseok menyikut pinggang Nam Joon.
Gerakan tangan Nam Joon berhenti.
Laki-laki itu memundurkan badannya, memperhatikan Seo Jin yang duduk paling ujung di seberang ruangan pada deretan yang sama dengan tempat duduk Nam Joon. Gadis itu segera menolehkan wajah ke arah lain, lalu menunduk dan sibuk dengan tasnya.
" Dia benar-benar mengkhawatirkanmu. " Ujar Hoseok, berdiri lebih dulu sambil memikul ranselnya. " Aku akan pergi lebih dulu. Jangan salah paham. Aku memang ada janji dengan my lover Park Jimin sekarang, jadi aku harus segera ke kelasnya atau dia akan mengomeliku habis-habisan. "
Nam Joon beralih menatap Hoseok, mengangguk dan membiarkan temannya itu berbalik pergi meninggalkan dirinya sendirian. Bersama Kim Seo Jin, yang tidak tampak akan segera pergi juga.
Nam Joon menghela napas, memperbaiki letak kacamatanya sambil memandang keluar jendela. Beberapa siswa dari kelas sebelahnya masih asyik bermain bola di lapangan, ditemani terik sinar matahari siang yang menyengat.
Dalam perjalanan pulang nanti dia akan berjalan kaki saja dan mampir ke toko buku dulu, membeli beberapa bacaan baru, lalu ke swalayan untuk mendapatkan beberapa camilan seperti keripik dan biskuit. Uang jajannya masih cukup banyak, karena Nam Joon tidak begitu boros selama tiga bulan terakhir ini.
Ia berharap bisa membeli buku yang paling tebal, jadi ketika bacaannya sudah selesai, hari sudah malam dan Nam Joon bisa langsung tidur.
" Ini… "
Perhatian Nam Joon buyar, dan ia segera mendongak ke depan untuk mendapati bahwa Seo Jin sedang berdiri di depan mejanya sekarang, dengan salah satu tangan terjulur ke atas meja laki-laki itu. Nam Joon menunduk, melihat ada satu kotak bekal besar baru saja disodorkan oleh Kim Seo Jin.
Nam Joon mendongak lagi.
" Apa ini? "
" Kotak bekal. " Goda Seo Jin dengan nada jahil.
" Aku tahu. " Wajah Nam Joon memerah.
Seo Jin tersenyum ragu, tapi dalam hati merasa senang karena setidaknya Nam Joon sudah tidak sekaku kemarin. Ia segera menarik satu kursi terdekat, menyeretnya ke depan meja Nam Joon lalu duduk disana.
" Kau tidak ke kantin saat makan siang, jadi aku pikir kau perlu sedikit mengganjal perutmu nanti. "
Nam Joon memperhatikan kotak bekal itu sekali lagi, sebelum kembali beralih pada Seo Jin.
" Aku tahu apa yang kau pikirkan. " Sela Seo Jin, sebelum Nam Joon sempat membuka mulut. " Setidaknya, makan sesuap saja lalu kau boleh pulang dan menikmati makan siang buatan ibumu. Tapi sekarang, kumohon, makanlah sedikit saja, karena aku sudah membuatkannya untukmu. "
Nam Joon menghela napas kalah, membuka kotak makan siang itu sementara Seo Jin menyiapkan sumpitnya. Dan, serius, hanya ada Kkimbap, telur dadar gulung, Japchae, dan beberapa potong daging, tapi nyaris menggunung hingga tampak seperti Seo Jin seharusnya memilih wadah yang lebih besar lagi.
Nam Joon menahan diri untuk tidak tertawa, dan menyumpitkan gulungan Kkimbap pertama ke dalam mulutnya, lalu menyusul yang kedua sebagai yang terakhir.
Seo Jin tersenyum, merasa sedih karena pikirnya Nam Joon akan makin menghangat lagi hingga mereka bisa kembali berbaikan seperti sebelumnya lagi. Tapi, nyatanya raut wajah pacarnya itu tetap sama datarnya. Seo Jin memutuskan ia akan memberi Nam Joon sedikit waktu lagi untuk menenangkan diri.
" Baiklah. " Ia segera berdiri, setelah membukakan tutup botol air minum untuk Nam Joon. " Karena kau sudah makan seperti permintaanku, aku akan pulang sekarang. Kau boleh melakukan apapun pada makan siang itu. "
" Tunggu. " Nam Joon menahan Kim Seo Jin yang baru hendak berbalik.
" Kau butuh sesuatu? "
" Ini bukan porsi untuk satu orang. " Gerutu Nam Joon.
Menatap sorot mata laki-laki itu yang nyatanya melembut, lalu mendengar sesuatu yang lain dari nada suaranya, ketegangan Seo Jin seperti berangsur lepas, dan gadis itu tidak bisa menahan senyum lebarnya saat ia duduk kembali.
Nam Joon mengalihkan mukanya malu, lalu menunduk dan pura-pura sibuk makan.
Seo Jin hanya bisa tertawa melihat tingkah kekanakan yang sok dewasa khas Nam Joon itu, lalu memasukkan satu gulungan Kkimbap ke dalam mulutnya dengan tangan.
" Mungkin aku hanya perlu duduk disini seharian, dan kau tetap akan menghabiskan semuanya sendirian. Lihat? Akhirnya, itu memang porsi untuk satu orang. "
Nam Joon tersedak, dan segera meneguk air minumnya.
" Diamlah. " Tegur Nam Joon kesal, tapi hal itu malah membuat Seo Jin tidak bisa berhenti memperhatikannya dengan perasaan senang.
.
.
.
Seo Jin membuka matanya perlahan, terbangun karena suasana yang menggelap dan dingin itu mengganggunya. Tepat jauh di luar jendela, matahari tampak sudah setengah tenggelam.
Ini bukan pemandangan kamar Seo Jin, karena dari jendela kamarnya, ia bisa melihat deretan gedung-gedung dan satu taman kompleks yang besar. Bukannya pepohonan rimbun, apotik, dan halte bus.
Halte bus?
Seo Jin segera duduk tegak, dan sebelum ia bisa mengingat dimana ia sedang berada sekarang, sosok kurus Taehyung sudah mengagetkannya lebih dulu. Laki-laki itu duduk di seberang meja, tepatnya di kursi Nam Joon. Nam Joon berubah menjadi Taehyung? Atau, itu memang tempat duduk Taehyung, dan Seo Jin sebenarnya tidak pernah bertemu Nam Joon?
Seo Jin menunduk, kotak bekalnya nyata, lalu mengedar pandang ke sekeliling ruang kelas, ini adalah ruang kelasnya, dan kembali lagi pada Taehyung.
" Apa yang kau lakukan disini? " Tanya Seo Jin dengan mata yang masih mengantuk.
" Aku tidak bisa melihatmu seharian ini—kau tidak datang ke klub sama sekali, jadi aku mencoba menghubungimu, berkali-kali. Sayang sekali, kau tidak menjawabnya. "
" Jadi, kau menyimpulkan kalau aku pasti masih berada di sekolah? " Seo Jin menguap satu kali, lalu memijat-mijat lehernya yang terasa pegal.
" Tidak. " Taehyung tersenyum tipis. " Ya. "
" Apa? "
" Sudahlah. " Taehyung berdiri, menarik Seo Jin untuk ikut bersamanya. " Kita pulang saja. Kau tidak berencana menginap di sekolah, kan? "
Seo Jin menggeleng bingung seperti robot, dan hanya bisa mengikuti Taehyung dengan patuh. Ini tidak benar. Pikir Seo Jin gelisah, lalu menoleh ke belakang. Ke bangku kosong milik Nam Joon.
Kemana si maniak rumus itu?
Kenapa dia pergi begitu saja?
Seo Jin menggigit bibirnya sedih.
" Aku boleh mengantarmu sampai ke rumah, kan? " Tanya Taehyung tiba-tiba, membuat Seo Jin menatapnya tergagap. " Jangan salah paham. Aku hanya mengkhawatirkanmu. "
Seo Jin akhirnya mengangguk juga.
" Min Yoon Gi tidak akan memukulku, kan? "
" Kenapa dia harus memukulmu? "
" Bukannya kalian dekat? "
" Bukannya kau dan Yoon Gi juga dekat? Dasar, aneh. "
" Apa kami tampak dekat? "
" Kau pikir kalian tidak dekat? "
" Aku pikir mungkin orang lain memiliki pikiran yang berbeda. "
" Kenapa bisa berbeda? "
" Kalau begitu apa kau memiliki pikiran yang sama? "
" Jawab saja sendiri. " Tukas Seo Jin, dan Taehyung tertawa. " Kau selalu berputar-putar, dan aku tidak bisa memahamimu. "
Taehyung masih tertawa, karena ia benar-benar merasa kalau wajah kesal Seo Jin itu lucu.
" Tapi, Taehyung-ah, apa kau tidak melihat Kim Nam Joon tadi? Ia sedang duduk bersamaku di kelas tadi. "
Taehyung menatap Seo Jin sebentar—gadis itu benar-benar tampak gelisah dan kelelahan, lalu menyunggingkan senyum lebar. " Pacarmu? " Taehyung menggeleng. " Tidak. Kau hanya sendirian saat aku datang. "
Seo Jin menunduk dengan perasaan yang benar-benar sedih.
Jadi, Nam Joon meninggalkannya sendirian, ya?
Taehyung hanya bisa membuang wajah ke arah lain, dengan perasaan yang sepenuhnya bersalah.
1 Pesan Baru Diterima :
Kau mencari Seo Jin, kan? Seo Jin sedang tertidur di kelas sekarang. Tolong jangan katakan apa-apa padanya, selain kau tidak pernah melihatku. Maaf melibatkanmu.
.
.
.
" Hei, dia bukannya primadona Klub Seni? "
" Kudengar-dengar, bakat melukisnya lebih bagus lagi daripada Min Yoon Gi. "
" Sumpah, dia tampan sekali. Apa dia sudah punya pacar? "
" Dia mau kuajak berkencan tidak, ya? "
" Tipe wanita seperti apa yang dia sukai? "
" Ah, aku berharap dia bakal menyukaiku! "
" Heol! " Hoseok menyikut pinggang Nam Joon. " Aku pikir para gadis ini sudah reda dengan sindrom Min Yoon Gi, nyatanya mereka malah dapat sindrom Kim Taehyung lagi. Kasihan sekali, ya? "
Gerakan menulis Nam Joon terhenti.
" Kyaaa… Dia melihat kearahku! "
" Kearahku! "
" Dia datang! Dia datang! Dia berjalan kemari! "
" Serius, kapan para gadis ini dewasa? " Hoseok melipat kedua lengannya ke belakang kepala, lalu bersandar pada punggung kursi dengan malas. " Apa Kim Taehyung itu segitu populernya? Hidungnya tinggi sekali! Siapa yang menyukai struktur wajah aneh begitu? "
Nam Joon mengepalkan kedua tangannya tanpa sadar.
" Tapi, kupikir teman-teman Klub Seni Ketua Kelas itu tampan semua, sih. Sedikit. Dan, mengagumkan karena bakat mereka, tentu saja. " Hoseok menoleh pada Nam Joon, sementara suasana kelas makin terasa gaduh. " Dia sama dekatnya dengan Ketua Kelas, seperti Min Yoon Gi. "
" Ah, dia datang kemari untuk menemui Ketua Kelas, ya? "
" Sayang sekali. "
" Mereka memang berada di Klub yang sama, kan? "
" Aaah, aku iri pada Ketua Seo Jin! "
" Kim Taehyung perhatian sekali! Dia membawakan obat untuk Ketua Kelas! "
" Aku berharap bisa diperlakukan seperti itu juga… "
" Kemarin mereka pulang bersama. "
" Tempo hari aku melihat Kim Taehyung menggendong Ketua Kelas ke UKS. "
" Min Yoon Gi juga sering melindungi Ketua Kelas… "
Nam Joon segera berdiri dengan gerak cepat yang membuat mejanya berderit nyaring, membuat semua dengung pembuat sakit kepala itu menguap entah kemana. Takut. Merasa bersalah. Mereka lupa kalau pacar Ketua Kelas juga sedang berada di ruangan yang sama. Lalu, para siswi itu saling menyikut dan menyalahkan satu sama lain.
Seo Jin menahan diri, untuk tidak melihat ke arah Nam Joon. Kepala gadis itu tertunduk. Seo Jin marah dan merasa bersalah pada saat yang bersamaan. Nam Joon menghilang begitu saja kemarin, dan Seo Jin tahu ia pantas mendapatkan sedikit penjelasan bahkan kalau itu hanya lewat pesan singkat.
Di sisi lain, Seo Jin ingin membela Nam Joon, menghentikan semua perkataan para siswa itu yang semakin keterlaluan, menjelaskan bahwa mereka sudah melebih-lebihkan ceritanya, dan Seo Jin tidak seburuk itu. Dia sangat tidak mungkin sengaja melukai Nam Joon dengan cara yang buruk begitu. Tapi, Seo Jin tidak bisa. Karena rasa marahnya. Pemahamannya, bahwa pandangan Nam Joon tidak akan berubah, apapun yang ia katakan. Penjelasan apanya?
Karena pilihannya untuk diam itulah, Seo Jin merasa bersalah karena secara tidak langsung dia juga sudah melukai Nam Joon dengan cara yang lain.
Nam Joon segera berjalan keluar kelas dengan langkah-langkah lebar—suara menjejak lantainya benar-benar seperti tembok batu yang lewat di belakang Seo Jin, tanpa mengatakan apapun atau melihat ke arah siapapun.
Seo Jin mencengkeram ujung mejanya.
Tidak ada lagi yang berani memperhatikan Kim Seo Jin maupun Kim Taehyung.
To be continued, and Review Juseyo :D
