Hingga beberapa dekade lalu, tidak ada yang tahu apapun mengenai Winhill. Tidak, sampai seorang jurnalis pengembara dari Timber Scoop memutuskan untuk mengabadikan keindahan alamnya. Itu tiga tahun lalu.
Kini Winhill terlintas dalam pikiran setiap orang ketika liburan mendekat. Bersantai di desa terpencil dengan peternakan chocobo dan minuman lokal yang menyegarkan, unik tak ada duanya membantu menyegarkan kepala yang penat oleh kebisingan kota besar. Hampir setiap orang kaya di seluruh dunia membayar untuk membangun villa dan hotel di Winhill, untuk menikmati udara segarnya.
Ini adalah liburan akhir semester dan gadis 16 tahun, Delphy sedang tinggal di villa pribadi milik ayahnya bersama dengan teman-teman. Tanpa kehadiran orang dewasa. Itu berarti, kebebasan!
Yah, ... itu rencananya.
Ada orang ini, rambutnya panjang, terlalu malas untuk bercukur sebagaimana dia terlalu malas untuk berganti pakaian dan mandi sekali sehari. Ia menguasai sofa paling nyaman di villa dan remote tv juga. Semua kudapan dihabiskan olehnya, kakinya ke mana-mana dan selalu kepo dengan urusan si adik bungsu.
"Aku perlu jalan-jalan ke desa," Delphy melipat kedua lengannya dan menatap kakak sulungnya dengan tajam.
"Tepatnya ke mana?" si penjaga pintu itu bernama Luke Lionheart.
Delphy mulai menghentakkan kakinya dengan kesal, "di luar pintu ada jalan, turun dari perbukitan komplek villa, di sana ada desa bernama Winhill, desa yang kau foto tiga tahun lalu."
"Sebentar aku kasih tahu ayah dulu, yah." Luke mengangkat ponselnya, hanya untuk direbut kembali oleh Delphy secepat orang menyabet nyamuk.
Gadis itu mengomel, "aku cuma pergi ke desa, jalan-jalan. Gak perlu penjaga atau supir! Aku sudah 16, bukan anak-anak lagi. Aku hanya seorang gadis remaja yang ingin menikmati keindahan alam Winhill dan melihat rumah nenek kita, bersama teman-temanku. Tidak bisakah aku mendapatkan sedikit privasi?"
Luke sama sekali tidak terganggu dengan suara nyaring adiknya yang memekakan telinga itu, "yah. 16 tahun, itu adalah usia dimana anak-anak kecil memijakkan kaki di pintu gerbang kedewasaan. Kau paham betapa berbahayanya hal itu?"
"Aku bisa magic tanpa perlu GF, aku bisa melindungi diri!"
"Bisakah magic [scan] memberitahu motif pemuda-pemuda begundal di bawah sana?"
"Oh, kau pikir aku ke mari untuk menemui Ryan?"
Senyum kemenangan tersungging di bibir Luke mendengar nama itu, "sejujurnya, aku tidak tahu kalau namanya Ryan."
"Anjing!" setelah mengumpat, Delphy berjalan dengan langkah lebar dan menghentak masuk ke dalam kamarnya. Luke dapat mendengar suara pintunya dikunci.
"Hei, itu kasar. Aku tidak ingat ayah dan ibu mengajarimu kata-kata itu. Delph?" Luke, masih dengan senyum kekanak-kanakannya mengejar adik bungsunya. "Delph, jadi nama teman chattingmu itu Ryan? Namanya biasa sekali. Orangnya seperti apa? Apakah dia juga tertarik pada fotografi? Mungkin kita bisa berteman. Delph?"
"Aku benci kamu, Luke! Benciii...! Aku harap kamu mati dalam tugas jurnalismemu!"
Kata-kata tidak bisa menjelaskan betapa kesalnya Delphy detik ini, gadis itu meluapkan kekesalannya dengan meninju samsak yang tergantung di sudut kamarnya. Ada wajah Luke ditempel di sana.
Liburan hari terakhir dan selama satu minggu, dia dan kedua orang temannya hanya dikurung di dalam villa, tidak boleh ke mana-mana gara-gara si Luke brengsek. Lebih menyebalkan lagi, dia selalu cengengesan seakan bila dunia ini meledak sekalipun, dia akan menganggapnya hiburan juga. Jelas ada yang salah pada kepala kakak sulungnya itu!
"Kenapa harus semarah itu sih?" Luke menggaruk rambut hitamnya yang panjang dan kembali duduk di sofa singasananya. Kedua kakinya kembali naik ke atas meja dan salah satu lengannya memeluk mangkuk besar berisi kentang chips.
Kemudian disadarinya, ada dua orang gadis yang sedang duduk kaku di sofa sebelah sedang memandanginya. Mereka seperti anak-anak yang dihukum guru untuk duduk di pojok kelas karena tidak mengerjakan tugas. Mereka adalah teman-teman Delphy, datang ke Winhill untuk liburan.
Mengetahui rencana si putri bungsu adalah untuk berjalan-jalan, insting ayah yang terbiasa hidup di tengah manipulasi dunia segera bereaksi. Ia memerintahkan putra sulungnya untuk mengawasi adik bungsunya itu. Bagi Delphy, ini adalah perilaku paranoid, kecemasan yang berlebihan. Namun Luke yang sudah lebih dewasa itu memahami bahwa memang sangat berbahaya bagi putri seorang Jendral Ballamb Garden untuk berkeliaran seorang diri tanpa pengawasan.
"Mau?" Luke menyodorkan semangkuk kentang chips dengan taburan bumbu barbeque. Namun setelah semua drama yang baru saja terjadi, para gadis itu hanya bisa menggeleng.
Luke kembali mengunyah chips kentangnya sambil menonton pertandingan baseball antara dua tim yang tidak dikenalnya.
Ponselnya berdering. "Ya? Pap?"
"Bagaimana adikmu?"
"Marah."
"Kenapa?"
"Dia ingin bertemu seorang bocah Winhill bernama Ryan."
"Siapa Ryan?" suara berat itu menjadi terdengar tidak sabar.
"Aku tidak tahu."
"Oke, kerja bagus." Pembicaraan berakhir dan Luke berdoa semoga siapapun Ryan ini, datanya di arsip tidak berbahaya sehingga tidak ada SeeD yang datang untuk menculik dan menginterogasinya dengan gaya hati singa.
Malam itu Luke nongkrong di bawah balkon kamar Delphy dan dengan santai melihat jendela kamar adiknya terbuka. Kepala si adik melongok keluar sambil menoleh sekeliling, dan dia tidak melihat Luke di balik bayang-bayang pepohonan. Delphy menghilang di jendela terbuka itu untuk muncul kembali bersama seuntai tali yang sesungguhnya adalah selimut yang disambung-sambung jadi satu. Dilemparkan selimut itu sampai menyentuh rerumputan dan dengan berani, si adik menuruni jendela tersebut.
Luke muncul dengan tepuk tangan yang apresiatif, ia bisa merasakan kedua telinga adiknya berdiri. "Wow, kamu lebih berani daripada Claude. Tidak salah lagi, kau ini memang keturunan Squall Lionheart."
Sepasang mata Delphy yang hitam itu kini dipenuhi badai halilintar, menahan marah. Ia membuka telapak tangannya dan di sana ada segumpal bola petir yang siap dilemparkan kepada Luke. "Ini malam terakhir, kakak."
"Terserah, tapi bukan cuma kamu yang bisa magic."
Kesal, Delphy melemparkan bola listrik itu ke wajah Luke. Ada selubung merah muda yang melindungi Luke dan menghentikan serangan tersebut.
Delphy masih menyerang lagi dengan magic lain yang bisa dia kerahkan. Ada sambaran belati angin, ada stalagmit beku, ada pilar api, namun Luke lolos dari serangan-serangan itu hanya dengan ujung lengan kemeja yang terbakar. Hingga akhirnya Delphy mengguncang tanah, Luke mengibaskan tangannya menciptakan selubung angin yang membuatnya melayang sehingga tidak tersentuh gempa.
Namun serangan terakhir membuat Delphy lelah, butuh energi besar dan pengendalian emosi untuk menguasai magic dengan baik. Gadis itu sekarang seperti baru saja berlari dua jam tanpa henti, ia duduk sambil merangkul kedua lututnya.
"Delphy, aku tahu betapa overprotektifnya ayah kita. Tapi aku harap kau sadar bahwa kita ini memang spesial. Kita ini seperti gabungan dunia menjadi satu, dan kau masih begitu muda dan energik. Kau bisa bayangkan apa yang bisa orang manfaatkan darimu?"
"Aku bisa melindungi diri," Delphy terengah.
"Bukan hanya itu. Apa kau bisa melindungi diri dari rayuan orang yang ingin memanfaatkan kekuatan sosial yang kau miliki?"
"Tapi aku juga ingin seperti anak muda seusiaku yang lain, kakak."
"Anak-anak muda yang hanya tahu berpesta dan mengejar cinta?" Luke tertawa dan membuat adiknya malu. Bagaimanapun itu terdengar dangkal.
"Waktu seusiamu, ayah kita sudah menyelamatkan dunia. Dan dia tidak bisa berdansa."
"Seusiaku, lebih tua satu tahun. Tapi ini masa damai, kakak. Dulu ada ancaman, sehingga ayah dan ibu terlibat dalam petualangan besar yang membawa mereka ke dalam kompresi waktu."
"Oke, biar adil, waktu seusiamu, aku keluar dari Garden untuk mengejar impianku menjadi jurnalis. Ayah marah dan menolak untuk membiayaiku, aku harus mulai dari nol, dan membuktikan bahwa aku bisa jadi hebat tanpa membawa nama leluhur. Aku membawa nama sendiri, John Dean, dan merasakan sulitnya kehidupan kaum bawah. Menurutku itu petualangan yang jauh lebih berarti daripada berkenalan dengan orang yang kau kenal dari internet."
"Tapi aku kan perempuan, dunia kita lain, kakak. Aku suka dengan romantisme, film drama ..."
"Ayolah, dik. Dokter Treepe waktu seusiamu sudah menjadi SeeD dan menjadi Instruktur di Garden. Carilah ambisi pribadi."
"Apa salahnya sih memperluas pergaulan? Baiklah, setelah kupikir-pikir, sebenarnya sudah lama aku ingin jadi artis."
Luke terkekeh ringan, "bagus, siapa tahu kau bisa mengulang sukses nenek Julia dengan lagu Eyes on Me nya. Mungkin kau bisa membuat sebuah lagu tentang seorang gadis yang ayahnya melarang bertemu dengan kekasihnya dan gadis itu dikurung di sebuah menara. Setiap hari dia menyanyi untuk memanggil kekasihnya, tanpa mengetahui bahwa sang kekasih sudah mati."
"Hahaha ... dasar penulis. Kendalikan imajinasimu itu, kakak. Aku dan Ryan hanya berteman. Dia mengundangku ke Winhill sebagai teman. Nih, lihat." Delphy mengeluarkan smartphonenya untuk menunjukkan rekaman percakapan mereka dimana Ryan mengundangnya untuk ke Winhill. Sekali baca saja Luke sadar bahwa pemuda desa ini sangat lugu dan sederhana. Sulit untuk membayangkan dia punya niat buruk terhadap adik kesayangannya yang cantik ini.
"Jadi, apakah aku boleh ke desa bertemu Ryan?"
"Tidak tanpa izin ayah."
