Anything He Wants
.
.
.
Disclaimer: Masashi Kishimoto
.
Warning: Typo, misstypo, Alternative Universe and many more.
.
.
.
Sasuke mengurut pelipisnya yang terasa sakit saat keributan terjadi di ruang rapatnya. Saham menurun sangat drastis, penjualan dan pemasukan tidak stabil. Ia memandang lekat-lekat pada layar putih di depannya. Gagal. Itu tidak membantu sama sekali. Malah semakin membuat kepalanya berputar.
"Tuan, bisakah kau tangani ini?"
Sasuke mengangguk agar semuanya cepat selesai. Ia ingin pergi dari sini. Banyak urusan yang ia tinggalkan di tanah kelahirannya dan ia harus segera menyelesaikannya.
"Kami sangat mengharapkanmu." Logat Eropa kental sekali terdengar di telinganya saat wanita berambut pirang kemerahan menatap mohon padanya dengan suara lembutnya. Sasuke berjanji setelah ini semua akan baik-baik saja.
"Everything will be okay. Don't worry, Ma'am, Sir, I can handle it." Ia bersuara dengan nada fasih berbahasa Inggrisnya. Para anggota rapat terlihat lebih tenang dari sebelumnya. Sasuke menghela napasnya dan pergi keluar ruangan lebih dulu saat Kakashi mengetuk pintu ruangannya.
"Pesawatnya tidak akan bisa sampai di sini tepat waktu, Tuan. Membutuhkan waktu sampai dua jam." Kakashi membuka ponsel canggihnya. Menunjukkan pada Sasuke yang hanya meliriknya sekilas dan berlalu.
"Hn. Kita pesan dua tiket pesawat."
Kakashi mengangguk cepat. Pria itu segera menekan tombol di ponselnya.
.
.
Sakura ada di dalam pesawat yang akan membawanya menuju kota kelahirannya, Jepang. Perjalanan yang akan ia tempuh cukup lama, memakan waktu kira-kira lima belas jam. Jika tidak ada kemacetan di pusat kota. Terhitung cepat dibanding sebelumnya yang bisa memakan waktu sampai tujuh belas jam akibat keterlambatan dari maskapai penerbangan, karena berbagai faktor. Jarak antara bandara dengan apartemen tempatnya tinggal cukup jauh sehingga ini akan melelahkan.
Ia sangat rindu kedua orangtuanya. Sangat. Melebihi apapun. Memang, hidup mandiri memiliki suka dan duka. Suka, karena kita memiliki lebih banyak pengalaman dan dukanya, kita jauh dari orang yang kita sayangi.
Sakura mengalaminya. Bagaimana rasanya hidup bertahun-tahun di Negeri orang hanya untuk menuntut ilmu. Orangtuanya hanya berkunjung setahun sekali dan itu tidak menentu. Sakura mengerti bagaimana sibuknya mereka.
Yang pasti, ia sudah lulus dan siap bekerja. Lima tahun tinggal jauh dari kedua orangtuanya membuatnya belajar banyak.
Sakura menoleh ke kiri dan ke kanan mencari nomor tempat duduknya dan dapat. Ia tersenyum pada wanita bermanik ungu di sampingnya yang sedang fokus membaca buku dan mendongak saat bangku di sampingnya bergerak karena diduduki seseorang.
Pramugari pesawat segera melakukan tugasnya. Mereka berlalu-lalang untuk mengecek kondisi penumpangnya dan pramugari wanita di depan sana sedang memmeragakan bagaimana pentingnya keamanan di dalam pesawat.
Sakura memakai sabuknya. Mulai memejamkan mata ketika pesawat lepas landas dari bandara. Ia masih punya satu buku bacaan yang belum selesai ia baca, mungkin kalau ia sudah merasa bosan ia akan membacanya.
"Tampan sekali!"
Sakura membuka matanya. Terkejut ketika pekikan wanita yang duduk di sampingnya mengusiknya. Ia menoleh mengikuti arah pandang si wanita dan mendapatkan sesosok laki-laki dengan kemeja putih yang kancing atasnya terbuka dua. Lelaki itu memejamkan matanya, tidak memedulikan bagaimana tatapan para penumpang wanita yang memandangnya memuja di tempat duduk mereka.
"Bukankah dia tampan?" Sakura menoleh dan melihat senyum di bibir manis wanita itu. Ia mengangguk sekilas, membiarkan wanita itu terus menatap dengan memuja laki-laki yang duduk di seberangnya.
Lelaki itu masih tidak peduli. Ia tetap memejamkan matanya dan Sakura masih belum bisa melihat jelas bagaimana wajahnya. Meskipun hanya dari satu sisi saja, ia bisa mengetahui kalau ketampanan lelaki itu melebihi batas.
Sakura kembali memejamkan matanya. Membiarkan rasa kantuk karena hembusan udara dingin di dalam pesawat membawanya pergi ke alam bawah sadar.
.
.
Sakura keluar bandara dengan koper besar yang ia bawa di belakang tubuhnya. Banyak dari keluarga para penumpang yang sudah menunggu di depan dengan membawa kertas berisikan nama keluarga mereka dan mengangkatnya tinggi. Sakura akan bahagia jika dirinya juga mengalami hal yang sama. Tapi sayangnya tidak, ia tidak menemukan kedua orangtuanya bergabung bersama mereka di sana.
Sakura bisa melihat jelas ketika lelaki yang menjadi sorot tatapan penumpang pesawat wanita di pesawatnya sedang melangkah melaluinya. Lelaki itu memakai kacamata hitam, menyembunyikan kedua netranya di dalam kacamata yang Sakura yakini harganya melebihi batas harga kacamata biasa.
Lelaki itu mengangguk sekilas dan beberapa orang dari mereka yang bersama dengan kerumunan segera mengikuti di belakangnya.
Sakura menarik napasnya, tetap membawa koper besarnya dan pergi untuk mencari taksi bandara. Salah satu taksi yang bersiap menghampirinya, memberikan penawaran harga padanya dan Sakura menyetujuinya. Ia ingin cepat-cepat sampai ke rumah dan memeluk kedua orangtuanya.
.
.
"Sakura!"
Sakura berlari menghampiri Ibunya yang berdiri di depan pagar menunggunya bersama sang Ayah yang tersenyum lebar ke arahnya.
"Bagaimana kabar anak Ibu yang manis ini?" Sakura memberikan cengiran lebarnya pada sang Ibu, masih dengan memeluknya. Ia sangat merindukan Ibunya. Bahkan kata-kata tak mampu mengungkapkannya dengan jelas.
"Aku baik. Bagaimana kabar kalian?"
"Kami baik, Sayang," sang Ayah, Kizashi menggenggam erat tangan putri semata wayangnya lembut. "Mari kita masuk, Ibu sudah membuatkan makanan kesukaanmu." Sakura menarik tangan kedua orang tuanya dan mereka masuk ke dalam. Oh, sudah berapa kali ia katakan? Ia sangat merindukan rumah.
.
.
Sakura masuk ke dalam kamarnya. Kamar yang terbiarkan kosong selama lima tahun dan beruntung, orangtuanya memperhatikan kebersihan kamar ini. Sakura tidak menemukan adanya debu dan bau-bauan dari dalam sini. Ruangan ini sangat bersih. Barang-barang di dalamnya juga terawat sangat baik.
Ia masuk ke dalam kamar mandi. Masih dengan senyum kebahagiaannya, ia memandang kaca di depannya. Kaca besar yang menampilkan tubuhnya dari atas kepala hingga atas lutut. Sakura menghembuskan napas. Luapan kebahagiaan membawanya ke dalam mood yang baik.
Mandi air hangat sangat membantu menenangkan syaraf-syaraf di tubuhnya karena lamanya perjalanan dari London ke Tokyo. Ia membuka lemari besarnya, pakaiannya masih lengkap tersimpan di dalam sana dan tak tersentuh siapapun. Ibunya benar-benar memperhatikan kondisi kamarnya.
Ia mengambil piyama tidurnya. Piyama berwarna biru muda dengan motif kelinci di tengahnya. Piyama ini adalah hadiah dari Ino, sekitar lima tahun lalu. Saat ia berpamitan pada sahabatnya untuk menuntut ilmu di luar negeri. Ia masih ingat betul bagaimana raut wajah sedih Ino karena dirinya. Tapi semua sudah berlalu, sekarang ia kembali. Ia akan menemui Ino secepatnya.
Sakura menuruni tangga rumahnya. Ia melihat sang Ibu yang masih sibuk menata makan malam dengan hati-hati. Sakura tersenyum manis saat mata sang Ibu memandangnya.
"Adakah yang bisa kubantu?" Sakura menawarkan diri membantu membawakan piring-piring dari rak piring untuk dibawa ke meja makan. Sang Ibu menggeleng kecil, ia menyuruh Sakura untuk duduk di meja makan. Menunggunya selesai.
Tak lama, sosok sang Ayah datang dari ruang kerjanya. Kepala keluarga itu menghampiri dirinya, memberikan ciuman kilat di kepalanya dan duduk di kursinya.
Makan malam berlangsung dengan khidmat. Sakura sangat menikmati makan malam ini, makan malam setelah bertahun-tahun tidak merasakan hal seperti ini di sana.
"Ino sering menanyakan kabarmu, Sakura," Mebuki membuka percakapan. Sakura langsung mendongak, tampak antusias mendengar perkataan sang Ibu. "Benarkah? Lalu Ibu menjawabnya?"
"Tentu, Ibu memberitahunya kalau kau akan kembali sekitar satu minggu lagi. Ia benar-benar merindukanmu."
Sakura meneguk minumannya, menaruh alat makannya di atas piring kosong miliknya. "Aku sengaja ingin memberikan kejutan padanya. Tapi Ibu sudah memberitahunya, jadi, aku akan menghubunginya."
"Ah, hubungi ia malam ini. Ia akan sangat senang mendengar kabar kalau kau sudah kembali." Timpal Kizashi sembari tersenyum. Sakura meninggalkan ruang makan setelah mendapat izin kedua orangtuanya. Wanita itu berlari menaiki tangga dan bersiap untuk menghubungi Ino.
.
.
Sakura bangun terlalu siang hingga tidak mengetahui kalau kedua orangtuanya sudah berangkat bekerja. Meninggalkannya sendiri bersama pembantu rumah.
Ibunya meninggalkan susu dengan roti bakar di nakas samping tempat tidurnya. Sakura tersenyum tipis, ia bangun dari tempat tidurnya dan pergi ke kamar mandi untuk menyikat giginya dan berkumur.
Ia akan bertemu Ino hari ini. Wanita itu tak tanggung-tanggung akan langsung mengajaknya pergi keluar rumah untuk bermain bersama. Sakura sangat tahu, Ino merindukannya begitu pula dirinya.
Percuma saja jika ia bilang lelah atau ia butuh istirahat lebih. Ino akan datang ke rumahnya dan menarik Sakura untuk tetap pergi bersamanya. Bagaimanapun caranya. Lagipula, Sakura tidak keberatan, Ino adalah sahabatnya dan mereka sering menghabiskan waktu bersama dulu.
Sakura memakan sarapannya dan segera beranjak pergi untuk membersihkan diri sebelum mobil Ino sampai di rumahnya.
.
.
"Bisnis tetaplah bisnis, Haruno." Desis lelaki berjas hitam itu sinis. Ia memandang penuh tajam pada sepasang suami istri yang duduk dengan kedua wajah menunduk. Sang istri tampak bergetar di bangkunya, berbeda dengan sang suami yang terlihat tenang meskipun perasaannya kacau saat ini.
"Tapi, bisakah kau memberikan kami keringanan sekali lagi?"
Lelaki itu menyeringai kecil dan langsung menggelengkan kepalanya tegas. "Kau terlibat hutang saham yang besar. Aku sudah memberikan keringanan waktu yang lebih dari ini."
"Kumohon ..." Suara wanita itu bergetar. Berusaha menahan tangisnya yang hampir meledak saat itu juga. Tapi tetap saja, lelaki di hadapannya tidak menunjukkan wajah penuh iba padanya.
"Aku hanya minta ganti rugi. Itu bukanlah hal yang sulit menurutku," lelaki itu masih mempertahankan argumennya. Tidak memandang penuh minat pada sepasang suami istri yang sedang berada di ujung tanduk mereka.
"Perusahaan kalian bangkrut total. Kalian bisa membayar darimana uang ganti rugi perusahaanku?"
Pecahlah tangis wanita itu. Ia terisak pelan di pelukan suaminya. Sudah behari-hari ia tak bisa tidur karena hal ini. Kedatangan putrinya yang sudah lama berpisah membuat perasaannya kian hancur. Ia tidak bisa membahagiakan Sakura lebih lama lagi.
"Ambilah nyawa kami jika kami tak bisa membayar semua ganti rugimu!" gumam wanita itu lemah. Ia merasakan tubuh suaminya menegang karena ucapannya. Toh, ia tak peduli. Ia tak sanggup jika harus hidup dibawah bayang-bayang hutang yang besar.
"Kakashi bilang kalian punya rumah dan beberapa toko besar. Mungkin aku bisa mengambilnya dan setelah itu baru nyawa kalian." Lelaki itu berdiri memunggungi pasangan suami istri itu. Tak ada raut wajah apapun lagi yang tergambar di sana kecuali mimik datarnya. Ia bisa mendengar isakan wanita itu makin membesar seiring pelukan suaminya yang mengerat.
Lelaki itu memberikan isyarat tatapan matanya pada Kakashi dan dengan sigap membawa pasangan suami istri itu untuk keluar dari ruangannya. Ia tidak tahan melihat adegan drama tersaji di depannya. Ia sendiri punya masalah yang besar.
"Tuan."
Lelaki itu memutar tubuhnya. Menunggu Kakashi untuk bicara. "Bayi dari Uchiha Itachi adalah perempuan."
Alisnya terangkat naik beberapa saat sebelum seringai kemenangan terpetak di bibir tipisnya.
"Kini giliranku untuk bertindak."
.
.
Sakura pulang malam hari ini. Ino mengajaknya untuk berkeliling kota yang sudah sangat berubah semenjak kepergiaannya. Wanita itu seakan tak ingin melepasnya barang semenit saja. Jadi, begini hasilnya, ia pulang alam.
Sakura mengerutkan dahinya heran, tak biasanya rumah dalam keadaan gelap seperti ini. Kemana orangtuanya? Apakah mereka sudah tidur?
Sakura mengendak-endap masuk ke dalam rumah. Mendapati isakan sang Ibu yang terdengar hingga keluar kamar. Ia membuka celah pintu yang sedikit terbuka. Mendapati sang Ibu yang menangis dengan Ayahnya yang memeluk erat tubuhnya.
Sakura tak tahu apa yang membuat Ibunya menangis. Yang ia tahu, semuanya berjalan baik-baik saja selama ia tak di sini. Usaha yang dibangun keluarganya berjalan dengan baik.
Ingin sekali ia masuk dan membantu untuk menenangkan pikiran Ibunya. Tapi tak bisa. Sakura tak tahu apa-apa. Ia tak tahu kejadian apa yang membuat kedua orangtuanya sangat sedih seperti ini. Selama dua puluh tiga tahun hidup, ia tak pernah melihat kondisi kedua orangtuanya hancur seperti ini.
Sakura kembali menutup pintu kamar orangtuanya. Membiarkan mereka bertukar pelukan untuk saling menenangkan. Sakura ingin bergabung, membiarkan dirinya ikut menanggung kesedihan kedua orang yang dicintainya. Tapi percuma saja, Ibunya akan tetap diam.
Sakura masuk ke dalam kamarnya dengan pikiran berkecamuk di kepalanya. Apa yang terjadi selama dirinya tak ada di sini?
.
.
Sakura tidak bisa tidur sejak semalam. Matanya terbuka lebar nyalang secerah mentari pagi. Semalaman suntuk ia hanya memikirkan mengapa Ibunya menangis dan mengapa wajah Ayahnya tampak terluka seperti itu?
Apa yang membuat mereka sedih?
Sakura sendiri tidak tahu.
Ia ingin bertanya, ingin memeluk kedua orangtuanya, menangis bersama. Tetapi rasanya tidak mungkin. Ayahnya akan senang hati mengusirnya pergi untuk tidur dan Ibunya yang tersenyum manis seolah semuanya baik-baik saja.
Tidak.
Ia sudah besar. Ia ingin tahu apa yang terjadi selama ia tidak ada di sini bersama orangtuanya.
Bel pintu berbunyi. Dengan gerakan kilatnya, Sakura membuka kecil pintu kamarnya. Di sana, sang Ibu ditemani dengan Ayahnya melangkah dengan bahu yang bergetar penuh. Yang bisa ia lakukan hanyalah melihat mereka dari kejauhan dan mencari tahu apa yang terjadi.
Orangtuanya sudah menuruni tangga dan melangkah mendekati pintu utama. Sakura keluar perlahan, sengaja tidak menutup pintu kamarnya agar lebih mudah jika ia ketahuan nanti, ia akan langsung masuk ke dalam dan berpura-pura tidak tahu apa-apa.
Seorang lelaki bertubuh tinggi masuk diikut tiga pria bertubuh besar di belakangnya. Tidak terlalu terlihat jelas bagaimana wajah mereka karena terhalang pembatas tangga.
Sakura menuruni anak tangga satu-persatu dengan langkah perlahan. Tiga pria itu masuk ke dalam dan berjaga di sekitar pintu. Sedangkan, salah satu lelaki berjas hitam itu masuk dengan angkuhnya.
Tangis Ibunya semakin kencang dengan sang Ayah yang berlutut di kaki lelaki itu. Sakura semakin tak mengerti. Lelaki itu dengan sombongnya tidak memedulikan keadaan orangtuanya yang sudah kehilangan harga dirinya di depan lelaki itu.
"Tak ada kata ampun lagi untuk kalian berdua." Katanya dingin. Kata-kata itu bagaikan melodi kematian bagi Sakura. Ia semakin turun menuju anak tangga terakhir. Penyamarannya belum diketahui dan ini bagus untuk mendengar segalanya.
"Bukankah ini bagus? Rumah ini akan menjadi milikku dan kalian akan pergi dari sini. Atau nyawa kalian juga perlu menjadi bahan tebusan hutang kalian?"
Sakura membulatkan matanya terkejut. Pekikan kecil yang keluar dari bibirnya langsung ia tutup rapat-rapat.
"Apapun akan kami lakukan, asalkan jangan rumah ini kau ambil." Sang kepala keluarga masih tetap berusaha untuk mempertahankan kekayaan yang mereka miliki saat ini. Hanya ada rumah yang menjadi peninggalan mereka satu-satunya untuk putri mereka. Rumah yang memiliki ribuan kenangan bersama dengan keluarga kecilnya.
"Nyawamu tidak ada apa-apanya dibandingkan rumah ini. Masih ingin memberontak?" ujarnya dingin.
Wajah Sakura semakin pucat bukan main. Tiga pria bertubuh besar itu melangkah mendekati kedua orangtuanya.
Sebelum mereka benar-benar menyentuh orangtuanya, Sakura berlari dari anak tangga dengan baju tidurnya dan memasang wajah marahnya. Kesabarannya sudah habis, hatinya hancur saat kedua orangtuanya diperlakukan tak baik di sini.
"Kau pikir kau siapa bisa memaksa orangtuaku untuk pergi dari sini, heh?" Sakura berkata sinis dengan pandangan matanya yang menajam menatap mata kelam lelaki itu.
Lelaki itu menjawab dengan wajah datarnya. Pandangan matanya berubah tajam dan wanita itu ada di bawah tatapan berbahayanya. Tubuhnya tersentak saat tahu wajah tak asing di depannya.
Lelaki ini .…
Lelaki yang pernah bersama dengannya di dalam pesawat yang sama .…
"Kau?"
Sakura menyuruh kedua orangtuanya untuk mundur. Amarahnya sudah naik ke atas kepalanya. Tiga pria besar itu mundur sedikit ke belakang saat melihat amarah Sakura yang akan meledak.
"Apa yang orangtuaku lakukan sampai kau berhasil membuat mereka kehilangan harga dirinya?!" teriaknya.
Lelaki itu masih diam.
Sang ayah berusaha menenangkan Sakura yang sedang menyalakan api amarah pada diri lelaki itu. Namun sepertinya gagal, putri mereka tidak mau mundur.
Lelaki itu melirik pada dua orang di belakang Sakura yang masih terisak. Mata kelamnya kembali menatap wajah Sakura yang memerah bukan karena malu.
"Mengapa kalian sembunyikan identitas putri kalian sendiri?" tanyanya entah pada siapa. Sakura masih diam. Ia tahu lelaki itu sedang bertanya pada orangtuanya.
"Kalau begitu," dengan satu jentikan jarinya, tiga pria besar itu segera mundur menjauh dari kedua orangtuanya. "Rumah kalian akan berpindah hak padaku dan nyawa kalian .…" kata-katanya terputus begitu saja membuat Sakura menahan napasnya menunggu kata-kata selanjutnya.
"Mengapa tidak aku saja? Aku siap jika aku harus bertukar nyawa dengan kedua orangtuaku. Setidaknya, biarkan mereka bebas dan aku yang akan menjadi tebusan mereka." Sakura berkata lirih dengan nadanya yang tercekat di setiap kalimat. Ia tidak akan sanggup jika melihat kedua orangtuanya mati. Ia tidak akan sanggup. Setidaknya, jika ia yang menjadi tebusan, orangtuanya akan tetap hidup.
Lelaki itu diam.
Kedua orangtuanya menangis semakin kencang. Mereka juga tidak tahu harus berbuat apa untuk menebus semua hutang besarnya.
Sakura masih menunggu jawaban lelaki brengsek itu. Lelaki yang akan menjadi ancaman di depannya.
"Kalau begitu, rumah dan seisinya akan tetap menjadi milikmu, Haruno," ucapnya datar. Mata kelamnya beralih menatap Sakura yang sedikit bergetar meskipun wanita itu menyembunyikannya.
"Dan kau—
—akan menjadi tawananku saat ini."
.
.
.
tbc
.
.
.
A/N:
Halo, saya gamau banyak kata di sini. Kalian bisa tebak sendiri saya siapa dan dengan author siapa yang collab bersama saya sekarang. Mungkin kalian bisa nebak di chap duanya nanti ya. Kita tunggu tebakannya XD
Semoga berhasil :3
.
Hai! x3 Saya author kedua yang akan mengisi chapter dua. Sementara ini jadi beta di chapter satu ;D seperti yang udah dibilang di atas, saya adalah partner collab author di atas xD makasih buat yang udah baca sampe sini^^ ayo, bisa tebak siapa kami? Minimal yang ngisi chapter satu dulu deh xD /nak /sokmisterius. Ditunggu tanggapan (dan tebakannya), ya! Let us know if you want the next chappie ;D
Semoga berhasil :3 (2)
