Fairy Tail ©Hiro Mashima

My Friendzone Ends in My Gravestone

.

Enjoy your reading!


"Natsu?" Lucy terpaku di depan Natsu yang terbujur lemas di depannya, darahnya kemana-mana, merambat ke kemeja seragamnya juga, syukur refleks kemanusiaannya masih aktif, ia menelfon rumah sakit pusat Fiore, lalu kembali diam meraba-raba cairan merah mengerikan di hadapannya. Suara ambulans merayap mendekat, jalanan sepi lenggang, hanya ada dia, Natsu, dan tiga orang lain yang sedang sial dan terbujur lemah di aspal. Lucy kaku, ia membiarkan paramedis mengurus Natsu, sementara beberapa dari mereka menanyai Lucy. Percuma, Lucy terlanjur syok di tempat. Beberapa orang tadi menggiringnya masuk ambulans juga, asumsi dari mereka saja, jikalau ternyata Lucy terluka pula.

.

"Nona Heartfilia, silahkan masuk" seorang suster membukakan pintu. Lucy mengangguk lemah dan berdiri. Ia tidak apa-apa, hanya sebagian darah Natsu menempel pada tangan dan kakinya, itupun sudah dibersihkan oleh suster, ia sudah cukup tenang, tapi sungguh, manusia mana yang tidak khawatir melihat orang yang dikenalnya pingsan bersimbah darah?

"Selamat sore" sapa dokter paruh baya di depannya. "Aku Porlyusica, aku yang merawat dan mengobati temanmu tadi" Lucy mengangguk dan melirik jas dokter di depannya yang sedikit terkena darah. "Pasti kamu sudah menunggu sangat lama"

"Selamat sore" jawab Lucy, ramah. "Kurasa, ya," sekarang Lucy memandang jam dinding. Benar saja, ia tadi pulang sekolah jam empat sore dan sekarang sudah jam sembilan malam. Selama itu Lucy diam di ruangan tempat suster membersihkan darah yang melekat padanya, kemudian ia tertidur di sana.

"Kau baik-baik saja kan?"

"Iya, saya berdiri beberapa meter dari sana, saya tidak tertabrak" Lucy menggigit bibir. Suaranya menggantung ketika menyebut kata tertabrak.

"Syukurlah. Kamu bisa menengok temanmu setelah keluar dari ruanganku, Nak. Kepalanya terbentur keras, ia juga kehilangan banyak darah, lambungnya juga pendarahan, pasti ia ditabrak dengan mengerikan" dokter Porlyusica menunduk sedih. Lucy mengatupkan mulutnya. Separah itukah? Ah, ya, darahnya saja begitu banyak.

"Bisa saya lihat sekarang?" tanya Lucy takut-takut. Porlyusica mengiyakan, berjalan mendekat pintu dan membukakan pintunya untuk Lucy. Gadis berambut pirang itu membungkukkan badan, berterima kasih dan keluar ruangan dokter Porlyusica diikuti seorang suster yang akan mengantarnya ke ruangan Natsu.

"Suster, apa teman saya sudah sadar?"

"Belum, Nona. Ah, ya, sedari tadi Anda belum pulang, apa Anda sudah memberitahu keluarga Anda bahwa akan pulang larut?"

"Saya tinggal sendiri di sini, Suster" Lucy terkikik. "lagipula saya tidak apa-apa"

"B-begitu ya" Suster yang berjalan bersama Lucy tersenyum. "Kasihan sekali teman Anda"

"Iya, dokter Porlyusica tadi menjelaskan beberapa akibat kecelakannya" Lucy menatap Suster di depannya lekat.

"Kasihan dokter Igneel" desah si Suster. Lucy mengernyitkan dahi.

"Dokter Igneel?"

"Ah, itu, ayah teman Anda adalah dokter di sini. Beliau tadi juga ikut membantu dokter Porlyusica"

Lucy mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Kita sampai, Nona Heartfilia" ucap si Suster. Lucy mengintip ke kaca di bagian tengah pintu. Ia melihat seorang laki-laki berjas putih duduk di sebelah ranjang. Di sisi ranjang satunya lagi duduklah seorang wanita—yang menurut Lucy adalah ibu Natsu.

"Saya harus pulang sekarang, Suster, di sana sudah ada kedua orangtuanya, saya permisi" Lucy membalikkan badan dan pergi. Ia tidak enak jika harus mengganggu keluarga Natsu yang tengah berduka di sana. Ia dipinjami piyama rumah sakit untuk mengganti bajunya yang berdarah, akan sangat tidak menyenangkan jika berkeliaran dengan baju seperti itu kan. Lucy keluar dari rumah sakit, disapa seorang satpam dan bertanya kenapa pasien keluar malam-malam. Lucy tertawa dan menjelaskan kejadian yang dialaminya hari ini sesingkat mungkin. Si Satpam membantunya mencari taksi.

Gadis pirang itu tinggal di sebuah flat yang cukup bagus. Sangat luas untuk ditinggalinya seorang diri. Lucy memasukkan seragam kotornya ke dalam bak berisi air dan detergen, ia akan merendamnya dulu lalu mengkuceknya nanti. Direbahkannya badan ke atas kasur. Lelah.

"Barusan tanganku penuh darah Natsu" gumam Lucy ngeri. Ia melihat sendiri kecelakaan mengerikan itu, tepat di hadapannya, mungkin jika itu orang lain, Lucy akan bisa dengan mudah melupakannya, tapi, kalau itu Natsu? Teman baiknya sejak mereka masih di sekolah dasar, bagaimana bisa lupa?

.

Keesokan harinya, Lucy bangun sangat pagi, seperti biasanya. Ia mulai menghangatkan air untuk mandi, memanggang dua potong roti tawar, menyiapkan selai di meja makan, membuat segelas susu hangat, sarapan yang seperti biasanya.

Usai dengan aktivitas paginya, Lucy menutup pintu flat dan berangkat ke sekolah. Kadang ia akan berpapasan dengan Natsu, tapi hari ini, tentu tidak.

Lucy melangkah gontai menuju stasiun. Kasihan sekali Natsu, batinnya pilu. Suara sapaan teman-teman sekolahnya silih berganti menyambutnya, Lucy berusaha sebaik-baiknya menutupi rasa sedih dan khawatirnya.

"Ah, tunggu, kenapa aku sesedih ini," Lucy merengut.

.

"Kita dapat kabar duka anak-anak, Dragneel tidak masuk. Ia kemarin menjadi korban kecelakaan. Sekarang ia kritis, mari kita doakan agar ia lekas sembuh" Miss Evergreen memandu siswa di kelas Lucy untuk menundukkan kepala sejenak. Lucy menghela nafas dan berdoa, sedikit-sedikit pemandangan mengerikan kemarin melintas di kepalanya. Sontak ia berteriak.

"Kya!"

Teriakannya disambut berpasang-pasang mata yang terpicing menatapnya.

"Ada apa Heartfilia? Sesuatu mengganggumu?"

"Tidak," Lucy gemetar terduduk di bangkunya.

"Apa maksudmu?" Miss Evergreen berjalan mendekat. "aku tahu Dragneel adalah teman baik kalian semua, ah, tunggu, kamu pucat sekali Heartfilia, kamu sakit?"

Lucy menggeleng. "Maafkan aku,"

Teman-teman sekelasnya memandangnya sendu. Mereka tahu Lucy dan Natsu berteman baik, meskipun tidak saling bicara di sekolah. Mereka hanya berbicara ketika sudah di luar sekolah. Awalnya teman sekelasnya tidak mengerti kenapa Lucy melakukan ini, tapi kemudian ia menjelaskan hal tersebut pelan-pelan, dan tentu saja hal ini hanya diketahui oleh teman sekelasnya.

"Karena dia populer di sekolah?" Gray menyimpulkan, ketika Lucy bercerita suatu hari.

"Kau takut jadi bahan bully-an mereka yang suka dengannya?" Erza melanjutkan. Disusul anggukan Lucy. "Lalu apa kata Natsu?"

"Ia tidak suka"

"Kalau begitu cobalah berbicara dengannya di sekolah. Ia tidak suka kan kalau kau diamkan?" tanya Juvia.

"Tidak bisa"

"Baiklah kalau memang kau baik-baik saja dengan itu, tapi kupikir akan lebih baik jika kau mau berbicara dengannya" Gray mengangkat bahu.

"Kita lanjutkan pelajarannya anak-anak" Miss Evergreen membuka bukunya.

.

Jam istirahat makan siang, Lucy membuka bekalnya, ia makan dengan Erza dan Juvia.

"Lucy, mau menjenguknya, nanti? Sepulang sekolah?" Juvia menawarkan, kemudian menyuap sepotong daging ke mulutnya.

"Tidak usah"

"Lho, kenapa, kan sudah di-lu-ar sekolah?" tukas Juvia.

"Aku, uh, bagaimana kalau ada orangtuanya? Aku tidak enak"

"Kan kamu tidak menjenguknya sendiri Lucy… huft" Juvia merengek manja. "Aku, Erza, Gray, dan teman-teman lain juga akan ikut, tahu. Ayolah, bukankah ia senang jika kamu datang? Hora, kau kan teman baiknya?"

"Lucy, hari ini kau jadi sangat pendiam. Padahal biasanya, siapa yang membuat kelas kita ramai dan berantakan kalau bukan kau" Erza menyunggingkan senyumnya.

Lucy komat-kamit, berusaha tersenyum, menyenangkan Erza dan Juvia. "baiklah"

"Nah gitu dong, aku akan memberitahu teman yang lain"

.

"Permisi" Erza mengetuk pintu kamar Natsu di rumah sakit. Seorang wanita membukakan pintunya, ah ibunya Natsu. Lucy membatin.

"Oh, teman Natsu, silahkan masuk anak-anak. Ada sofa di sana"

"Terima kasih Bibi" Gray membungkukkan badan. Ia mendekat ke ranjang Natsu dan menatapnya dengan penuh iba. "Kau tampak lemah kalau begini, sobat"

Natsu meringis. Melemparkan senyum sebalnya kepada Gray, menyodorkan kepalan tangannya yang kemudian disambut kepalan tangan Gray untuk tos.

"Natsu tidak sadarkan diri semalaman, ia baru bangun dua jam lalu, benar-benar membuatku takut" keluh ibunya.

"Lalu bagaimana dengan yang menabraknya Bibi?"

"Pengemudi truk sialan itu sedang mabuk, ah, dasar. Ia datang dengan polisi tadi pagi, meminta maaf. Yah, dia juga sudah menjalani proses hukuman. Selain Natsu, ada tiga orang lagi yang terluka, tapi beruntung mereka tidak separah Natsu."

"Ah begitu ya" Erza menganggukkan kepalanya. "Apa Natsu akan lama di rumah sakit, Bi?"

"Mungkin satu bulan, kepala dan lambungnya sangat mengkhawatirkan" ibunya Natsu tampak gusar. "mohon doanya ya anak-anak. Ah iya, aku belum berkenalan dengan kalian semua, aku hanya hafal Gray karena dia sering main ke rumah"

"Saya Erza Scarlet, teman sekelas Natsu"

"Saya Juvia Lockser, teman sekelas juga"

"Saya Jellal Fernandez"

"Saya Sting Eucliffe, satu kelas dengan Natsu, dan kami sama-sama di klub futsal"

"Lalu?" ibunya Natsu melirik Lucy yang berdiri mematung memandangi jendela. Jika bukan karena disenggol Sting, Lucy tak kan berpaling. Lucy kaget, bertanya-tanya sambil menunjuk dirinya sendiri. Ibu Natsu mengangguk.

"S-saya, Heartfilia, Lu-Lucy Heartfilia"

"Ara, ternyata kamu putrinya Jude Heartfilia ya" ibu Natsu tersenyum ramah.

"Lucy?" Natsu memanggil dengan suara lemah. Lucy mengangguk beberapa kali. "kenapa bersembunyi dibalik teman-teman seperti itu?"

Erza tersenyum puas, tapi ia sedikit ingin menangis. Sungguh, tidak tega jika melihat Lucy yang berkorban begitu banyak hanya untuk berteman dengan Natsu. Natsu sendiri pun juga sedih jika Lucy harus membuat jarak seperti itu.

"Permisi" seorang suster masuk dan membawakan Natsu sebotol infus baru. "Ah, ada Nona Heartfilia rupanya"

Lucy mengangkat wajahnya untuk melihat suster yang memanggil namanya. Suster yang mengantarnya ke kamar Natsu kemarin malam.

"H-halo" sapa Lucy.

"Kamu menjenguknya dengan teman-temanmu?" tanya suster itu ramah. "kamu takut kalau sendirian?"

Semua yang hadir di sana mengernyitkan dahi.

"Lucy? Kamu semalam sudah ke sini? Tepat setelah Natsu dibawa ke sini?"

"Aah, itu," Lucy berusaha berbohong.

"Benarkah?" Natsu terkejut. "lalu, pulang begitu saja?"

"Nona Heartfilia ada di tempat kejadian saat itu, ia juga yang menelfon rumah sakit" suster itu menjelaskan. "kami membawanya kemari karena ia tampak syok, syukurlah ia tidak apa-apa"

"Y-yang benar saja? Oi? Lucy, kenapa tidak cerita?" Juvia buru-buru menyahut. Ia tidak mengerti dengan kelakuan Lucy yang satu ini.

"Terima kasih banyak" ibu Natsu mendekati Lucy dan menjabat tangannya erat. Air matanya menitik dari sudut mata. Lucy mengalihkan pandangan. Ia terbiasa jauh dari Natsu ketika Natsu sedang bersama orang-orang terdekatnya—temannya, keluarganya, jadi rasanya aneh ketika ia berada pada posisi seperti sekarang.

"Yang penting, sekarang semua baik-baik saja, setidaknya" Gray yang bisa membaca suasana buru-buru menyela. Ia tahu apa yang Lucy pikirkan dan rasakan. Gray juga sudah berteman dengan Lucy dan Natsu sejak SD, apa sih yang tidak dia ketahui tentang kedua temannya ini?

.

"Kau tahu, Juvia, aku bersyukur dia tidak amnesia dan melupakan kita semua" Lucy buka mulut. Ia dan kelima temannya baru pulang dari rumah sakit.

"Kau mau bilang, dia tidak amnesia dan melupakan-ku, kan?" celetuk Gray.

"Oi Gray jangan bicarakan hal sensitif seperti itu" Jellal menambahi. "kau belum pernah merasakan tinjuan maut Lu—" belum sempat Jellal selesai bicara Lucy sudah menimpuk kepala Gray dengan kaleng jus kosong.

"Kau jahat" Lucy menggembungkan pipi.

"Tenang Lucy, tenang, aku hanya bercanda" Gray meminta maaf.

"Aku tidak bisa bilang kalau dia akan baik-baik saja, kondisinya saja seperti itu, jadi maaf yah Lucy, aku tidak bisa menenangkanmu lebih jauh dari ini" Erza menengahi. "aku tidak mau berbohong dengan menganggap luka-luka Natsu bukan luka serius"

Lucy terdiam. Erza benar. Ia malah tidak suka jika teman-temannya menenangkannya dengan mengatakan sesuatu yang berkebalikan dari kondisi Natsu, ia sendiri pun menyadarinya, karena ia ada di rumah sakit kala itu.

"Ayo ke rumahku, hari ini ibuku masak besar" Sting berkata sambil melihat layar HP nya. "baru saja mengirimkan pesan"

"Aku tidak bisa" tukas Gray cepat.

"Aneh padahal biasanya kamu bersemangat untuk makan-makan di tempat Sting" Juvia melirik Gray terheran-heran.

"Tidak bisa menolak, maksudnya. Lagipula meskipun sering makan di tempat Sting, aku tidak pernah bosan" Jellal dan Gray berujar bersamaan, disusul gelak tawa teman-temannya.

"Kalian mudah sekali ditebak" sergah Lucy.

"Baiklah," Sting mengangguk puas. "hari ini ibuku mendapat banyak pesanan, ternyata tamu undangan yang tidak hadir cukup banyak, dan entah mengapa daripada mengemasnya untuk mereka sendiri, si Penyelenggara malah mengirimnya balik ke rumah, padahal dia sudah membayar untuk itu lho" Sting mengerutkan dahi. Ibunya Sting adalah seorang pengusaha catering dan restoran yang sukses, sudah menjadi langganan pejabat kota.

"Itu tandanya rejeki buat kita, bro, seperti biasanya" Gray terkikik.

"Dasar Tukang Makan" cibir Jellal. "yah meskipun aku juga sih, seperti biasanya"

.

"Kita sampai" Sting membuka pagar rumahnya.

"Permisi" Lucy dan teman-temannya masuk dan membungkukkan badan ketika melihat ibu Sting yang sedang merapikan meja makan. Pemandangan yang jarang sekali ketika Sting pulang sekolah dan ibunya sudah di rumah, karena biasanya si Nyonya Eucliffe masih sibuk di restoran.

"Oh, halo" ibunya Sting, Felicia Eucliffe menyambut.

"Selamat sore Nyonya Felicia" sapa Erza ramah, begitu juga dengan pentolan-pentolan anak di belakangnya.

"Silahkan, silahkan, aku senang sekali ketika Sting menjawab pesanku bahwa teman-temannya bisa datang ke rumah"

"Ah ya kebetulan kami habis menjenguk teman di rumah sakit"

"Oh, Natsu ya, tadi Sting juga mengabariku kalau dia mau menjenguk temannya sepulang sekolah"

Lucy menggumam dalam hati, dasar Sting anak mami sekali. Sedikit-sedikit memberitahu ibunya. Tapi ia pikir, lucu juga, berarti Sting adalah anak yang baik dan sepertinya ia juga sangat dekat dengan ibunya.

"Silahkan dinikmati, anak-anak"

Ruang makan Sting hening sejenak, sampai tiba-tiba HP Lucy berdering.

"Ha-Halo?" suara di seberang terdengar.

"Halo, ada yang bisa saya bantu?" tanya Lucy takut-takut.

"Ah, Nona Heartfilia? Aku, aku suster kamar anak dokter Igneel, kau ingat aku?"

"Uh, ya, ada apa?"

"Natsu Dragneel mencari Anda, ini penting"

"Ada apa?"

"Cepatlah kembali ke sini, kami mohon"

"B-ba-baik" Lucy memasukkan HP ke dalam saku bajunya, buru-buru berpamitan pada ibunya Sting dan keluar dari rumah sambil berlari kesetanan.

Kumohon, semuanya akan baik-baik saja

.

Brakh

Tidak butuh waktu lama, Lucy masuk ke dalam ruangan Natsu. Hanya ada Natsu dan suster yang barusan menelfonnya.

"A-a-ada apa?" Lucy memandangi Natsu dan suster itu bergantian.

"April Mop!" seru Natsu.

"Apa-apaan ini"

"Maafkan kami Nona Heartfilia, tapi Tuan Natsu meminta saya melakukan ini"

"Hah?" mulut Lucy ternganga, apa maksudnya?

"Nah, saya akan kembali bekerja, sampai jumpa" suster itu keluar dari kamar Natsu.

"Oi, Lucy, kau benar-benar mengacuhkanku dasar sialan"

"Oh" Lucy ber 'oh' pendek, padahal jelas-jelas Natsu mengata-ngatainya sialan dan dia diam saja, padahal sebelumnya, mereka bisa bertengkar sengit gara-gara salah satu dari mereka memulai dengan mengumpat.

"Oi, oi, jangan diam saja, aho"

"Ooh"

"Kau cuma menambah panjang oh mu Luce!"

"Hmmm"

"Dan sekarang kau hanya berkata hmmm, bagaimana aku bisa menerjemahkan omonganmu, aho"

"Semoga kau cepat sembuh, Natsu" Lucy membuka mulutnya, sedikit lebih banyak dari sebelumnya. Ia ingin merespon celotehan Natsu barusan, ia ingin memukul Natsu seperti biasanya, ia ingin beradu mulut dengan Natsu seperti hari-hari biasanya, tapi sekarang, hatinya sedang tidak nyaman, ia tidak berada dalam mood yang baik untuk bertengkar. Ah, apa baiknya bertengkar.

"Eh, Luce?" Natsu tercekat. Apa Luce terluka dengan omonganku barusan? Tapi biasanya kami juga seperti ini. Apa ia sedang tidak baik-baik saja?

"Apa?"

"Eh, oh, tidak, itu, apa kau baik-baik saja?"

"Tentu saja, kenapa tidak?"

"Ah begitu ya"

"Harusnya itu kalimatku kan" Lucy menopang dagu.

"Ohoho, aku sudah baik-baik saja, cukup istirahat, cukup makan, minum obat, dan semuanya akan baik-baik saja untuk selamanya"

"Kau sedang sial, ya, hari itu" Lucy berujar, lalu diam lagi, membuat Natsu kikuk dan komat-kamit tidak mengerti.

"Mungkin, hahaha" Natsu tertawa, ia ingin secepat mungkin mencairkan suasana, dari tadi rasanya ia tegang, Lucy benar-benar berbeda kali ini, ia juga belum pernah melihat Lucy yang sedingin ini. "ah ya, kau tahu Luce, aku membaca puisimu, ya, kau tahu, keren sekali"

Lucy memalingkan muka dari tembok, menatap Natsu yang tampak kebingungan mencari topik pembicaraan.

"Oh itu, lalu?"

"Aaah, itu, kau tahu, bagus sekali! Bagus! Aku juga membaca kolom komentar pembaca. Mereka suka dengan puisimu, dan bukankah kau sudah berulang kali dimuat di majalah FT? Pasti kau sudah punya penggemar tetap, ya kan?"

"Aku sudah pernah cerita itu padamu kan? Tidak usah memberitahuku" Lucy menjawab. Oh tidak, yang satu ini terlalu dingin, ya Tuhan, ada apa denganku hari ini, aku ingin ceria dan menjitak kepalanya seperti biasanya.

HP Lucy berdering lagi, kali ini Erza yang menelfonnya.

"Kau baik-baik saja Lucy?"

"Tentu saja Erza"

"Ada dimana kau sekarang?"

"Ah itu, sedang ke supermarket membeli persediaan bahan makanan"

"Kenapa buru-buru?"

"A-ada diskon hari ini, kau tahu?"

"Sasuga Lucy…" batin Erza. "well, baiklah, Gray mungkin akan mengantar bagianmu nanti, ibu Sting tidak akan rela kalau kami pulang tanpa buah tangan kan?"

"K-kau benar, dan, oh ya, tolong sampaikan permintaan maafku pada Sting dan ibunya ya, terima kasih Erza"

Lucy menutup telfon, melihat Natsu ternganga tidak mengerti apa yang sedang ia bicarakan.

"Kau berbohong pada seseorang kalau kau ada di sini?"

"Itu Erza"

"Dan tentang Sting serta ibunya?"

"Kenapa kau menatapku seperti itu, Natsu?"

"Kenapa tidak jawab pertanyaanku saja?" sergah Natsu.

"Kenapa kau tidak suka?" Lucy melirik tajam.

"Bukan, bukan itu…"

"Sehabis dari sini, kami langsung ke rumah Sting untuk makan bersama, ibunya dapat banyak pesanan hari ini"

"Oh, seperti biasanya, makan bersama" Natsu angguk-angguk. Sebenarnya Sting mengajak makan teman-temannya hari ini bukanlah kali pertama atau kedua, Natsu pun juga sering ke sana. Hanya saja, Natsu tidak suka, kalau di sekolah, ketika Lucy menjaga jarak darinya, Lucy lebih akrab dengan Sting—meskipun ada Juvia dan lainnya sih. "Luce, sampai kapan kau mau menghindar terus?"

"Aku sudah pernah tidak menghindar, Natsu, dan aku malah dilabrak kakak kelas dan beberapa teman se-angkatan berhari-hari, kau saja yang enak karena tidak diapa-apakan, bagaimana denganku? Kita sudah pernah bicarakan ini Natsu, jadi, bukankah seperti ini baik-baik saja? Kita bisa berteman ketika sudah di luar sekolah"

"Luce…"

"Natsu, adakah yang ingin kau bicarakan hari ini? Kenapa kau buru-buru menelfonku dan memberikan kejutan April Mop yang—padahal ini bukan bulan April"

"Yah, maaf aku sedikit merepotkanmu Luce" raut muka Natsu berubah serius, menyesuaikan keadaan sih, sebenarnya.

"Sedikit?" Lucy bergumam pelan. "hari sudah sore, kurasa aku harus pulang sekarang. Kau juga harus istirahat Natsu, cepatlah sehat, bye" Lucy berdiri, lalu keluar. Ia duduk di sana tidak lama, hatinya nyeri ketika melihat Natsu begitu lemah, ia ingin segera pulang dan mengadu kepada kasurnya, kepada buku harian, kepada bunga-bunga yang ia tanam di jendela kamarnya.


Yo! Thank you for reading everyone! Supportive advice is needed!