Hujan akan turun sebentar lagi. Angin bertiup menimbulkan daun-daun kering berterbangan. Seorang gadis berjubah hitam terduduk kaku di sudut gedung tak berpenghuni. Kakinya gemetar, entah apa yang terjadi.

Ia menghirup nafas dalam-dalam. Masih enggan membuka tudungnya ataupun mendongakkan kepalanya.

Hari ini terjadi lagi, pikirnya.

Ia mengeluarkan tangannya dari dalam saku, melihat goresan goresan kasar disana, aroma besi menyeruak kedalam indra penciumannya membuat dirinya ingin segera mengeluarkan isi perutnya. Mual.

Petir yang muncul bersama kilat membuat gadis itu memeluk lututnya lebih erat. Ia selalu benci saat ia sedang berada dalam keadaan lemah. Namun hal yang paling ia benci adalah saat ia tak bisa mengendalikan sesuatu atas dirinya.

Rintik air tepat turun saat matahari menenggelamkan tubuhnya di ufuk barat, lenyap bersama sinarnya. Gelap. Tak ada penerangan sedikitpun. Hanya ada kegelapan. Saat itu ia berharap tak akan ada yang menemuinya disana.

Kelas yang tadinya berisik langsung senyap saat Rou memasuki kelas, seperti anak tikus yang bersembunyi saat kucing datang, gadis itu menundukkan pandangannya lalu duduk di kursi paling depan, dekat dengan jendela yang mengarah ke lapangan sepak bola. Rentetan kalimat kasar sudah menjadi makanan sehari-harinya, tidak pernah absen sama seperti jantungnya yang tak pernah berhenti berdetak. Teman-teman di sekolahnya selalu mengejeknya dari hal kecil hingga hal besar.

"Sshhh, si Mahkluk antah berantah itu masih betah datang ke sekolah." Bisik salah seorang siswi di kelas.

Rou bisa dengan jelas mendengar semua itu, ia tak tuli walaupun setiap hari berpura-pura tuli. Sejak masuk SMA semua orang mulai membuangnya, dengan alasan yang tak jelas, mereka bilang Rou menjijikkan karena pada saat SMP gadis itu katanya pernah menggoda seorang guru, lalu seminggu kemudian guru itu menghilang di apartemennya, karena alasan itu juga Rou dijauhi teman sekelas, katanya pembawa sial. Tak tahu itu hanya sekedar kabar burung atau sebuah kenyataan.

Hari itu, musim semi, sakura akan gugur bulan april, satu bulan lagi. Rou mengalihakan pandangannya ke arah lapangan sepak bola. Si bintang lapangan sedang berolah raga di sana, namanya Ryouta-senpai, kelas XII, anak populer, kapten tim sepak bola dan diam-diam Rou menyukainya. Layaknya air dan minyak, mereka tak pernah menyatu. Cinta yang tak pernah berbalas, justru hinaan yang sering Rou dapatkan dari kapten tim sepak bola itu.

Lamunannya memudar saat ia merasakan seseorang duduk di sampingnya menimbulkan suara deritan kursi yang bergeser.

Rou menoleh, menemukan seorang lelaki dengan rambut hitam sedang menjulurkan tangan padanya. "Kaneki Ken."

Tanpa membalas uluran tangannya, ia hanya menyebutkan namannya kembali.