Haiiiiiii ini fanfic pertamaaa hehe ^^ sebelumnya gua belum pernah membuat fanfic apapun. jadi, kalau ada kesalaha atau typo mohon dimaafkan yaaa hehe ^^

Selamat membaca~~~


Aku memandang gelas berisi moccachino yang ada di depanku. Asapnya mengepul, menghalangi pandanganku kepada seseorang yang sekarang duduk diam di depanku. Sejak sejam yang lalu, kami hanya diam tanpa ada yang bertukar satu kata pun. Kami hanya bisa menyelami pikiran masih-masing, mencoba menghilangkan atmosfir canggung ini.

Di luar hujan, mengingatkanku tentang kejadian bertahun-tahun lalu. Kejadian yang membuatku trauma untuk memiliki seseorang yang seperti dia. Saat ini kami sedang berada di kafe yang bertahun-tahun lalu sering kami kunjungi. Entah itu untuk duduk-duduk saja, saling bercerita satu sama lain, bahkan membicarakan hal-hal absurd lainnya.

Tetapi keadaannya berbeda saat ini. Hanya ada sunyi yang menemani kami berdua. Hanya ada suara rintik hujan yang mengisi kesunyian ini.

Tatapan itu. Aku sangat membenci tatapan itu. Tatapan kosong yang sulit dimengerti apa maksudnya. Sulit menebak apa yang ada dalam pikirannya. Bahkan untuk aku yang sudah cukup dekat dengannya. Tatapan itu, tatapan kosong yang terlihat menyeramkan sekarang.

Apa yang ia mau? Sekarang aku bingung. Apa yang ia pikirkan? Jangan membuat orang menjadi penasaran, deh.

"Jadi..." aku memutuskan untuk memecahkan keheningan ini. Aku sudah cukup canggung dengan semua ini. "Apa maksudmu mengajakku ke sini... Maeda?"

"Maeda?" tatapannya bertemu dengan tatapanku. "Sejak kapan kau memanggilku dengan nama itu? Kemana perginya panggilan... itu?" ia kembali melempar tatapannya kepada salah satu anak kecil yang membawa payung di luar sana.

"Sejak tadi." Aku hanya menjawab pertanyaan itu dengan dingin. Aku sedang tidak dalam mood untuk memulai pertengkaran. "Cepat. Sekarang beritahu alasan aku mengapa kau memintaku untuk menemuimu disini."

"Kau masih sama seperti dulu ya... Takahashi. Selalu bercanda dengan joke-joke gagalmu. Kadang... aku rindu semua itu..."

"Aku sedang tidak bercanda sekarang." Kali ini, aku menatap lurus pada bola matanya. Menatap lebih dalam lagi. Matanya masih seindah dulu. Bahakan lebih indah lagi. Sekarang aku sangat merindukan tatapan itu.

"Aku... mau minta maaf..." wajahnya lebih serius dari biasanya. Aku bisa melihat tatapan permohonan dalam matanya. Aku tidak tega jika tidak memaafkannya. Tetapi aku terlalu sakit untuk memaafakannya.

"Aku..." Tuhan, tolong apa yang harus aku katakan padanya. Aku kehabisan kata-kata. Pikiranku menjadi kosong sekarang. Tolong aku. "Aku... sudah memaafkanmu dari dulu..."