Disclaimer: Katekyo Hitman Reborn ©Amano Akira, 27 Days in Horror ©Ileyra

Warnings: Rated M for Mature and R-18, VIOLENCES (kekerasan), SEXUAL ACTIVITIES (aktivitas seksual), YAOI (boy x boy). Fic ini tidak dianjurkan untuk dibaca oleh mereka yang masih berusia di bawah 18 tahun karena mengandung hal-hal yang dapat mencemari pikiran yang masih bersih dan polos. Kecuali bila kalian sudah siap menanggung resiko untuk membayangkan hal-hal kotor, karena author tidak akan bertanggung jawab atas tercemarnya pikiran kalian baik saat ataupun setelah membaca fic ini.

I'VE WARNED YA!

.


Day 1. Mukuro

...iblis itu telah bertahun-tahun menunggu...


Kakiku melangkah masuk begitu saja ke dalam hutan yang gelap, dikelilingi oleh pepohonan hitam tak berdaun dengan ranting-ranting tajam. Gelap sekali...percuma saja aku membawa lampu senter ke sini, di tengah jalan tiba-tiba saja baterai nya soak dan mati. Satu-satunya sinar yang membantu penglihatanku hanyalah bulan purnama, tapi itu pun sudah cukup untuk menerangi sebuah jalan setapak yang menuju ke puncak bukit tak berhuni.

Semilir angin menggerakkan beberapa ranting dan menimbulkan efek angker yang hebat, bayangan dari ranting-ranting itu seperti tangan yang berusaha menarik bayanganku. Namun aku tak begitu mempedulikannya. Horor terasa memang, dan aku mencoba mengalihkan pikiranku dari sana. Tak berhasil. Uji nyali ini ternyata lebih berat daripada dugaanku.

Detik-detik menegangkan itu terhenti sejenak. Sekarang aku kebingungan saat kutemukan persimpangan jalan di depan. Aneh, guru pembimbingku tidak mengatakan apapun soal persimpangan jalan. Dia bilang aku harus jalan terus sampai menemukan pohon tinggi yang ditempeli kertas berisi petunjuk berikutnya. Tapi sekarang di hadapanku ada dua jalan yang sama-sama menuju ke atas bukit. Apa ini salah satu dari uji nyali juga?

Aku menyimpan lampu senter yang kupegang ke saku jaketku, kemudian kupatahkan sebatang ranting dari pohon dan kuberdirikan di depan dua jalan itu.

"Mana yang harus kulewati? Kanan atau kiri?"

Kujatuhkan ranting itu.

"Kiri."

Maka aku melangkah ke kiri. Namun jalan yang dipilih ranting itu lebih terjal daripada sebelumnya, apa aku salah jalan?

Keraguan itu semakin kuat saja saat kulihat sebuah rumah tua yang tak terurus berdiri di sebuah pulau kecil di tengah-tengah danau hitam yang memantulkan cahaya rembulan. Rumah itu dihubungkan dengan sebuah jembatan kayu yang juga sudah tua dengan jalan setapak yang kulewati.

Aku mencoba mendekati sebuah gerbang tua yang tinggi. Gerbang itu adalah pintu menuju jembatan, namun sebuah tanda peringatan 'DILARANG MASUK' dengan cat merah membuatku berpikir dua kali. Haruskah aku masuk ke sana?

"Masuk saja."

Aku menoleh, dan kulihat seorang gadis berambut pendek yang memakai gaun malam tersenyum ke arahku sambil memegangi sebatang lilin di tangan kirinya. Aku memperhatikannya dari atas sampai bawah, rasanya aneh sekali saat aku menatap sebelah matanya yang ungu cemerlang, dan kulitnya yang bersinar termandikan cahaya bulan itu membuatku lupa untuk berkedip. Pikiranku menjadi kosong dibuatnya.

"Kau adalah tamu khusus kami, aku dan Mukuro-sama mengundangmu secara khusus," katanya. Aku tak mengerti sama sekali apa yang ia bicarakan, tapi aku menganggukkan kepala. Aku pun masuk sesuai dengan kehendaknya.

Suara decit kayu terdengar begitu nyaring setiap kakiku menapak di jembatan tua itu. Sampai membuatku khawatir kalau aku akan jatuh dan mati tenggelam di danau yang terlihat dalam.

"Selamat datang."

Seorang lelaki yang berpakaian seperti butler menunduk ramah saat aku dan gadis itu tiba di depan pintu rumah yang tinggi dan lebar. Dia menghampiriku kemudian berlutut dan meraih tangan kiriku lalu menciumnya bak seorang pangeran yang menyambut kedatangan permaisuri. Heran, kenapa ada adegan seperti ini di uji nyali?

"Mukuro-sama, bolehkah aku melakukannya juga?" tanya sang gadis.

Laki-laki yang dipanggil Mukuro itu tersenyum kemudian berkata pelan, "Tentu saja, Chrome sayang..."

Kemudian Chrome meraih tangan kananku dan melakukan hal yang sama dengan Mukuro, ia mencium punggung tanganku. Seharusnya para lelaki lah yang mencium tangan seorang gadis, tapi aku tak protes. Aku tak bisa protes melihat wajah mereka berdua yang memiliki banyak kemiripan. Mata mereka membiusku.

"Silakan masuk, Tsunayoshi..."

Apa tadi ia memanggilku Tsunayoshi? Bagaimana ia bisa mengetahui namaku?

Kedua orang kembar itu membawaku masuk ke dalam rumah. Di dalamnya benar-benar penuh dengan furniture klasik tua, beberapa di antaranya berdebu dan dihinggapi sarang laba-laba. Mukuro menarik tanganku menuju ke ruang makan di mana aneka hidangan telah tersedia. Aku pun mengambil tempat duduk di sebelahnya, sementara Chrome menyuguhkan secangkir kopi hitam. Kebetulan sekali, aku sedang haus sekarang.

"Sepertinya kau terlihat kebingungan, Tsunayoshi?" tanya Mukuro. Aku memberi anggukan kecil setelah selesai meminum kopi yang disuguhkan Chrome.

"Bagaimana kau mengetahui namaku?" tanyaku.

"Kufufu~tentu aku mengetahuinya, aku sudah bertahun-tahun menunggu kesempatan ini." Sahut Mukuro sambil memperlihatkan seringai di wajahnya. Sangat menawan...

"Bertahun-tahun?"

"Ya, semoga kau puas dengan jamuan kami," ucap Mukuro, seringai di wajahnya melebar sebelum ia mendekat dan berbisik pelan di telingaku, menghembuskan nafas panasnya, "Dan semoga kau memuaskan kami juga..."

'PRAAANG'

Cangkir di tanganku tiba-tiba saja terjatuh, padahal tadi aku yakin memeganginya dengan kuat. Buru-buru kuambil pecahan-pecahan cangkir itu.

"Ma-maaf, aku tak se—"

'BRUUK'

—lho?

Kenapa?

Tenagaku tiba-tiba hilang, dan sekarang aku tergeletak di lantai dengan pecahan cangkir di tanganku. Aku tak bisa bergerak, bahkan saat kucoba untuk menggerakkan jemari pun rasanya sulit sekali.

"Apa yang—" kucoba tuk bertanya pada Mukuro, namun pita suaraku tak mampu bekerja. Tapi mataku masih terbuka, aku bisa melihat Mukuro mengambil sebilah pisau dan menempelkan ujung pisau perak itu ke daguku. Dia tersenyum, senyum jahat yang lebar.

"Kufufu, kau pasti terkejut ya? Tenang saja, kopi yang kau minum hanya mengandung racun ringan, hanya melumpuhkan seluruh ototmu untuk sementara waktu..." katanya. Aku melirik Chrome yang berdiri di belakang Mukuro. Gadis berambut ungu itu juga menyeringai ke arahku. Apa yang mereka rencanakan? Ini sudah keterlaluan kalau hanya untuk uji nyali.

Aku merasakan sebuah sayatan kecil melukai leherku, Mukuro menjilati darah yang menetes-netes dari pisau perak yang digenggamnya, kemudian ia tertawa seperti orang gila, "Nikmat sekali! Pilihanku memang tidak salah! Ahah-AHAHAHAHA!"

Chrome terkikik nyaring, telingaku segera dipenuhi oleh suara tawa mereka yang membuat hatiku berdesir. Saat itulah aku menyadari kalau sebelah mata Mukuro berubah menjadi merah, semerah darah yang masih tersisa di ujung pisau perak yang tergeletak di sampingku.

Dia bukan panitia uji nyali...

...juga bukan manusia.

Seseorang...

.

.

.

tolong aku...

.

.

.

"Aaaah! Hentikan!"

"Kau tidak akan bisa melawanku..."

"He-hentikan! Kumohon! AAH!" Aku terus meneriakkan kalimat yang sama terhadapnya, namun seperti apapun bentuk permohonanku, ia tidak pernah berhenti. "A-aahhh! S-sakit, Mukuro-san!"

Mukuro terus melancarkan 'serangan-serangannya'. Ia sama sekali tidak menghiraukanku yang berteriak-teriak kesakitan, ia tidak mempedulikanku yang menangis sedih. Mukuro hanya menggunakanku sebagai alat untuk melampiaskan nafsu birahinya yang abnormal.

"Aku mencintaimu, Tsunayoshi..."

—bohong.

Aku sama sekali tidak melihat 'cinta' saat matanya yang bi-color itu lurus tajam memandangku. 'Cinta' hanya di mulut saja. Matanya hanya memperlihatkan siratan nafsu tak terdefinisi.

"Tsunayoshi..."

Dengan mudahnya Mukuro merenggutku. Seolah menuangkan tinta hitam ke atas kertas putih kemudian merobeknya menjadi serpihan-serpihan kecil. Satu persatu dari semua bagian tubuhku ia telusuri, mengecupnya sebagai tanda bahwa ia pernah 'menyentuh' bagian sana. Atau juga ia gigit, tanda lain bahwa bagian itu menjadi 'spot' favoritnya. Namun kutemukan kelemahannya saat itu juga, bahwa aku, adalah satu-satunya 'obat' bagi penyakit langkanya.

"A-AAAAH!"

—yang barusan itu sakit sekali.

"Teruslah berteriak Tsunayoshi!"

Kalian bisa melihat kegilaan dari makhluk bernama Mukuro ini, ia terus menghujamiku dengan libido seks-nya. Terus menerus dan berulang-ulang, sungguh menyedihkan melihat keadaanku sekarang ini, tapi yang lebih mengenaskan adalah...

"Mukuro-sama, kau ingin meminum anggurmu lagi?"

Yang lebih mengenaskan adalah—di ruangan yang gelap ini, saat ini juga, Chrome duduk manis di depan ranjang sambil memegangi sebotol anggur dan gelas tinggi di tangannya. Perempuan itu memperhatikan kami yang sedang melakukan hubungan intim tanpa ekspresi sedikit pun, seolah peristiwa ini adalah suatu hal yang normal-normal saja. Terkadang kulihat ia tersenyum saat aku berteriak dan mengerang, terkadang juga kutemukan dia tertawa sesekali.

"Tentu, Chrome sayang..." sahut Mukuro. Chrome bangkit dari singasananya dan menyuguhkan segelas anggur. Mukuro meraihnya, meminumnya dengan terburu-buru hingga beberapa tetes luput dari mulutnya dan jatuh ke tubuhku.

"Terima kasih~ manis..." Mukuro meraih dagu Chrome dan menciumnya dengan erotis meski hanya sebentar, "Sepertinya Tsunayoshi ingin anggur juga..." Laki-laki jangkung itu merebut botol wine yang masih dipegang Chrome lalu menumpahkan isinya ke seluruh tubuhku. Dingin sekali...

"AHAHA! Ayo kita lanjutkan pesta kita...Tsunayoshi!"

Malam uji nyaliku yang pertama—

adalah malam pertamaku bersama seorang iblis...

.

.

.

"Tsunayoshi—kemari..."

Aku bergerak ke arah Mukuro yang berbaring agak jauh denganku, tubuhku sekarang dibawah kontrolnya, meski hatiku mencoba menolak dengan kuat. Sekarang, di atas kasur berbau anggur pekat, aku berada di pangkuannya dengan pandangan mata yang kosong, tak ada harapan apapun yang tersisa di sana. Tidak ada.

"Tsunayoshi-kun, katakan kalau kau mencintaiku.."

Aku mendongak, mata kami beradu dalam sela keheningan yang cukup lama.

"Aku mencintaimu..." ucapku.

aku membencimu

"Oya oya, aku ingin kau mengatakan kalimat itu sambil tersenyum, Tsunayoshi-kun~"

"Aku mencintaimu, Mukuro, dengan segenap hatiku..."

aku sangat membencimu, Mukuro—dari dasar hatiku...

"Anak baik..."

Peluklah tubuhku sekehendak hatimu, tapi aku tak akan pernah membiarkanmu menyentuh hatiku..

"Tsunayoshi-kun adalah anak baik, kufufu~"

Mukuro—kau adalah bunga teratai yang mengapung dalam danau yang kosong. Tak ada apapun yang menantimu di sana, hanya kegelapan.

"...Tapi kegelapan itu telah menjangkaumu, Tsunayoshi..." desis Mukuro sambil menyeringai. Aku tersentak kaget dan tubuhku refleks menjauh darinya. Bagaimana mungkin ia bisa mengetahui pikiranku?

"Jangan pikir kau bisa menyembunyikan sesuatu dariku, Tsunayoshi-kun. Tubuhmu, hatimu, kau milikku seutuhnya..."

"TIDAK!"

Aku yang ketakutan saat itu juga menepis tangannya yang berusaha meraihku, kemudian sambil terbungkus selimut tipis, aku melarikan diri darinya. Aku terus berlari di koridor kecil yang gelap, dinding berwallpaper bunga teratai merah-hitam itu membuatku bergidig tapi kupaksakan kakiku untuk terus berlari.

Sesekali kutengok ke belakang kalau-kalau Mukuro mengejarku. Tapi tak ada sosoknya di sana. Syukurlah, sepertinya ia tidak mengejar.

"Mau ke mana Tsunayoshi-kun?"

Tepat beberapa meter di depanku, berdirilah dia yang berambut biru zigzag sambil memegang trident di tangannya.

Mukuro!

Aku berbelok ke kiri, lalu masuk ke sebuah ruangan yang pertama kali kulihat. Entah ruangan apa. Segera kututup rapat-rapat lalu kuatur nafasku yang terengah. Ruangan ini terlalu gelap, tercium bau yang cukup menyengat dan lantainya basah.

Aku bergeser sedikit ke kiri, mencari tempat yang masih kering, tapi kakiku menendang sesuatu yang tak asing. Aku pun membungkuk untuk meraihnya. Syukurlah, lampu senter!

'PLIK'

Kau tidak akan percaya dengan apa yang kulihat di ruangan berukuran 6x7 meter itu.

Belasan mayat yang berserakan, tubuh mereka tercabik-cabik dan berantakan, ruangan ini tergenangi oleh darah yang membuat lututku lemas. Aku mual sekali. Aku ingin muntah. Tapi aku berusaha mati-matian agar tak mengeluarkan suara sedikit pun.

Tahan...tahan Tsunayoshi! Nanti Mukuro menemukanmu!

Mataku terbelalak lebar saat lampu senter yang kupegang dengan gemetaran menyorot wajah mayat seseorang yang kukenal.

KY-KYOKO-CHAN!

Aku menggeser lampu ke kiri.

HARU! YUNI!

Mayat-mayat itu...

Semuanya adalah teman-teman perempuanku. Mereka mati mengenaskan, dengan tubuh yang tak utuh dan terpotong-potong.

"Ah, di sini kau rupanya?"

Aku menoleh, Mukuro dan Chrome berdiri di ambang pintu. Saking shock nya aku tidak menyadari kehadiran mereka.

"Oya oya, sepertinya aku lupa membereskan mereka," gumam Mukuro sambil berjalan mendekatiku. Aku ingin sekali mundur, tapi mayat-mayat di belakangku membuatku takut.

"Te-teman-temanku...APA YANG KAU LAKUKAN PADA TEMAN-TEMANKU?" Teriakku, antara marah dan ketakutan, aku tak tahu mana yang paling dominan.

"Mereka itu bonekaku juga, tapi mereka tidak bisa membuatku puas. Boneka yang rusak harus dibuang kan?" jawab Mukuro, "Nah, sekarang ayo kemari, nanti tubuhmu kotor..." Mukuro mengulurkan tangan kirinya, tapi aku menggeleng.

"Ayolah Tsunayoshi-kun, jangan memaksaku..."

"MATI SAJA KAU DASAR PSIKOPAT!"

"Oya oya..."

"Mukuro-sama, biar aku yang melakukannya..." Chrome maju sambil memegang Trident Mukuro. Kupikir ia akan membunuhku seperti yang Mukuro lakukan terhadap Kyoko-chan dan yang lainnya, tapi Chrome hanya mengayunkan Trident itu dengan kuat dan seketika ribuan kupu-kupu violet yang terang berhamburan keluar dari tanah lalu terbang mengitariku.

"Uuuh.."

Rasa kantuk yang hebat tiba-tiba saja datang, aku tak bisa memfokuskan mataku lagi. Aku tahu aku akan jatuh ke tangan Mukuro, tapi— aku sudah tak bisa bertahan sekeras apapun aku mencoba. Rasa lelah di tubuhku dan pikiranku ini membuatku ingin membangkang kenyataan.

Kenyataan bahwa aku tak akan pernah bisa keluar dari belenggu Mukuro—

.

.

.

Selamanya...

.

.

.

"Tsunayoshi-kun, kemari..."

.

.

.


Karena Ley menyadari adanya beberapa kekurangan di chapter 1-9, terutama karena banyak typonya dan juga banyak hal gak penting lainnya, jadi Ley upload ulang deh... Dan juga makasih buat AiharaCodeCyber yang udah ngasih tau Ley kalo ternyata peringatan untuk anak-anak yang masih dibawah 18 tahun nya tidak dicantumkan secara tegas. :)